Thursday, 7 April 2016

PENINJAUAN KEMBALI

PENINJAUAN KEMBALI



PEMBAHASAN


A. Pengertian  Peninjauan  Kembali Putusan  Pengadilan Yang Telah  Memperoleh Kekuatan  Hukum Tetap.
Upaya  hukum  peninjauan  kembali  (request civil)  merupakan  suatu  upaya  agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun  Mahkamah  Agung  yang  telah  berkekuatan hukum  tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan  di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.[1]
Peninjauan kembali  (Request Civil)  tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam  RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan  yang  terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan  Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)   Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan  RC digantungkan pada putusan  yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2)   Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)   Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[2]
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
B. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. Permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)  Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)   Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau  seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
C. Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertulis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akan dipertimbangkan (pasal 72 ayat  (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985).[3]
D. Prosedur Permohonan dan Pengiriman Berkas Perkara ke Mahkamah Agung
            Mengenai tata cara Permohonan Peninjauan Kembali dan pengiriman berkas perkara Peninjauan Kembali ke MA dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Yang Berhak Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK)
Tentang siapa saja yang berhak atau yang dapat mengajukan permohonan PK, diatur pad pasal 68 ayat (1) UU MA, berdasarkan urutan prioritas berikut .
a)      Para Pihak yang Berperkara
Ketentuan ini sesuai dengan system yang dianut hukum acara yang tidak menentukan kewajiban secara mutlak mesti diwakili oleh pengacara atau kuasa di depan pengadilan. Yang dianut adalah system bebas diwakili oleh kuasa atau pengacara. Dengan demikian, pasal 68 ayat (1) UU MA, yang menempatkan pihak materiil berada pada kedududkan prioritas pertama untuk mengajikan permohonan PK, sudah tepat dan benar.
Jadi berdasarkan pasal 68 ayat (1) UU MA, permohonan PK dapat diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara secara pribadi (in person).
b)      Oleh Ahli waris
Urutan berikutnya adalah ahli waris. Apabila pihak yang berperkara telah meninggal dunia, terbuka hak ahli waris untuk mengajukan permohonan PK. Selama para pihak yang berperkara masih hidup, tertutup hak ahli waris untuk mengajukan permohon PK. Hal ini sesuai dengan asas umum, bahwa hak ahli waris baru terbuka menggantikan hak pewaris setelah warisan itu terbuka terhitung sejak pewaris meninggal dunia.


