PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
PERJANJIAN SYARIAH
PEMBAHASAN
- Definisi
Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian
syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa
Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’[2].
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak.
Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain[3].
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang
berhubungan dengan perjanjian yaitu akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu
hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu merupakan pesan, masa,
penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu disamakan dengan seperti
halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka
dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk
melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan tidak berkaitan dengan kemauan
orang lain[4].
Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang[5].
Di dalam melakukan suatu perjanjian itu harus ada
kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab qabul. Agar
perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai
perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan
suatu kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya
bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut
Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan
qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat hukum yang ada
yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/
2005 yang di dalamnya menetapkan dalam hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran
Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah[6].
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat
dikatakan bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban
untuk berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana
antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.
- Dalil
tentang perjanjian
1. Al-quran
4n?t/
ô`tB
4nû÷rr&
¾ÍnÏôgyèÎ/
4s+¨?$#ur
¨bÎ*sù
©!$#
=Åsã
tûüÉ)GßJø9$#
ÇÐÏÈ
76. (Bukan
demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa,
Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.(Q.S.
Ali ‘Imran: 76)
öNs9r&
ts?
¨br&
©!$#
ãNn=÷èt
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
(
$tB
Ücqà6t
`ÏB
3uqøgªU
>psW»n=rO
wÎ)
uqèd
óOßgãèÎ/#u
wur
>p|¡÷Hs~
wÎ)
uqèd
öNåkÞÏ$y
Iwur
4oT÷r&
`ÏB
y7Ï9ºs
Iwur
usYò2r&
wÎ)
uqèd
óOßgyètB
tûøïr&
$tB
(#qçR%x.
(
§NèO
Oßgã¤Îm6t^ã
$yJÎ/
(#qè=ÏHxå
tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
4
¨bÎ)
©!$#
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
îLìÎ=tæ
ÇÐÈ
“Tidakkah kamu perhatikan,
bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula)
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia
berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan
memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
2. As-sunnah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Hurairah
menyampaikan bahwa rasulullah SAW. Berkata bahwa Allah SWT. Berfirman: “aku
anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku
jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka
aku keluar dari syirkah itu”.
- Keabsahan
Hukum Perjanjian Syariah Dan Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
1. Keabsahan Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam melakukan suatu perjanjian harusnya
terdapat rukun dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut dapat
dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur yang
harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
a. Rukun akad
merupakan di dalamnya terdapat ijab dan qobul. Dan rukun tersebut
menyangkut dengan adanya subyek dan obyek
b. Syarat yang harus dipenuhi agar suatu
perjanjian itu disepakati oleh kedua belah pihak yang mana akan mempunyai
akibat hukum :
1. Ijab
Qabul itu harus dinyatakan atau dilakukan oleh orang yang mencapai umur tamyiz
atau bbisa dikatakan sebagai orang yang cakap. Karena bila orang tersebut tidak
cakap, maka orang tersebut tidak dapat melakukan suatu perjanjian maupun
perikatan dengan orang lain.
2. Ijab
qabul harus merujuk kepada obyek perjanjian tersebut.
3. Ijab
qabul harus ada hubungannya dengan majelis, bila kedua belah pihak sama- sama
hadir.
4. Jumhur
ulama mengatakan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting suatu
perjanjian atau akad[7].
2. Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad
sama dengan perjanjian. Namun, hal ini berbeda dengan perspektif syari’ah. Pada
sharia level, akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu akad baru
dapat dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank
syari’ah dan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek
transaksi serta waktu penyerahan telah diketahui. Sementara itu, dalam
pembiayaan yang berbentuk line facility, syari’ah memandang perjanjian
tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya berbentuk wa’ad (promise).
Dalam konteks ini, akad baru akan terjadi pada saat dropping pembiayaan
yang diwujudkan dalam bentuk SPRP (surat permohonan realisasi pembiayaan) dari
nasabah dan dijawab oleh bank dalam bentuk surat persetujuan pencairan
pembiayaan.
Dengan kata lain, dalam sharia level, akad
tidak selalu berwujud surat perjanjian, melainkan juga bisa berbentuk surat
dokumen pencairan. Begitu pula halnya dengan surat perjanjian, ia bisa
mencerminkan suatu akad , bisa pula hanya mencerminkan sebuah wa’ad
(promise). Istilah hukum yang sama dapat mempunyai dua arti yang berbeda,
tergantung dari perspektif level apa yang digunakan[8].
- Syarat
Sah dan Batalnya Suatu Hukum Perjanjian Syariah
Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam
suatu akad perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi sebuah
perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
1. Tidak
menyalahi hukum syariah yang telah disepakati
Bahwasannya suatu perjanjian yang telah dilakukan
oleh kedua belah pihak tersebut tidak boleh bertentangan maupun melawan hukum syariah. Dikarenakan apabila suatu
perjanjian dilakukan dengan menimbulkan adanya suatu pertentangan dengan hukum,
maka perjanjian tersebut dikatakan suatu perjanjian yang tidak sah. Dalam hadis
Rasulullah mengatakan :
“ Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam
kitab Allah adalah bathil, sekalipun seribu syarat “ ( Sayid Sabiq, 11, 1987
:178 )
2. Harus
sama ridha dan ada pilihan
Dalam melakukan suatu perjanjian, antara kedua belah
pihak harus sama- sma ridha dan tidak ada paksaan dari pihak yang lainnya. Karena
dalam hal itu sebuah perjanjian akan menimbulkan akibat hukum dan mempunyai
kekuatan hukum. Apabila terdapat paksaan dari orang lain, maka perjanjian
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
3. Harus
jelas
Perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak
harus jelas apa adanya yang telah tercantum dalam perjanjian. Agar apabila
terjadi suatu kesalahan suatu saat, antara kedua belah pihak sudah mendapatkan
dan mengerti tentang apa yang mereka buat dalam sebuah perjanjian tersebut.
Yang mana dengan hal ini, kedua belah pihak mempunyai hasil dari tujuan
perjanjian yang telah mereka sepakati.
Sedangkan dalam sebuah akad bisa terjadi adanya
suatu kebatalan atau terputusnya akad perjanjian, adapun factor-faktor yang
menyebabkan batalnya suatu perjanjian diantaranya yaitu:
1. Jangka
waktu telah berakhir
Dalam melakukan suatu perjanjian harus ditentukan
jangka waktunya. Agar di dalam melakukan suatu perjanjian, salah satu pihak
tidak menyalahgunakan waktu yang telah ditentukan. Maka dari itu, suatu
perjanjian juga mempunyai jangka waktu yang terbatas dalam melaksanakannya.
Apabila jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak telah habis maka
perjanjian tersebut dapat dikatakan batal.
2. Adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu pihak
Apabila antara kedua belah pihak, yang mana salah
satu pihak melakukan penyimpangan dalam sebuah perjanjian, maka perjanjian
dapat dibatalkan. Akan tetapi, dalam membatalkan sebuah perjanjian harus ada
aturannya. Seperti halnya bila diketahui ada salah satu pihak yang melakukan
penyimpangan maka pihak yang lain diperbolehkan membatalkan perjanjian tersebut
dengan baik sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya.
3. Terdapat
atau ditemukannya penipuan dalam perjanjian
Di dalam suatu perjanjian telah ditemukan penipuan
yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak yang lain dapat membatalkan
perjanjiannya sesuai dengan perjanjian yang mengikat sebelumnya. Seperti halnya
yang telah tercantum dalam Al-Quran surat Al- Anfal 58 yang berbunyi :
“ Dan jika kamu khawatir akan ada penghianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berkhianat.” (Dewan
Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Al- Quran, 1990 : 270).
Adapun prosedur dari perjanjian syariah:
1. Memberi
lebih dulu kepada pihak yang melakukan perjanjian, bahwasannya perjanjian yang
telah disepakati akan dihentikan. Dengan memberitahukan alasan- alasan
dibatalkannya perjanjian tersebut.
2. Setelah
pihak yang diberitahu tersebut telah mempunyai waktu untuk menyiapkan perjanjian, maka terlaksanakanlah pembatalan
perjanjian tersebut[9].
- Ruang
Lingkup Hukum Perjanjian Syari’ah
Menurut pernyataan Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH.
Tentang hukum perikatan islam dapat
disimpulkan bahwa adanya kaitan erat antara hukum perikatan (yang bersifat
hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama islam
yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber hukum islam tersebut. Hal ini
menunjukkan sifat “religious transendental” yang terkandung pada aturan-aturan
yang melingkupi hukum perikatan islam itu sendiri yang mencerminkan otoritas
Allah SWT. Tuhan yang maha mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam
hubungan antar sesamanya[10].
Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan
islam lebih luas dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat.
Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri
dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang
pencipta (Allah SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut
merupakan hubungan vertical dan horizontal[11].
- Pengertian
Hukum Bisnis
Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam “De Legibus”
menyatakan hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang
ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan[12].
Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa hukum sebagai buatan manusia, yakni
segala norma buatan manusia karena kekuasaan
atau kesepakatan untuk merealisasikan hukum kodrat atau hukum wahyu dalam
kehidupan manusia.
Secara umum tujuan hukum adalah mengatur pergaulan
huidup secara damai.[13]dalam
setiap kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial akan selalu berinteraksi dengan
manusia yang lain. Dengan adanya interaksi ini akan timbul kepentingan
perseorangan dan kepentingan golongan yang kadang menimbulkan pertikaian, akan
tetapi dengan interaksi juga memberikan manfaat dengan menambah pengetahuan
serta informasi lainnya.
Secara etimologis , kata bisnis berarti usaha,
perdagangan, toko, perusahaan, tugas, urusan dan hak.[14]secara
epistimologis, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang
terorganisasi untuk menghasilkan laba atau menjual barang dan jasa guna
mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat[15].
Jadi, hukum bisnis dapat diterjemahkan sebagai
seperangkat kaedah-kaedah hukum yang diadakan untuk mengetur serta
menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul antar aktivitas manusia,
khususnya dalam bidang perdagangan[16].
Pengertian hukum bisnis ini menunjuk pada beberapa
unsur. Pertama, ada norma-norma hukum yang dibuat manusia (pejabat yang
berwenang mewakili peran Negara). Kedua. Mengatur persoalan-persoalan yang
timbul dimasyarakat. Ketiga, obyek yang diselesaikan atau diatur adalah
mengenai perdagangan atau dunia bisnis[17].
DAFTAR
PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur, perbankan syari’ah di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2009.
A.karim,
Adiwarman, Bank Islam:Analisis Fiqh Dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Djumadi,
Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006.
Dewi,
Gemala dan Wirdyaningsih dan Barlinti, Yeni Salma, Hukum Perikatan Di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Pasaribu,
Chairuman dan Lubis, suhrawadi K., Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: sinar grafika, 2004.
Kabul,
Imam, Hukum Bisnis Di Era Kapitalisme Global, Jakarta: Nirmana Media,
2006.
Suharnoko,
Hukum Perjanjian: Teori Dan Analisis Kasus, Jakarta: kencana prenada media
Group,
2007.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pemaparan atau penjelasan materi diatas maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pengertian hukum
perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara
istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’[18].
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak.
Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
2.
Dalil dari
perjanjian syaiah yaitu Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 76 dan hadis nabi yang
berbunyi “aku anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya
tetap berlaku jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati
temannya, maka aku keluar dari syirkah itu”.
3.
Di dalam
melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu akad.
Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat
merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa
maupun tindakan.
4.
Adapun
syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar
perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
a. Tidak
menyalahi hukum syariah yang telah disepakati
b. Adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu pihak
c. Harus
jelas
5.
Ruang lingkup
hokum perjanjian syariah. Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan
islam lebih luas dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat.
Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri
dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang
pencipta (Allah SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut
merupakan hubungan vertical dan horizontal.
6.
Pengertian hokum
bisnis menurut Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam “De Legibus”
menyatakan hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang
ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan[19].
Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa hukum sebagai buatan manusia, yakni
segala norma buatan manusia karena
kekuasaan atau kesepakatan untuk merealisasikan hukum kodrat atau hukum wahyu
dalam kehidupan manusia.
- Saran
Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga dengan adanya makalah ini bisa sedikit banyak memberikan wacana kepada
para pembaca tentang zakat perdagangan ini dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya. Disamping itu, kami juga mengharapakan kritik dan saran dari
pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih memiliki
banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam penulisan atau pembahasan
selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin.
[1]
Suharnoko, Hokum Perjanjian;Teori Dan Analisa Kasus (Jakrta: Kencana
Prenada Media Gpoup,2007),1.
[2]
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta:
sinar grafika, 2004),1.
[3]
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2009),51.
[4]
Anshori, Perbankan,51
[5]
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006),13.
[6]
Anshori, Perbankan,52-53
[7]
Ibid. 53
[8]
Adiwarman, A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta:
PT. Raja Grafindo,2006),362-363.
[9]
Pasaribu dan Lubis, Hukum, 7
[10]Gemala
Dewi, Wirdyaningsih Dan Yeni Salma Barlianti, Hukum Perikatan Islam Di
Indonesia,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006),3-4.
[11]
M. Tahir Azhari, Bahan Kuliah Perikatan Islam Di Fakultas Hokum Universitas
Indonesia Tanggal 16 Februari 1998;Barlianti, Hukum,3-4
[12]
Johanes Ibrahm Dan Lindawati Sewu, Hokum Bisnis Dalam Persesi Manusia
Modern,(Bandung: Refika Aditama, 2004);Imam Kabul, Hokum Bisnis Di Era
Kapitalisme Global,(Jakarta: Nirmana Media, 2006),68.
[13]
L.J. Vaan Apeldoon, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1986),22.;Kabul,Hukum,71
[14]Peter
Salim, The Contemporary English-Indonesia, (Jakarta: Modern English
Press, 1991),265.;ibid,44
[15]
Hughes dan kapoor, dikutip oleh bukhari alma, pengantar bisnis,; ibid,44
[16]
Ibid, 72
[17]
Ibid, 72
[18]
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta:
sinar grafika, 2004),1.
[19]
Johanes Ibrahm Dan Lindawati Sewu, Hokum Bisnis Dalam Persesi Manusia
Modern,(Bandung: Refika Aditama, 2004);Imam Kabul, Hokum Bisnis Di Era
Kapitalisme Global,(Jakarta: Nirmana Media, 2006),68.
No comments:
Post a Comment