=====
SOAL POLITIK HUKUM =====
1)
Sebutkan ciri-ciri politik hukum Orde Baru dan Orde
Reformasi? Jelaskan perbedaan antara keduannya?
2)
Apa yang saudara ketahui tentang Otonomi Daerah, jelaskan
asas-asas Otonomi Daerah dan mengapa pemerintah Orde Reformasi melaksanakan
Otonomi Daerah tersebut?
3)
Apa persamaan dan perbedaan GBHN (Garis Besar Haluan Negara)
dan PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional), jelaskan Politik Hukum yang
terkandung didalamnya?
4)
Apa yang saudara ketahui tentang hukum responsive, progresif
dan represif (tangan besi), jelaskan ciri-cirinya?
5)
Jelaskan Politik Hukum Fatwa DSN dalam tata hukum Indonesia?
======================
JAWABAN ======================
1)
Terkait dengan ciri-ciri politik hukum orde baru adalah sebagai berikut:
a. Bidang Politik
1.
Lembaga kepresidenan terlalu dominan
2.
Rendahnya kesetaraan diantara lembaga tinggi negara.
3.
Rekruitmen politik yang tertutup
4.
Birokrasi sebagai instrumen kekuasaan.
5.
Kebijakan publik yang tidak transparan.
6.
Sentralisasi kekuasaan.
7.
Implementasi hak asasi yang masih rendah.
b. Bidang ekonomi
1. Kebijakan mengutamakan pertumbuhan
ekonomi.
2. Pinjaman luar negeri.
3. Konglomerasi.Dwi fungsi ABRI
4. Politik Luar Negeri yang bebas aktif
Sedangkan
ciri-ciri dari masa reformasi adalah sebagai berikut:
1. Mengutamakan musyawarah mufakat.
2. Mengutamakan kepentingan masyarakat,
bangsa dan Negara.
3. Tidak memaksakan kehendak pada orang
lain.
4. Selalu diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
5. Adanya rasa tanggung jawab dalam
melaksanakan keputusan hasil musyawarah.
6. Dilakukan dengan akal sehat dan
sesuai dengan hati yang luhur.
7. Keputusan dapat dipertanggung
jawabkan secara moral kepada Than Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
8. Penegakan kedaulatan rakyat dengan
memperdayakan pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga
swadaya masyarakat.
9. Pembagian secara tegas wewenang
kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10. Penghormatan kepada beragam asas,
cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai.
11. Adanya kebebasan mendirikan partai
sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia.
Sedangkan
terkait dengan perbedaan politik hukum antara orde baru dengan orde lama salah
satunya yaitu terkait dengan tujuan politik hukumnya, politik hukum pada masa
orde baru memiliki kecenderungan untuk membawa hukum kuat ke arah liberalisasi
dan Kapitalisasi sistem ekonomi Indonesia. Titik berat arah politik hukum yang
diambil pemerintah saat itu adalah pembangunan nasional. Pembangunan nasional
ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni stabilitas nasional yang mantab,
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh
sebab itu maka konsekwensi logis dari Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan
Orde Baru yang dengan efisien dan efektif digunakan mengendalikan kekuasaan
politik di legislatif, kekuasaan birokrasi di eksekutif, maupun kekuasaan hukum
di yudikatif dan seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada masa orde baru,
visi dan konsep otonomi daerah lebih terfokus pada pembangunan ekonomi nasional
yang menekankan stabilitas, integrasi dan pengendalian secara sentralistik
melalui perencanaan yang terpusat. Sehingga konsep pemerintahan daerah menjadi
sentralistik dimana daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengurus dan
mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan politik hukum pada masa
reformasi saat ini, pemerintah lebih memfokuskan sistem otonomi daerah yang
pada hakekatnya merupakan kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya
pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus
diterima dan dilaksanakan dengan penuh tangung jawab. Ketergantungan daerah
pada pemerintah pusat, yang disebabkan konsep tersebut diatas (orde baru),
membuat daerah menjadi tidak kreatif dalam menghadapi permasalahan yang timbul
khususnya dalam hal krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Untuk itu
terjadi perubahan paradigma dalam UU pemerintahan daerah dari paradigma
pembangunan ke paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang
desentralistik. Pemerintah yang berkuasa pasca jatuhnya orde baru (masa
reformasi) membentuk UU pemerintah daerah dengan visi dan konsep yang berbeda
dengan pemerintah orde baru, yaitu dengan disahkannya UU no. 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang hubungan keuangan
pusat dan daerah. Menurut Ryas Rasyid, ada 3 hal yang menjadi visi dalam UU no
22 tahun 1999 tersebut, yaitu:
a. Membebaskan pemerintah pusat dari
beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal
agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk
mengurus urusan domestiknya.
b. Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi
dalam masalah makro nasional.
c. Daerah bisa lebih berdaya dan
kreatif
Visi
tersebut kemudian dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama
sebagai berikut:
a. Di bidang politik, karena otonomi
merupakan buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus
dibuka kemungkinan adanya peluang untuk lahirnya kepala daerah yang dipilih
secara demokratis, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif terhadap
kepentingan masyarakat luas, terpeliharanya mekanisme pengambilan keputusan
yang bertanggung jawab, adanya transparansi kebijakan, pembangunan struktur
pemerintahan yang sesuia dengan kebutuhan daerah, pembangunan sistem dan pola
karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta pengembangan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif.
b. Di bidang ekonomi, menjamin kelancaran
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus memberi kesempatan
bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan local untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah.
c. Di bidang sosial dan budaya, membangun
harmoni sosial sekaligus memelihara nilai-nilai local yang dipandang bersifat
kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di
sekitarnya.
Dan perbedaan lainnya yaitu terkait
dengan kebijakan politik hukum yang paling terlihat yaitu setelah
dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999 bahwasannya kekuasaan legislatif yang
semakin kuat (legislative heavy). Hal ini sangat bertolak belakang dengan
pelaksanaan yang terjadi pada masa orde baru, dimana pada masa itu kekuasaan
eksekutif yang sangat kuat (eksekutive heavy).
2) Otonomi daerah adalah kebebasan
dan kemandiran daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri. Sedangkan
menurut sarun dajang menyatakan bahwa otonomi daerah pada hakikatnya adalah :
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi
suatu daerah otonom, hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan
urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri
dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu
daerah.
b. Dalam kebebasan menjalankan hak
mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak
dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya.
c. Daerah tidak boleh mencampuri hak
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal
dan urusan yang diserahkan kepadanya.
d. Otonomi tidak membawahi otonomi
daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Selanjutnya
terkait dengan asas-asas pelaksanaan otonomi daerah terdapat tiga macam yaitu:
a. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa
hal, diantaranya: (1)desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan
kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3)
desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian
kekuasaan dan kewenangan; serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam
pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan menurut Bagir
Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi
negara, karena itu bersifat kepegawaian,kehadiran dekonsentarsi semata-mata
untuk ”melancarkan” penyelenggaraan Pemerintahan sentral di daerah. Penerapan
asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat legitimasi yang
kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi
“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayahnya. (UU No. 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 8).
c. Tugas pembantuan adalah penugasan
dari pemerintah kepada daerah dan atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan atau desa serta dari Pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu. Menurut Irawan Soejito tugas pembantuan itu
dapat berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas
eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk
mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Sebelum
menjelaskan tentang mengapa pemerintah orde reformasi melaksanakan otonomi
daerah? Akan penulis jelaskan latar belakang sejarah lahirnya otonomi daerah.
Sebenarnya pelaksanaan otonomi daerah mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1
Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah. Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak
tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan pemerintahan Orde Baru
(OB) menjalankan mesin sentralistiknya. Semua mesin partisipasi dan prakarsa
yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah
kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi
(pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak
prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Atas dasar itulah yang mendorong masyarakat
tidak menyukai sistem sentralistik yang diterapkan pemerintah. Paling tidak ada
dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah
berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai
protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor
eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan
investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai
akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang. Selanjutnya terkait
pertanyaan mengapa pemerintahan orde reformasi melaksanakan otonomi daerah? Ada
beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan pemerintah diantaranya
sebagai berikut:
1. Pemerintah sentralistik cenderung
menempatkan daerah sebagai “sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak
dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya
ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi
pembangunan sering terabaikan.
