PENINJAUAN KEMBALI
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.
Upaya
hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya
agar putusan pengadilan baik dalam tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan
hukum tetap (inracht van gewijsde),
mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan
kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap
putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang
tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.[1]
Peninjauan
kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam
RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku
bagi golongan eropa) pasal 385 dan seterusnya.
Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal
15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan
yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang
dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil
(RC) antara lain, sebagai berikut:
1) Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah
Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan
yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2) Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan
dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan
untuk banding dan kasasi.
3) Bahwa PK dapat diajukan oleh yang
berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara
tersebut.[2]
Dalam
perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14
tahun 1985.
B.
Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Berdasarkan
pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. Permohonan pinjauan kembali putusan
perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan
bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan
atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat
bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang
tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai
suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya,
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan
belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1)
UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya,
atau seorang wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan
pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan
kembali.
Tenggang
waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No.
14/1985.
C.
Prosedur Pengajuan Permohonan Kembali
1) Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang
berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara
dalam tingkat pertama.
2) Membayar biaya perkara.
3) Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara
lisan maupun tertulis.
4) Bila permohonan diajukan secara tertulis maka
harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan
kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
(Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan
permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau
dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat
catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali
disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7) Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan
peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan
salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan
tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No.
14/1985)
8) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah
tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban
tidak akan dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri
yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk selanjutnya
salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3)
UU No. 14/1985).
10) Permohonan peninjauan
kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah
Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan permohonan
peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan
peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985).[3]
D. Prosedur Permohonan
dan Pengiriman Berkas Perkara ke Mahkamah Agung
Mengenai tata cara Permohonan Peninjauan Kembali dan
pengiriman berkas perkara Peninjauan Kembali ke MA dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Yang
Berhak Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK)
Tentang
siapa saja yang berhak atau yang dapat mengajukan permohonan PK, diatur pad
pasal 68 ayat (1) UU MA, berdasarkan urutan prioritas berikut .
a) Para
Pihak yang Berperkara
Ketentuan ini sesuai dengan system yang
dianut hukum acara yang tidak menentukan kewajiban secara mutlak mesti diwakili
oleh pengacara atau kuasa di depan pengadilan. Yang dianut adalah system bebas
diwakili oleh kuasa atau pengacara. Dengan demikian, pasal 68 ayat (1) UU MA,
yang menempatkan pihak materiil berada pada kedududkan prioritas pertama untuk
mengajikan permohonan PK, sudah tepat dan benar.
Jadi berdasarkan pasal 68 ayat (1) UU
MA, permohonan PK dapat diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara secara
pribadi (in person).
b) Oleh
Ahli waris
Urutan berikutnya adalah ahli waris.
Apabila pihak yang berperkara telah meninggal dunia, terbuka hak ahli waris
untuk mengajukan permohonan PK. Selama para pihak yang berperkara masih hidup,
tertutup hak ahli waris untuk mengajukan permohon PK. Hal ini sesuai dengan
asas umum, bahwa hak ahli waris baru terbuka menggantikan hak pewaris setelah
warisan itu terbuka terhitung sejak pewaris meninggal dunia.
c) Oleh
Seorang Wakil
Urutan selanjutnya, adalah wakil yang bertindak
sebagai kuasa berdasarkan pasal 1795 KUH Perdata jo. Pasal 123 HIR, yakni
seseorang yang diberi kuasa oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya
mengajukan permohonan PK untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Dalam
keadaan seperti ini, pihak yang berperkara atau ahli warisnya bertindak sebagai
sebagai pihak materiil yang biasa disebut principal, sedang kuasa atau
wakil bertindak sebagai pihak formil untuk kepentingan principal.
