AL-IRSYAD
AL-ISLAMIYYAH
(Untuk Memenuhi
Tugas UTS Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Iqtishadiyyah)
A.
Sejarah
Berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Pada mulanya Surkati datang ke Indonesia atas permintaan
perkumpulan Jamiat Khair yang berdiri pada 1905 dan mayoritas anggota dan
pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid (alawiyin).
Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya, yakni Syekh Muhammad Tayyib
al-Maghribi dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani. Di Indonesia, Surkati
giat melaksanakan pembaharuan dan menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan
masyarakat Islam Indonesia. Surkati diangkat sebagai penilik sekolah-sekolah
yang dibuka oleh Jamiat Khair, baik yang dibangun di Jakarta maupun di Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Surkati, dalam waktu satu
singkat, sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Surkati hanya bertahan tiga
tahun di Jamiat Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para
pengurus Jamiat Khair. Walaupun Jamiat Khair tergolong organisasi yang memiliki
cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang
menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para
pemuka Jamiat Khair dengan kerasnya menentang fatwa Surkati tentang kafaah
(persamaan derajat). Sehingga, karena tak disukai lagi, Surkati akhirnya
memutuskan mundur dari Jamiat Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawal 1332 H)
dan di hari itu juga Surkati bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah
Al-Irsyad, serta organisasi untuk menaunginya yang dinamakan
dengan Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah, yang kemudian berganti
nama menjadi Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah.[1]
Umumnya anggota organisasi Al-Irsyad terdiri dari orang Indonesia
keturunan Arab (yang berasal dari Hadrami atau Hadramaut), karena itu ada yang
menyebutnya sebagai organisasi orang-orang Arab, walaupun anggapan ini tidak
seluruhnya benar, sebab mengacu kepada AD/ART, Al-Irsyad adalah organisasi
Islam Nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar
Al-Irsyad adalah warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah
dewasa. Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga
keturunan Arab.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok
pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).
Tiga tokoh utama organisasi ini adalah Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad
Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.”
Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya
dan Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal
pelajaran resmi. Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang
benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya
dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang
Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik
pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang
Indonesia. Al-Irsyad juga berperan penting sebagai prakarsa Muktamar Islam I di
Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula,
Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S.
Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa
Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI)
dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI)
dan Amal Muslimin.
Al-Irsyad Al-Islamiyyah didirikan bertujuan untuk memurnikan
tauhid, ibadah, dan amaliyah Islam melancarkan berbagai program di bidang
pendidikan dan dakwah, dengan fokus pengembangan pada lima bidang utama, yakni
bidang pendidikan, bidang organisasi, bidang dakwah dan penerangan, bidang
usaha ekonomi, serta bidang kesejahteraan sosial dan budaya. Untuk merealisir
tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga
pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian,
kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa
rumah sakit; yang terbesar saat ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti
Khadijah di Pekalongan. Sedangkan di bidang dakwah dan penerangan, usaha dan
pengembangan yang dilakukan Al-Irsyad antaranya adalah membina anggota dan
masyarakat menjadi khaira ummah dengan mengefektifkan peran mubaligh,
melakukan pengkaderan ulama melalui pendidikan tinggi baik di dalam maupun di
luar negeri; penyelenggaraan dan pengembangan majelis taklim sebagai majelis
ilmu dan dakwah; intensifikasi dakwah di daerah-daerah terpencil yang rawan
karena masalah tekanan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan, menghidupkan
media massa (media tertulis) dengan misi dakwah sebagai sarana komunikasi dan
penyuluh umat. Berdasarkan data yang ada, menurut K.H. Abdullah Mubarak
al-Jaidi (Ketua Umum Al-Irsyad Periode 2007-2012), organisasi yang dipimpinnya
saat ini telah memiliki 134 cabang seluruh Indonesia, 23 wilayah propinsi, 250
sekolah, 5 pesantren mandiri, ada sejumlah rumah sakit, dan dalam waktu dekat
juga akan dibangun Sekolah Tinggi Dakwah Al-Irsyad (Koran Republika, 2011). Kemudian
sebagaimana organisasi keagamaan yang lain, dalam perkembangannya Al-Irsyad
telah membuka cabang dan berdiri dibeberapa daerah di Indonesia, termasuk di
Kalimantan Selatan. Secara singkat, kepengurusan (dinamakan dengan Pimpinan
Wilayah) Al-Irsyad di Kalimantan Selatan mulai dibentuk pada tahun 1989 melalui
kegiatan Musyawarah Wilayah Al-Irsyad I untuk masa bakti 1989-1991, di mana
pada masa ini Pimpinan Wilayah Al-Irsyad diketuai oleh H. Salim Thalib (bekas
pemilik Hotel Maramin dan sekarang telah diubah namanya menjadi Hotel Mentari
Banjarmasin) dengan sekretaris Drs. Muhammad Yusuf HB. Musyawarah tingkat
wilayah ini kemudian juga diikuti oleh Musyawarah Cabang Al-Irsyad Kota
Banjarmasin pada tahun yang sama dan berhasil mengukuhkan kepengurusan Pimpinan
Cabang (PC) Al-Irsyad Kota Banjarmasin periode 1989-1991 yang waktu itu
diketuai oleh H. Idrus Machdan (Pemilik Perusahan Jamu Rumput Fatimah). Adapun
markas atau sekretariat PW dan PC Al-Irsyad pada waktu itu beralamat di Jl.
Antasan Kecil Barat RT 26 No. 113 Banjarmasin (Kode Pos 70115). Pembentukan
pengurus Al-Irsyad diberbagai cabang di Kalimantan Selatan diikuti lagi oleh
cabang-cabang Al-Irsyad di kota lain, seperti Kabupaten Banjar (Martapura),
Kabupaten Barito Kuala, dan lain-lain.[2]
B.
Perkembangan
Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Berdirinya al-Irsyad tidak dapat dipisahkan dari organisasi Jamiat
Khair, karena kedatangan Syaikh Ahmad Soorkati ke Indonesia atas undangan
Jamiat Khair, sebagai guru di sekolah Jamiat Khair. Rupanya keharmonisan tidak
selalu seiring antara Ahmad Soorkati dengan Jamiat Khair, dengan adanya
peristiwa yang dikenal dengan ‘fatwa Solo’ maka pada tanggal 6 September 1914,
setelah 2 tahun mengabdi di Jamiat Khair, Soorkati mengundurkan diri, karena
dirinya merasa sudah tidak lagi diperlukan.
Keluar dari Jamiat Khair, Soorkati ditampung oleh Umar Manggus,
seorang pemuka masyarakat Arab di Jakarta yang bukan keturunan ‘Alawi, kemudian
beliau diberi kepercayaan untuk memimpin madrasah yang didirikan oleh komunitas
masyarakat Arab non-‘alawi. Madrasah tersebut diberi nama al-Irsyad
al-Islamiyah wa al-Irsyad al-‘Arabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan
al-Irsyad. Pada tanggal 11 Agustus 1915, al-Irsyad mendapat status hukum dari
pemerintah Belanda. Meskipun demikian, pihak al-Irsyad mencatat hari
kelahirannya pada 6 September 1914, yang bertepatan dengan dibukanya madrasah
pertama di Jati Petamburan, Jakarta.[3]
Seiring dengan kemajuan al-Irsyad, pihak ‘Alawi cemburu berat. Lalu
mereka melakukan maneuver-manuver politik yang sifatnya fitnah. Bahkan, mereka
pun sempat mendekati konsul Inggris, agar para anggota al-Irsyad tidak boleh
memasuki wilayah jajahan Inggris. Tidak hanya itu, untuk melaksanakan ibadah
haji saja, mereka dihalang-halangi, dengan berbagai cara, antara lain
memberikan informasi yang tidak benar kepada pihak-pihak yang berwenang.