c)      Oleh Seorang Wakil
Urutan selanjutnya, adalah wakil yang bertindak sebagai kuasa berdasarkan pasal 1795 KUH Perdata jo. Pasal 123 HIR, yakni seseorang yang diberi kuasa oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Dalam keadaan seperti ini, pihak yang berperkara atau ahli warisnya bertindak sebagai sebagai pihak materiil yang biasa disebut principal, sedang kuasa atau wakil bertindak sebagai pihak formil untuk kepentingan principal.
Jadi, syarat formil yang mendukung validitas permohonan PK oleh seseorang wakil mesti dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus yang dibuat secara khusus untuk itu, terpisah dan berdiri sendiri dari pemberian kuasa untuk tingkat pertama, banding atau kasasi. Bentuknya boleh aktaautentik atau dibawah tangan.
d)     Ahli Waris Dapat Melanjutkan Permohonan
Pasal 68 ayat (2) UU MA mengatur kebolehan melanjutkan permohonana PK oleh ahli waris pemohon dengan syarat, apabila selama proses permintaan PK, pemohon meninggal dunia. Dengan kata lain, apabila pemohon meninggal dunia sebelum putusan PK dijatuhkan :
·         Ahli waris pemohon dapat melanjutkan permohonan PK tersebut,
·         Untuk itu, ahli waris harus menyampaikan surat pernyataan melanjutkan permohonan PK yang diajukan pewaris.
Keharusan menyampaikan surat pernyataan melanjutkan permohonan PK, ditarik dan disimpulkan dari kalimat : “ dapat dilanjutkan oleh warisnya. “ Dari mana MA tahu permohonan dilanjutkan oleh ahli waris, jika tidak ada surat pernyataan dari ahli waris ? Sehubungan dengan itu, penyampaikan surat pernyataan tersebut merupakan keharusan bagi ahli waris. Surat pernyataan itu disampaikan ke        MA melalui pengadilan tingkat pertama . Atau dapat juga langsung ke MA, dan nanti MA yang memerintahkan pengadilan tingkat pertama memberitahukan salinan pernyataan itu kepada pihak lawan. 
Bagaimana halnya jika pemohon PK meninggal dunia, dan ahli warisnya tidak membuat penyataan untuk melanjutkan melanjutkan permohonan PK dimaksud, apakah permohonan PK itu masih sah atau valid ? kalau bertitik tolak dari ketentuan pasal 68 ayat (2) UU MA, dengan meninggalkan pemohon PK, dengan sendirinya menurut hukum permohonan itu batal (van rechtswege nietig, ipso jure null and void). Permohonan dianggap tidak ada lagi. Supaya permohonan PK itu tetap sah dan eksis, harus ada pernyataan dari ahli untuk melanjutkannya. Oleh karena itu, apabila Majelis PK mengetahui pemohon PK telah meninggal dunia, kemudian tidak ada pernyataan dari ahli waris untuk melahjutkannya, permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima. Akan tetapi sebaliknya, apabila Majelis PK tidak tahu pemohon telah meninggal dunia, dan tidak ada pemberitahuan tentang hal itu dari ahli waris pemohon  maupun dari pihak lawan, putusan yang dijatuhkan Majelis PK, dianggap sah menurut hukum.
Untuk memperkecil timbulnya problema hukum dibelakang hari menghadapi kasus yang demikian, apabila pengadilan tingkat pertama atau MA mengetahui pemohon telah meninggal dunia selama proses PK berjalan, sebaiknya pengadilan atau MA menanyakan ahli waris, apakah mereka akan melanjutkan permohonan PK itu atau tidak.
2.      Syarat Permohonan PK
Mengenai syarat formil permohonan PK diatur pada pasal 70 dan pasal 71 UU MA seperti yang dijelaskan dibawah ini.
a.       Diajukan kepada MA melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
Menurut pasal 70 ayat (1) UU MA, permohonan PK :
·         Diajukan pemohon kepada MA,
·         Tetapi mekanismenya harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
Bertitik tolak dari ketentuan ini, pengajuan permohonan PK yang langsung disampaikan kepada MA, dianggap salah alamat. Karena undang-undang sendiri dengan tegas mengatakan harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. S ekiranya permohonan langsung disampaikan kepada MA, permohonan itu akan dikembalikan ke Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan, agar menyelesaikan administrasi yustisial yang berkenaan dengan permohonan itu. Jadi selain tindakan itu melanggar mekanisme yang ditentukan, juga akan memperlambat proses penyelesaian administrative yustisial yang diperlukan.
Sehubungan dengan itu, mekanisme pengajuan permohonan PK yang tepat menurut pasal 71 ayat (1) UU MA, ialah memasukkan permohonan itu di paniteraan Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Bukan dimasukkan di kepaniteraan MA.
b.      Membayar Biaya Perkara
Syarat formil selanjutnya, membayar biaya yang diperlukan di kepaniteraan Pengadailan Tingkat Pertama.
Mengenai pembayaran biaya perkara, merupakan syarat formil yang melekat pada setiap pengajuan permohonan berperkara. Pada saat pengajuan gugatan, juga diikuti dengan pembayaran panjar biaya perkara agar gugatan itu didaftarkan. Begitu juga pada permintaan banding dan kasasi, keabsahan formilnya digantungkan pada pembayaran biaya banding dan kasasi. Demikian halnya pada permohonan PK, Pasal 70 ayat (1) UU MA, mensyaratkan agar permohonan PK  dibarengi dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Selama biaya perkara PK belum dibayar, permohonan PK belum dapat didaftarkan.
c.       Permohonan Diajukan Secara Tertulis
Menurut pasal 71 ayat (1) UU MA, permohonan PK diajukan pemohon.
·         Secara tertulis (schriftelijk,in writing)
·         Tidak dibenarkan secara lisan (mondeling, orally)
Akan tetapi, pasal 71 ayat (2) UU MA member pengecualian kepada pemohonan yang tidak dapat menulis. Bagi mereka diberi kelonggaran untuk menguraikan permohonan PK secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau dihadapan hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan tersebut. Ketua pengadilan atau hakim yang menerima uraian atau dasar permohonan secara lisan itu membuat catatan tertulis atas permohonan dimaksud.