Jadi,
syarat formil yang mendukung validitas permohonan PK oleh seseorang wakil mesti
dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus yang dibuat secara khusus untuk itu,
terpisah dan berdiri sendiri dari pemberian kuasa untuk tingkat pertama,
banding atau kasasi. Bentuknya boleh aktaautentik atau dibawah tangan.
d) Ahli
Waris Dapat Melanjutkan Permohonan
Pasal 68 ayat (2) UU MA mengatur
kebolehan melanjutkan permohonana PK oleh ahli waris pemohon dengan syarat,
apabila selama proses permintaan PK, pemohon meninggal dunia. Dengan kata lain,
apabila pemohon meninggal dunia sebelum putusan PK dijatuhkan :
·
Ahli waris
pemohon dapat melanjutkan permohonan PK tersebut,
·
Untuk itu, ahli
waris harus menyampaikan surat pernyataan melanjutkan permohonan PK yang
diajukan pewaris.
Keharusan
menyampaikan surat pernyataan melanjutkan permohonan PK, ditarik dan
disimpulkan dari kalimat : “ dapat dilanjutkan oleh warisnya. “ Dari mana MA
tahu permohonan dilanjutkan oleh ahli waris, jika tidak ada surat pernyataan
dari ahli waris ? Sehubungan dengan itu, penyampaikan surat pernyataan tersebut
merupakan keharusan bagi ahli waris. Surat pernyataan itu disampaikan ke MA melalui pengadilan tingkat pertama .
Atau dapat juga langsung ke MA, dan nanti MA yang memerintahkan pengadilan
tingkat pertama memberitahukan salinan pernyataan itu kepada pihak lawan.
Bagaimana
halnya jika pemohon PK meninggal dunia, dan ahli warisnya tidak membuat
penyataan untuk melanjutkan melanjutkan permohonan PK dimaksud, apakah
permohonan PK itu masih sah atau valid ? kalau bertitik tolak dari ketentuan
pasal 68 ayat (2) UU MA, dengan meninggalkan pemohon PK, dengan sendirinya
menurut hukum permohonan itu batal (van rechtswege nietig, ipso jure null
and void). Permohonan dianggap tidak ada lagi. Supaya permohonan PK itu
tetap sah dan eksis, harus ada pernyataan dari ahli untuk melanjutkannya. Oleh
karena itu, apabila Majelis PK mengetahui pemohon PK telah meninggal dunia,
kemudian tidak ada pernyataan dari ahli waris untuk melahjutkannya, permohonan
PK harus dinyatakan tidak dapat diterima. Akan tetapi sebaliknya, apabila
Majelis PK tidak tahu pemohon telah meninggal dunia, dan tidak ada
pemberitahuan tentang hal itu dari ahli waris pemohon maupun dari pihak lawan, putusan yang
dijatuhkan Majelis PK, dianggap sah menurut hukum.
Untuk
memperkecil timbulnya problema hukum dibelakang hari menghadapi kasus yang
demikian, apabila pengadilan tingkat pertama atau MA mengetahui pemohon telah
meninggal dunia selama proses PK berjalan, sebaiknya pengadilan atau MA
menanyakan ahli waris, apakah mereka akan melanjutkan permohonan PK itu atau
tidak.
2.
Syarat
Permohonan PK
Mengenai
syarat formil permohonan PK diatur pada pasal 70 dan pasal 71 UU MA seperti
yang dijelaskan dibawah ini.
a.
Diajukan kepada
MA melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
Menurut
pasal 70 ayat (1) UU MA, permohonan PK :
·
Diajukan pemohon
kepada MA,
·
Tetapi
mekanismenya harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus
perkara itu pada tingkat pertama.
Bertitik
tolak dari ketentuan ini, pengajuan permohonan PK yang langsung disampaikan
kepada MA, dianggap salah alamat. Karena undang-undang sendiri dengan tegas
mengatakan harus melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. S ekiranya
permohonan langsung disampaikan kepada MA, permohonan itu akan dikembalikan ke
Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan, agar menyelesaikan administrasi
yustisial yang berkenaan dengan permohonan itu. Jadi selain tindakan itu
melanggar mekanisme yang ditentukan, juga akan memperlambat proses penyelesaian
administrative yustisial yang diperlukan.
Sehubungan
dengan itu, mekanisme pengajuan permohonan PK yang tepat menurut pasal 71 ayat
(1) UU MA, ialah memasukkan permohonan itu di paniteraan Pengadilan yang
memutus perkara itu pada tingkat pertama. Bukan dimasukkan di kepaniteraan MA.
b.
