BENTUK-BENTUK AKAD PERJANJIAN SYARIAH
(Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanian Syariah)
PEMBAHASAN
2.1 Akad Perjanjian Syariah
Percampuran
Percampuran secara etimologi berarti
kerjasama atau as-syirkah, yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya,
yang sulit untuk dibedakan. Sedangkan secara terminologi yaitu ikatan kerjasama
antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Sedangkan
pengertian atau definisi menurut para ahli dibidang kerjasama atau As-syirkah
adalah sebagai berikut:
1.
Abdurrahman
Al-Juzairi, al-syirkah adalah; "campurnya satu harta dengan harta lain
sekira tidak bisa dibeda-bedakan bagian-bagianya".
2.
Syirkah
secara bahasa menurut Syekh Umairah adalah "percampuran", baik
percampuran yang tidak dapat dibedakan (syuyu') atau percampuran yang dapat
dibedakan (mujawir).
Dapat disimpulkan bahwasannya kerjasama atau as-syirkah adalah
percampuran suatu harta dengan harta lain yang tidak bisa dibedakan maupun yang
bisa dibedakan. Maksudnya percampuran
dua atau lebih jenis harta kekayaan yang sulit untuk dibedakan, dan kerjasama
ini memiliki tujuan untuk mencari laba atau keuntungan.[1]
Selanjutnya Sebelum membahas panjang
lebar tentang akad al-syirkah, alangkah lebih baik apa bila kita ketahui
terlebih dahulu landasan atau dasar pijakan hukumnya, baik landasan dari
Al-Qur'an, Al-Hadits maupun Ijma’, yaitu sebagai berikut:
1.Al-Quran
Dalam QS. Shaad (38) ayat 24 sebagai
berikut:
Artinya:
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat.
Dalam QS. an-Nisa (4) ayat 12
sebagai berikut:
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
2. Hadits
Sedangkan landasan hukum dari Al-Hadits
adalah, hadits qudsi dari Abu hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda;
Artinya: "Allah SWT telah berfirman: Aku adalah
mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah satu dari kedunya tidak
mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya,
maka Aku keluar dari perkongsian itu". (H.R.Abu Dawud dan al-Hakim).
Selain hadits qudsi di atas, juga terdapat hadits yang sangat masyhur dalam bab al-syirkah
yaitu hadits Saib bin Abu Saib, yang merupakan teman perkongsian Rasulullah
sebelum kenabian, ia berkata;
Artinya: "Selamat bertemu kembali wahai saudaraku dan teman
perkongsianku".
Dari hadits qudsi dan hadits Saib tersebut
telah menunjukkan bahwa perkongsian (al-syirkah) memang telah dipraktekkan oleh
Rasulullah dan diperbolehkan dalam Islam. Menanggapi masalah ini (al-syirkah)
berdasarkan dalil-dalil di atas, maka para ulama telah sepakat (ijma') bahwa
akad atau perjanjian perkongsian hukumnya diperbolehkan, hanya saja mereka
berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis al-syirkah yang banyak macam dan
coraknya.[2]
Selanjutnya berkaitan dengan teori percampuran terdapat dua macam, antara lain:
1. Objek
percampuran
Sebagaimana
dalam teori pertukaran, fiqh juga membedakan dua jenis objek percampuran,
yaitu:
1. ‘ayn berupa barang dan jasa
2. Dayn berupa uang dan surat
berharga
2. Waktu
percampuran
Dari segi
waktunya, sebagaimana dalam teori pertukaran fikih juga membedakan dua waktu
percampuran, yaitu:
1. Naqdan yakni penyerahan saat
itu juga
2. Ghairu Naqdan yakni penyerahan
kemudian.
Penjelasan
dari segi objek percampurannya sendiri dapat diidentifikasi tiga jenis
percampuran, yaitu:
1.Percampuran Dayn dengan dayn
a.Al-Syirkah
Al-‘Inan
Syirkah 'Inan atau perkongsian harta benda adalah kerjasama dua
orang atau lebih dalam harta benda untuk diperdagangkan dan mencari keuntungan
bersama. Syirkah "inan merupakan macam syirkah yang disepakati oleh para ulama
(ijma') atas kebolehannya.[3]
b. Al-Syirkah Al-Mufawadhah
Pengertian Syirkah Mufawadhah adalah kedua
belah pihak yang berkongsi menyerahkan kekuasaan pada masing-masing pada harta
mereka untuk mengalokasikannya tanpa adanya percampuran harta, dan dengan
konsekuensi atau resiko yang ditanggung bersama. Syirkah
Mufawadlah sebenarnya hampir sama dengan syirkah 'inan, hanya satu perbedaanya
yaitu tidak adanya unsur percampuran harta.
