KEKUASAAN BADAN
PERADILAN AGAMA
(Untuk Memenuhi
Makalah Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia)
BAB
2 PEMBAHASAN
A.
Kekuasaan
Peradilan Agama
Kata “kekuasaan” di sini sering
disebut juga dengan “kompetensi”, yang kadandg-kadang diterjemahkan juga dengan
“wewenang”, sehimgga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Berbicara tentang
kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Peradilan, biasanya
menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relatif” dan “kekuasaan absolut”.[1]
1.
Kekuasaan
Absolut (Mutlak) Badan Peradilan Agama
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan
pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya misalnya, pengadilan agama
berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam sedangkan bagi
yang selain islam menjadi kekuasaan peradilan umum. Pengadilan agamalah yang
berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung
berperkara di pengadilan tinggi agama atau di mahkamah agung.[2]
Berdasarkan uraian diatas dapat
disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi absolut) peradilan meliputi
bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam pasal 49 UU Nomor 50
Tahun 2009 (3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1989) dan berdasarkan
atas asas personalitas keislaman. Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu
dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah
bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu
menurut bustanul arifin, peradilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan
keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, seperti yang terdapat di
beberapa negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang
menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah jangkauan tugasnya
berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus
dipenuhi oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus disesuaikan dengan
tugas-tugas yang diemban peradilan agama.
Selanjutnya ditegaskan bahwa
peradilan agama sebagai peradilan keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai
peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara
tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan
kepadanya. Namum, peradilan agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak
menimbulkan kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang mencari
keadilan. Disamping itu, peradilan agama harus pula diarahkan sebagai keluarga
yang akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian pula pada saat
akan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga suasananya
benar-benar mausiawi dan kekeluargaan.
Sesuai dengan kompetensi absolute pengadilan
agama yaitu perkara bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infak shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam hal ini akan saya jelaskan secara
rinci.[3]
a.
Kewenangan
mengadili perkara bidang perkawianan
Di atas telah dijelaskan bahwa kewenangan absolut peradilan agama
meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infak shadaqah, dan ekonomi syariah. Mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat
(2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, pasal 49 ayat (2)
ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut ke dalam 22 butir, yaitu:
a. izin beristri lebih dari seorang;
b. izin melangsungkan perkawinan bagi
orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau
wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c. dispensasi kawin;
d. pencegahan perkawinan;
e. penolakan perkawinan oleh Pegawai
Pencatat Nikah;
f. pembatalan perkawinan;
g. gugatan kelalaian atas kewajiban
suami atau istri;
h. perceraian karena talak;
i.
gugatan perceraian;
j.
penyelesian harta bersama;
k. penguasaan anak-anak;
l.
ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana
bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
m. penentuan kewajiban memberi biaya
penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi
bekas istri;
n. putusan tentang sah atau tidaknya seorang
anak;
o. putusan tentang pencabutan kekuasaan
orang tua;
p. pencabutan kekuasaan wali;
q. penunjukkan orang lain sebagai wali
oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
r.
menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal
tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
s. pembebanan kewajiban ganti kerugian
terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;
t.
penetapan asal usul seorang anak;
u. putusan tentang hal penolakan
pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, dan
v. pernyataan tentang sahnya perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.[4]
Bidang kewarisan yang menjadi tugas
dan wewenang peradilan agama disebutkan dalam pasal 49 ayat (3) UU No 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989) tentang peradilan agama sebagai
berikut:[5]
1.
penentuan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2.
penentuan
mengenai harta peninggalan;
3.
penentuan
masing-masing ahli waris;
4.
melaksanakan
pembagian harta peninglan tersebut.
Mengenai butir huruf j tersebut
diatas, yaitu tentang penyelesaian harta bersama, sekarang telah menjadi
wewenang peradilan agama dan diselesaikan di pengadilan agama. Penyelesaian
harta bersama di lingkungan peradilan agama, diajukan oleh suami atau isteri,
atau dapat pula diajukan oleh suami atau isteri, atau dapat pula diajukan oleh
bekas suami atau bekas isteri. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) UU
No 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa permohonan atau gugatan harta bersama
dirumuskan dengan jelas dan dapat dilakukan bersama-sama dengan pokok-pokok
perkara perceraian.