Membayar Biaya
Perkara
Syarat
formil selanjutnya, membayar biaya yang diperlukan di kepaniteraan Pengadailan
Tingkat Pertama.
Mengenai pembayaran biaya perkara,
merupakan syarat formil yang melekat pada setiap pengajuan permohonan
berperkara. Pada saat pengajuan gugatan, juga diikuti dengan pembayaran panjar
biaya perkara agar gugatan itu didaftarkan. Begitu juga pada permintaan banding
dan kasasi, keabsahan formilnya digantungkan pada pembayaran biaya banding dan
kasasi. Demikian halnya pada permohonan PK, Pasal 70 ayat (1) UU MA,
mensyaratkan agar permohonan PK
dibarengi dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Selama biaya
perkara PK belum dibayar, permohonan PK belum dapat didaftarkan.
c.
Permohonan
Diajukan Secara Tertulis
Menurut
pasal 71 ayat (1) UU MA, permohonan PK diajukan pemohon.
·
Secara tertulis
(schriftelijk,in writing)
·
Tidak dibenarkan
secara lisan (mondeling, orally)
Akan
tetapi, pasal 71 ayat (2) UU MA member pengecualian kepada pemohonan yang tidak
dapat menulis. Bagi mereka diberi kelonggaran untuk menguraikan permohonan PK
secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau dihadapan hakim
yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan tersebut. Ketua pengadilan atau hakim yang
menerima uraian atau dasar permohonan secara lisan itu membuat catatan tertulis
atas permohonan dimaksud.
Pengecualian
kebolehan menyampaikan uraian permohonan secara lisan di hadapan Ketua
Pengadilan atau hakim, menurut pasa 71 ayat (2) diberikan kepada pemohonan yang
tidak dapat menulis. Bagaimana halnya, kalau pemohon dapat membaca dan menulis,
tetapi tidak dapat menulis secara teknis dan yuridis permohonan PK. Yang
dimaksud tidak dapat menulis pada pasal 71 ayat (2) itu, bukan dalam arti
pemohon buta huruf. Akan tetapi, harus ditafsirkan meliputi mereka yang pandai
menulis dan membaca, namun tidak dapat menulis permohonan PK yang memuat aspek
teknis dan yuridis.
Selanjutnya,
pasal 71 UU MA mengatur hal-hal yang mesti disebut dalam surat permohonan.
Minimal surat permohonan itu harus menyebutkan sejelas jelasnya alsan yang
dijadikan dasar permohonan PK. Surat permohonan yang tidak menyebut alas an
yang menjadi dasar pemohon PK, dianggap tidak memenuhi syarat.
Surat
permohonan dianggap juga tidak memenuhi syarat apabila alasan-alasan yang
dijadikan dasar permohonan PK, tidak sesuai dengan salah satu alas an yang
disebut pasal 67 UU MA. Surat permohonan berisi berbagai macam alas an, namun
dari sekian banyak alas an itu, tidak satupun yang sesuai dengan alas an
limitative yang disebut pada pasal 67 UU MA. Surat permohonan yang demikian,
dianggap tidak memenuhi syarat yang ditentukan pasal 71 ayat (1) UU MA.
Permohonan yang demikian harus ditolak.
Dalam
praktik, surat permohonan PK disebut Risalah Pk. Jadi, didalam risalah PK,
sekaligus termuat permohonan PK dan alas an PK. Tidak dipisah antar surat
permohonan dengan alas an atau risalah PK. Hal ini agak berbeda dengan
permohonan kasasi. Antara permohonan dengan kasasi dipisah dalam dua surat yang
berbeda. Lain permohonan kasasi, lain pula memori kasasi. Akan tetapi, hai ini
tidak mengurangi kebolehan memisahkannya
dalam dua surat. Suatu permohonan PK saja dan yang kedua risalah PK yang berisi
alas an yang menjadi dasar permohonan PK. Permohonan dimasukkan di kepaniteraan
Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
3.
Memberikan
Salinan Permohonan kepada Pihak Lawan Pemohon
Proses
selanjutnya mengiringi permohonan PK, diatur pada pasal 72 UU MA, seperti yang
dijelaskan dibawah ini .
