PEMBUKTIAN
DALAM PERKARA PIDANA
BAB 1 PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembuktian
Terkait dengan
pengertian pembuktian (hukum acara pidana) bahwasannya didalam KUHAP tidak
memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat
jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian,
akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari
pembuktian. Pengertian Pembuktian Hukum Acara Pidana menurut Subekti
misalnya, beliau memberi pengertian pembuktian yaitu meyakinkan Hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa”.
Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan membuktikan atau
pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu
peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sedangkan
didalam bukunya M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.[1]
Sedangkan pengertian hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum
acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu
pembuktian.
Ditinjau dari segi hukum
acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa
pedoman dan penggarisan bahwasannya penuntut umum bertindak sebagai aparat yang
diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang
didakwakannya kepada terdakwa dan sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum
mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan
penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. Terutama
bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan
kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.[2]
B.
Prinsip-Prinsip
Pembuktian
Didalam suatu pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip
pembuktian antara lain sebagai berikut:
1.
Hal
yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut
dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi
dua golongan, yaitu:
a.
Sesuatu
atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang
sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya,
harga emas lebih mahal dari perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa
misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan
Indonesia.
b.
Sesuatu
kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau
selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman
keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.[3]
2.
Menjadi
saksi adalah kewajiban
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159
ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke
suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak
kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang
yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”
3.
Satu
saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi
pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP
sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung
satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli,
satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim
cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.[4]
4.
Pengakuan
terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan
terdakwa
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian
terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
5.
Keterangan
terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini
berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima
dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa
sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan
yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti
terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari
beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat
bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat
dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.[5]
C.
Sistem
atau teori Pembuktian
Pembuktian
tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan
bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia
dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada
disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara
pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel berbeda dengan hukum acara
perdata yang cukup puas dengan kebenaran formel.Sejarah perkembangan hukum
acara pidana menunjukkan, bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk
membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini
bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).
Indonesia sama
dengan Belanda dan negara-negara Eropa continental yang lalin, menganut bahwa
hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri dan
bukan jury seperti Amerika Serikat dan negara-negara Anglil Saxon. Di
negara-negara tersebut belakang jury yang umumnya terdiri dari orang awam
itulah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang
terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana
(sentencing).[6]
Mencari
kebenaran materiel itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut
undang-undang sangat relative. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur
dan sangat relative. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat
pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja
berganti oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Oleh karena itulah dahulu orang
berpendapat bahwa alat bukti yang paling tepat dapat dipercaya ialah pengakuan
terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Diusahakanlah
memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan yang kana menenteramkan
hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran materiel itu. Dalam alasan
mencari kebenaran materiel itulah maka asas akusator yamg memandang terdakwa
sebagai pihak sama dengan dalam acara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan
asas inkisitor yang memandang terdakwa sevagai objek pemeriksaan, bahkan
kadang-kala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa.[7]
a.
Sistem
atau Teori Pembuktian Brdasarkan Undang-undang Secara Positif (Positief
Wettelijke Bewijs Theorie)
Dalam minilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal
beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian tang didasarkan melulu kepada
alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang disbut sistem atau teori
pembuktian berdasar undang-undang secara positif, karena hanya didasarkan
kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu undang-undang,
maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga
teori pembuktian formel.
Menurut D.Simons sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang
secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif
hakim dan mengkat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian
yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir)
dalam acara pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lago.
Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut
undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro
untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana mungkin hakim dapat menetapkan
kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal
kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mugkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.[8]
b.
Sistem
atau Teori Pembuktikan Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim
melulu. Teori ini disebut juga conviction intime. Disadari bahwa alat buktu
berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran,
pemgakuanpun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan
perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan bagaimanapun juga
keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah maka teori
berdasar keyakiana hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya
sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbutan yang didakwakan.
Dengan sistem ini pemindanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-lat
ukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembiktian demikian pernah
dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilandiskrik dan pengadilan kabupaten.
Sistem ini dikatakan memungkingkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium. Sistem ini member kebebasan kepada
hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau
penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini dapat
memidanakan terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa is telah melakukan apa yang
didakwakan. Praktek peradilan juri di Prancis membuat pertimbanagn
berdasarkanmetode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang
sangat aneh. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah
saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan acara
pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu (conviction intime).[9]
c.
Sistem
atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan hakim Atas Alasan yang Logis
(Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah nuncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori
ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan
mana didasar kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi,
pemutusan hakim dijatuhkan debgab suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian
ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut
alasan-alasan keyakinannya.
