Saturday, 4 May 2019

KONSEP DASAR HUKUM KEWARISAN

KONSEP DASAR HUKUM KEWARISAN



A. PENGERTIAN KEWARISAN DAN SEBAB KEWARISAN

Dalam menangani perkara di Pengadilan Agama khususnya tentang kewarisan, maka Kompilasi Hukum Islam menjadi salah satu rujukan dalam dalam standar hukum materil. Olehnya itu pengertian dasar tentang kewarisan akan dimabil dalam Pasal 171 Huruf a, b, c, d dan e Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Kalau dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut al-Qur`an, hadis Rasulullah, dan Kompilasi Hukum Islam, ditemukan dua penyebab, yaitu: (1) Hubungan kekerabatan (nasab); dan (2) hubungan perkawinan.1 Kedua bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut.

(a) Hubungan Kekerabatan

Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Karena itu, bila seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapapun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya, sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara se orang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya, maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Hal itu, bila dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya.

Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya yang disebutkan di atas, ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Hal itu diketahui melalui hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa "seorang anak dihubungkan kepada laki-laki yang secara sah menggauli ibunya.3 Namun, dalam tulisan ini tidak diuraikan secara rinci mengenai syarat-syarat sahnya akad nikah, dan anak yang sah menurut hukum Islam karena yang menjadi kajian utama pembahasan adalah hukum kewarisan Islam.

Kalau sudah mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya yang disebutkan di atas, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak beserta keturunannya, dan hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara berserta keturunanya. Dengan mengetahui hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan.

Tentang hubungan kerabat yang disebutkan di atas, bila dianalisis pengelompokannya sebagai ahli waris, perlu diungkapkan pendapat Hazairin yang mengelompokkannya ke dalam 3 (tiga) kelompok ahli waris, yaitu: (1) dzawul faraid, (2) dzawul qarabat, dan (3) mawali. Demikian pula pendapat ahlus sunnah yang mengelompokannya menjadi 3 (tiga) kelompok ahli waris, yaitu: (1) dzawul faraid, (2) `ashabah, dan (3) dzawul arham

(b) Hubungan Perkawinan.

Kalau Hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Karena itu, bila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan dan janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya.


B. ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

Dalam modul ini akan dijelaskan beberapa asas hukum kewarisan Islam, antara lain: (a) ijbari, (b) bilateral, (c) individual, (d) keadilan berimbang, (e) akibat kematian, dan (f) Asas Personalitas Keislaman.

a) Ijbari

Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.

Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: (1) dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari al-Qur`an surah IV: 7 yang menjelaskan bahwa "bagi laki-laki dan perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan keluarga dekatnya". Dari kata nasib atau bagian itu, dapat diketahui bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian atau hak ahli waris. Karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan ahli waris, tidak perlu meminta-minta hak kepada (calon) pewarisnya.9 Demikian juga bila unsur ijbari dilihat dari segi (2) jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Hal ini tercermin dalam kata mafrudan yang makna asalnya adalah "ditentukan atau diperhitungkan". Apa yang sudah ditentukan atau diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh hamba-Nya. Sifat wajib yang dikandung oleh kata itu menyadarkan manusia untuk melaksanakan kewarisan yang sudah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur`an.

Selain itu, bila unsur ijbari dilihat dari (3) kepastian penerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci oleh Allah dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, 176, dan 33. Rincian ahli waris dan pembagiannya yang sudah pasti itu, tidak ada suatu kekuasaan manusiapun yang dapat mengubahnya. Unsur yang demikian, dalam kepustakaan hukum kewarisan Islam yang sui generis dapat disebut juga bersifat wajib dilaksanakan oleh ahli waris.

b) Asas Bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateralan itu, mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam al-Qur`an surah IV: 7, ll, 12, dan 176, yaitu (1) antara anak dengan orang tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orangtua. Hal ini, diuraikan sebagai berikut.

(a) Dimensi saling mewarisi antara anak dengan orangtuanya.

Dalam al-Qur`an surah IV: 7 ditegaskan bahwa "laki-laki dan perempuan berhak mendapat harta warisan dari ibu-bapaknya". Demikian juga dalam garis hukum surah IV: 11a ditegaskan bahwa anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Demikian juga dalam garis hukum surah IV: 11d, ditegaskan bahwa ayah dan ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.