1) Panitera Wajib Memberikan atau Mengirimkan Salinan
Permohonan kepada Pihak Lawan
Tindakan hukum yang pertama yang mesti
dilakukan panitera setelah menerima permohonan PK :
·
Panitera
Pengadilan Tingkat Pertama tersebut wajib memberikan atau mengirimkan salinan
permohonan kepada pihak lawan,
·
Mengenai
pelaksanaan kewajiban ini bersifat alternative :
1. Boleh diberikan
secara langsung kepada pihak lawan melalui juru sita, atau
2. Dapat mengirimkan salinan
permohonan itu melalui surat tercatat oleh Kantor pos atau badan lain yang
bergerak di bidang itu.
Cara
mana yang ditempuh panitera apakah menyerahkan langsung atau mengirimkannya,
sama-sama dibenarkan hukum.
2) Tenggang
Waktu Pemberian Salinan, Selambat-lambatnya dalam Waktu 14 Hari
Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA,
kewajiban panitera memberikan atau mengirimkan salinan permohonan PK kepada
pihak lawan :
·
Selambat-lambatnya
dalam waktu 14 hari dari tanggal penerimaan permohonan PK.
·
Tenggang waktu
ini bersifat imperative, tidak boleh dilampaui, oleh karena itu betul-betul
harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 14 hari oleh panitera yang
bersangkutan.
Kepada
panitera yang tidak melaksanakan kewajiban ini tepat waktu, perlu dilaksanakan
hukum administrative yang setimpal, karena dianggap melakukan tindakan yang
tidak professional (unprofessional conduct)
4.
Pihak
Lawan Berhak Mengajukan Jawaban
Pasal
72 ayat (1) UU MA, member hak kepada pihak lawan mengajukan dan menyampaikan
jawaban atau Kontra Risalah PK terhadap Risalah PK yang menyampaikan diajukan
pemohon. Bahkan menurut pasal 72 ayat (1) tersebut, maksud tujuan memberikan
salinan permohonan kepada pihak lawan adalah dalam rangka agar pihak lawan
mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawaban atau Kontra Risalah PK.
i.
Kebolehan
Mengajukan Jawaban,Terbatas pada Alasan Pasal 67 Huruf a atau b UU MA
Tidak terhadap semua permohonan PK
dapat diajukan jawaban oleh pihak lawan. Menurut pasal 72 ayat (1) UU MA,
posisi pihak lawan mwnghadapi permohonan PK, terpecah pada dua klasifikasi :
1). Dalam hal permohonan PK didasarkan atas alas
an pasal 67 huruf a atau b UU MA, pihak lawan mempunyai hak mengajukan jawaban
atau Kontra Risalah PK.
Jadi, kalau alasan yang mendasari permohonan PK adalah
kebohongan atau tipu muslihat atau didasarkan pada bukti-bukti yang dinyatakan
palsu oleh hakim pidana (pasal 67 huruf a) maupun atas alasan ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan atau novum (pasal 67 huruf b), maka pihak lawan berhak atau dapat
mengajukan jawaban permohonan PK.
2). Dalam hal permohonan PK didasarkan atas salah satu alasan
yang disebut pasal 67 huruf c dengan huruf f, pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan
jawaban.
Diluar
alasan permohonan PK yang disebut pasal 67 huruf a atau b, pihak lawan tidak
berhak mengajukan jawaban. Menurut pasal 72 ayat (1) huruf b, kalau alasan
permohonan PK terdiri dari pasal 67 huruf c,d,e,dan f :
·
Pihak lawan tidak mempunyai hak mengajukan jawaban.
·
Maksud dan tujuan pemberian atau pengiriman salinan
permohonan PK kepada pihak lawan jika alasan-alasan permohonan PK terdiri dari
pasal 67 huruf c,d,e,atau f, bukan untuk menyusun jawaban, tetapi hanya dalam
rangka agar pihak lawan dapat mengetahui adanya permohonan PK.
Demikian patokan yang digariskan undang-undang sehubungan
dengan hak pihak lawan mengajukan jawaban. Hanya terbatas terhadap permohonan
yang berisi alasan pasal 67 huruf a atau b. Terhadap alasan selebihnya, pihak
lawan mempunyai hak mengajukan jawaban.
ii.
