MODEL ISTINBAT
DAN ISTIDLAL ULAMA KALANGAN NADHATUL ULAMA (LAJNAH BAHTSUL MASAIL)
(Untuk Memenuhi
Makalah Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Iqtishadiyyah)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Nahdlatul Ulama
Sebelum kita membahas tentang istinbath dan istidlal di kalangan
ulama Nahdlatul Ulama kurang lengkap rasanya jika kita tidak membahas sejarah
berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi
jami’iyyah diniyah yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh
sekelompok ulama’ yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem
kehidupan pesantren. Dimana wilayah ajaran dan praktik Islam tradisional telah
tergeser akibat pesatnya perkembangan modernisme Islam saat itu.[1]
Lahirnya Jami’iyyah Nahdlatul Ulama didahului dengan beberapa
peristiwa penting. Pertama adalah berdirinya grup diskusi di Surabaya pada
tahun 1914 dengan nama “Taswirul Afkar” yang dipimpin KH. Wahab Hasbullah dan
KH. Mas Mansyur. Pada tahun 1916 grup diskusi ini telah berkembang dan berubah
dengan nama “Nahdlatul Wathan” (kebangkitan tanah air). Peristiwa yang lain
adalah pembentukan komite Hijaz sebagai utusan ke Arab Saudi guna mengikuti
konggres khilafah pada tahun 1926.[2]
Pada akhirnya muncullah kesepakatan untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari
1926) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.[3] K.H.
Hayim Asy’ari merupakan tokoh pendiri NU, dan pemikirannyapun paling
berpengaruh di dalam internal NU. Dan salah satunya pemikirannya rentang
bermadzhab, beliau menawarkan empat pilihan bermadzhab. Dalam pandangannya yang
kemudian menjadi pandangan resmi NU. Beliau sendiri telah menetapkan memilih
madzhab Syafi’i, sebab madzhab ini dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia
dan selalu mengambil jalan tengah dalam menentukan (Istinbat) hukum-hukum
Islam.[4]
B.
Model
Istinbath dan Istidlal di Kalangan Ulama Nahdlatul Ulama
Metodologi penetapan hukum atau istinbath hukum dalam wacana hukum
Islam merupakan spare part yang paling penting dan berpengaruh pada penetapan
produk hukum yang dihasilkan. Para ulama ushul membahas metodologi penetapan
hukum itu dalam pembahasan adillat al-ahkam yakni dalil-dalil yang menjadi
dasar dan metode penetapan hukum. Kata istinbath sendiri berasal dari kata
istinbatha yang berarti menemukan, menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya.
Sedangkan secara istilahi adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an
dan as-Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga
istinbath identik dengan ijtihad.
Dalam lembaga bahtsul masa’il NU istilah istinbath hukum tidak
banyak dikenal. Bagi ulama NU ini lebih berkonotasi pada istikhraj al-hukm min
al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunnah)
yang dilakukan oleh mujtahid mutlaq, yang menurut ulama NU sangat berat untuk
dilakukan. Sebagai gantinya adalah dengan istilah ittifaq hukum.
Di kalangan ulama NU, istinbath hukum diartikan bukan mengambil
hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni al-Qur’an dan
sunnah, tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara dinamis nash-nash yang telah
dielaborasi fuqaha kepada persoalan (waqi’iyah) yang dicari hukumnya.[5]
Istinbath hukum langsung
dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlaq, bagi ulama
NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan yang memang disadari
terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan perlengkapan yang harus dikuasai oleh
seorang mujtahid. Sementara ijtihad dalam batas mazhab di samping lebih praktis
dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami kitab-kitab fiqih
yang sesuai dengan terminologinya yang baku.
Secara definitif NU memberikan
arti istinbath hukum dengan upaya mengeluarkan hukum syara’ dengan al-qawaid
al-fiqhiyyah dan al-qawaid al-ushuliyyah baik berupa adillah ijmaliyah, adillah
tafshiliyyah maupun adillah ahkam. Dengan demikian produk hukum yang dihasilkan
PBNU merupakan hasil ijtihad ulama atas nash-nash al-Qur’an dan sunnah yang
sesuai dengan prinsip-prinsip mujtahid tempo dulu. Secara umum kaidah fiqhiyyah
dengan qaidah ushuliyyah mempunyai perbedaan yang komplementer. Untuk
mengetahui perbedaan tersebut perlu diidentifikasi bahwa kaidah fiqhiyyah
adalah kaidah yang timbul dari pemahaman mujtahid terhadap nash-nash syara’,
yang penekanannya dalam konteks hukum praktis. Sedangkan kaidah ushul timbul
dari konteks kebiasaan dalam rangka memahami nash-nash al-Qur’an dan sunnah.