(b) Dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara juga terjadi bila pewaris tidak mempunyai keturunan dan/atau orangtua. Kedudukan saudara sebagai ahli waris dalam garis hukum al-Qur`an surah IV: 12, ditentukan bahwa bila seorang laki-laki mati punah dan mempunyai saudara, maka saudaranya (saudara laki-laki atau saudara perempuan) berhak mendapat harta warisannya. Demikian juga garis hukum surah IV:12, bila pewaris yang mati punah seorang perempuan dan mempunyai saudara, maka saudaranya (laki-laki atau perempuan) berhak menerima harta warisannya. Selain itu, garis hukum al-Qur`an surah IV: 176 menegaskan bahwa seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, saudaranya yang perempuan itulah yang berhak menerima warisannya. Demikian juga bila seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki, saudaranya yang laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisannya.  Kalau kewarisan antara anak dengan orangtua, dan antara orang yang bersaudara diketahui melalui perincian ayat al-Qur`an yang disebutkan di atas, maka ahli waris keluarga dekat (kerabat) dapat diketahui dari penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah. Selain itu, dapat diketahui pula perluasan pengertian ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur'an. Misalnya, kewarisan kakek dapat diketahui dari kata abun dalam al-Qur'an, yang dalam bahasa Arab berarti kakek secara umum. 

Demikian juga halnya dengan nenek, dapat dikembangkan dari perkataan Ummi (maternal = maternal grand mother = nenek dari pihak ibu) yang terdapat dalam al-Qur'an. Di samping itu terdapat juga penjelasan dari Nabi tentang kewarisan kakek dan kewarisan nenek. Dari perluasan pengertian itu dapat pula diketahui garis kerabat ke atas melalui pihak laki-laki dan melalui pihak perempuan. Demikian juga halnya dengan garis kerabat ke bawah. Walaupun tidak secara jelas disebut dalam al-Qur'an, namun garis kerabat ke bawah itu dapat diketahui dari perluasan pengertian walad (anak), baik anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunannya. Namun di kalangan Sunni makna anak itu dibatasi pada anak laki-laki dan keturunannya saja (seperti yang biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal).

Di kalangan Sji'ah makna anak itu diperluas kepada anak laki-laki dan anak perempuan serta cucu melalui anak laki-laki dan anak perempuan. Kekerabatanbilateral ini berlaku juga untuk kerabat garis ke samping. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur`an surah IV: 12 dan 176. Ayat itu, menetapkan bahwa "kewarisan saudara laki-lakidan saudara perempuan dengan pembagian yang berbeda dengan hak atau bagian yang diperoleh saudara dalam ayat 176 surat yang sama". Perbedaan itu menunjukkan adanya perbedaan dalam hal (orang) yang berhak menerima harta warisan. Hak saudara baik laki-laki maupun perempuan dalam ayat l2 adalah 1/6 atau 1/3, sama pembagian ibu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan saudarasaudara dalam ayat 12 itu adalah saudara garis ibu, sedang saudara-saudara dalam ayat 176 adalah saudara garis ayah atau ayah dan ibu. Dengan mendalami makna surah IV: 12 dan 176 tersebut diperoleh satu kesimpulan bahwa pada garis kerabat ke samping pun berlaku kewarisan dua arah, melalui arah ayah dan arah ibu.

c) Asas Individual

Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagibagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Karena itu, bila setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnyatanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).

Asas keindividualan hukum kewarisan Islam diperoleh dari analisis garis hukum al- Qur'an mengenai pembagian harta warisan. Sebagai contoh dapat disebut misalnya, garis hukum surah IV: 7 dijelaskan bahwa anak laki-laki untuk menerima warisan dari orangtua atau keluarga dekatnya. Demikian juga halnya dengan perempuan berhak menerima harta warisan orang tuanya dan atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing) mempunyai rincian tertentu.

