Wednesday, 6 April 2016

Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Hukum Acara Peradilan Agama

Hukum Acara Perdata 
Peradilan Umum dan Hukum Acara Peradilan Agama






PEMBAHASAN
A.      Hukum Acara Perdata Peradilan Umum
Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil dengan perantaraan hakim.[1]
Sedangkan menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., hukum acara perdata ialah rangkaian Peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.[2]
Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Sifat Hukum acara perdata
Seperti halnya dengan segala hukum, maka hukum acara perdata sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang negara. Sebagian lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara.[3] Dengan demikian, dalam hukum acara perdata kita apabila ada suatu perkara yang diajukan kemuka sidang (Pengadilan), hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak tahu atau kurang jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi sebagai berikut: “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak tahu atau kursng jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Kalau sekiranya ia tidak menemukan hukum tertulis, maka dia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam pasal 27 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi sebgai berikut: “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengkuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Dengan melihat ketentuan tersebut, jelas bahwa hal ini memberikan kesempatan untuk dipergunakannya hukum adat. Sehingga dengan demikian selain membantu hakim dalam melaksanakan tugasnya, maka keputusannya pun diharapkan sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sebagia contoh, misalnya seorang hakim dari Jawa Barat yang dipindah tugaskan ke Sumatra Barat, lalu harus mengadili perkara adat maka dalam hal ini ia tidak dapat menolak dengan alasan tidak tahu hukumnya. Untuk itu ia dapat memanggil seorang kepala adat atau kepala suku yang mengetahui hukum adat setempat. Berdasarkan keterangan ahli adat tersebut ia dapat menjatuhkan keputusannya. Tapi demi mengingat kedudukan hakim atau pengadil yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan, maka sudah sepatutnyalah kalau hakim tersebut mengetahui segala bentuk hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Selain dalam hal inisiatif pengajuan perkara seperti tersebut di atas, maka peraturan-peraturan hukum acara perdata mempunyai pula sifat mengikat dan memaksa, ini mengandung arti bahwa kalau tidak ditaati akan berakibat merugikan bagi pihak itu sendiri, atau kalau peraturan itu dilanggar oleh hakim, mislanya putusan tidak diucapkan dimuka umum, maka putusan itu dinyatakan tidak sah menurut hukum. Sebgai contoh lainnya misalnya, alam hal pengajuan banding dalam undang-undang dinyatakan bahwa banding dapat diajukan dalam jangka waktu 14 hari setelah keputusan itu diketahui. Maka jika waktu pengajuannya telah melewati batas waktu tersebut, permohonan banding tidak akan diterima.
Dengan demikian jelaslah di sini bahwa hukum acara perdata mempunyai sifat mengikat dan memaksa, karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum,[4] sehingga peraturan Hukum Acara Perdata ini tidak bisa dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau yang bersengketa serta merta harus tunduk dan mentaatinya.
Meskipun demikian, ada juga bagian dari peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya mengenai alat bukti yang dipakai dalam pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan 1 (satu) macam alat bukti, umpamanya tulisan, sedangkan pembuktian dengan alat bukti lain tidak diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian  tersebut "perjanjian pembuktian", yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.[5]
Sedangkan tujuan hukum acara perdata adalah supaya masyarakat bisa mempertahankan hak keperdataanya, dan juga agar penyelesaian perkara perdata atau pemulihan hak perdatanya tidak dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus menurut ketentuan yang termuat dalam Hukum Perdata Formil sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan atau menegakkan hukum perdata agar benar-benar bermanfaat untuk semua warga.
Adapun sumber hukum acara perdata, antara lain:[6]
a.    Het Herziene Indonesiech Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia yang diperbaharui : Stbl. 1848 No. 16 Stbl. 1941 N. 44 untuk daerah Jawa dan Madura ;
b.    Rechts Reglement Buitenngewesten (Rbg. Atau Reglement daerah seberang : Stb 1927 No. 227 ) untuk luar Jawa san Madura) ;
c.    Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa : Stb. 1847 No. 52 , dan Stb.1849 No. 63)
d.   Burgerlijke Wetboek (BW) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa
e.    UU Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum

Sedangkan asas-asas dalam hukum acara perdata adalah:
a.    Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
b.    Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)
Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
c.    Mendengar Kedua belah pihak.
d.   Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties)
e.    Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
f.     Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan perkara perdata pada asalnya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo).