Pada tahun 1920, semua bentuk larangan dan hambatan yang dilakukan
pemerintah Inggris terhadap jamah al-Irsyad bisa dicairkan. Upaya-upaya untuk
berdamai dengan ‘Alawi pun mulai dirintis. Menyadari keadaan yang tidak juga
membaik, dan demi kerukunan antar masyarakat, Soorkati mengundurkan diri dari
al-Irsyad, tahun 1921.
Soorkati mundur dari al-Irsyad karena ia ingin perguruan yang
dikelolanya itu maju. Agar bias maju, diperlukan beberapa persyaratan antara
lain hadirnya guru-guru yang berkualitas, sistem pendidikan dan sarana
penunjang. Semua itu memerlukan dana, sementara al-Irsyad sebagai ormas yang
belum kuat secara finansial, belum mampu menopang keinginan Soorkati tersebut.
Maka, Soorkati memutuskan untuk mundur sementara, lalu ia berdagang, dengan
harapan hasil upayanay itu nantinya bias mengembangkan perguruan al-Irsyad,
sebagaimana yang ia cita-citakan.[4]
Pada tahun 1923,
Soorkati merintis lembaga pendidikan diluar stuktur organisasi al-Irsyad.
Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah namanya, didanai oleh para dermawan yang dekat
dengan Soorkati. Walhasil, madrasah yang didirikan Soorkati berhasil dan maju
pesat, sementara madrasah milik jamiah al-Irsyad, yang ditinggalkannya
mengalami kemunduran. Semua madrasah al-Irsyad dimaksudkan untuk menampung atau
menerima semua anak-anak Muslim bukan hanya keturunan Arab. Tidak seperti
pondok pesantern yang menekankan penghafalan masalah teologi dan hokum, sekolah
al-Irsyad mencoba membekali siswanya dengan ajarn Islam yang komprehensif.
Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena merupakan basis dari
ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim. Al-Irsyad lebih memilih
karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai cara terbaik menghidupkan
kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep reformasi yang dijelaskan lebar
oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa revitalisasi Islam akan
terjadi. Keberhasilan al-Irsyad mendapat tempat yang dihormati oleh masyarakat
Muslim Indonesia adalah bukti ketangguhannya mencoba menjalankan kegiatan
pendidikan. Al-Irsyad berhasil mendapatkan dukungan dari dalam dan luar, yaitu
masyarakat Muslim Indonesia dan reformis Mesir. Tak lama setelah madrasah al-Irsyad
didirikan, kontak dengan gerakan Muslim modern yang lain menjadi lebih erat,
khususnya dengan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini membentuk tahap awal
pembentukan gerakan reformasi di daerah koloni. Al-Irsyad didirikan untuk
menyebarkan paham modernisme Islam, organisasi ini tidak begitu peduli dengan
membentuk sistem yang mencerminkan sifat penduduk asli, bahkan mencoba
menghilangkan kepercayaan setempat dan tindakan yang bertolak belakang dengan
ajaran aslinya. Al-Irsyad tidak mencoba menyerupai pondok pesantren yang
menjadi pusat pembelajaran Muslim tradisional. Sebaliknya, Al-Irsyad berjalan
bersama Muhammadiyah di Jawa dan mewakili usaha-usaha memerangi ide-ide kuno
dan mendidik Muslim Indonesia cara-cara hidup modern. Dari segi pendidikan Al-Irsyad
lebih memperhatikan bagaimana membekali siswa-siswanya dengan pendidikan agama,
yang akan membantu mereka berhadapan dengan ide-ide reformasi. Adapun secara
umum tujuan pendidikan pada sekolah-sekolah yang bernaung di bawah al-Irsyad
adalah pembentukan watak, pembentukan kemauan serta latihan untuk melaksanakan
kewajiban.[5]
Dikenal sebagai
cendekiawan dan intelektual Ahmad Soorkati tidak menulis banyak buku. Tetapi
beliau lebih banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang ada hubungannya dengan
pelaksanaan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari tulisan-tulisannya tampak
Ahmad soorkati menyadari kaum Muslim di Indonesia masih sangat lemah dan ia
berkeinginan menebalkan keimanan mereka. Keadaan moral, social dan intelektual
juga sangat rendah, ditandai dengan adanya kebiasaan yang sangat tidak
dianjurkan Islam. Melihat kondisi ini Ahmad Soorkati menyimpulkan, bahwa jalan
keluarnya adalah kembali mengajarkan Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW, ia berpendapat tujuan inilah yang terpenting dari semua tujuannya. Tujuan-tujuan
itu dipaparkan Ahmad Soorkati dalam pengantar yang ditulisnya di al-Dhakirah :
1.