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau berdasar keyakinan
hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut
di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan
yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative.[10]
Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama verdasar atas
keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan
hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama
berpangkal tolak padakeyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan
kepada suatu kesimpukan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada
undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim
sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana
yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada
aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif. HIR maupun KUHAP,
begitu pula Ned. Sv. Yang lama dan yang baru, semuannya menganut sistem atau
teori pembuktian berdasarkan undang-undang negative. Hal tersebut dapat
disimulakan dari pasal 183 KUHAP, dahulu pasal 194 HIR. Pasal tersebut berbunyi
:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperileh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut
nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu
alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan
hakim diperoleh dari lat-alat bukti tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sama
saja dengan ketentuan yang tersebut pada pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim
mendapat keyakianan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi
perbutana yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang
bersalah melakukan perbutan itu.”
Sebenarnya sebelum
diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) pasal 6 yang berbunyi :
“Tiada seorang juga pun dapat dijatuhkan pidana kecuali apabila
pengadilan karena lat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah
atas perbuatan yang ditiduhkan atas dirinya.”[11]
Kelemahan rumus
undang-undang ini ialah disebut alat pembuktian, bukan alay-lat pembuktian,
atau seperti dalam pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti. Di negeri Belanda,
pada wakti konsep Ned. Sv., dibicarakan pertama kali, sebenarnya yang dicantumkan
ialah sistem pembuktian conviction raisonnee. Sesudah melalui perdebatan yang
panjang, antara yang ingin mengadakan perubahan seperti yang telah tercantum
dalam konsep rencana itu, dan pihak lain yang ingin mempertahankan sistem lama
yaitu negatief wettelijk, akhirnya golongan yang tersebut kedualah yang menang,
tetapi dengan suatu komsesi kepada pihak pertama conviction raisonnee, bahwa
pasal-pasal yang mengikat hakim dalam undang-undang harus dikurangi, sehingga
menjadi dua saja, ayitu yang dikenal sekarang degan pasal 341 ayat (4) dan 342
ayat (2) Ned. Sv.
Pasal 341 ayat (4) itu
mengatur bahwa kesalahan terdakwa tidak dapat dianggap terbukti atas pengakuan
salah terdakwa saja, melainkan harus ditambah dengan alat-alat bukti yang lain,
sedangkan pasal 342 ayat (2) mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidaklah cukup untuk menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti. Ini disebut
bukti minimum. Ketentuan tersebut mirip dengan KUHAP pasal 183 KUHAP sejajar
dengan pasal 341 ayat (4) Ned. Sv. Pasal itu mengatakan “hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah….”, selanjutnya pasal 185 ayat (2) KUHAP sama dengan pasal
342 ayat (2) Ned. Sv. Tersebut. Pasal itu mengatakan: “keterangan orang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya.”[12]
Dalam sistem atau teori
pembuktikan yang berdasar undang-undang secara negatif ini pemidanaan
dudasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang-undang
dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan hakim itu
bersumber pada peraturan undang-undang.
Hal tersebut terakhir
ini sesuai dengan pasal 183 KUHAP tersebut yag mengatakan bahwa dari dua alat
bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim. Dalam pasal 338 Ned. Svv. Ditegaskan
sejelas mungkin bahwa keyakinan itu sendiri hanya dapat didasarkan kepada isi
alat-alat bukti yang sah (yang disebut oleh undang-undang). Demikianlah
sehingga de Bosch Kemper mengatakan bahwa keyakinan itu, yang disyaratkan untuk
memidana, tiadalah lain dari pada pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah
(yang disebut oleh undang-undang). Penjelasan pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa
ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seorang. Ini sama bevar yabg tertulis oleh D.Simons bahwa
berdasarkan undang-undang pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku
untuk keuntungan terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada pidananya
orang yang tidak bersalah hanya dapat kadang-kadang memaksa dibebaskannya orang
bersalah.
Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh
KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar
undang-undang negative sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama
memang sudah layaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa
untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana
orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah
berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar
ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.[13]
D.
Alat-alat
Bukti dan Kekuatan Pembuktian
Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang
dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar
KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang
mengikat. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Berikut penulis akan
memberikan penjelasan mengenai alat bukti antara lain sebagai berikut:
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah
alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 KUHAP. Pada umunya tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi menurut
M. Yahya Harahap bahwa hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar
kepada pemerikasaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian
dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat
bukti keterangan saksi.[14]
Pengertian saksi dapat
kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tenyang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dalam
Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
1)
Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi
pengadilan
2)
Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3)
Ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4)
Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5)
Baik
pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi.
6)
Dalam
menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan :
a.
Penesuaiaan
antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.
Persesuaiaan
antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.
Alasan
yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d.
Cara
hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
7)
Keterangan
dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.[15]
Pada umumnya semua
orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang
menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undangini, maka tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a.
Keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah samapi derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b.
Saudara
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
c.
Suami
atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Selanjutnya dalam pasal
171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah
sumpah, yakni berbunyi :
a.
Anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b.
Orang
yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik
kembali.[16]
Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah mengatakan
bahwa:
“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang
sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu
jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
sempurna dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau
janji dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja”.[17]
Orang yang karena
pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan dari kewajibannya
untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
1)
Mereka
yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi.