Sehubungan dengan jenis-jenis
perkara di bidang perkawinan di atas, mungkin menimbulkan pertanyaan bagaimana
pengertian kata-kata “antara orang-orang yang beragama Islam” seperti yang
disebutkan dalam pasal 49 ayat (1) UUNo 7 Tahun 1989, jika seumpamanya suami
isteri berlainan agama (suami Islami, isteri bukan Islam atau sebaliknya), atau
suami isteri pindah agama sesudah kawin, baik kedua-duanya atau hanya salah
satunya saja? Begitu pula bagaimana kalau calon suami dan calon isteri
berlainan agama dan salah satunya misalnya memerlukan izin kawin dari pengadilan
agama? Selanjutnya bagaimana pula misalnya seorang anak (baru berusia 12 tahun)
mau menggugat nafkah anak terhadap ayah dan ibunya sudah bercerai dan tidak
lagi tinggal serumah dengan si anak, padahal ayahnya beragama non Islam, ibunya
beregama Islam dan perkawinan ayah-ibunya dahulu tercatat di PPN (Pegawai
Pencatat Nikah).
Mengenai kewenangan pengadilan agama
ini dapat ditambahkan mengenai wali adhal. Wali adhal adalah wali yang enggan
atau menolak tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan pria pilihan anaknya
itu. Dalam keadaan seperti itu, pihak calon mempelai perempuan berhak
mengajukan permohonan ke pengadilan agama, agar pengadilan memeriksa dengan
menetapkan wali adhalnya. Jadi, apabila ada wali adhal, maka wali hakim baru
dapat melaksanakan tugas sebagai wali nikah, setelah ada penetapan dari
pengadialan agama tentang adhal-nya wali.[6]
b.
Kewenangan
mengadili perkara bidang kewarisan, wasiat dan hibah
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak
ada masalah hukum yang lebih membingungkan dari pada masalah waris; masalah
yang mudah sekali menimbilkan kekacauan dan perdebatan seru di kalangan para
ahli hukum maupun aktivis politik. Banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang
diterbitkan sejak permulaan abad ini. Namun masih belum nampak ada kesimpulan
yang menyeluruh dan belum pernah pula di coba membuat undang-undang yang
mengatur masalah waris untuk seluruh Indonesia. Hanya dalam UU Agraris Tahun
1960, diketemukan beberapa ketentuan yang meyangkut waris, terutama dalam
bentuk bahan penelitian dan administrasi.
Menurut pasal 49 ayat (3) UU No 7
Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama di bidang kewarisan, yang disebut dalam
pasal 149 ayat (1) huruf b, adalah mengenai (a) penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris; (b) penentuan harta peninggalan; (c) bagian masing-masing
ahli waris; dan (d) melaksanakan pembagian harta peninggalan. Dalam pasal 2 jo.
Pasal 49 ayat (1) jo. Penjelasan umum angka 2 alinia ketiga telah ditentukan
bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas personalitas
keislaman. Oleh karena itu, dengan mengkaitkan asas ini dengan ketentuan pasal
49 ayat (1) huruf b, jo. Penjelasan umum angka 2 alinea ketiga tersebut,
berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perkara kewarisan, meliputi
seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam hal
terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam, kewenangan
mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan ke
lingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan
agama ditinjau dari subyek pihak yang beperkara, meliputi seluruh golongan
rakyat yang beragama islam tanpa terkecuali.
Dengan berdasar pada pasal 49 ayat
(3), kewenangan pengadilan agama di jawa dan Madura, serta sebagian bekas
residensi Kalimantan selatan dan timur mengenai perkara-perkara kewarisan yang
dicabut oleh pemerintah Belanda pada tahun 1937, melalui UU ini dikembalikan
lagi wewenang pengadilan agama. Dengan demikian, kewenangan pengadilan agama di
jawa, Madura, dan di sebagian bekas residensi Kalimantan selatan dan timur
disamakan dengan kewenangan pengadilan agama di daerah-daerah lainnya di
Indonesia.
Dalam penjelasan UU No 7 Tahun 1989
dijelaskan bilamana pewarisan itu dilakukan oleh pengadilan agama. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa kewarisan islam tersebut dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan keseragaman kekuasaan pengadilan agama diseluruh wilayah nusantara,
yang selama ini berbeda satu sama lain karena dasar hukumnya berbeda. Selain
itu, berdasarkan pasal 107 UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, pengadilan agama juga diberi
tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan, pertolongan, dan pembagian
harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam.[7]
Mengenai jangkauan kewenangan
mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut hukum waris Islam, dapat
dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3) jo. Penjelasan umum angka 2
alinea ke-enam. Jadi, uraian singkat dari ketentuan pasal tersebut adalah bahwa
pokok-pokok hukum waris Islam yang akan diterapkan pada golongan rakyat yang
beragama Islam di Pengadilan Agama terdiri dari :
a.
Siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang
berhak mewarisi, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan
kewajiban ahli waris;
b.
Penentuan
mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat
diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
c.
Penentuan
bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam al-Qur’an, Sunnah,
dan ijtihad (pendapat Prof.Hazairin dan KHI); dan
d.
Melaksanakan
pembagian harta peninggalan.[8]
c.
Kewenangan
mengadili perkara bidang wakaf dan shadaqah
Pasal 1 ayat (1) PP No 28 Tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya yang sesuai dengan
ajaran Islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudut kelembagaan
keagamaan. PP.No 28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam Islam yang
telah menjadi hukum positif, dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap.
Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan
kemajuan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, jika ada perselisihan
tentang perwakilan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada
pengadilan agama sesuai degan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Masalah wakaf ini, tidak dijelaskan
secara rinci. Hal ini berarti masalah wakaf tersebut dalam UU No 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama menganut asas hukum Islam yang universal. Maksudnya,
masalah wakaf tersebut dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama
menganut asas hukum islam yang universal. Maksudnya, masalah wakaf tersebut
tidak dibatasi dalam hal tersebut saja sebagaimana tersebut dalam PP. No 28
Tahun 1977, lembaga negara No. 1938 Tahun 1989 jo. PERMENDAGRI No.6 Tahun 1977.
Perwakafan agama ini meliputi: perwakafan yang diatur dalam UU No 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama ini meliputi sah tidaknya barang wakaf, sengketa
tentang apakah barang wakaf sudah dijual, digadaikan atau sudah diwariskan oleh
orang yang mengelola barang wakaf (nadzir).[9]
Barang yang dijadikan barang wakaf menyangkut barang yang bergerak maupun
barang yang tidak bergerak, jadi lebih luas jangkauannya dari pada peraturan
pemerintah No 28 Tahun 1997 jo. Peraturan menteri dalam negeri No 6 Tahun 1997.
Terakhir pada saat ini telah lahir UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dimana
rumusan, prosedur, syarat-syarat, dan penyelesaian sengketa bahkan ketentuan
pidananya disebutkan lebih rinci.
Mengenai sedekah, masih ada
sementara orang yang berpandangan sempit, yaitu merupakan pemberian sesuatu
benda atau sejumlah uang yang bernilai kecil atas dasar karena Allah. Padahal
perbendaraan hukum islam, shadaqah mempunyai dua makna, yaitu shadaqah biasa
seperti yang tersebut diatas dan shadaqah wajib. Shadaqah wajib ini disebut
juga zakat. Oleh karena itu, peradilan agama berwenang pula menyelesaikan
masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat yang disebut shadaqah dalam
pasal 49 ayat (1) huruf c. Dengan dikeluarkannya UU No 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat (dan mulai berlaku tahun 2001) maka dewasa ini telah
bertambah lagi dengan bagian hukum islam yang berlaku secara formal yuridis
(sebagai hukum positif).
Sebagaimana diatas bahwa pada
umumnya shadaqah itu dapat menjelma dalam bentuk zakat, infak, shadaqah jariah
untuk pembagunan rumah sakit, tempat-tempat ibadah, pondok pesantren, dan
lembaga-lembaga pendidikan. Kemungkinan konflik bersedekah yang menjadi perkara
di lembaga pengadilan agama antara lain:
(1)
Badan
Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang diberi amanah oleh umat Islam untuk
menerima mengelola dan menyalirkan benda-benda tersebut tetapi telah nyata
menyalah gunakan untuk kepentingan pribadi dengan cara korupsi, manipulasi, dan
cara-cara lain yang bertentangan dengan hukum;
(2)
Penyaluran
Zakat, Infaq dan Shadaqah yang tidak merata dan tidak adil karena ada
nepotisme, atau karena adanya kolusi dengan pihak tertentu;
(3)
Panitia,
atau kepentingan pengurus yayasan yang menyalahkangunakan dana sedekah untuk
kepentingan lain yang menyimpang dari tujuan semula.
d.
Kewenangan
mengadili perkara bidang ekonomi syariah
Yang dimaksud dengan “ekonomi
syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat
berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah; dan
k.
bisnis syari’ah.