Memperlihatkan
hadis-hadis yang palsu dan kisah-kisah yang direkayasa, namun dipercayai
sebagai ajarn Islam oleh Muslim di Indonesia
2.
Untuk
membuktikan bahwa argumentasi-argumentasi yang kontra-Islam salah dengan
menggunakan dalil al-Qur’an dan hadis Nabi. Ia juga berharap dengan cara ini
Muslim Indonesia akan melaksanakan rukun Islam dengan benar
3.
Untuk
menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kebajikan, sesuai untuk
segala zaman dan semua Negara
4.
Untuk
mendorong kaum Muslim agar mengikuti kemajuan dan tidak didekte oleh kekuasaan
atau pengaruh asing.[6]
C.
Pemikiran
Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang dipelopori
oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut
secara intensif memasuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak
personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur
Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan
lain-lainnya. Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena
merupakan basis dari ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim.
Al-Irsyad lebih memilih karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai
cara terbaik menghidupkan kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep
reformasi yang dijelaskan lebar oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa
revitalisasi Islam akan terjadi.[7]
Untuk itu, mereka yang menjadi anggota Al-Irsyad mesti memahami
prinsip atau mabadi Al-Irsyad, yakni:
1.
Memahami
ajaran Islam dari Alquran dan Sunnah serta bertahkim kepada keduanya;
2.
Beriman
dengan akidah Islamiyyah yang berdasarkan nash-nash kitab Alquran dan Sunnah
yang sahih sebagaimana pemahaman sahabat atau
kalangan salafussalih, terutama bertauhid kepada Allah dengan ketauhidan
yang bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat;
3.
Beribadat
menurut tuntunan Alquran dan Sunnah Rasul-Nya, bersih dari bidah;
4.
Berakhlak
dengan adab susila yang luhur, moral dan etik Islam serta menjauhi
adat-istiadat, moral dan etik yang bertentangan dengan Islam;
5.
Memperluas
dan memperdalam ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi dan ukhrawi yang
diridhai Allah Swt;
6.
Meningkatkan
kehidupan dan pengetahuan duniawi, pribadi dan masyarakat selama tidak
diharamkan oleh Islam dengan nash, serta mengambil manfaat dari segala alat dan
cara teknis, organisasi, dan administrasi modern yang bermanfaat bagi pribadi
dan umat, materil, moril, dan spirituil;
7.
Bergerak
dan berjuang secara terampil dan dinamis dengan pengorganisasian dan koordinasi
yang baik bersama-sama organisasi-organisasi lain dengan jiwa ukhuwah
Islamiyyah dan kesetiaan.[8]
Perkembangan oganisasi Al-Irsyad kurang begitu pesat jika
dibandingkan dengan organisasi yang lahir jauh sesudahnya seperti Muhammadiyah
dan NU. Hal ini bisa dilihat karena kebanyakan para pengurus dan pendukung
organisasi ini adalah dari kalangan keturunan Timur Tengah. Adanya jarak antara
masyarakat keturunan Arab dgn pribumi menyebabkan sosialisasi organisasi ini
kurang menyentuh atau melebar ke masyarakat pribumi.Dilihat dari pergerakan
keorganisasiannya Al-Irsyad lebih cenderung penekanannya dalam bidang sosial
pendidikan. Mengenai masalah perpolitikan organisasi ini cenderung bersifat
netral atau kurang menyentuhnya sehingga pada hal-hal yang justru mengandung
nilai perjuangan yang tinggi yaitu perjuangan untuk ummat Islam dapat
menjalankan syari’atnya dgn kafah di negara RI kurang mendapat respon.