Selain itu, kaidah fiqhiyyah merupakan hasil penelitian induksi dari
hukum-hukum yang telah ada, sedangkan kaidah ushul merupakan saran untuk
memahami pesan-pesan nash dalam bentuk praktis, hukum-hukum Islam. Dari
beberapa pertimbangan di atas, ada dua istinbath hukum yang dilakukan yakni
melalui pendekatan kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah. Kaidah fiqhiyyah
lebih didahulukan dari pada kaidah ushuliyyah yang secara umum telah disepakati
oleh para ulama sebagai thariqat istinbath hukum, di samping itu juga mengingat
eksistensi kaidah fiqhiyyah yang sangat penting dalam studi fiqih.
Penggunaan kaidah
fiqhiyyah dikalangan ulama NU, nampaknya dilatarbelakangi oleh konsep bermazhab
dalam mengembangkan hukum Islam, yang menjadi pilihan bagi para founding
fathers NU di masa awal. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat
Indonesia yang telah menganut mazhab Syafi’i secara kultural. Dengan demikian
apa yang dipilih NU merupakan akumulasi pendapat masyarakat dalam memahami dan
mengamalkan hukum Islam yang dielaborasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Akumulasi itu selanjutnya terformat dalam konsep bermazhab, dengan cara
mengikuti pendapat-pendapat yang sudah menjadi di kalangan mazhab tertentu
yakni berupa aqwal hasil istinbath yang dilakukan oleh seorang mujtahid
sekaligus menggunakan manhaj tersebut, bila memang diperlukan. Bermazhab secara
qauli (aqwal) berarti mengikuti hasil istinbath yang telah dilakukan oleh
mujtahid terdahulu, sedangkan bermazhab secara manhaji adalah bermazhab dapat
mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam
mazhab.[6]
Pengaruh ajaran-ajaran
teologi Asy’ari dan mazhab Syafi’i sangat kental di kalangan masyarakat muslim
Indonesia. Khususnya di berbagai pesantren salaf yang biasanya memberikan mata
pelajaran ilmu kalam dan fiqih. Aqidat al-Awam, Umm al-Barahim dan Jawahir
al-Kalamiyah menjadi kitab pegangan dalam mengajarkan akidah bagi para santri.
Begitu juga dengan kitab-kitab faiqih madzhab Syafi’i Minhaj al-Talibin oleh Imam
Nawawi, Fath al-Wahab karya Zakaria al-Anshori, Nihayat at-Muhtajnya oleh Imam
Ramli, Mughni al-Muhtaj karya Syarbini, serta Al-Muharrornya Imam Rofi’i sangat
mendominasi pengajaran ilmu fiqih di pesantren. Karya-karya ini selalu dikaji
baik secara sorogan (individu) maupun bandongan (klasikal). Dengan berbagai
data di atas, sangatlah beralasan apabila NU tidak terlalu revolusioner dalam
mengadakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tidak seperti organisasi
keagamaan modernis pada umumnya yang reaksioner. Ulama-ulama NU tetap memakai
ajaran-ajaran ahlusunnah wal jamaah yang mengikuti empat Imam mazhab sunni.
NU mendasarkan
paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, as-sunnah,
al-ijma’, dan qiyas. Dalam memahami serta menafsirkan Islam dari berbagai
sumber tersebut, NU mengikuti paham ahlusunnah wal jama’ah, dengan memakai jalan
pendekatan sebagai berikut:[7]
1.
Di
bidang aqidah, NU menganut paham ahlusunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi.
2.
Di
bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari 4 mazhab. Keempat
mazhab tersebut yaitu mazhab Abu Hanifah An-Num’an (Hanafi), Imam Malik bin
Anas (Maliki), Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Syafi’i) serta Imam Ahamd bin
Hambal (Hambali).
3.