Ayat 11, 12 dan 176 surat IV yang telah disebutkan di atas, menjelaskan secara rinci hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tentupun seperti bagian anak laki-laki bersama dengan anak perempuan seperti disebutkan dalam surat IV: 11 dan bagian saudara laki-laki bersama saudara perempuan dalam surah IV: 176, dijelaskan perimbangan pembagiannya yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Dari perimbangan tersebut, tampak bahwa ketentuan bagian masing-masing ahli waris sifatnya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang muslim yang mempunyai harta warisan.

Kalau pembagian menurut asas individual ini telah terlaksana, maka setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak atas harta yang diperolehnya bila ia telah mempunyai kemampuan untuk bertindak. Bila belum, maka untuk mereka yang tidak dan/atau belum mampu bertindak itu, diangkat wali untuk mengurus hartanya itu menurut ketentuan perwalian. Wali tersebut, bertanggung jawab mengurus harta orang yang belum dapat bertindak mengurus hartanya itu, memberikan pertanggung jawaban dan mengembalikan harta itu bila pemiliknya telah mampu bertindak sepenuhnya mengurus miliknya yang (selama ini) berada di bawah perwalian dengan harta kekayaan orang yang mengurusnya (wali), sehingga sifat individualnya berubah menjadi kolektif yang bertentangan dengan asas individual kewarisan Islam. 

Bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam masyarakat dengan adat tertentu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Sebabnya adalah dalam pelaksanaan hukum kewarisan kolektif itu, mungkin sengaja atau tidak, ikut termakan harta anak yatim yang sangat dilarang oleh ajaran agama Islam.

d) Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam al-Quran yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Di dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.

Asas keadilan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Sebagai contoh dapat disebut misalnya, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris daripewaris pada hakekatnya adalah pelanjutan tanggungjawab pewaris terhadapkeluarganya. Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli warisberimbang dengan kewajiban atau tanggungjawab terhadap keluarganya.24 Selain itu, al-Qur`an surah II: 233 menjelaskan bahwa seorang laki-laki menjadi penanggungjawabkehidupan keluarga untuk mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya menurut kemampuanya. Tanggungjawab itu merupa-kan kewajibann agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Demikian juga, al-Qur`an surah II: 177 menjelaskan bahwa seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap kerabat lain berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan. Sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah sama.

e) Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Karana itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.

Kalau hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja yaitu kewarisan sebagai akibat dari meninggalnya seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestato atau kewarisan karena kematian atau kewarisan menurut undang-undang, maka hukum kewarisan Islam tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia masih hidup, yang disebut dalam hukum perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen.

Asas akibat kematian seseorang mempunyai kaitan dengan asas ijbari yang sudah disebutkan yakni seseorang tidak sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak. Melalui wasiat, menurut hukum Islam, dalam batasbatas tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannyasetelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri, terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam.

f) Asas Personalitas Keislaman
Asas Personalitas Keislaman. Asas dimaksud, berarti peralihan harta warisan hanya terjadi bila antara pewaris dan ahli waris sama-sama menganut agama Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984)

Muhammad Mustafa Salaby, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun

H.Moh. Djafar, "Polemik Antara Prof.Dr. Hazairin dan Para Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan", (Disertasi doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993)

H. Mohammad Daud Ali, Ibid. John Burton, The Sources of Islamic Law, (Oxford: Edinburgh University Press, 1990)

H. Mohammad Daud Ali, "Asas-Asas Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam", (Makalah
disampaikan pada Orientasi Kompilasi Hukum Islam tanggal 21-30, Jakarta, 1992)





