Pengecualian kebolehan menyampaikan uraian permohonan secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan atau hakim, menurut pasa 71 ayat (2) diberikan kepada pemohonan yang tidak dapat menulis. Bagaimana halnya, kalau pemohon dapat membaca dan menulis, tetapi tidak dapat menulis secara teknis dan yuridis permohonan PK. Yang dimaksud tidak dapat menulis pada pasal 71 ayat (2) itu, bukan dalam arti pemohon buta huruf. Akan tetapi, harus ditafsirkan meliputi mereka yang pandai menulis dan membaca, namun tidak dapat menulis permohonan PK yang memuat aspek teknis dan yuridis.
Selanjutnya, pasal 71 UU MA mengatur hal-hal yang mesti disebut dalam surat permohonan. Minimal surat permohonan itu harus menyebutkan sejelas jelasnya alsan yang dijadikan dasar permohonan PK. Surat permohonan yang tidak menyebut alas an yang menjadi dasar pemohon PK, dianggap tidak memenuhi syarat.
Surat permohonan dianggap juga tidak memenuhi syarat apabila alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan PK, tidak sesuai dengan salah satu alas an yang disebut pasal 67 UU MA. Surat permohonan berisi berbagai macam alas an, namun dari sekian banyak alas an itu, tidak satupun yang sesuai dengan alas an limitative yang disebut pada pasal 67 UU MA. Surat permohonan yang demikian, dianggap tidak memenuhi syarat yang ditentukan pasal 71 ayat (1) UU MA. Permohonan yang demikian harus ditolak.
Dalam praktik, surat permohonan PK disebut Risalah Pk. Jadi, didalam risalah PK, sekaligus termuat permohonan PK dan alas an PK. Tidak dipisah antar surat permohonan dengan alas an atau risalah PK. Hal ini agak berbeda dengan permohonan kasasi. Antara permohonan dengan kasasi dipisah dalam dua surat yang berbeda. Lain permohonan kasasi, lain pula memori kasasi. Akan tetapi, hai ini tidak mengurangi  kebolehan memisahkannya dalam dua surat. Suatu permohonan PK saja dan yang kedua risalah PK yang berisi alas an yang menjadi dasar permohonan PK. Permohonan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
3.      Memberikan Salinan Permohonan kepada Pihak Lawan Pemohon
Proses selanjutnya mengiringi permohonan PK, diatur pada pasal 72 UU MA, seperti yang dijelaskan dibawah ini .
1)      Panitera  Wajib Memberikan atau Mengirimkan Salinan Permohonan kepada Pihak Lawan
Tindakan hukum yang pertama yang mesti dilakukan panitera setelah menerima permohonan PK :
·         Panitera Pengadilan Tingkat Pertama tersebut wajib memberikan atau mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan,
·         Mengenai pelaksanaan kewajiban ini bersifat alternative :
1. Boleh diberikan secara langsung kepada pihak lawan melalui juru sita, atau
2. Dapat mengirimkan salinan permohonan itu melalui surat tercatat oleh Kantor pos atau badan lain yang bergerak di bidang itu.
Cara mana yang ditempuh panitera apakah menyerahkan langsung atau mengirimkannya, sama-sama dibenarkan hukum.
2)      Tenggang Waktu Pemberian Salinan, Selambat-lambatnya dalam Waktu 14 Hari
Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA, kewajiban panitera memberikan atau mengirimkan salinan permohonan PK kepada pihak lawan :
·         Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari dari tanggal penerimaan permohonan PK.
·         Tenggang waktu ini bersifat imperative, tidak boleh dilampaui, oleh karena itu betul-betul harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 14 hari oleh panitera yang bersangkutan.
Kepada panitera yang tidak melaksanakan kewajiban ini tepat waktu, perlu dilaksanakan hukum administrative yang setimpal, karena dianggap melakukan tindakan yang tidak professional (unprofessional conduct)
4.      Pihak Lawan Berhak Mengajukan Jawaban
Pasal 72 ayat (1) UU MA, member hak kepada pihak lawan mengajukan dan menyampaikan jawaban atau Kontra Risalah PK terhadap Risalah PK yang menyampaikan diajukan pemohon. Bahkan menurut pasal 72 ayat (1) tersebut, maksud tujuan memberikan salinan permohonan kepada pihak lawan adalah dalam rangka agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawaban atau Kontra Risalah PK.
        i.            Kebolehan Mengajukan Jawaban,Terbatas pada Alasan Pasal 67 Huruf a atau b UU MA
Tidak terhadap semua permohonan PK dapat diajukan jawaban oleh pihak lawan. Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA, posisi pihak lawan mwnghadapi permohonan PK, terpecah pada dua klasifikasi :
1).  Dalam hal permohonan PK didasarkan atas alas an pasal 67 huruf a atau b UU MA, pihak lawan mempunyai hak mengajukan jawaban atau Kontra Risalah PK.
Jadi, kalau alasan yang mendasari permohonan PK adalah kebohongan atau tipu muslihat atau didasarkan pada bukti-bukti yang dinyatakan palsu oleh hakim pidana (pasal 67 huruf a) maupun atas alasan ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan atau novum (pasal 67 huruf b), maka pihak lawan berhak atau dapat mengajukan jawaban permohonan PK.
2). Dalam hal permohonan PK didasarkan atas salah satu alasan yang disebut pasal 67 huruf c dengan huruf f, pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan jawaban.
Diluar alasan permohonan PK yang disebut pasal 67 huruf a atau b, pihak lawan tidak berhak mengajukan jawaban. Menurut pasal 72 ayat (1) huruf b, kalau alasan permohonan PK terdiri dari pasal 67 huruf c,d,e,dan f :
·         Pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan jawaban.
·         Maksud dan tujuan pemberian atau pengiriman salinan permohonan PK kepada pihak lawan jika alasan-alasan permohonan PK terdiri dari pasal 67 huruf c,d,e,atau f, bukan untuk menyusun jawaban, tetapi hanya dalam rangka agar pihak lawan dapat mengetahui adanya permohonan PK.
Demikian patokan yang digariskan undang-undang sehubungan dengan hak pihak lawan mengajukan jawaban. Hanya terbatas terhadap permohonan yang berisi alasan pasal 67 huruf a atau b. Terhadap alasan selebihnya, pihak lawan mempunyai hak mengajukan jawaban.