Di
bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf Imam Al-Junaid Al-Bugdadi, Imam
Al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
Pada prinsipnya NU menggenggam pendirian dasar bahwa Islam adalah
agama yang fitri atau suci, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang
secara asasi sudah dimiliki oleh manusia. Berdasarkan prinsip tersebut, NU
tidak pernah berniat menghapus nilai-nilai yang sudah menjadi milik masyarakat.
NU hanya ingin menyempurnakan dan membimbing nilai-nilai atau tradisi yang telah
ada di masyarakat, sehingga selaras dengan ajaran Islam. Bertitik tumpu pada
dasar keagamaan seperti itu maka dalam perilaku kemasyarakatan NU mengambil
sikap antara lain:[8]
1.
Menjunjung
tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
2.
Mendahulukan
kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi
3.
Menjunjung
tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmat serta berjuang
4.
Menjunjung
tinggi persaudaraan (ukhuwah), persatuan (ittihad) serta kasih mengasihi
5.
Meluhurkan
kemuliaan moral (akhlakul karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu)
baik dalam berpikir, bersikap maupun dalam bertindak
6.
Menjunjung
tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara
7.
Menjunjung
tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dan ibadah kepada Allah
SWT
8.
Menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan serta para ahlinya
9.
Selalu
siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi
kemaslahatan umat
10.
Menjunjung
tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan
masyarakat
11.
Menjunjung
tinggi kebersamaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
Dengan prinsip-prinsip tersebut, dapat dimengerti jika NU
senantiasa bersikap “lunak” terhadap beragam nilai atau tradisi yang telah
menyatu dengan kehidupan masyarakat. NU tak pernah menyulut “api peperangan”
terhadap tradisi, yang penting bagaimana agar pelaksanaan berbagai tradisi itu
sesuai dengan Islam. Biarlah “kulitnya” masih diwarnai tradisi versi lama, asal
“isinya” sudah Islam. Dengan demikian upaya mempribumikan Islam atau meng-Indonesia-kan
Islam, sebetulnya sudah lama dilakukan oleh NU.
Dalam kalangan Nahdlatul Ulama yang paling berpengaruh adalah ilmu
tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf. Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
masalah ketuhanan sehingga ia nanti akan berkeyakinan bahwa Allah maujud. Ilmu
fiqh adalah ilmu untuk mengetahui dan menghantarkan kepada ketaatan terhadap
Allah, seperti halnya cara-cara bersuci, shalat, dan puasa. Ilmu tasawuf adalah
ilmu yang menjelaskan tentang berbagai keadaan, maqam, tingkatan, dan membahas
rayuan serta tipu daya nafsu dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Nahdlatul
Ulama selalu mengidentifikasikan diri dengan organisasi yang berhaluan
ahlusunnah wal jama’ah dan mengikuti salah satu dari empat mazhab. Hal
ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu
Majah dari Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa umat Muhammad akan terpecah
menjadi 73 kelompok besar yang tersesat dan kelompok yang selamat, yaitu
ahlusunnah wal jama’ah. Dalam Hasiyah asy-Syanwani disebutkan yang dimaksud
dengan ahlusunnah wal jama’ah adalah Abu Hasan al-Asy’arie dan kelompoknya.
Oleh karena Allah menjadikan mereka sebagai hujjah bagi makhluknya. Kelompok
inilah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi, sesungguhnya Allah tidak akan
menjadikan umat untuk bersepakat dalam kesesatan. Abu Mansur bin Tahir
at-Tamimi mengatakan bahwa yang termasuk kelompok tersesat bukanlah mereka yang
berbeda pendapat dalam masalah fiqh, tetapi perselisihan dalam masalah aqidah.[9]
Pengertian sunnah menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah sebutan bagi
jalan yang disukai dan dijalankan dalam agama sebagaimana dipraktikkan oleh
Rasulullah dan tokoh agama yang lain seperti sahabat. Dia menukil hadis Nabi,
yang menyebutkan bahwa, “Kalian harus berpegang pada tradisiku dan tradisi para
penggantiku”. Para pengganti Nabi adalah golongan salafiyun yaitu golongan yang
secara konsisten memegangi mazhab tertentu, berpegang pada kitab-kitab
mu’tabarah yang berlaku, mencintai ahlul bait, para wali dan para shalihin,
ber-tabaruk kepada mereka baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal
berziarah kubur, membacakan talqin pada mayat, meyakini adanya syafa’at,
manfaat doa tawasul dan yang lainnya.