Thursday, 7 April 2016

PENINJAUAN KEMBALI

PENINJAUAN KEMBALI



PEMBAHASAN


A. Pengertian  Peninjauan  Kembali Putusan  Pengadilan Yang Telah  Memperoleh Kekuatan  Hukum Tetap.
Upaya  hukum  peninjauan  kembali  (request civil)  merupakan  suatu  upaya  agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun  Mahkamah  Agung  yang  telah  berkekuatan hukum  tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan  di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.[1]
Peninjauan kembali  (Request Civil)  tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam  RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan  yang  terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan  Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)   Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan  RC digantungkan pada putusan  yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2)   Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)   Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[2]
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
B. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. Permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)  Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)   Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau  seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
C. Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertulis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akan dipertimbangkan (pasal 72 ayat  (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985).[3]
D. Prosedur Permohonan dan Pengiriman Berkas Perkara ke Mahkamah Agung
            Mengenai tata cara Permohonan Peninjauan Kembali dan pengiriman berkas perkara Peninjauan Kembali ke MA dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Yang Berhak Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK)
Tentang siapa saja yang berhak atau yang dapat mengajukan permohonan PK, diatur pad pasal 68 ayat (1) UU MA, berdasarkan urutan prioritas berikut .
a)      Para Pihak yang Berperkara
Ketentuan ini sesuai dengan system yang dianut hukum acara yang tidak menentukan kewajiban secara mutlak mesti diwakili oleh pengacara atau kuasa di depan pengadilan. Yang dianut adalah system bebas diwakili oleh kuasa atau pengacara. Dengan demikian, pasal 68 ayat (1) UU MA, yang menempatkan pihak materiil berada pada kedududkan prioritas pertama untuk mengajikan permohonan PK, sudah tepat dan benar.
Jadi berdasarkan pasal 68 ayat (1) UU MA, permohonan PK dapat diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara secara pribadi (in person).
b)      Oleh Ahli waris
Urutan berikutnya adalah ahli waris. Apabila pihak yang berperkara telah meninggal dunia, terbuka hak ahli waris untuk mengajukan permohonan PK. Selama para pihak yang berperkara masih hidup, tertutup hak ahli waris untuk mengajukan permohon PK. Hal ini sesuai dengan asas umum, bahwa hak ahli waris baru terbuka menggantikan hak pewaris setelah warisan itu terbuka terhitung sejak pewaris meninggal dunia.