      ii.            Tenggang Waktu Mengajukan Jawaban
Tentang tenggang waktu untuk mengajukan jawaban oleh pihak lawan diatur pada pasal 79 ayat (2) UU MA, yakni 30 hari setelah pihak lawan menerima salinan permohonan PK.
Kalau jawaban atau Kontra Risalah PK itu diajukan dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan permohonan PK, menurut hukum Majelis PK harus memperhatikan dan menilai jawaban tersebut. Sebaliknya, apabila pengajuan jawaban itu melampaui batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 72 ayat (2) UU MA, tidak ada kewajiban hukum bagi Majelis PK untuk memperhatikan dan menilainya.
    iii.            Jawaban Diserahkan atau Dikirimkan kepada Pengadilan yang Memutuskan Perkara Itu dalam Tingkat Pertama
Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA, surat jawaban pihak lawan diserahkan atau dikirimkan kepada kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Boleh diserahkan langsung atau dikirimkan melalui surat tercatat kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Tidak dibenarkan langsung diberikan atau dikirimkan kepada MA. Demikian mekanisme cara penyampaian jawaban yang harus ditaati pihak lawan agar jawaban itu memenuhi syarat formil.
    iv.            Panitera Membubuhi Cap, Hari, serta Tanggal Penerimaan Jawaban
            Pasal 72 ayat (3) UU MA, mengatakan Panitera Pengadilan yang menerima jawaban itu untuk melakukan tindakan hukum, berupa :
1. Membubuhi cap, hari, dan tanggal dimaksud menjadi landasan fakta memperhitungkan apakah pengajuan jawaban itu masih dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan permohonan PK.
2. Menyampaikan atau mengirimkan salinan jawaban kepada pihak pemohon PK.
            Tugas selanjutnya Panitera setelah membubuhi cap, hari, dan tanggap atas penerimaan jawaban, menyampaikan atau mengirimkan salinan jawaban itu kepada pihak pemohon PK. Tujuannya menurut pasal 72 ayat (3) UU MA, agar pemohon mengetahui adanya jawaban dari pihak lawan. Bukan untuk ditanggapi atau dibantahi, tetapi sebatas untuk diketahui saja.
            Diajukan gambaran proses dan mekanisme yang berkaitan dengan jawaban yang diajukan pihak lawan sesuai dengan yang digariskan pasal 72 ayat (1), (2), dan (3) UU MA. Harus diajukan paling lambat 30 hari dari tanggal penerimaan salinan permohonan, dan selanjutnya diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
5.      Pengiriman Berkas Perkara PK ke MA
Pasal 72 ayat (4) UU MA, mengatur pengiriman berkas perkara PK kepada MA. Yang penting  diperhatikan mengenai pengiriman berkas perkara tersebut, antara lain sebagai berikut.
a.  Panitera Melakukan Pengiriman
            Panitera yang dibebani tugas mngirimkan berkas perkara PK kepada MA, dalam hal ini, Panitera Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.