Syirkah Mufawadlah menurut Abu Hanifah dan Imam Malik hukumnya
diperbolehkan. Abu Hanifah beralasan bahwa percampuran dua harta secara fisik
tidak merupakan syarat dalam akad syirkah, asalkan mereka telah sepakat dengan
perjanjian (akad) akan melakukan perkongsian, maka akad syirkah tetap sah dan
diperbolehkan, meskipun tidak ada percampuran harta benda secara fisik. Lain
halnya dengan Imam Malik, beliau memberi alasan bahwa syirkah mufawadlah secara
hukum (hukmi) dengan terjadinya akad perjanjian telah terjadi percampuran
harta, meskipun secara fisik harta masih ditangan masing-masing yang berkongsi.
Dengan demikian maka pada saat salah satu dari mereka mengalokasikan harta,
sesungguhnya ia telah menjadi wakil dari bagian harta syirkah bukan atas nama
pribadi. Sehingga dalam syirkah mafawadlah tetap disyaratkan adanya izin
berniaga dari masing-masing pihak yang berkongsi. Hanya saja Abu Hanifah dan
Imam Malik tidak selaras dalam maslah syarat kadar harta. Menurut Abu Hanifah,
harta masing-masing yang berkongsi dalam syirkah mufawadlah harus sama,
sedangkan menurut Imam Malik, harta modal masing-masing tidak harus sama.[4]
Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah mufawadlah tidak
diperbolehkan (tidak sah) karena tidak adanya unsur percampuran harta secara
fisik. Percampuran harta secara fisik bagi Syafi'iyyah sangat diperlukan,
meskipun keuntunganya dalam syirkah mufawadlah akan dikumpulkan (dicampur),
akan tetapi keuntungan bukan merupakan pokok, karena keberadaan keuntungan
hanyalah cabang hukum.[5]
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasannya
syirkah al-‘inan adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk
memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan
keuntungan dibagi antara para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama,
sedangkan modal masing-masing tidak harus sama, sedangkan syirkah al-mufawadhah
adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya
dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak
melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap
anggotanya adalah penanggung dan wakil dari anggota lainnya.
2.Percampuran
‘Ayn dengan ‘ayn
Syirkah Abdan adalah perkongsian atau kerjasama di dalam pekerjaan
bukan dalam harta benda, seperti kerjasama dalam membangun rumah, berjualan,
atau menjahit. Dalam perkongsian macam ini tidak disyaratkan adanya kesamaan
kadar pekerjaan, baik dalam profesi yang sama seperti sama-sama tukang kayu
atau berlainan profesi seperti tukang cukur dengan tukang jahit yang menyewa
satu ruko kemudian dimanfaatkan bersama, kemudian keuntungan dari masing-masing
pekerjaan dibagi rata.[6]
Syirkah Abdan atau perkongsian pekerjaan atau profesi menurut Abu
Hanifah dan Imam Malik diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah
profesi seperti ini tidak diperbolehkan, dengan alasan bahwa akad syirkah
menurut beliau hanya pada harta benda bukan pekerjaan. Sebab syirkah dalam
pekerjaan amat sulit dibatasi dan disamakan kadarnya sehingga dapat memicu
terjadi perselisihan (ghurur). Hal ini beda dengan alasan yang dilontarkan oleh
Imam Malik, beliau memandang bahwa jika akad mudlarabah yang nota bene
transakasi pada sebuah pekerjaan diperbolehkan oleh syari'at, maka tidak ada
alasan untuk melarang akad syirkah profesi atau pekerjaan. Selain itu Imam
Malik juga menggunakan dasar hadits Ibnu Mas'ud dan Said yang melakukan
perkongsian dalam pekerjaan berperang untuk kemudian hasil jarahan dibagi
berdua, dan hal tersebut telah diketahui oleh Rasulullah SAW. Menanggapi alasan
Imam Malik, Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad syirkah sangat beda dengan akad
mudlarabah sehingga tidak bisa disamakan hukumnya (qiyas), begitu juga masalah
pada harta jarahan (ghanimah) tidak bisa disamkan dengan akad syirkah.
Sedangkan Abu Hanifah tidak banyak komentar dalam mendasari pendapatnya, beliau
hanya mengatakan bahwa syirkah dalam pekerjaan diperbolehkan.
Meskipun Abu Hanifah dan Imam Malik setuju akan diperbolehkanya
akad syirkah perkerjaan (abdan) meskipun dengan alasan yang berbeda, namun
terjadi perbedaan tentang syarat-syaratnya terutama masalah jenis pekerjaan.
Menurut Abu Hanifah pekerjaan yang dikongsikan tidak harus sama, sehingga
tukang jahit bisa berkongsi dengan tukang cukur. Sedangkan menurut Imam Malik
mensyaratkan pekerjaan harus sejenis yaitu tukang jahit dengan tukang jahit,
sebab jika pekerjaannya berbeda ditakutkan akan terjadi banyak penipuan
(ghurur) yang akan mengakibatkan konflik.[7]
3.Percampuran
‘Ayn dengan Dayn
a.Al-Syirkah
Al-Wujuh
Syirkah wujuh adalah perkongsian tanpa harta benda dan pekerjaan
fisik. Mereka yang berkongsi hanya bermodalkan nama baik (reputasi) yang diraihnya
karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk
manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis
memesan suatu barang untuk dibeli dengan sistem kredit (muajal) dan kemudian
menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian
dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.
Menurut Abu Hanifah syirkah wujuh diperbolehkan, dengan alasan
bahwa suatu amal atau pekerjaan tidak harus secara fisik. Artinya, memesan
barang dan menjualnya dengan bermodal reputasi menurut Abu Hanifah termasuk
pekerjaan. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi'i, syirkah tersebut tidak
diperbolehkan. Beliau berdua mendasari dengan alasan bahwa al-syirkah al-wujuh
sudah keluar dari rel perkongsian dimana harta benda dan pekerjaan fisik tidak
dalam perkongsian tersebut. Modal berupa reputasi sangat sulit diperkirakan
kadar dan ketentuanya, sehingga berpotensi terjadi penipuan dan perselisihan.[8]
b.Syirkah
Mudharabah (Qiradh)
Syirkah mudharabah (qiradh) adalah berupa kemitraan terbatas yakni
perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang (pihak pertama atau pemilik modal
atau mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua atau pemakai
atau pengelola atau dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan keuntungan
bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai
dengan kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan
tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja.[9]
Percampuran atau syirkah memiliki syarat-syarat dalam
pelaksanaannya dan diantara syarat umum
syirkah, yakni[10]
:
1.
Adanya
akad (kesepakatan) dalam izin berniaga (tasharruf) dari kedua belah pihak yang
bersekutu atau berkerjasama. Menurut pendapat yang lebih shahih dari madzhab
Syafi'i, jika hanya kesepakatan mencampur harta benda tanpa adanya kesepakan
berniaga, maka akad tidak sah.
2.
Kedua
belah pihak harus mempunyai kecakapan hukum (ahl al-tasharruf). Sebab pada
hakekatnya mereka berdua adalah muwakil (orang yang mewakilkan) dalam hartanya
masing-masing dan wakil dalam memperdagangkan harta orang lain.
3.
Harta
benda yang dicampur merupakan harta benda yang sama jenisnya (mitsliy) seperti
mata uang atau bahan mentah lainya seperti beras atau gandum. Namun menurut
pendapat lain, akad al-syirkah hanya khusus pada mata uang.
4.
Bercampurnya
harta benda sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan antara harta satu
dengan yang lain. Untuk itu, harta benda yang dijadikan perkongsian diwajibkan
harus yang sama jenisnya (mitsliy). Percampuran harta benda harus dilakukan
sebelum dilaksanakanya perjanjian (akad). Percampuran harta benda setelah
dilakukannya perjanjian, menurut pendapat yang lebih shahih (al-ashah) dalam
madzhab Syafi'iyyah tidak dapat dibenarkan (tidak sah). Namun menurut Abu
Hanifah, percampuran harta secara fisik tidak disyaratkan. Bagi yang berserikat
cukup menyatakan dalam perjanjian (akad) bahwa mereka telah sepakat berkongsi
bersama meskipun harta mereka masih dalam pegangan masing-masing.
5.
Kedua
belah pihak mempunyai hak yang sama dalam pengalokasian harta benda, dengan
syarat tidak ada unsur merugikan.
6.
Keuntungan
dan kerugian ditanggung bersama-sama sesuai dengan kadar modal masing-masing.
Dalam akad syirkah 'inan, harta benda yang dibuat modal tidak disyaratkan sama
jumlah dan kadarnya, seperti contoh si A berinfestasi 100 juta, dan si B
berinfestasi 50 juta. Hanya saja tentang masalah keuntungan atau kerugian
ditanggung sesuai dengan prosentase modal masing-masing.
Dan akad musyarakah bisa berakhir apabila:
1.
Salah
satu pihak mengundurkan diri.
2.
Salah
satu pihak yang berserikat meninggal dunia
3.
Salah
satu pihak kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti: gila yang sulit
disembuhkan.
4.
Harta
syirkah rusak
5.
Tidak
ada kesamaan modal[11]
2.2 Akad Perjanjian Syariah
Pertukaran
Merupakan suatu jenis akad dalam perjanjian
syariah, yang kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena
itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal
akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya
(price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature)
menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll.
Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling
mempertukarkan asetnya. Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak
saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko
bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada
misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B
menyerahkan uang kepada A.[12]
Di sini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli
(al-bai’). Akad pertukaran ini terbabagi menjadi dua pilar, yaitu objek
pertukaran dan waktu pertukaran, yaitu sebagai berikut:
1.Objek Pertukaran
Fiqh
membedakan dua jenis objek pertukaran, yaitu:
1. ‘Ayn berupa barang dan jasa
2. Dayn berupa uang dan surat
berharga
2.Waktu
Pertukaran
Fikih
membedakan dua waktu pertukaran, yaitu:
1. Naqdan yang berarti
penyerahan saat itu juga
2. Ghairu naqdan yang berarti penyerahan
kemudian
Penjelasan dari
segi objek pertukaran sendiri, dapat diidentifikasi menjadi tiga jenis
pertukaran, antara lain:
1.Pertukaran
real asset ('ayn) dengan real asset (‘ayn)
Dalam
Pertukaran real asset ('ayn) dengan real asset (‘ayn), terdapat
dua macam model atau bentuk yaitu:
1.Pertukaran
barang yang sejenis
Yaitu objek pertukaran yang barangnya memiliki jenis yang sama atau
sejenis. Dan barang sejenis ini dalam pertukaran di bagi lagi menjadi dua,
yaitu :
a.Pertukaran
uang dengan uang atau sharf
Al-Sharf secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al'adl
(seimbang). Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang
berarti membayar dengan penambahan.[13] Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah
menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas)[14].
Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama
fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjual belikan uang dengan uang
yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak
dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer. Dasar hukum al-Sharf
sendiri fuqoha mengatakan bahwa kebolehan praktek al-Sharf didasarkan pada
sejumlah hadis Nabi antara lain pendapat Jumhur yang diriwayatkan oleh Imam
Malik dari Nafi', dari Abu Sa'id al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
"Dari Abu Said al Khudzriy ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali dengan seimbang dan
janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual
perak dengan perak kecuali dengan seimbang, dan janganlah kamu memberikan
sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual dari padanya sesuatu yang
tidak ada dengan sesuatu yang tunai (ada)". (H. Muttafaq Alaihi).
Hadits diatas menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak
dengan perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya
melebih yang lain. Jika berlainan, misalnya emas dibeli dengan beras itu
hukumannya boleh dengan syarat harus kontan dan memakai pelebihan, Jumhur fuqoha juga
telah sepakat, bahwa emas atau perak yang sudah dicetak, juga masih lantakan
atau sudah menjadi perhiasan, semuanya itu sama-sama dilarang menjualnya satu
dengan yang lainnya memakai pelebihan. Kecuali
mu’awiyah yang membolehkan pelebihan antara barang lantakan dengan barang yang
sudah menjadi perhiasan, dengan alasan bertambahnya unsur kebiasaan
Selanjutnya berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-Sharf adalah sebagai berikut:
1.
Masing-masing
pihak saling menyerah terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini
untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya
tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi
batal.
2.
Jika
akad al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun
keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.
3.
Khiyar
syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf, karena akad ini sesungguhnya
merupakan jual beli dua benda secara tunai. Sedang khiyar syarat mengindikasikan
jual beli secara tidak tunai.[15]
Adapun menurut para ulama, syarat yang harus dipenuhi dalam jual
beli mata uang adalah sebagai berikut:
1.
Pertukaran
tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak
harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang
bersamaan.
2.
Motif
pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
3.
Harus
dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini
dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan
datang.
4.
Transaksi
berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan
valuta asing yang dipertukarkan.
5.
Tidak
dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan
(bai al-alfudhuli).[16]
b.Pertukaran
barang dengan barang atau barter
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya
pertukaran barang dengan barang. Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan
ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba, umpamanya
kita saling menukar beras, tapi takarannya berbeda, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Selanjutnya menurut Sayyid Sabiq dalam kitab
fiqih sunnah, bahwa apabila berlangsung jual beli barter misalnya emas dengan emas atau gandum dengan gandum, ada dua
syarat yang harus dipenuhi agar jual beli hukumnya sah, yaitu:
1.
Persamaan dalam kwantitas tanpa memperhatikan
baik dan jelek, berdiri kepada hadits diatas dan yang diriwayatkan oleh muslim
bahwa seorang mendatangi Rasulullah, dengan membawa sedikit kurma Rasullulah
lalu mengatakan padanya:
Artinya: "Ini bukanlah kurma kita." Orang tersebut
berkata lagi: "Wahai Rasulullah, kami mi sebanyak dua sha' dengan satu
sha'." Rasulullah lantas bersabda lagi: "Yang demikian itu riba.
Kembalikanlah, kemudian juallah kurma kita dengan setelah itu belilah untuk
kita dari jenis ini".
2.
Tidak
boleh menangguhkan salah satu barang, bahkan pertukaran harus dilaksanakan
secepat mungkin.[17]
2.Pertukaran
barang yang tidak sejenis
Yaitu
pertukaran barang yang tidak sejenis, pertukaran dalam sistem ini terbagi
menjadi dua macam yaitu:
a.Pertukaran uang
dengan barang, misalnya jual beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti
tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan
yang sepadan menurut cara yang dibenarkan.[18]
Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang
sah.) Para
Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu:
jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam
bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga
pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
b.Pertukaran
barang dengan uang, misalnya sewa.
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan. Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat
yang dituju.[19]
2.Pertukaran
real asset (‘ayn) dengan financial asset (dayn)
Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn, maka yang dibedakan adalah jenis
‘ayn-nya. Bila ‘ayn-nya adalah barang, maka pertukaran ‘ayn dengan dayn itu
disebut jual beli (al-bai’). Sedangkan bila ‘ayn-nya adalah jasa, maka
pertukaran itu disebut dengan sewa-menyewa atau upah mengupah (al-ijarah).
Dari segi metode pembayarannya Islam membolehkan jual beli
dilakukan secara tunai, secara tangguh bayar, atau secara tangguh serah. Bay
muajjal dapat dibayar secara penuh (muajjal) atau secara cicilan (taqsith).
Jual beli tangguh serah dapat dibedakan lagi menjadi: pertama, pembayaran lunas
sekaligus di muka (ba’salam); kedua, pembayarannya dilakukan secara cicilan
dengan syarat harus lunas sebelum barang diserahkan (bai’ istishna’).
Jual beli dapat dilakukan secara lazim tanpa si penjual menyebutkan
keuntungannya. Akan tetapi dalam hal khusus, misalnya jual beli dengan anak
kecil atau dengan orang yang akalnya kurang, jual beli dilakukan secara
murabhahah. Dalam praktis perbankan syariah, akad murabahah lazim digunakan
meskipun transaksinya tidak dilakukan dengan anak kecil atau orang yang akalnya
kurang. Karena teknik perhitungan keuntungan yang dilakukan bank terlalu rumit
untuk dipahami oleh masyarakat awam. Bank misalnya, menggunakan teknik
perhitungan sliding, flat, progresif, yang jangankan masyarakat awam, staf bank
yang bersangkutan pun tidak semuanya paham.
Ijarah bila diterapkan untuk
mendapatkan manfaat, barang yang disebut sewa menyewa, sedangkan bila
diterapkan untuk mendapatkan manfaat orang disebut upah mengupah. Ijarah dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja
yang disewa (disebut ju’alah, success fre), dan Ijarah yang pembayarannya tidak
tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ijarah, gaji dan sewa).
Dalam praktik perbankan, akad Ijarah
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasabah menyewa ruko, misalnya, yang
mengharuskan nasabah membayar sewanya secara lump-sum di muka untuk periode 3
tahun. Bank akan menyewa ruko tersebut dengan pembayaran lump-sum 3 tahun, kemudian
bank akan menyewakan lagi kepada nasabah dengan pembayaran sewa bulanan untuk
periode 3 tahun. Tentu saja bank mengambil untung drai transaksi ini.
Dalam perkembangan terakhir, muncul
pula kebutuhan nasabah yang menyewa untuk memiliki barang yang disewanya di
akhir periode sewa. Kebutuhan ini dipenuhi dengan adanya Ijarah Muntahia bi
Tamlik. Bagi bank, akad ini merupakan berkah karena memberikan fleksibilitas harga sewa bulanan; suatu hal
yang tidak mungkin dilakukan dalam akad murabahah. Akad ini juga membuka
peluang bagi bank untuk memperpanjang waktu dengan melakukan akad sewa baru,
bila di akhir periode sewa pertama nasabah belum mapu untuk melakukan pembelian
barrang tersebut.
3.Pertukaran
financial (dayn) dengan financial asset (dayn)
Dalam pertukaran ini, dibedakan antara dayn yang berupa uang dengan
dayn yang tidak berupa uang, yaitu surat berharga. Pada zaman ini, uang tidak
lagi terbuat dari emas atau perak. Sehingga uang saat ini adalah uang kartal
yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Yang membedakan uang dengan surat
berharga adalah uang dinyatakan sebagai alat bayar resmi oleh pemerintah,
sehingga setiap warga negara wajib menerima uang sebagai alat bayar. Sedangkan
akseptasi surat berharga hanya terbatas bagi mereka yang mau menerimanya.[20]
BAB 3 PENUTUP
3.1Kesimpulan
Jadi, yang di maksud dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah
percampuran yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit
dibedakan. Sedangkan secara terminology yaitu ikatan kerjasama antara
orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Bentuk perjanjian
ini lebih cenderung disebut dengan kerja sama atau asy-syirkah.
Dalam syirkah atau percampuran ini berdasarkan objeknya dibagi
menjadi beberapa jenis, diantaranya yang paling pokok yaitu menjadi 3 jenis,
yaitu: Percampuran Dayn dengan dayn, Percampuran
‘Ayn dengan ‘ayn, dan Percampuran ‘Ayn dengan Dayn
Kemudian, yang disebut dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah
pertukaran yaitu system pertukaran aset yang dimiliki antara kedua pihak, yang
objectnya baik berupa barang maupun jasa harus ditetapkan di awal. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah,
sewa-menyewa.
Bentuk akad ini yang apabila dilihat dari sudut objek juga terdapat
3 jenis atau macam akad itu sendiri yaitu: Pertukaran real asset ('ayn)
dengan real asset (‘ayn), Pertukaran
real asset (‘ayn) dengan financial asset (dayn), dan Pertukaran financial
(dayn) dengan financial asset (dayn).
DAFTAR PUSTAKA
Dewi,
Gemala.2005.Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.Jakarta: Kencana.
Ghufron,
A. Mas’adi.2002. Fiqh Muamalah Konstekstual.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mujieb,
M.Abdul.1995.Kamus Istilah Fiqh.Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Adiwarman
A. Karim. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Afandi,
M.Yazid.2009.Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah.Yogyakarta: Logung Pustaka.
[6] M.Yazid Afandi.Fiqh
Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009).hlm.114
[7] M.Yazid Afandi.Fiqh
Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009).hlm.114
[9] Gemala Dewi.Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.(Jakarta:Kencana,2005).hlm.101
[13] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).hlm.140
[15] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2002).hlm.150
[16] M.Yazid
Afandi.Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah.
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).hlm.120
[17] M.Yazid
Afandi.Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah.
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).hlm.120
No comments:
Post a Comment