2)
Hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi
yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami
adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)), bagaimana terhadap
keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga? Misalnya, pihak ketiga
menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian
demikian adalah disebut testimonium de auditu.[18]
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu
tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara
pidana yang mencari kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari
orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay
evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de
auditu perlu pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai
bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua
alat bukti yang lain. Andi Hamzah. Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang
prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam pasal 185 ayat
(2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang
didakwakan kepadanya”. Menurut D. Simons: “Suatu keterangan saksi yang berdiri
sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi
yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”.
M. Yahya Harahap megungkapkan
bahwa bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat (2), keterangan seorang
saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti
yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa
ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian
tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan
yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat
membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan seorang saksi tadi,
juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa. Akhirnya telah
terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan
terdakwa.[19]
b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat
bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari
keterangan saksi dilihat dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa
keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal
tersebut tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Andi
Hamzah dalam bukunya menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan
diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van
Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang
sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.[20]
Pengertian keterangan
ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap hanya bisa didapat dengan
melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar
dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal
179 dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas
pengertian ahli sebagai alat bukti :
1. Pasal 1 angka 28
Pasal ini memberi
pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28, M. Yahya
Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:
a.
Keterangan
ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian
khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara
pidana yang diperiksa.
b.
Maksud
keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi
terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik
menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus. Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan
ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan
menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
3. Pasal 133 (1) KUHAP
Dalam hal penyidikan
untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
4. Pasal 179 KUHAP menyatakan:
1)
Setiap
orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau
ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.
2)
Semua
ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang
terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133
ayat (1). Seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap (2002:300), ada dua kelompok
ahli:
1.
Ahli
kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman
sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
2.
Ahli
pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang
tertentu.
Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP,
maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di
depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan. Menurut
M. Yahya Harahap bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 186
KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang
sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:
Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.
Pada saat penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta
keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan
menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan. Atas
permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”. Laporan itu bisa
berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et
repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang
bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.
Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan dalam
laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang.[21]
Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang
Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada
diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau
penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika
hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan
menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada
ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam tata
cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan
hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia
memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang
demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli
tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus
keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli
dalam bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu
sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et repertum tetap
dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi lain alat
bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti saksi.
Apakah hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum memberikan nama pada
alat bukti tersebut tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembukti?[22]
M. Yahya Harahap, menegaskan bahwa keleluasaan hakim, penuntut
umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti
seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat
dalam penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat bukti itu, baik alat
bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-sama mempunyai
kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk
membenarkan atau menolaknya.[23]
c. Surat
Pengertian surat menurut
Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71)surat-surat adalah sesuatu yang mengandung
tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi
pikiran. Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti
surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan sejenisnya)
yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran
(diwujudkan dalam suatu surat). Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi
dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal
187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1.
Berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum yang
berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2.
Surat
yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi
tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
3.
Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
4.
Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.[24]
d. Petunjuk
Dalam KUHAP, alat bukti
petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.
Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a.
Ketrangan
saksi;
b.
Surat;
c.
Keterangan
terdakwa.
3.
Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.
Dari bunyi pasal
diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti yang
tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian,
haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan
memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain.[25]
e. Keterangan Terdakwa
Mengenai keterangan
terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:
1)
Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri.
2)
Keteranga
terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3)
Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4)
Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan sengaja
mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c.
KUHAP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai
alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa
sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua keterangan
terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.[26]
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi.1996.Hukum Acara
Pidana Indonesia.Jakarta: CV Sapta Artha Jaya.
Harahap, M. Yahya.2003.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali:
Edisi Kedua.Jakarta: Sinar Grafika.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita.2003.Hukum Pembuktian Dalam
Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Subekti. 2001.Hukum Pembuktian.Jakarta: Pradnya
Paramita.
Prinst, Darwan.1998.Hukum Acara Pidana Dalam Praktik.
Jakarta: Djambatan.
[1]
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi
Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.273
[2]
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.10
[4]
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi
Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.267
[5] M. Yahya Harahap,
(Jakarta: Sinar Grafika,2003), h. 321
[6] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV.
Sapta Artha Jaya,1996), h.257
[7] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.258
[8] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.259
[9] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.261
[10] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.261
[11] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.263
[12] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.264
[13] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.265
[14]
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2001),
h.17
[15] Subekti, Hukum
Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2001), h.18
[16] Hari Sasangka
dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.29
[17] Hari Sasangka
dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.30
[18]
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta:
Djambatan,1998), h.35
[19]
M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.237
[20] http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html.
Diakses Tanggal 8 September 2015.
[21] Darwan Prinst,
(Jakarta: Djambatan,1998), h.42
[22] Darwan Prinst,
(Jakarta: Djambatan,1998), h.42
[23] M. Yahya
Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.239
[24] M. Yahya
Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.241
[25] http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html.
Diakses Tanggal 8 September 2015.
[26] http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html.
Diakses Tanggal 8 September 2015.
Nice Post :)
ReplyDelete