Jika dirunut, genealogi pemikiran keislaman Al Irsyad bermula dari
kehadiran Ahmad Surkati di Indonesia. saat itu, surkati merasa menghadapi
masyarakat yang memiliki kesamaan ciri dengan yang dihadapi Muhammad Abdul
Wahab pada masanya. baik Surkati maupun Abdul Wahab sama-sama dihadapkan pada
persoalan yang sangat mendasar dalam agama islam yakni Tauhid, kehadiran
Surkati di Indonesia, khususnya dikota Solo, membuat dia merasa prihatin dengan
kemurnian ajaran tauhid yang berkembang dimasyarakat. Meskipun agama islam
telah berkembang cukup lama di Indonesia, namun pengaruh Hindu-Budha maupun
budaya lokal masih sangat kuat, apa lagi di kota Solo yang merupakan pusat
situs kerajaan besar di Indonesia, tentu persinggungan islam dengan budaya
setempat masih sangat insentif. Meyikapi kondisi yang demikian, Ahmad Surkati
pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan. Apa bila di
bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab, maka terdapat kemiripan,
sebagai contoh, Surkati mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut:[9]
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang
sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka
menjadikan pendapat seseorang sebagai dalil agama, Surkati menyatakan adapun
taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalil agama tidak
diperbolehkan oleh Allah dan Rosull-Nya, para sahabat maupun para ulama
terdahulu, dan merupakan bid’ah yang sesat.[10]
Kedua, meminta syafa”at. Ia mengatakan kepada orang yang sudah
minta dan bertawasul dengan Mereka, Surkati menyatakan sebagai perbuatan yang
munkar dan bid’ah. Meminta syafa’at kepada orang mati atau bertawasul kepada
mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan
oleh Rasulullah SAW, al Khulafa’al Rasyidan ataupun oleh para Mujtahid, baik
bertawasul dengan Rasul sendiri atau dengan yang lain. Selain itu, hal tersebut
merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam ruang lingkup al Din. Setiap yang
baru dalam agama adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang
sesat akan masuk neraka.[11]
Ketiga, dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan
kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh
salah seorang anggota keluarganya, ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata
;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan ’’.Kemudian si
penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’. Bagi Surkati, perbuatan ini
dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama, dan merupakan
perbuatan bid’ah.[12]
Keempat, dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di
kubur Surkati melihatnya sebagai perbuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al
Qur’an dan Hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat.[13]
Kelima, perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah
maulid Nabi Muhammad saw, bagi Surkati bukan perbuatan agama, namun demikian
apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama, atau termasuk
dalam ruang lingkup agama, maka perbuatan tersebut tetap di anggap sebagai
perbuatan bid’ah.[14]
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Surkati adalah
perbuatan bid’ah. Alasannya, melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan
dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati. Menurut
Sukarti pula, ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut
pernah dirawihkan orang dari Nabi Muhammad, atau dari para sahabat, walaupun
diajarkan oleh salah satu imam yang keempat. Dari berbagai sumber rujukan dapat
disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi
ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut. Itu
berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.[15]
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang
yang baru ditimpah musibah kematian menurut Surkati, merupakan perbuatan Bid’ah
dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Sukarti menilai parbuatan tersebut
sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah. Dan perbuatan
terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan
makanan, sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah
makanan bagi keluarga Jafar, sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat
mereka lupa makan”.[16]
Kedelapan, adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah
shalat wajib lima waktu menurut Surkati, merupakan perbuatan bid’ah dan
bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai
perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulullah selesai sholat
wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi
kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat
Muslim.[17]
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa
”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi
lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki
pemahaman keberagaman muslim Indonesia. Deliar Noor menyatakan, seperti halnya
seperti Modernis muslim Indonesia yang lain, pemikiran-pemikiran yang
berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang
berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab
(dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia
pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di
Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui
penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.[18]
D.