c)      Oleh Seorang Wakil
Urutan selanjutnya, adalah wakil yang bertindak sebagai kuasa berdasarkan pasal 1795 KUH Perdata jo. Pasal 123 HIR, yakni seseorang yang diberi kuasa oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Dalam keadaan seperti ini, pihak yang berperkara atau ahli warisnya bertindak sebagai sebagai pihak materiil yang biasa disebut principal, sedang kuasa atau wakil bertindak sebagai pihak formil untuk kepentingan principal.
Jadi, syarat formil yang mendukung validitas permohonan PK oleh seseorang wakil mesti dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus yang dibuat secara khusus untuk itu, terpisah dan berdiri sendiri dari pemberian kuasa untuk tingkat pertama, banding atau kasasi. Bentuknya boleh aktaautentik atau dibawah tangan.
d)     Ahli Waris Dapat Melanjutkan Permohonan
Pasal 68 ayat (2) UU MA mengatur kebolehan melanjutkan permohonana PK oleh ahli waris pemohon dengan syarat, apabila selama proses permintaan PK, pemohon meninggal dunia. Dengan kata lain, apabila pemohon meninggal dunia sebelum putusan PK dijatuhkan :
·         Ahli waris pemohon dapat melanjutkan permohonan PK tersebut,
·         Untuk itu, ahli waris harus menyampaikan surat pernyataan melanjutkan permohonan PK yang diajukan pewaris.
Keharusan menyampaikan surat pernyataan melanjutkan permohonan PK, ditarik dan disimpulkan dari kalimat : “ dapat dilanjutkan oleh warisnya. “ Dari mana MA tahu permohonan dilanjutkan oleh ahli waris, jika tidak ada surat pernyataan dari ahli waris ? Sehubungan dengan itu, penyampaikan surat pernyataan tersebut merupakan keharusan bagi ahli waris. Surat pernyataan itu disampaikan ke        MA melalui pengadilan tingkat pertama . Atau dapat juga langsung ke MA, dan nanti MA yang memerintahkan pengadilan tingkat pertama memberitahukan salinan pernyataan itu kepada pihak lawan. 
Bagaimana halnya jika pemohon PK meninggal dunia, dan ahli warisnya tidak membuat penyataan untuk melanjutkan melanjutkan permohonan PK dimaksud, apakah permohonan PK itu masih sah atau valid ? kalau bertitik tolak dari ketentuan pasal 68 ayat (2) UU MA, dengan meninggalkan pemohon PK, dengan sendirinya menurut hukum permohonan itu batal (van rechtswege nietig, ipso jure null and void). Permohonan dianggap tidak ada lagi. Supaya permohonan PK itu tetap sah dan eksis, harus ada pernyataan dari ahli untuk melanjutkannya. Oleh karena itu, apabila Majelis PK mengetahui pemohon PK telah meninggal dunia, kemudian tidak ada pernyataan dari ahli waris untuk melahjutkannya, permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima. Akan tetapi sebaliknya, apabila Majelis PK tidak tahu pemohon telah meninggal dunia, dan tidak ada pemberitahuan tentang hal itu dari ahli waris pemohon  maupun dari pihak lawan, putusan yang dijatuhkan Majelis PK, dianggap sah menurut hukum.
Untuk memperkecil timbulnya problema hukum dibelakang hari menghadapi kasus yang demikian, apabila pengadilan tingkat pertama atau MA mengetahui pemohon telah meninggal dunia selama proses PK berjalan, sebaiknya pengadilan atau MA menanyakan ahli waris, apakah mereka akan melanjutkan permohonan PK itu atau tidak.
2.      Syarat Permohonan PK
Mengenai syarat formil permohonan PK diatur pada pasal 70 dan pasal 71 UU MA seperti yang dijelaskan dibawah ini.
a.       Diajukan kepada MA melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
Menurut pasal 70 ayat (1) UU MA, permohonan PK :
·         Diajukan pemohon kepada MA,
·         Tetapi mekanismenya harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
Bertitik tolak dari ketentuan ini, pengajuan permohonan PK yang langsung disampaikan kepada MA, dianggap salah alamat. Karena undang-undang sendiri dengan tegas mengatakan harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. S ekiranya permohonan langsung disampaikan kepada MA, permohonan itu akan dikembalikan ke Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan, agar menyelesaikan administrasi yustisial yang berkenaan dengan permohonan itu. Jadi selain tindakan itu melanggar mekanisme yang ditentukan, juga akan memperlambat proses penyelesaian administrative yustisial yang diperlukan.
Sehubungan dengan itu, mekanisme pengajuan permohonan PK yang tepat menurut pasal 71 ayat (1) UU MA, ialah memasukkan permohonan itu di paniteraan Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Bukan dimasukkan di kepaniteraan MA.
b.      Membayar Biaya Perkara
Syarat formil selanjutnya, membayar biaya yang diperlukan di kepaniteraan Pengadailan Tingkat Pertama.
Mengenai pembayaran biaya perkara, merupakan syarat formil yang melekat pada setiap pengajuan permohonan berperkara. Pada saat pengajuan gugatan, juga diikuti dengan pembayaran panjar biaya perkara agar gugatan itu didaftarkan. Begitu juga pada permintaan banding dan kasasi, keabsahan formilnya digantungkan pada pembayaran biaya banding dan kasasi. Demikian halnya pada permohonan PK, Pasal 70 ayat (1) UU MA, mensyaratkan agar permohonan PK  dibarengi dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Selama biaya perkara PK belum dibayar, permohonan PK belum dapat didaftarkan.
c.       Permohonan Diajukan Secara Tertulis
Menurut pasal 71 ayat (1) UU MA, permohonan PK diajukan pemohon.
·         Secara tertulis (schriftelijk,in writing)
·         Tidak dibenarkan secara lisan (mondeling, orally)
Akan tetapi, pasal 71 ayat (2) UU MA member pengecualian kepada pemohonan yang tidak dapat menulis. Bagi mereka diberi kelonggaran untuk menguraikan permohonan PK secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau dihadapan hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan tersebut. Ketua pengadilan atau hakim yang menerima uraian atau dasar permohonan secara lisan itu membuat catatan tertulis atas permohonan dimaksud.
