Friday, 9 May 2014

Makalah Kaidah ’Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum (ا لعا د ة محكمة)

ا لعا د ة محكمة
(Untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Qawaid Al-Fiqqiyah)


PEMBAHASAN





2.1 Pengertian kaidah al-‘adah al-muhakkamah

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.[1]
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:

العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا

'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".

            Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.[2]

            Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang  hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.

            Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.[3]



2.2 Dasar hukum kaidah al-‘adah al-muhakkamah


Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:


وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).


žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯t=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$#

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS.Al-Baqarah: 236).

Dasar hukum didalam Hadits yaitu:

مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ

Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[4]


2.3 Cabang kaidah al-‘adah al-muhakkamah

    2.3.1 المعرف و عرفا كالمشروط شرطا
                                                                                                                  
المعرف و عرفا كالمشروط شرطا

Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syaratkan dengan suatu syarat”.

            Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan sesuatu yang telah dikenal (masyhur) secara ‘urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat adalah menempati posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan (disebutkan dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad (tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada, sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah ada atau dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.[5]

Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran. Contoh selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengan masyarakat , maka ulama membolehkannya.[6]

    2.3.2 المعروف بين التّجّار كالمشروط بينهم

           
  “المعروف بين التّجّار كالمشروط بينهم

Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”

Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.[7]

Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.

Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos) pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab penjual.

Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini, diantara sesama pedagang adalah misalnya seorang pedagang kehabisan satu jenis barang dagangannya, padahal saat itu ada pembeli yang membutuhkan, maka biasanya pedagang itu akan mengambil (membeli) barang tersebut dari temannya sesama pedagang. Lalu apakah pedagang itu membeli dari temannya dengan harga pokok (harga kulakan) saja atau dengan harga laba yang dibagi dua antara dia dan temannya? Maka hal ini harus dikembalikan kepada kebiasaan yang terdapat diantara mereka, sehingga jika memang adatnya hanya dengan harga pokok, maka dia boleh membayar harga pokoknya saja, walaupun saat ini membeli tidak menyebutkan berapa harga barang tersebut.[8]
  



 2.3.3 التعيين بالمعرف كالتعيين بالنّص


    “التعيين بالمعرف كالتعيين بالنص
   
“Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan yang sudah tetap berdasarkan nash”.

                Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-‘urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas hukumnya dengan nash syariat.

               
Alhasil, sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau searti dengan kaidah Tasbitu al-Ma’ruf  berikut:

ا لتّا بت با لمعروف كا لتّا بت با لنّصّ

“Yang ditetapkan oleh (adat) ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”.[9]

Contoh dari kaidah ini  yaitu dalam adat minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya: keturunan itu hanya dihitung menurut gasis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami. Dalam hal ini Islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.[10]

2.4 Perbedaan antara  al-’Adah dengan al-’Urf

Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.

Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.

Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.[11]

Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:

1.      ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.

2.      ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.

Sedangkan  persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya.

Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf  yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).[12]

2.5 Kedudukan ‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’

                Untuk mengetahui masalah kedudukan ‘adah atau ‘urf sebagai salah satu patokan hukum, fuqohah’beragam pendapat dalam memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Abu Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf masyarakat.

b. Imam Malik : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah mursalah, syadduzdharai’ dan ‘urf.

c. Malikiyyah, membagi ‘adah kebiasaan atau ‘urf menjadi tiga, yaitu:
            1. Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
            2. Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau mengabaikan syara’.
            3. Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada larangan.

d. Imam Syafi’i tidak mempergunakan ‘urf atau ‘adah sebagai dalil, karena beliau berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan ijtihad yang hanya dibatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh imam syafi’i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan terhadap penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud “qaul qadim’.[13]





BAB 3
PENUTUP

3.1Kesimpulan

            Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf  adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf  adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.











DAFTAR PUSTAKA


Tamrin, Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah). 2010. Malang: UIN Maliki Press.
Arfan, Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah.2012.Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis).2007.Jakarta: Kencana.
Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah).2002.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi).2002.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.203

[2] Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.204
[3] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.210

[4] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.209

[5] A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007).hlm.86
[6] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.241
[7] Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).hlm.157
[8] Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012).hlm.221

[9] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.240
[10] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.240
[11] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.208
[12] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.208
[13] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.246



1 comment:

  1. apakah benar imam syafii tidak menggunakan urf dan adah sedangkan di indonesia mayoritas bermadzhab syafii dan menggunakan ada serta urf yang sering dilakukan

    ReplyDelete