Selanjutnya ditegaskan pula dalam
pasal 52 ayat (1) UU No 7 Tahun 1989 yang menentukan bahwa peradilan agama juga
diberi tugas dan kewenangan lain yaitu”dapat memberi keterangan, pertimbanagan
dan nasehat tentang hukum Islam kepada institusi pemerintah di daerah hukumnya,
apalagi diminta. Pemberian keterangan, pertimbanagn dan nasehat tentang hukum
Islam itu, tidak dibenarkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan atau akan
diperiksa di pengadilan. Selain itu, juga diserahi tugas tambahan dan/ atau
berdasarkan UU, misalnya pengawasan terhadap pengacara/advokat yang berpraktek
dilingkungan peradilan agama, notaries, Pegawai Pencatat Ikrar Wakaf (PPIW),
Nadzir, dan sebagainya.[10]
2.
Kekuasaan
Relatif Badan Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan
relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan
antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang
berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan
Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan
Pegadilan Agama Bogor.
Dalam contoh yang telah diberikan,
Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah
sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada
tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.[11]
Bagi pembagian kekuasaan relatif
ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan:
“peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten”.
Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan:
“pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau
kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi
tidak tertutup kemungkkinan adanya pengecualian”.
Tiap pengadilan Agama mempunyai
wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu
kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau
mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah
Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.
Cara mengetahui yuridiksi relatif
agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke
Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi
tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila
penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan
dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya
sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja
orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka
Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.
Hal ini berlaku sepanjang tidak
tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima
pendaftaran perkara tersebut di samping boleh pula menolaknya. Namun dalam
praktiknya, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima
gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri
mana seharusnya gugatan atau permohonan itu diajukan.[12]
Contoh-contoh ketentuan menentukan
wilayah yuridiksi sebuah pengadilan adalah sebagaimana berikut:
a)
Gugatan
diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman
tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana
tergugat bertempat tinggal.
b)
Apabila
tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
c)
Apabila
tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui
atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
d)
Apabila
objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
e)
Apabila
dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada
pengadilan yang domisilinya terpilih.[13]
Pada dasarnya untuk menentukan
kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam
Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam
perkara-perkara tertentu seperti di dalam UU No. 7 Tahun 1989 sebagai berikut:
a)
Permohonan
ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman permohon.
b)
Permohonan
dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur
perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh
orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi kediaman pemohon.
c)
Permohonan
pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
d)
Permohonan
pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau
istri.[14]
Sebagaimana yang diterangkan di
atas, kewenangan relatif Pengadilan Agama tetap terdapat beberapa pengecualian
dibanding dengan Pegadilan Umum seperti dalam hal sebagai berikut:
a.
Permohonan
Cerai Talak: Dalam hal cerai talak, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 66 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 7
Tahun 1989:
1)
Permohonan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon.
2)
Dalam
hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
3)
Dalam
hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dari ketetapan ini, maka dapat
disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut:
a)
Apabila
suami atau pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak
memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman istri atau termohon.
b)
Suami
atau pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi kediaman suami atau pemohon apabila istri atau
termohon secara sengaja menunggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami.
c)
Apabila
isti atau termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah
Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau pemohon.
d)
Apabila
keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan
atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b.
Perkara
Gugat Cerai: Dalam hal perkara gugat cerai, Pengadilan Agama berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 73 UU No. 7
Tahun 1989:
1)
Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2)
Dalam
hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3)
Dalam
hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dari ketetapan ini, maka dapat
disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut:
a)
Pengadilan
Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi kediaman istri atau penggugat.
b)
Apabila
istri atau penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin
suami, maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman suami atau tergugat.
c)
Apabila
istri atau penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang
adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau tergugat.
d)
Apabila
keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, maka yang berhak
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan
perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[15]
A.
Sumber
Hukum Peradilan Agama
Dalam
dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum
yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
secara garis besar terbagi dua, yaitu Hukum Materiil dan Hukum Formil yang
sering disebut hukum acara.
1.
Pengertian Hukum Materiil dan Formil
Hukum
materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan
hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum
yang mengatur cara-cara mempertah ankan dan melaksanakan hukum materiil. Dengan
kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu
perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi putusan.
a. Hukum Materiil Peradilan Agama
Hukum
materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefenisikan
sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan
hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab
karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering
menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk
mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain,
dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954
yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini
kemudian ditindak lanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal
18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.[16]
Dalam
surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan
hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13
kitab-kitab yakni : Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa
Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah
Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid,
Bughyat Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni
Al-Muhtaj.
Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka
hukum yang terkandung didalamnya pun belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana
halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang
berpendapat hukum positif adalah hukun yang tertulis, dan hukum yang menjadi
pedoman Peradilan Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku
dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk
menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974 pemerintah
mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini
disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, dan ini merupakan awal pergeseran hukum islam menjadi hukum tertulis.
Namun bagian lain dari perkawinan seperti Kewarisan dan Wakaf masih di luar
hukum tertulis sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh
Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama karena pengambilan dan dasar hukumnya
dari kitab fikih yang berbeda.
Pada sisi lain negara-negara Islam
juga memberlakukan hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangannya. India
pada masa Raja Al-Rijeb membuat dan memberlakukan hukum islam sebagai
undang-undang yang terkenal dengan Fatwa
Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah
al-Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.
Atas dasar
itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum islam
setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum
tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah
Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25
Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan
SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan
loka karya dan hasil pengkajian, penalaahan kitab kemudian ditambah dengan
studi banding ke negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki dan Mesir
dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah kompilasi, diajukan oleh
Menteri Agama kepada Presiden tanggal 14 Maret 1988 tentang Pembentukan
Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk
menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.
Untuk
menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu yang terlalu
panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu,
pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan instrumen hukum
Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal
19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan
Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No.
154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran
Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan
sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah-masalah hukum
Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam surat Keputusan Menteri Agama
tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama agar mengoordinasi pelaksanaannya.[17]
Kemudian
dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dengan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas tugas dan
wewenangnya, yaitu :
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Shadaqah
8. Infaq
9. Ekonomi syari’ah
Dalam
pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah : bank
syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah,
pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah.[18]
b. Hukum Formil Peradilan Agama
Meskipun
lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh Pemerintah
Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl.1937 No 116 dan 610, di Kalimantan
Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan RI,
pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957 tetapi dalam peraturan tersebut tidak
disinggung sama sekali tentang hukum acara yang harus digunakan oleh hakim
dalam memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak
ada ketentuan resmi tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka
para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama
mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam
penerapannya berbeda antar satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama
lainnnya.[19]
Oleh
karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk
Jawa dan Madura. Reglement Voor De
Buitengwesten (R.Bg) untuk luar Jawa dan Madura, maka kedua aturan hukum
acara ini diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama tersebut.
Adapun
sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakkukan juga
untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut:[20]
1. Reglement op de Burgerlijk Rechsvordering (B.Rv)
Hukum
acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang
berperkara di muka Raad van Justie
dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini
ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63. Berlaku sejak
tanggal 01 Mei 1848.
Dengan
dihapuskannya Raad van Justie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah
tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv masih banyak yang
relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan
hukum, maka ketentuan-ketentuan tersebut masih dipakai dalam pelaksanaan Hukum
Acara Perdata dilingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang formulasi surat
gugatan, perubahan surat gugat, dan ketetntuan hukum acara perdata lainnya.
2. Inlandsch
Reglement (IR)
Ketentuan
hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang
berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan
ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herziene Indonesia Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbarui RIB
yang diberlakukan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3. Rechtsregelement
Voor De Buitengwesten (R.Bg)
Ketentuan
hukum acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang
berada diluar Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad.
Bab II R.Bg memuat bagian Hukum
Acara Perdata yang terdiri dari 7 titel, yang masih digunakan sebagai Hukum
Acara Perdata untuk daerah seberang adalah titel IV dan V, sedangkan titel I,
II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dengan dihapuskannya
Pengadilan Districgerecht, Districtraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht
dan R. van Justitie.[21]
4. Burgerlijk
Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW
yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian,
yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.
5. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga
terdapat sumber Hukum Acara Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam
praktik peradilan.
WvK diberlakukan dengan Stbl. 1847
No. 23 khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275.
Dalam kaitannya dengan Hukum Dagang ini, terdapat juga Hukum Acara Perdata yang
diatur dalam Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur
dalam Stbl. 1906 No. 348.
6. Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947
tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura
sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan
menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang Hukum
Acara Perdata dalam praktik Peradilan di Indonesia.
c. Undang-Undang No. 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang
berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI.
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Susunan dan
Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di
lingkungan Peradilan Umum tersebut.
e. Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan tersebut.
f. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 54 disebutkan bahwa hukum acara yang
berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang
berlaku di Peradilan Umum, kecuali hal-hal lain yang telah diatur secara
khusus.
g. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 buku, yaitu
Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf.[22]
7. Yurisprudensi
Dalam
kamus Fockerna Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, bahwa yang
dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan
Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain
dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim
tidak boleh terikat dalam putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara
Indonesia tidak menganut asas “the binding
force of precedent’’, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi
dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat keputusan
sebelumnya.