Pengecualian kebolehan menyampaikan uraian permohonan secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan atau hakim, menurut pasa 71 ayat (2) diberikan kepada pemohonan yang tidak dapat menulis. Bagaimana halnya, kalau pemohon dapat membaca dan menulis, tetapi tidak dapat menulis secara teknis dan yuridis permohonan PK. Yang dimaksud tidak dapat menulis pada pasal 71 ayat (2) itu, bukan dalam arti pemohon buta huruf. Akan tetapi, harus ditafsirkan meliputi mereka yang pandai menulis dan membaca, namun tidak dapat menulis permohonan PK yang memuat aspek teknis dan yuridis.
Selanjutnya, pasal 71 UU MA mengatur hal-hal yang mesti disebut dalam surat permohonan. Minimal surat permohonan itu harus menyebutkan sejelas jelasnya alsan yang dijadikan dasar permohonan PK. Surat permohonan yang tidak menyebut alas an yang menjadi dasar pemohon PK, dianggap tidak memenuhi syarat.
Surat permohonan dianggap juga tidak memenuhi syarat apabila alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan PK, tidak sesuai dengan salah satu alas an yang disebut pasal 67 UU MA. Surat permohonan berisi berbagai macam alas an, namun dari sekian banyak alas an itu, tidak satupun yang sesuai dengan alas an limitative yang disebut pada pasal 67 UU MA. Surat permohonan yang demikian, dianggap tidak memenuhi syarat yang ditentukan pasal 71 ayat (1) UU MA. Permohonan yang demikian harus ditolak.
Dalam praktik, surat permohonan PK disebut Risalah Pk. Jadi, didalam risalah PK, sekaligus termuat permohonan PK dan alas an PK. Tidak dipisah antar surat permohonan dengan alas an atau risalah PK. Hal ini agak berbeda dengan permohonan kasasi. Antara permohonan dengan kasasi dipisah dalam dua surat yang berbeda. Lain permohonan kasasi, lain pula memori kasasi. Akan tetapi, hai ini tidak mengurangi  kebolehan memisahkannya dalam dua surat. Suatu permohonan PK saja dan yang kedua risalah PK yang berisi alas an yang menjadi dasar permohonan PK. Permohonan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
3.      Memberikan Salinan Permohonan kepada Pihak Lawan Pemohon
Proses selanjutnya mengiringi permohonan PK, diatur pada pasal 72 UU MA, seperti yang dijelaskan dibawah ini .
1)      Panitera  Wajib Memberikan atau Mengirimkan Salinan Permohonan kepada Pihak Lawan
Tindakan hukum yang pertama yang mesti dilakukan panitera setelah menerima permohonan PK :
·         Panitera Pengadilan Tingkat Pertama tersebut wajib memberikan atau mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan,
·         Mengenai pelaksanaan kewajiban ini bersifat alternative :
1. Boleh diberikan secara langsung kepada pihak lawan melalui juru sita, atau
2. Dapat mengirimkan salinan permohonan itu melalui surat tercatat oleh Kantor pos atau badan lain yang bergerak di bidang itu.
Cara mana yang ditempuh panitera apakah menyerahkan langsung atau mengirimkannya, sama-sama dibenarkan hukum.
2)      Tenggang Waktu Pemberian Salinan, Selambat-lambatnya dalam Waktu 14 Hari
Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA, kewajiban panitera memberikan atau mengirimkan salinan permohonan PK kepada pihak lawan :
·         Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari dari tanggal penerimaan permohonan PK.
·         Tenggang waktu ini bersifat imperative, tidak boleh dilampaui, oleh karena itu betul-betul harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 14 hari oleh panitera yang bersangkutan.
Kepada panitera yang tidak melaksanakan kewajiban ini tepat waktu, perlu dilaksanakan hukum administrative yang setimpal, karena dianggap melakukan tindakan yang tidak professional (unprofessional conduct)
4.      Pihak Lawan Berhak Mengajukan Jawaban
Pasal 72 ayat (1) UU MA, member hak kepada pihak lawan mengajukan dan menyampaikan jawaban atau Kontra Risalah PK terhadap Risalah PK yang menyampaikan diajukan pemohon. Bahkan menurut pasal 72 ayat (1) tersebut, maksud tujuan memberikan salinan permohonan kepada pihak lawan adalah dalam rangka agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawaban atau Kontra Risalah PK.
        i.            Kebolehan Mengajukan Jawaban,Terbatas pada Alasan Pasal 67 Huruf a atau b UU MA
Tidak terhadap semua permohonan PK dapat diajukan jawaban oleh pihak lawan. Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA, posisi pihak lawan mwnghadapi permohonan PK, terpecah pada dua klasifikasi :
1).  Dalam hal permohonan PK didasarkan atas alas an pasal 67 huruf a atau b UU MA, pihak lawan mempunyai hak mengajukan jawaban atau Kontra Risalah PK.
Jadi, kalau alasan yang mendasari permohonan PK adalah kebohongan atau tipu muslihat atau didasarkan pada bukti-bukti yang dinyatakan palsu oleh hakim pidana (pasal 67 huruf a) maupun atas alasan ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan atau novum (pasal 67 huruf b), maka pihak lawan berhak atau dapat mengajukan jawaban permohonan PK.
2). Dalam hal permohonan PK didasarkan atas salah satu alasan yang disebut pasal 67 huruf c dengan huruf f, pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan jawaban.
Diluar alasan permohonan PK yang disebut pasal 67 huruf a atau b, pihak lawan tidak berhak mengajukan jawaban. Menurut pasal 72 ayat (1) huruf b, kalau alasan permohonan PK terdiri dari pasal 67 huruf c,d,e,dan f :
·         Pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan jawaban.
·         Maksud dan tujuan pemberian atau pengiriman salinan permohonan PK kepada pihak lawan jika alasan-alasan permohonan PK terdiri dari pasal 67 huruf c,d,e,atau f, bukan untuk menyusun jawaban, tetapi hanya dalam rangka agar pihak lawan dapat mengetahui adanya permohonan PK.
Demikian patokan yang digariskan undang-undang sehubungan dengan hak pihak lawan mengajukan jawaban. Hanya terbatas terhadap permohonan yang berisi alasan pasal 67 huruf a atau b. Terhadap alasan selebihnya, pihak lawan mempunyai hak mengajukan jawaban.