Tenggang Waktu Mengajukan Jawaban
Tentang tenggang waktu untuk mengajukan jawaban oleh
pihak lawan diatur pada pasal 79 ayat (2) UU MA, yakni 30 hari setelah pihak
lawan menerima salinan permohonan PK.
Kalau
jawaban atau Kontra Risalah PK itu diajukan dalam tenggang waktu 30 hari dari
tanggal penerimaan salinan permohonan PK, menurut hukum Majelis PK harus
memperhatikan dan menilai jawaban tersebut. Sebaliknya, apabila pengajuan
jawaban itu melampaui batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 72 ayat (2) UU
MA, tidak ada kewajiban hukum bagi Majelis PK untuk memperhatikan dan
menilainya.
iii.
Jawaban
Diserahkan atau Dikirimkan kepada Pengadilan yang Memutuskan Perkara Itu dalam
Tingkat Pertama
Menurut
pasal 72 ayat (1) UU MA, surat jawaban pihak lawan diserahkan atau dikirimkan
kepada kepada Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Boleh
diserahkan langsung atau dikirimkan melalui surat tercatat kepada Pengadilan
yang memutus perkara itu pada tingkat pertama. Tidak dibenarkan langsung
diberikan atau dikirimkan kepada MA. Demikian mekanisme cara penyampaian
jawaban yang harus ditaati pihak lawan agar jawaban itu memenuhi syarat formil.
iv.
Panitera
Membubuhi Cap, Hari, serta Tanggal Penerimaan Jawaban
Pasal 72 ayat (3) UU MA, mengatakan Panitera Pengadilan
yang menerima jawaban itu untuk melakukan tindakan hukum, berupa :
1. Membubuhi cap, hari,
dan tanggal dimaksud menjadi landasan fakta memperhitungkan apakah pengajuan
jawaban itu masih dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan
permohonan PK.
2. Menyampaikan atau
mengirimkan salinan jawaban kepada pihak pemohon PK.
Tugas selanjutnya Panitera setelah membubuhi cap, hari,
dan tanggap atas penerimaan jawaban, menyampaikan atau mengirimkan salinan
jawaban itu kepada pihak pemohon PK. Tujuannya menurut pasal 72 ayat (3) UU MA,
agar pemohon mengetahui adanya jawaban dari pihak lawan. Bukan untuk ditanggapi
atau dibantahi, tetapi sebatas untuk diketahui saja.
Diajukan gambaran proses dan mekanisme yang berkaitan
dengan jawaban yang diajukan pihak lawan sesuai dengan yang digariskan pasal 72
ayat (1), (2), dan (3) UU MA. Harus diajukan paling lambat 30 hari dari tanggal
penerimaan salinan permohonan, dan selanjutnya diserahkan atau dikirimkan kepada
Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat pertama.
5.
Pengiriman
Berkas Perkara PK ke MA
Pasal
72 ayat (4) UU MA, mengatur pengiriman berkas perkara PK kepada MA. Yang
penting diperhatikan mengenai pengiriman
berkas perkara tersebut, antara lain sebagai berikut.
a.
Panitera Melakukan Pengiriman
Panitera yang dibebani tugas
mngirimkan berkas perkara PK kepada MA, dalam hal ini, Panitera Pengadilan yang
memutus perkara itu pada tingkat pertama.
b. Yang Dikirim ke MA
Yang
harus dikirimkan Panitera ke MA,meliputi :
1.
Berkas perkara yang lengkap
Berkas perkara yang lengkap dalam
permohonan PK meliputi semua dokumen, berita acara, memori dua kontra memori
banding dan kasasi serta putusan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi.
Itulah yang harus dikirimkan Panitera ke MA.
2. Biaya Perkara PK
Yang kedua yang mesti dikirimkan panitera
ke MA adalah biaya perkara PK. Tanpa pengiriman biaya perkara, permohonan PK
tidak dapat didaftarkan di MA.
c.
Tenggang Waktu Pengiriman Berkas Perkara PK
Mengenai
tenggang waktu pengiriman berkas perkara PK dan biaya perkara diatur pada pasal
72 ayat (2) UU MA, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.
