ا لعا د ة محكمة
(Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Al-Qawaid
Al-Fiqqiyah)
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kaidah al-‘adah al-muhakkamah
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“’Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu
keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada
dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada,
diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan
itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan
sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara
khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan
suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau
kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran
yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa
diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah
satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[1]
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata
al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah
terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum
dinamakan adat.
Adapun
definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر
فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama,
terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti
suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf
secara istilah yaitu:
العرف هو ما تعا
رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf
adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya
dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan
arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan
senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan
sengketa yang diajukan ke meja hijau.[2]
Jadi
maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat
menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama
oleh seorang hakim dalam sebuah
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus
melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu
umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
Namun
bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena suatu
adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Tidak bertentangan dengan syari'at.
2.
Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3.
Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak
berlaku dalam ibadah mahdah
5.
Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.[3]
2.2 Dasar hukum kaidah al-‘adah al-muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯t=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$#
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika
kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut, yang
demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS.Al-Baqarah:
236).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ
حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ
سَيْءٌ
“Apa yang
dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa
saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad,
Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[4]
2.3 Cabang kaidah al-‘adah al-muhakkamah
2.3.1 المعرف و عرفا كالمشروط
شرطا
“المعرف و عرفا كالمشروط شرطا”
“Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syaratkan
dengan suatu syarat”.
Maksudnya adat
kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang
dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan sesuatu yang telah dikenal
(masyhur) secara ‘urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat adalah menempati
posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan (disebutkan dengan
jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad (tsansaksi) atau
ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada, sebagaimana
sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah ada atau dilakukan.
Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak bertentangan
dengan syariat Islam.[5]
Contohnya : apabila orang bergotong royong
membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang
bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain
halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa
diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu,
tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila
bekerja, dia mendapat bayaran. Contoh selanjutnya yaitu kasus menjual buah
dipohon, menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya
tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan
ditengan masyarakat , maka ulama membolehkannya.[6]
2.3.2 المعروف بين التّجّار كالمشروط بينهم
“المعروف بين التّجّار
كالمشروط بينهم”
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai
syarat di antara mereka”
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan
dalam transaksi.[7]
Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau ‘urf
yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan
masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah
ini adalah segala sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para
pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti
sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak
disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah
ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan
tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait dalam bidang
perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun contoh aplikasi kaidah ini
yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan
sampai kerumah pembeli. Biasanya harga
batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan
pembeli seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di
Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad
pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos) pengiriman, maka
hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.
Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini, diantara
sesama pedagang adalah misalnya seorang pedagang kehabisan satu jenis barang
dagangannya, padahal saat itu ada pembeli yang membutuhkan, maka biasanya
pedagang itu akan mengambil (membeli) barang tersebut dari temannya sesama
pedagang. Lalu apakah pedagang itu membeli dari temannya dengan harga pokok
(harga kulakan) saja atau dengan harga laba yang dibagi dua antara dia dan
temannya? Maka hal ini harus dikembalikan kepada kebiasaan yang terdapat
diantara mereka, sehingga jika memang adatnya hanya dengan harga pokok, maka
dia boleh membayar harga pokoknya saja, walaupun saat ini membeli tidak
menyebutkan berapa harga barang tersebut.[8]
2.3.3 التعيين بالمعرف كالتعيين بالنّص
“التعيين بالمعرف
كالتعيين بالنص”
“Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan yang sudah tetap
berdasarkan nash”.
Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi
sedikit berbeda, namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta’yin
(ketentuan) diganti dengan kata thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit
bi al-‘urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan
kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih memperkuat aspek legalitasnya.
Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada adat (tradisi) dengan beberapa
ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas hukumnya dengan nash syariat.
Alhasil, sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau searti dengan kaidah Tasbitu al-Ma’ruf berikut:
ا لتّا بت با لمعروف كا لتّا بت با لنّصّ
“Yang
ditetapkan oleh (adat) ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”.[9]
Contoh dari kaidah ini yaitu dalam
adat minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya:
keturunan itu hanya dihitung menurut gasis perempuan saja bukan laki-laki,
sehingga suami dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan
(matrilokal). Sekalipun demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh
suami. Dalam hal ini Islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan
nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang lain, maka
upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama
untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah
selanjutnya secara beganti-ganti.[10]
2.4 Perbedaan
antara al-’Adah dengan al-’Urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari
pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan
tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki
wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga
‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu
tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah
dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil,
artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan
signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap
mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang
dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif
manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari
pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan,
tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan secara
kolektif, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah
mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah
dilakukan oleh individu maupun kolektif.[11]
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan
istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1.
‘urf
hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan
oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
2.
‘adah
hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok,
serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan persamaannya, ‘urf
dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam
dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuai
dengan karakter pelakunya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah
adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya
melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun
kelompok, sementara al-’Urf harus dijalani oleh
komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan
al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter
pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf.
Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf
yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli
al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).[12]
2.5 Kedudukan ‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’
Untuk mengetahui masalah kedudukan ‘adah atau ‘urf
sebagai salah satu patokan hukum, fuqohah’beragam pendapat dalam memeganginya
sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Abu Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf masyarakat.
a. Abu Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf masyarakat.
b. Imam Malik : Al-Qur’an, sunnah, ijma’,
qiyas, istihsan, istishhab, maslahah mursalah, syadduzdharai’ dan ‘urf.
c. Malikiyyah, membagi ‘adah kebiasaan atau ‘urf menjadi
tiga, yaitu:
1. Yang
dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
2. Jika
mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau mengabaikan syara’.
3. Yang
tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada
larangan.
d. Imam Syafi’i tidak mempergunakan ‘urf atau ‘adah
sebagai dalil, karena beliau berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan
ijtihad yang hanya dibatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang
telah diambil oleh imam syafi’i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu
imbangan terhadap penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud “qaul qadim’.[13]
BAB 3
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua
aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping
itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat
dan al-’Urf adalah
sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada
adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum
fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan
berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Tamrin, Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah). 2010. Malang: UIN Maliki Press.
Arfan, Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi
Islam dan Perbankan Syariah.2012.Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis).2007.Jakarta: Kencana.
Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah
dan Fiqhiyah).2002.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi).2002.Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
[1] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang:
UIN Maliki Press,2010).hlm.203
[2] Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam
Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.204
[3] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam
(Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).hlm.210
[4] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang:
UIN Maliki Press,2010).hlm.209
[5] A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum
Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007).hlm.86
[6] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang:
UIN Maliki Press,2010).hlm.241
[7] Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah
Asasi),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).hlm.157
[8] Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam
Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.221
[9]
Dahlan,
Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN
Maliki Press,2010).hlm.240
[10]
Dahlan,
Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN
Maliki Press,2010).hlm.240
[11] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.208
[12] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam
(Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).hlm.208
[13] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang:
UIN Maliki Press,2010).hlm.246
apakah benar imam syafii tidak menggunakan urf dan adah sedangkan di indonesia mayoritas bermadzhab syafii dan menggunakan ada serta urf yang sering dilakukan
ReplyDelete