Metode
dan Pendekatan oleh Ahmad Surkati dalam Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Pendekatan yang dilakukan oleh Ahmad Surkati adalah memperhatikan
muridnya dari segi budi pekerti dan intelektual, pemikiran yang mampu diterima
oleh muridnya, menggunakan pendekatan rasional dalam pembelajaran, personal
psikologis dan konseling dalam memahami minat, bakat dan kemampuan siswanya.
Metode yang digunakan oleh Ahmad Surkati adalah diskusi, praktek,
ceramah, keteladanan. Ahmad Surkati mengatakan bahwa untuk mendapatkan
pemahaman dan pengertian yang luas dalam menafsirakan Al-Quran seorang mufassir
hendaknya pertama, menguasai berbagai ilmu, ilmu agama Islam maupun ilmu-ilmu
umum lainnya. Kedua, menggunakan pendekatan ma’thur yaitu memahami dan
menafsirkan Al-Quran berdasarkan keterangan Al-Quran dan Hadits. Ketiga, pendekatan
tauhid.
Kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Ahmad Surkati adalah pakar
pendidikan berbagai bidang beberapa disiplin ilmu. Hal ini dapat ditilik dari
konsep-konsep yang lebih bersifat aplikatif dan berdaya guna Qur’an dan Hadits.
Dan juga sebagai jawaban serta penjelasan dari berbagai bentuk pertanyaan yang
diajukan padanya.
Di antara karya-karya Ahmad Surkati itu ada yang berbentuk buku dan
risalah, ada pula yang berbentuk artikel di majalah dan surat kabar. Karya itu
baik yang sudah diterbitkan dalam bahasa aslinya (bahasa Arab), yang telah
diterjemahkan, atau yang belum sempat dicetak dan berbentuk tulisan tangan yang
disimpan murid-muridnya di Al-Irsyad, antara lain:
1.
Risalah
Surat al-Jawab (1915); risalah ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan
oleh H.O.S. Tjokroaminoto, yang kala itu sebagai pimpinan redakis surat kabar
Suluh Hindia, seputar permasalahan kafa’ah.
2.
Risalah
Tawjih Al-Qur’an ila Adab Al-Qur’an (1917); merupakan risalah yang berisikan
argumentasi pada Surat al-Jawab yang dikaji berdasarkan catatan sejarah Nabi
serta dikuatkan oleh dalil-dalil dari Alquran dan hadis.
3.
Al-Dzakirah
Al-Islamiyah (1923); majalah bulanan yang diterbitkan oleh Ahmad Surkati
sendiri dengan dibantu oleh beberapa anggota sebagai staf redaksi.
4.
Al-Masail
At-Thalat (1925); berisikan pembahasan seputar pemurnian ajaran Islam yang
mencakup Ijtihad, Taqlid, Sunnah dan Bid’ah, serta tentang ziarah kubur dan
tawashul melalui para Nabi dan orang-orang yang dipandang shaleh.
5.
Al-Wasiyyat
Al-Amiriyyah (1918); Sebuah buku yang diterbitkan di Surabaya yang berisikan
anjuran untuk berbuat kebajikan.
6.
Zedeleer
Uit Den Qor’an (1932); Buku ini merupakan buku terjemahan ke dalam bahasa
Belanda. Adapun buku aslinya adalah Al-Adab al-Qur’aniyah.
7.
Al-Khawatir
Al-Hisan (1941); Buku yang berisikan kumpulan sajak yang dibuat oleh Ahmad
Surkati di masa tuanya, dimana kala itu dia mengalami penyakit mata hingga
menyebabkannya buta.[19]
E.