Keharusan mengikuti empat mazhab karena mereka adalah penerus
golongan salafus shalih yang merupakan golongan terbesar. Didasarkan pada hadis
yang diriwayatkan oleh Turmudzi, sesungguhnya Allah tidak akan menyatukan
umatku dalam kesesatan. Tangan Allah bersama jama’ah. Barang siapa yang
menyendiri, maka ia akan menyendiri di neraka. Ibnu Majjah, mengatakan apabila
terjadi perbedaan maka ikutilah golongan terbesar bersama kebenaran dan
pengikutnya.
Berpegang pada empat mazhab memiliki manfaat yang besar, sedangkan
berpaling dari itu mempunyai bahaya yang besar. Didasarkan hadis Rasul,
ikutilah golongan terbesar. Oleh karena mazhab-mazhab yang benar sudah punah
kecuali empat mazhab ini, maka mengikuti empat mazhab berarti mengikuti
golongan terbesar dan keluar darinya berarti keluar dari golongan terbesar.[10]
C.
Sistem
Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul
Ulama
Bahtsul masail al-Diniyyah adalah salah satu forum diskusi
keagamaan dalam organisasi Nahdlatul Ulama untuk merespon dan memberikan solusi
atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyaraka. Melalui forum
bahtsul masail, para ulama NU selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang
problematika aktual tersebut dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan
kebutuhan hukum Islam akibat dari perkembangan sosial masyarakat yang terus
menerus tanpa mengenal batas, sementara secara tekstual tidak terdapat
landasannya dalam al-Qur’an dan hadis, atau ada landasannya, namun
pengungkapannya secara tidak jelas. Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka
bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah atau metode
penetapan fatwa, antara lain sebagai berikut:[11]
1. Analisis masalah, yakni (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau
dari berbagai faktor:
a.
Faktor
ekonomi
b.
Faktor
politik
c.
Faktor
budaya
d.
Faktor
sosial
e.
Faktor
lainnya
2. Analisis dampak, yaitu
(dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari
hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:
a.
Aspek
sosial ekonomi
b.
Aspek
sosial budaya
c.
Aspek
sosial politik
d.
Aspek
lainnya
3. Analisis hukum, yakni (dampak bahtsul masail tentang suatu kasus
setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang) di
samping mempertimbangkan hukum Islam juga mempertimbangkan hukum yuridis
formal.
a.
Status
hukum (al-ahkam al-khamsah)
b.
Dasar
dari ajaran / ahlusunnah wal jama’ah
c.
Hukum
positif
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka
bermazhab kepada salah satu empat mazhab yang disepakati dan mengutamakan
bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam
urutan sebagai berikut:[12]
1. Metode Qauli
Yakni jika dalam kasus
ketika jawaban bisa dicukupi oleh kitab dari kutub al-madzahib al-arba’ah dan
di sana terdapat hanya satu pendapat dari kutub al-madzahib al-arba’ah, maka
dipakailah pendapat tersebut.
Dalam kasus ketika jawaban
bisa dicukupi oleh kitab dan di sana terdapat lebih dari satu pendapat, maka
dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat
dilakukan sebagai berikut:
a.
Dengan
mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b.
Khusus
dalam mazhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar ke I (1926 M), perbedaan
pendapat disesuaikan dengan cara memilih:
1)
Pendapat
yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’iy)
2)
Pendapat
yang dipegangi oleh al-Nawawi
3)
Pendapat
yang dipegangi oleh al-Rafi’iy
4)
Pendapat
yang didukung oleh mayoritas ulama
5)
Pendapat
ulama yang terpandai
6)
Pendapat
ulama yang wara’
c. Untuk mazhab selain Syafi’i berlaku ketentuan-ketentuan menurut
mazhab yang bersangkutan.
2. Metode Ilhaqi
Dalam kasus tidak ada
pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail
bi nazhairiha secara jama’iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan
memperhatikan mulhaq, mulhaq bih dan wajhu al-ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
3. Metode Manhaji
Dalam kasus tidak mungkin
dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’iy dengan prosedur
bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekkan qawaid
ushuliyyah oleh para ahlinya. Hierarki dan sifat keputusan bahtsul masail antara
lain:
1.