Akan tetapi pasal ini tidak
menentukan patokan darimana dihitung jangka waktu 30 hari tersebut. Pasal itu
hanya memuat rumusan dalam kalimat yang berbunyi :
“…dikirim
kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari.”
Rumusan itu tidak jelas (unclear outline) dan bisa
menimbulkan multitafsir. Bisa ditafsirkan dalam jangka waktu 30 hari tanggal
penerimaan permohonan. Boleh juga dikonstruksi paling lambat dalam jangka waktu
30 hari dari tanggal pemberian atau pengiriman salinan permohonan kepada pihak
lawan. Yang paling rasional dan objektif, selambat-lambatnya dalam jangka waktu
30 hari dari tanggal penerimaan jawabandari pihak lawan. Akan tetapi, patokan
ini tidak selamanya valid. Sebab patokan ini tidak selamanya melekat pada
permohonan PK. Jika alas an permohonan PK berdasarkan pasal 67 huruf c,d,e,atau
f, tidak ada hak pihak lawan mengajukan jawaban, sehingga pada kasus permohonan
PK yang demikian, tidak adapat diterapkan patokan dalam jangka waktu 30 hari
tanggal penerimaan jawaban, karena memang tidak ada jawaban. Sehubungan dengan
itu, perhitungan dengan yang rasional dan objektif menentukan jangka waktu
pengiriman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. dalam jangka waktu
30 hari dari tanggal penerimaan jawaban apabila alasan PK berdasarkan
pasal 67 huruf a atau b,
2. dalam jangka waktu
30 hari dari tanggal pemberian atau pengiriman salinan permohonan PK, apabila
alas an permohonan PK berdasarkan pasal 67 huruf c,d,e atau f.
Demikian alternative patokan memperhitungkan jangka waktu
pengiriman berkas perkara PK ke MA yang dianggap realistik objektif. Bertitik
tolak dari patokan ini, Ketua Pengadilan yang bersangkutan mempunyai pegangan
yang jelas untuk melakukan pengawasan terhadap proses pengiriman berkas perkara
PK ke MA.[4]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya hukum
peninjauan kembali (request civil) merupakan
suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun
Mahkamah Agung yang
telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali.
Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali
menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap
putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang
tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.
Berdasarkan
pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. Permohonan pinjauan kembali
putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya
dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang
tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama
mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama
atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain.
e) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan
belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Prosedur
Pengajuan Permohonan Kembali
1) Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang
berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama.
2) Membayar biaya perkara.
3) Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan
secara lisan maupun tertulis.
4) Bila permohonan diajukan secara tertulis
maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan
dimasukkan kekepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat
menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri
tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat
(2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya surat permohonan peninjauan
kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat
diajukan sekali.
7) Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima
permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling
lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal
72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari
setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat
maka jawaban tidak akan dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan
Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya untuk
selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal
72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) Permohonan
peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan
kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan
permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi
permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No.
14/1985).
B. Kritik dan Saran
Kalimat al
hamdulillahirobbil’alamin mengiringi penutup makalah ini.Serta tak lupa
penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun bagi makalah ini, baik dalam
segi penulisan maupun subtansi pembahasan.Karena penyusun menyadari, makalah
ini jauh dari nilai kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah,
Siti, 2005, Praktik Judicial Review di Indonesia, Yogyakarta : Pilar
Media
Yahya Harahap,M, 2008, KEKUASAAN
MAHKAMAH AGUNG PEMERIKSAAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA,Jakarta:Sinar
Grafika.
Soeroso,
R, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata,
Tata Cara, Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika
Subekti,R.1997, Hukum Acara Perdata,Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman
[1]R. Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata,
Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika,
1994),hal.92.
[2]R.
Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2,
(Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997),
hal.171-172
[3]Fatimah, Siti. Praktik Judicial
Review di Indonesia: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar Media. 2005. Hal. 63
[4] M.Yahya Harahap,S.H.,KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG PEMERIKSAAN
KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA,(Jakarta:Sinar
Grafika.2008),h.477-485
No comments:
Post a Comment