Tokoh-tokoh
Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Kedatangan Surkati di pulau Jawa bulan Maret 1911 ternyata kemudian
menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia yaitu
sejarah pekembangan faham pembaharuan Islam di Indonesia terutama karena
kegiatannya yang suka bergelut dalam bidang pendidikan ketimbang keorganisasian
Al-Irsyad itu sendiri. Pada saat Ahmad Surkati mengujungi sahabatnya Awad
Sungkar Al-Urmei di Solo tahun 1912 dalam perjalanannnya bertemu dengan tokoh
pribumi yang sedang asyik membaca majalah Almanar dan mengaguminya karena
kemampuannya membaca bahasa Arab. Di samping itu memang karena jalan pikirannya
yang sama tentang pemahaman pemurnian aqidah sehingga keduanya menjadi akrab.
Dalam pertemuan dan perkenalannya inilah terjadi tukar pikiran antara keduanya
sampai pada kesimpulan yang mengandung tekad mereka berdua untuk sama-sama
mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia.
Pada waktunya di kemudian berkembang pesatlah organisasi pembaharu
yang menjadi terkenal dan besar di Indonesia hingga saat ini yaitu Al-Irsyad
Al-Islamiyah dan kemudian menyusul pada tahun 1912 berdiri Muhamadiyah oleh
Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dan pada tahun 1923 berdiri pula organisasi yang
sepaham yaitu Persatuan Islam di Bandung.[20]
Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yang disahkan
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tercatat pengurus pertamanya adalah
a.
Salim
bin Awad Balweel sebagai ketua.
b.
Muhammad
Ubaid Abud sebagai sekretaris.
c.
Said
bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
d.
Saleh
bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal pada hari Selasa
tanggal 19 Syawwal /31 Agustus 1915 telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam
rapat itu diputuskan susunan pengurus untuk kepentingan intern. Pengurus ini
dilengkapi dengan 19 orang sebagai komisaris yang berkewajiban mengawasi
jalannya perhimpunan dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya yaitu:
a.
Ja’far
bin Umar Balfas.
b.
Abdullah
bin Ali Balfas.
c.
Abdullah
bin Salmin bin Mahri.
d.
Abdullah
bin Abdulqadir Harharah.
e.
Sulaiman
bin Naji.
f.
Ahmad
bin Thalib.
g.
Muhammad
bin Said Aluwaini.
h.
Ali
bin Abdullah bin ‘On.
i.
Mubarak
bin Said Balwel.
j.
Awad
bin Said bin Eili.
k.
Said
bin Abdullah Basalamah.
l.
Awad
bin Ja’far bin Mar’ie.
m.
Salim
bin Abdullah bin Musa’ad.
n.
Said
bin Salim bin Hariz.
o.
Aid
bin Muhammad Balweel.
p.
Abud
bin Muhammad bin Al-Bin Said.
q.
Ghalib
bin Said bin Thebe’.
r.
‘Abid
bin Awad Al-’Uwaini dan
s.
Mubarak
Ja’far bin Said.
t.
Sayyid
Abdullah bin Alwi Alatas.[21]
Selain itu terdapat tokoh-tokoh terhormat dan terpercaya lainnya
yang juga tidak masuk dalam kepengurusan seperti Sayyid Abdullah bin Abudakar
Al-Habsyi Sayyid Abdullah bin Salim Alatas dan masih banyak lagi tokoh-tokoh
lainnya, tokoh tokoh tersebut tercatat sebagai lulusan Al-Irsyad, baik dari
kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di
berbagai bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme
Islam di Indonesia antara lain:
1.
Yunus
Anis:
Alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol
dari Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki “tulang punggung
Muhammadiyah” karena pengabdiannya sebagai sekretaris jenderal di organisasi
tersebut selama 25 tahun.
2.
Prof.
Dr. T.M. Hasby As-Shiddique:
Putera asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir,
dan fikih Islam moderen. Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah
menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup).