Seluruh
keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan
prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam
struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan
tidak saling membatalkan.
2.
Suatu
hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama dianggap mempunyai
kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah
Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
3.
Sifat
keuputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:
a.
Mengesahkan
rancangan keputusan yang telah disiapkan sebelumnya dan atau
b.
Diperuntukkan
bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang
4.
Muktamar
sebagai forum tertinggi di Nahdlatul Ulama, maka Muktamar dapat mengukuhkan
atau menganulir hasil Munas.
Kerangka analisa tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil
bahtsul masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari bahtsul
masail, siapa yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal itu hendak
dilakukan serta bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantapan agar semua
berjalan sesuai dengan keputusan), maka perlu memperhatikan aspek-aspek berikut
ini:
1.
Aspek
politik, yaitu dengan berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan
sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah.
2.
Aspek
budaya, yakni dengan berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat
terhadap hasil-hasil bahtsul masail melalui berbagai media massa dan forum
seperti majlis ta’lim dan sebagainya.
3.
Aspek
ekonomi, yaitu dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.
Aspek
sosial, yakni dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup
dan lain sebagainya.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan
atau uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya jika dilihat dari segi
sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yaitu berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar, yang
menganut salah satu empat mazhab untuk mengambil hukum dan menetapkan memilih
madzhab Syafi’i, sebab madzhab ini dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia
dan selalu mengambil jalan tengah dalam menentukan (Istinbat) hukum-hukum
Islam. Selanjutnya terkait dengan metode istinbath dan istidlal hukum Nahdlatul
Ulama menggunakan dua metode yaitu dengan pendekatan al-qawaid al-fiqhiyyah dan
pendekatan al-qawaid al-ushuliyyah. Sedangkam sistem pengambilan keputusan
hukum Islam dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama ada 3 prosedur
yang digunakan antara lain menggunakan metode qauli, metode ilhaqi serta metode
manhaji.
DAFTAR PUSTAKA
Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen. NU Pasca Khittah (Prospek
Ukhuwah dengan Muhammadiyah). Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992.
Barton, Greg dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdlatul Ulama–Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.
Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004 M). Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.
Mawardi, Kholid. Mazhab Sosial Keagamaan NU. Yogyakarta:
STAIN Purwokerto Press & Grafindo Litera Media, 2006.
Muzadi, Abdul Muchith. NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran.
Surabaya: Khalista, 2006.
Qomar, Mujamil. NU ‘Liberal’ dari Tradisional Ahlusunnah Wal
Jamaah Ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Yahya, Imam. Dinamika Ijtihad NU. Semarang: Walisongo Press,
2009.
Suprapto, Bibit. Nahdlatul Ulama: Eksistensi Perandan Prospeknya.
Malang: LP.Ma’arif, 1987.
[1]
Barton, Greg dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal:
Persinggungan Nahdlatul Ulama–Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1997), h.14
[2]
Suprapto, Bibit, Nahdlatul Ulama: Eksistensi Perandan
Prospeknya, (Malang: LP.Ma’arif, 1987), h.36
[3]
Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran,
(Surabaya: Khalista, 2006), h.36
[4] Qomar, Mujamil,
NU ‘Liberal’ dari Tradisional Ahlusunnah Wal Jamaah Ke Universalisme Islam,
(Bandung: Mizan, 2002), h.45
[5]
Yahya, Imam, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang: Walisongo
Press, 2009), h.47
[6]
Yahya, Imam, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang: Walisongo
Press, 2009), h.48
[7]
Yahya, Imam, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang: Walisongo
Press, 2009), h.49
[8]
Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah (Prospek
Ukhuwah dengan Muhammadiyah), (Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992), h.12
[9]
Mawardi, Kholid, Mazhab Sosial Keagamaan NU, (Yogyakarta:
STAIN Purwokerto Press & Grafindo Litera Media, 2006), h.12
[10]
Mawardi, Kholid, Mazhab Sosial Keagamaan NU, (Yogyakarta:
STAIN Purwokerto Press & Grafindo Litera Media, 2006), h.14
[11]Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), h.712
[12]
Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), h.713
[13]
Miri,
M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam,
Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M),
(Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), h.
No comments:
Post a Comment