b.  Yang Dikirim ke MA
Yang harus dikirimkan Panitera ke MA,meliputi :
      1.  Berkas perkara yang lengkap
Berkas perkara yang lengkap dalam permohonan PK meliputi semua dokumen, berita acara, memori dua kontra memori banding dan kasasi serta putusan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi. Itulah yang harus dikirimkan Panitera ke MA.


      2. Biaya Perkara PK
            Yang kedua yang mesti dikirimkan panitera ke MA adalah biaya perkara PK. Tanpa pengiriman biaya perkara, permohonan PK tidak dapat didaftarkan di MA.

c. Tenggang Waktu Pengiriman Berkas Perkara PK
Mengenai tenggang waktu pengiriman berkas perkara PK dan biaya perkara diatur pada pasal 72 ayat (2) UU MA, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.
            Akan tetapi pasal ini tidak menentukan patokan darimana dihitung jangka waktu 30 hari tersebut. Pasal itu hanya memuat rumusan dalam kalimat yang berbunyi :
“…dikirim kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.”
            Rumusan itu tidak jelas (unclear outline) dan bisa menimbulkan multitafsir. Bisa ditafsirkan dalam jangka waktu 30 hari tanggal penerimaan permohonan. Boleh juga dikonstruksi paling lambat dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal pemberian atau pengiriman salinan permohonan kepada pihak lawan. Yang paling rasional dan objektif, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan jawabandari pihak lawan. Akan tetapi, patokan ini tidak selamanya valid. Sebab patokan ini tidak selamanya melekat pada permohonan PK. Jika alas an permohonan PK berdasarkan pasal 67 huruf c,d,e,atau f, tidak ada hak pihak lawan mengajukan jawaban, sehingga pada kasus permohonan PK yang demikian, tidak adapat diterapkan patokan dalam jangka waktu 30 hari tanggal penerimaan jawaban, karena memang tidak ada jawaban. Sehubungan dengan itu, perhitungan dengan yang rasional dan objektif menentukan jangka waktu pengiriman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan jawaban apabila alasan PK berdasarkan pasal  67 huruf a atau b,
2. dalam jangka waktu 30 hari dari tanggal pemberian atau pengiriman salinan permohonan PK, apabila alas an permohonan PK berdasarkan pasal 67 huruf c,d,e atau f.
            Demikian alternative patokan memperhitungkan jangka waktu pengiriman berkas perkara PK ke MA yang dianggap realistik objektif. Bertitik tolak dari patokan ini, Ketua Pengadilan yang bersangkutan mempunyai pegangan yang jelas untuk melakukan pengawasan terhadap proses pengiriman berkas perkara PK ke MA.[4]











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya  hukum  peninjauan  kembali  (request civil)  merupakan  suatu  upaya  agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun  Mahkamah  Agung  yang  telah  berkekuatan hukum  tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan  di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. Permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)  Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)   Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertulis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akan dipertimbangkan (pasal 72 ayat  (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985).
B. Kritik dan Saran
Kalimat al hamdulillahirobbil’alamin mengiringi penutup makalah ini.Serta tak lupa penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun bagi makalah ini, baik dalam segi penulisan maupun subtansi pembahasan.Karena penyusun menyadari, makalah ini jauh dari nilai kesempurnaan.






DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, Siti, 2005, Praktik Judicial Review di Indonesia, Yogyakarta : Pilar Media

Yahya Harahap,M, 2008, KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG PEMERIKSAAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA,Jakarta:Sinar Grafika.

Soeroso, R, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika

Subekti,R.1997, Hukum Acara Perdata,Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman






[1]R. Soeroso,Praktik  Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[2]R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172

[3]Fatimah, Siti. Praktik Judicial Review di Indonesia: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar Media. 2005. Hal. 63
[4] M.Yahya Harahap,S.H.,KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG PEMERIKSAAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA,(Jakarta:Sinar Grafika.2008),h.477-485

No comments:

Post a Comment