B. Hukum Acara Peradilan Agama
Pengertian hukum acara peradilan agama menurut pendapat abdul manan adalah hukum yang mengatur tentang cara mengajukkan gugatan kepada pengadilan agama, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkaara yang di ajukan oleh penggugat serta bagaimana melaksanakan putusan tersebut sebagaimana  mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata agama dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut mukti arto hukum acara peradilan agama adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak hak dan kewajiban kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata  materiil yang di atur dalam lingkungan peradilan agama
Sumber hukum acara peradilan agama
             PP No. 45 Tahun 1957, PA dibentuk luar  Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, namun  tidak disinggung hukum acaranya.
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang .  Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaannya. dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang. Peradilan Agama Pasal 54. secara tegas disebutkan hukum acara  yang berlaku di PA
Pasal 54 telah dikemukakan  bahwa Hukum acara yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini
Inpres Nomor 1 tentang intruksi permasyarakatan kompilasi hukum islam ( KHI) yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf.
    Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang islam di Indonesia.[7]
Menurut ketentuan Pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.[8]
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada pengadilan dalam Peradilan Agama.
Menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 50 Tahun 2009 Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah hukum yang mengatur tentang berita pengajuan perkara perdata Islam tertentu dalam kewenangan peradilan khusus di lingkungan Peradilan agama. Atau dengan kata lain Hukum AcaraPeradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
a.    Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
b.    Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
a.    Perkawinan
b.    Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c.    Wakaf dan shadaqoh[9]
Hukum Acara Peradilan Agama sekarang secara garis besar bersumber kepada dua aturan yaitu:[10]
a.    Yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989
b.    Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum
Adapun asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama adalah meliputi sebagai berikut:
a.    Asas umum lembaga peradilan agama
1)   Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004.
2)    Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman, yaitu Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)   Asas Ketuhanan, yaitu peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimatBasmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4)   Asas Fleksibelitas, yaitu Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
5)   Asas Non Ekstra Yudisial, yaitu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6)    Asas Legalitas, yaitu Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
b.    Asas khusus kewenangan Peradilan Agama
1)   Asas Personalitas Ke-islaman, yakni Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
2)   Asas Ishlah (Upaya perdamaian), yaitu Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3)   Asas Terbuka Untuk Umum,  Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup.
4)   Asas Equality, Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris.
5)   Asas “Aktif” memberi bantuan, yaitu terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)   Asas Upaya Hukum Banding, yaitu terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)   Asas Upaya Hukum Kasasi, yaitu terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8)   Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali, yaitu terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)   Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi), yaitu segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex  Specialis”, dijelaskan dalam Pasal 54  UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan  Pengadilan Agama berlaku  Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
Sifat Hukum Acara : “sederhana, murah dan cepat” atau ” Sederhana, cepat dan biaya ringan.” Peradilan cepat merupakan bagian dari hak asasi manusia agar putusan segera dapat diaksanakan.

  
DAFTAR PUSTAKA


Bisri Cik Hasan,  Peradilan Agama di Indonesia .Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Mertokusumo Sudikno,Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta: Liberty,  1979.,  

Prodjodikoro Wirdjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia Bandung: Penerbit    Sumur Bandung,1984.

Rosyid roikhan, Hukum Acara Peradilan Agama. jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Subekti, Hukum Pembuktian Jakarta: Pradnya Paramita,  1975.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Adipura, 2004.
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri jakarta: Pradnya Paramita, 1972.





[1] Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S. H.., Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1979), hal. 2.
[2] Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S. H., Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975),  hal. 13.
[3] Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Penerbit Sumur Bandung,1984), hal. 13.
[4] Prof. Dr. Supomo, SH., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), hal. 12.
[5] Prof. R Subekti, SH., Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita,  1975), hal. 63.
[6] Dr. H. Roikhan A. Rasyid, S. H., M. A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 21.
[7] Dr. H. Roikhan A. Rasyid, S. H., M. A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 6.
[8] Cik Hasan Bisri,  Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 225.
[9] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 154-156
[10] Dr. H. Roikhan A. Rasyid, S. H., M. A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 21.

No comments:

Post a Comment