2. Tradisi sentralistik kekuasaan
melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu
ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh
dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya
sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang
memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari
ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana
ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak
berupa kerusakan lingkungan.
3. Pola sentralistik menyebabkan
pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi
yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta
petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan
lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.
4. Otonomi diharapkan menjadi freedom
atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi
ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan
sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan
menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat.
3) Terkait dengan perbedaan antara Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dengan Program Legislasi Nasional (Prolrgnas) yaitu kalau GBHN dapat
diberi pengertian sebagai pola umum pembangunan nasional, yaitu rangkaian
program-program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, yang
berlangsung secara terus-menerus. Rangkaian program-program pembangunan yang
terus-menerus itu dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti. termuat
dalam Pembukaan UUD 1945. Program-program itu pada hakikatnya adalah pernyataan
kehendak rakyat tentang masyarakat yang dicita-citakan. Dapat juga dikatakan
bahwa GBHN tidak lain adalah arah dan strategi pembangunan nasional untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang
dicita-citakan. GBHN menggariskan kebijaksanaan, langkah dan sasaran-sasaran
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Selanjutnya fungsi GBHN adalah sebagai
haluan ke arah mana pembangunan nasional ditujukan, dan sebagai alat untuk
mencitra masa depan negara. GBHN juga berfungsi sebagai ethos pembangunan
nasional. Ethos adalah tata perilaku, ethos pembangunan nasional berarti tata
perilaku bagaimana pembangunan nasional harus dilaksanakan. Sedangkan Prolegnas
menurut UU No. 12 Tahun 2011 adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Atau
menurut Moh Mahfud M.D menyatakan bahwa Prolegnas adalah instrumen perencanaan
pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis yang
memuat potret rencana hukum dalam periode tertentu disertai prosedur yang harus
ditempuh dalam pembentukannya. Selanjutnya terkait fungsi dari Prolegnas yaitu
sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang bertujuan agar adanya
suatu perencanaan yang matang dan mendalam dalam pembentukan undang-undang,
sehingga undang-undang yang dihasilkan kemudian adalah undang-undang yang
berkualitas, sinkron dengan peraturan lainnya, serta efektif dalam
pelaksanaannya. Proses penyusunanpun juga berbeda, kalau prolegnas terdapat beberapa
tahapan yaitu, pertama tahap kompilasi dan konsep Rencana Legislasi Nasional
(Relegnas), kedua tahap klasifikasi dan sinkronisasi Relegnas, ketiga tahap
konsultasi dan komunikasi, keempat tahap penyusunan naskah, dan yang kelima
tahap koordinasi dan penetapan Prolegnas. Sehingga penyusunan GBHN Prolegnas
kadang-kadang terdapat unsur politik lebih kuat untuk kepentingan penyokong
politik untuk mempertahankan kepentingan serta kekuasaannya. Sedangkan dalam
menyusun GBHN nyata sekali adanya partisipasi rakyat, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lembaga-lembaga pendidikan dan, kelompok atau orang-orang
professional, mereka ada yang diminta dan atas kemauan sendiri menyampaikan
sumbangannya. Peranan pers juga Nampak, dengan demikian nyata bahwa GBHN memang
berasal dari rakyat sebagai perwujudan dari asas demokrasi, nilai demokrasi
sungguh nampak dalam proses penyusunan GBHN tersebut, karena itu dalam masa
yang akan datang partisipasi rakyat dalam penyusunan GBHN perlu diteruskan dan
ditingkatkan. Selanjutnya terkait dengan persamaan antara GBHN dengan
Prolegnas, bahwasannya kedua program pemerintah ini sama-sama sebagai rencana
dan sarana untuk memprogramkan keinginan-keinginan pemerintah dimasa yang akan
datang jika GBHN yaitu arah dan strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang dicita-citakan, sedangkan
Prolegnas lebih kepada instrumen perencanaan pembentukan perundang-undangan.