8. Surat
Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang
Surat Edaran Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan
hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan
terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat
edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI ini banyak pakar hukum menganggap bahwa
Mahkamah Agung RI sudah mencampuri urusan hakim dalam menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur pada Pasal 195 HIR dan R.Bg
sekaligus tampaknya pendapat tersebut ada benarnya tetapi apabila dilihat Pasal
10 ayat (4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan
dalam pasal 11 ayat (4) ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya
berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam
rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang memberikan
petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari
aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara yang dianjurkan kepadanya.[23]
9. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut
Sudikno Mertokusumo (1988: 8), doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan hukum
acara guna, hakim dapat mengadili hukum acara perdatta. Doktrin itu bukan
hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum
berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau
ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim peradilan agama dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang
tersebut dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama
Departemen Agama No.B/1/1735 Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan
peraturan pemerintahan No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama
di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum
dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama
dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam
kitab fikih.
Dengan
menunjukkan kepada 13 buah kitab fikih, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat
mengambil atau menyerahkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk
dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang dianjurkan
kepadanya dilingkungan Peradilan Agama.
Beberapa asas hukum acara peradilan
agama, antara lain :
1. Pemeriksaan perkara dimulai setelah
diajukan gugatan/permohonan,
2. Pengadilan tidak boleh menolak
memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau
tidak jelas,
3. Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
4. Putusan dan penetapan dimulai dengan
kalimat ‘’Bismillahirrahmanirrahim’’,
5. Pengadilan mengadili dengan menurut
hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang,
6. Pengadilan dilaksanakan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan,
7. Sidang pengadilan terbuka untuk umum
kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan
alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian dilakukan sidang tertutup,
8. Rapat pemusyawaratan hakim bersifat
rahasia,
9. Penetapan dan putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.[24]
BAB 3 KESIMPULAN
Bahwasannya didalam peradilan agama di Indonesia
terdapat dua macam kekuasaan yaitu kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif,
selanjutnya terkait dengan kesimpulan sumber pengadilan baik itu formil dan
materil bahwasannya, sebelum Tahun 19991, yakni sebelum lahirnya Kompilasi
Hukum Islam, hukum materil Peradilan Agama merupakan hukum tidak tertulis,
karena masih berserakan diberbagai kitab-kitab fikik, malah pada tahun1958
sudah diarahkan kepada hanya 13 kitab dan sebagaimana hukum materil, demikian
pula hukum formil, sebelum lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Hukum Acara Peradilan Agama masih mengambil dari kitab-kitab fikih,
karenanya kemungkinan adanya perbedaan dalam penerapan antara satu pengadilan
dengan pengadilan yang lain sangat besar. Hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlakudi Peradilan Umum (HIR dan
R.Bg) kecuali hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhriyah,
Erfaniah.2014.Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di
Pengadilan Agama).Malang: Setara Press.
A.Basiq, Djalil.2006.Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Wahyudi, Abdullah Tri.2004.Peradilan Agama di Indonesia.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Fauzan, M.2007.Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia.Jakarta: Kencana.
A.
Rasyid, Roihan.1998.Hukum Acara Peradilan Agama.Jakarta: CV. Rajawali.
Nuruddin,
Amiur dan A. Tarigan, Azhari.2006.Hukum Perdata Islam Di Indonesia.Jakarta:
kencana.
Asasriwarni dan Nurhasnah.2006.Peradilan Agama di
Indonesia.Padang: Hayfa Press.
[1] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1998), h. 25
[2] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep
dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 132
[3] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep
dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 133
[4] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep
dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 134
[5] Djalil A.
Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h. 143
[6] Erfaniah
Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di
Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 135
[7] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 144
[8] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep
dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 137
[9] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 144
[10] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep
dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 139
[11] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.87
[12] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.88
[13] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 37
[14] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 38
[15] M. Fauzan, Po kok-pokok
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), h. 40
[16] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 147
[17] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 150
[18] Asasriwarni dan
Nurhasnah, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press, 2006), h.
58
[19] Amiur Nuruddin dan Azhari A. Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, (Jakarta: kencana, 2004), h.26
[20] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 153
[21] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 154
[22] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 155
[23] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 157
[24] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 47
No comments:
Post a Comment