3.
Prof.
Kahar Muzakkir:
Berasal dari Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar
Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo. Ia sangat aktif berjuang
untuk kemerdekaan Indonesia dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni
1945. Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
4.
Muhammad
Rasjidi:
Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari
Yogyakarta. Ia pernah menjadi professor di McGill University di Montreal,
Kanada, dan juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya
menulis banyak buku.
5.
Prof.
Farid Ma’ruf:
Asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar
Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini sempat
menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.
6.
Al-Ustadz
Umar Hubeis:
Jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad
Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin
Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia
juga menjadi professor di Universitas Airlangga, Surabaya. Semasa ia hidupnya
beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih. Yang terkenal adalah Kitab
FATAWA.
7.
Said
bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani:
Lulusan Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi
professor di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih.
Di kalangan cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih
Al-Irsyadiyin (cendekiawan terkemuka di bidang hukum Islam dari Al-Irsyad).
Sayang kebanyakan bukunya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab, belum
diterjemahkan.
8.
Abdurrahman
Baswedan:
Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah
menjadi Wakil Menteri Penerangan RI. Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000),
yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000,
terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys
Amar SH yang telah menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000). Perhimpunan
Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen
anggota masing-masing. Yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri
Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang tengah
menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa.
Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama
komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen
1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar
Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah
memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis
Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis
Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang
beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan ahli).[22]
F.
Kemunduran
Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Namun perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian
menurun drastic dengan sebab sebagai berikut:
1.
Masuknya
pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia
2.
Meninggalnya
Syekh Ahmad Surkati pada 1943
3.
Revolusi
fisik sejak 1945
4.
Banyak
sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas
laskar pejuang kemerdekaan
5.
Beberapa
gedung milik Al-Irsyad yang dirampas Belanda berpindah tangan, tanpa bisa
diambi l lagi oleh Al-Irsyad.[23]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Thaba dan Affan Ghaffar.1996.Dalam Islam dan Negara
dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insai Press.
Hasjmy, A.1981.Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia.Bandung: Al-Maarif.
Madjid, Nurcholis.1992.Islam Doktrin dan Peradaban.Jakarta:
Paramadina.
Gottschalk, Louis.1985.Mengerti Sejarah.Terj Nugroho
Notosusanto.Jakarta: Gramedia.
Mohammad, Herry.2006.Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20.Jakarta:
Gema Insani.
Azyumardi, Azra.1999.Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan
Islam Cet. 1..Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Dewan Ensiklopedi Islam.1993.Ensiklopedi Islam, Jilid I.
Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
www.alirsyad.org.
www.torehanseorangguru.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3
Desember 2015.
www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember
2015.
www.muhtarom84.blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015.
www.istanailmu.com/archives-2011/inovasi-pendidikan-islam-al-irsyad/html.Di
Akses Pada Tanggal 3Desember 2015.
www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember
2015.
[1] Abdul Aziz Thaba dan Affan Ghaffar, Dalam Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insai Press,1996),h.58
[2] A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Maarif,1981),h.37
[3] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina,1992),h.18
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto,
(Jakarta: Gramedia,1985),h.24
[5] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto,
(Jakarta: Gramedia,1985),h.25
[6]
www.torehanseorangguru.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
[7]
www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
[8] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto,
(Jakarta: Gramedia,1985),h.27
[9]
www.muhtarom84.blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
[10] Azra Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan
Islam Cet. 1., (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.25
[11] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.25
[12]
Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.26
[13] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.26
[14] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.27
[15] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.28
[16] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.28
[17] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.29
[18] Azra Azyumardi,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.30
[19]
www.istanailmu.com/archives-2011/inovasi-pendidikan-islam-al-irsyad/html. Di
Akses Pada Tanggal 3Desember 2015.
[20] Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
(Jakarta: Gema Insani,2006),h.48
[21]www.alirsyad.org
[22] Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I.,(Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993),h.17
[23]
www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
No comments:
Post a Comment