      ii.            Tenggang Waktu Mengajukan Jawaban
Tentang tenggang waktu untuk mengajukan jawaban oleh pihak lawan diatur pada pasal 79 ayat (2) UU MA, yakni 30 hari setelah pihak lawan menerima salinan permohonan PK.
Kalau jawaban atau Kontra Risalah PK itu diajukan dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan permohonan PK, menurut hukum Majelis PK harus memperhatikan dan menilai jawaban tersebut. Sebaliknya, apabila pengajuan jawaban itu melampaui batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 72 ayat (2) UU MA, tidak ada kewajiban hukum bagi Majelis PK untuk memperhatikan dan menilainya.
    iii.            Jawaban Diserahkan atau Dikirimkan kepada Pengadilan yang Memutuskan Perkara Itu dalam Tingkat Pertama
Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA, surat jawaban pihak lawan diserahkan atau dikirimkan kepada kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Boleh diserahkan langsung atau dikirimkan melalui surat tercatat kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Tidak dibenarkan langsung diberikan atau dikirimkan kepada MA. Demikian mekanisme cara penyampaian jawaban yang harus ditaati pihak lawan agar jawaban itu memenuhi syarat formil.
    iv.            Panitera Membubuhi Cap, Hari, serta Tanggal Penerimaan Jawaban
            Pasal 72 ayat (3) UU MA, mengatakan Panitera Pengadilan yang menerima jawaban itu untuk melakukan tindakan hukum, berupa :
1. Membubuhi cap, hari, dan tanggal dimaksud menjadi landasan fakta memperhitungkan apakah pengajuan jawaban itu masih dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan permohonan PK.
2. Menyampaikan atau mengirimkan salinan jawaban kepada pihak pemohon PK.
            Tugas selanjutnya Panitera setelah membubuhi cap, hari, dan tanggap atas penerimaan jawaban, menyampaikan atau mengirimkan salinan jawaban itu kepada pihak pemohon PK. Tujuannya menurut pasal 72 ayat (3) UU MA, agar pemohon mengetahui adanya jawaban dari pihak lawan. Bukan untuk ditanggapi atau dibantahi, tetapi sebatas untuk diketahui saja.
            Diajukan gambaran proses dan mekanisme yang berkaitan dengan jawaban yang diajukan pihak lawan sesuai dengan yang digariskan pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) UU MA. Harus diajukan paling lambat 30 hari dari tanggal penerimaan salinan permohonan, dan selanjutnya diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
5.      Pengiriman Berkas Perkara PK ke MA
Pasal 72 ayat (4) UU MA, mengatur pengiriman berkas perkara PK kepada MA. Yang penting  diperhatikan mengenai pengiriman berkas perkara tersebut, antara lain sebagai berikut.
a.  Panitera Melakukan Pengiriman
            Panitera yang dibebani tugas mngirimkan berkas perkara PK kepada MA, dalam hal ini, Panitera Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.