4) a. Hukum responsive adalah hukum
sebagai suatu sarana respon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Hukum
responsive memiliki ciri-ciri yaitu:
a)Tujuan hukum berdasarkan kompetensi
b)
keadilan substansi yang dicari
c)Aturan hukum tunduk pada prinsip/asas/doktrin
dan kebijaksanaan
d)
Aspirasi hukum dan politik saling terintegrasi
b.
Selanjutnya terkait dengan pengertian hukum progesif adalah mengubah secara
cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta
melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia, atau
secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan,
baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu
membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada
manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam
menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan
dan kesejahteraan bagi semua rakyat. ciri-cirinya yaitu:
1.
Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia.
2.
Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3.
Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi
dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan
juga teori.
4.
Bersifat kritis dan fungsional.
c.
Sedangkan hukum represif adalah dimana hukum sebagai alat kekuasaan dari
pemerintah untuk menindas. Hukum
represif memiliki ciri-ciri yaitu:
a.
Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo penguasa,
kerapkali dikemukakan dengan dalih untuk menjamin ketertiban
b.
Aturan-aturan hukum represif keras dan terperinci, akan
tetapi lunak dalam mengikat para pembuat peraturan sendiri.
c.
Hukum tunduk pada politik kekuasaan.
5) Terkait dengan politik hukum
fatwa (DNS) dalam tata hukum Indonesia menurut penulis bahwasannya, dalam
pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh
konfigurasi politik yang melahirkannya. Untuk itu baik itu DSN maupun lembaga
lainnya juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Dalam konteks
politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di
Indonesia, termasuk fatwa DSN dan lembaga lainnya.
Lahirnya
fatwa hukum DSN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks
sosial politik itu terjadi. Fatwa DSN ini disamping merupakan produk politik
juga merupakan suatu kebutuhan masyarakat, karena mayoritas penduduk Indonesia
adalah orang Islam. Lucu kiranya apabila dinegara yang mayoritas Islam ini akan
tetapi didalam perundangan-undangannya tidak ada hukum Islamnya, karena hukum
tercipta dari perilaku baik sosial dan kebiasaan masyarakat yang dilakukannya.
Oleh karena itu tidak salah kalau pemerintah mengeluarkan fatwa ini sebagai
penunjang kebutuhan hukum masyarakat Islam pada khususnya dan bagi seluruh
masyarakat Indonesia pada umumnya. Selanjutnya terkait dengan kedudukan fatwa
dalam tata hukum di Indonesia bahwa dalam realitanya sebagian besar hakim agama
dan arbiter Basyarnas seringkali tak menjadikan fatwa DSN sebagai dasar
pertimbangan karena fatwa DSN bersifat tak mengikat seperti halnya Al-Qur’an,
Hadits, dan peraturan perundang-undangan, para hakim agama dan arbiter tak
melihat keterkaitan antara fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan, tetapi
lebih melihat kedudukan fatwa itu sendiri yang bukan dianggap sebagai sumber
hukum Islam yang utama. Akan tetapi menurut penulis Fatwa DSN bersifat
mengikat, dikarenakan dalam perkembangannya, pemerintah dalam hal ini yaitu
Bank Indonesia, Kementerian Keuangan atau Bapepam LK, seringkali melibatkan DSN
dalam menyusun peraturan. Misalnya, Keputusan Menkeu, Peraturan Bank Indonesia
(PBI), Peraturan Ketua Bapepam LK. DSN kerap diminta membuat fatwa terlebih
dahulu ketika pemerintah akan membuat aturan. Dengan demikian, fatwa DSN-MUI
menjadi pedoman atau dasar keberlakuan kegiatan ekonomi syariah tertentu bagi
pemerintah dan LKS. Jadi fatwa DSN itu bersifat mengikat karena diserap ke
dalam peraturan perundang-undangan, terlebih lagi adanya keterikatan antara DPS
dan DSN karena anggota DPS direkomendasikan oleh DSN, keterikatan itu juga
ketika melakukan tugas pengawasan, DPS harus merujuk pada fatwa DSN.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete