FATWA
DALAM ISLAM
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Fatwa (Ifta’)
Kata Fatwa (kemudian
disebut dalam istilah bahasa Indonesia) sepadan dengan kata Ifta’ yang
berakar dari afta, berarti penjelasan tentang suatu masalah.[1]
Dari segi terminologi fatwa
adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab
(keputusan/pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga
dinamakan dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti
pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang
diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.[2]
الإِخْبَارُ
عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ
الْعُمُوْمِ وَالشُّمُوْلِ
“Fatwa
ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang
mencakup segala persoalan”.
Menurut ulama Hanafi, ifta’
adalah menjelaskan hukum terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah).
Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum
syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala
ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’
sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang satu persoalan sebagai jawaban
terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun samar, individual
maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an
su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).[3]
2.
Istifta’
Sedangkan
istifta’ secara Etimologi ialah :
الْجَوَابُ
عَمَّا يُشْكِلُ مِنَ الأُمُوْرِ
“menyelesaikan
setiap problem”.[4]
Menurut
Hallaq, di dalam Alquran, istilah istifta’ mengandung konotasi permohonan
untuk memecahkan satu persoalan yang pelik.[5]
maka Istifta’ dapat juga
diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh
jawaban-jawaban (Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai
peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual
maupun kolektif. Sedangkan, Pihak yang meminta fatwa tersebut disebut al-mustafi.
3.
Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi
Fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan
persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai
dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan
hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan,
mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya,
serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah
ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”.
Adapun orang yang pertama
menjabat mufti di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa
terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari
Allah yang diturunkan kepadanya.
B.
Syarat dan Kewajiban Mufti
Dalam
kitab Faroidu As Saniyyah Syarat sebagai Mufti ialah :
1. Mengetahui ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan hukum
2. Mengetahui Hadits yang berhubungan dengan
hukum
3. Mengetahui Kaidah-kaidah fiqih
4. Mengetahui Cabang-cabang ilmu fiqih
5. Mengetahui Perselisihan Madzhab
6. Mengetahui Madzhab yang sudah ditetapkan
7. Mengetahui Ilmu Nahwu dan Shorof
8. Mengetahui Ilmu Bahasa
9. Mengetahui Ilmu Ushul
10. Mengetahui Ilmu Ma’ani
11.
Mengetahui Ilmu Bayan
12.
Mengetahui Ilmu Tafsir
13.
Mengetahui Tingkah-tingkah rowi (Periwayat Hadits)
14.
Mengetahui Ketetapan dan Perselisihan
15.
Mengetahui Nasikh Mansukh
16.
Mengetahui Asbabun Nuzul.[6]
Menurut pendapat Imam Ahmad bahwa
yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai lima perkara, yaitu :
1.
Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridloan Allah semata.
Karenanya jangan member fatwa untuk mencari kekayaan ataupun kemegahan, atau
karena takut kepada penguasa
2.
Hendaknya dia mempunyai ilmu, ketenangan , kewibawaan, dan dapat menahan
kemarahan. Ilmu sangat diperlukan dalam member fatwa. Orang yang memberi fatwa
tanpa ilmu berarti mencari siksa Allah.
3.
Hendaknya mufti itu benar-benar orang yang menguasai Ilmunya, bukan seseorang
yang lemah ilmu.
4.
Hendaknya seorang mufti memiliki kecukupan dalam bidang material bukan
seseorang yang memerlukan bantuan orang lain untuk penegak hidupnya.
5. Hendaknya
mufti memiliki ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui keadaan
masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan
fatwa-fatwanya.[7][7]
Ibnu
Qayyim menambahkan bahwa seorang mufti harusalah seorang yang alim dan benar
serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
C.
Kedudukan Ifta’ (Fatwa)
Kedudukan fatwa, sebagaimana
ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat
krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan
pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
Disebutkan didalam kitab Al-Majmu’
tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa/berfatwa itu adalah satu perkara
yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar
pula karena orang yang berfatwa itubukan sembarang orang melainkan adalah
pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan urusan itu”
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa
mufti adalah penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Untuk
menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat di bumi ini.
بَلِّغُواعَنِّى
وَلَوْ ايَةً
“Hendaklah
engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.” (HR. Ahmad
dan Tirmidzi)
Ibnu Abidin menjelaskan bahwa
orang fasik tidak boleh diangkat menjadi mufti mengingat urusan fatwa
adalah urusan agama. Sedangkan orang fasik tidak boleh diterima
keputusan-keputusannya tentang agama. Fasik ialah orang yang tidak mau ta’at
atau melanggar ketetapan-ketetapan agama. Mereka yang dikenal fasik dengan
sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan,
bahkan mereka yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti
ini tampaknya menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.[8]
KESIMPULAN
Fatwa adalah pendapat atau
keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. dalam ilmu ushul fiqh, fatwa
berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai
jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak
mengikat.
Istifta’ dapat juga diartikan
sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban
(Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan
kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun
kolektif.
“Sedangkan
Mufti ialah pemberi Fatwa.”
Seorang mufti harusalah seorang
yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil
dan jujur pula.
Fasik ialah orang yang tidak mau
ta’at atau melanggar ketetapan-ketetapan agama.
Orang fasik tidak boleh diangkat
menjadi mufti mengingat urusan fatwa adalah urusan agama. Sedangkan
orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama.
4
DAFTAR PUSTAKA
Ali Bin
Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain)
Yusuf
al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar
Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988)
Khairul
umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001) Khairul
umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001)
Muhammad
Sya’roni Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah, (kudus, 2006)
[3][3] Yusuf
al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar
Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hlm. 11.
2
No comments:
Post a Comment