b.  Yang Dikirim ke MA
Yang harus dikirimkan Panitera ke MA,meliputi :
      1.  Berkas perkara yang lengkap
Berkas perkara yang lengkap dalam permohonan PK meliputi semua dokumen, berita acara, memori dua kontra memori banding dan kasasi serta putusan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi. Itulah yang harus dikirimkan Panitera ke MA.


      2. Biaya Perkara PK
            Yang kedua yang mesti dikirimkan panitera ke MA adalah biaya perkara PK. Tanpa pengiriman biaya perkara, permohonan PK tidak dapat didaftarkan di MA.

c. Tenggang Waktu Pengiriman Berkas Perkara PK
Mengenai tenggang waktu pengiriman berkas perkara PK dan biaya perkara diatur pada pasal 72 ayat (2) UU MA, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.
            Akan tetapi pasal ini tidak menentukan patokan darimana dihitung jangka waktu 30 hari tersebut. Pasal itu hanya memuat rumusan dalam kalimat yang berbunyi :
“…dikirim kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.”
            Rumusan itu tidak jelas (unclear outline) dan bisa menimbulkan multitafsir. Bisa ditafsirkan dalam jangka waktu 30 hari tanggal penerimaan permohonan. Boleh juga dikonstruksi paling lambat dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal pemberian atau pengiriman salinan permohonan kepada pihak lawan. Yang paling rasional dan objektif, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan jawabandari pihak lawan. Akan tetapi, patokan ini tidak selamanya valid. Sebab patokan ini tidak selamanya melekat pada permohonan PK. Jika alas an permohonan PK berdasarkan pasal 67 huruf c,d,e,atau f, tidak ada hak pihak lawan mengajukan jawaban, sehingga pada kasus permohonan PK yang demikian, tidak adapat diterapkan patokan dalam jangka waktu 30 hari tanggal penerimaan jawaban, karena memang tidak ada jawaban. Sehubungan dengan itu, perhitungan dengan yang rasional dan objektif menentukan jangka waktu pengiriman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan jawaban apabila alasan PK berdasarkan pasal  67 huruf a atau b,
2. dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal pemberian atau pengiriman salinan permohonan PK, apabila alas an permohonan PK berdasarkan pasal 67 huruf c,d,e atau f.
            Demikian alternative patokan memperhitungkan jangka waktu pengiriman berkas perkara PK ke MA yang dianggap realistik objektif. Bertitik tolak dari patokan ini, Ketua Pengadilan yang bersangkutan mempunyai pegangan yang jelas untuk melakukan pengawasan terhadap proses pengiriman berkas perkara PK ke MA.[4]











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya  hukum  peninjauan  kembali  (request civil)  merupakan  suatu  upaya  agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun  Mahkamah  Agung  yang  telah  berkekuatan hukum  tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan  di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. Permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)  Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)   Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertulis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akan dipertimbangkan (pasal 72 ayat  (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985).
B. Kritik dan Saran
Kalimat al hamdulillahirobbil’alamin mengiringi penutup makalah ini.Serta tak lupa penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun bagi makalah ini, baik dalam segi penulisan maupun subtansi pembahasan.Karena penyusun menyadari, makalah ini jauh dari nilai kesempurnaan.






DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, Siti, 2005, Praktik Judicial Review di Indonesia, Yogyakarta : Pilar Media

Yahya Harahap,M, 2008, KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG PEMERIKSAAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA,Jakarta:Sinar Grafika.

Soeroso, R, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika

Subekti,R.1997, Hukum Acara Perdata,Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman






[1]R. Soeroso,Praktik  Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[2]R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172

[3]Fatimah, Siti. Praktik Judicial Review di Indonesia: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar Media. 2005. Hal. 63
[4] M.Yahya Harahap,S.H.,KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG PEMERIKSAAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA,(Jakarta:Sinar Grafika.2008),h.477-485