Hukum Acara Perdata
Peradilan Umum
dan Hukum Acara Peradilan Agama
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Acara Perdata Peradilan Umum
Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum
yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil
dengan perantaraan hakim.[1]
Sedangkan menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., hukum acara perdata ialah rangkaian Peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan
itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan Hukum Perdata.[2]
Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.
Sifat Hukum acara perdata
Seperti halnya dengan segala hukum, maka hukum acara perdata
sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang negara.
Sebagian lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh
para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara.[3]
Dengan demikian, dalam hukum acara perdata kita apabila ada suatu perkara yang
diajukan kemuka sidang (Pengadilan), hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak tahu atau
kurang jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14
tahun 1970 yang berbunyi sebagai berikut: “ Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak tahu atau kursng jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Kalau sekiranya ia tidak menemukan hukum tertulis, maka dia wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam pasal 27 ayat 1 UU No. 14
tahun 1970 yang berbunyi sebgai berikut: “hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengkuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.” Dengan melihat ketentuan tersebut, jelas bahwa hal ini
memberikan kesempatan untuk dipergunakannya hukum adat. Sehingga dengan
demikian selain membantu hakim dalam melaksanakan tugasnya, maka keputusannya
pun diharapkan sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Sebagia contoh, misalnya seorang hakim dari Jawa Barat yang
dipindah tugaskan ke Sumatra Barat, lalu harus mengadili perkara adat maka
dalam hal ini ia tidak dapat menolak dengan alasan tidak tahu hukumnya. Untuk
itu ia dapat memanggil seorang kepala adat atau kepala suku yang mengetahui
hukum adat setempat. Berdasarkan keterangan ahli adat tersebut ia dapat
menjatuhkan keputusannya. Tapi demi mengingat kedudukan hakim atau pengadil
yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan, maka sudah
sepatutnyalah kalau hakim tersebut mengetahui segala bentuk hukum baik yang
tertulis maupun tidak tertulis.
Selain dalam hal inisiatif pengajuan perkara seperti tersebut di
atas, maka peraturan-peraturan hukum acara perdata mempunyai pula sifat
mengikat dan memaksa, ini mengandung arti bahwa kalau tidak ditaati akan
berakibat merugikan bagi pihak itu sendiri, atau kalau peraturan itu dilanggar
oleh hakim, mislanya putusan tidak diucapkan dimuka umum, maka putusan itu
dinyatakan tidak sah menurut hukum. Sebgai contoh lainnya misalnya, alam hal
pengajuan banding dalam undang-undang dinyatakan bahwa banding dapat diajukan
dalam jangka waktu 14 hari setelah keputusan itu diketahui. Maka jika waktu
pengajuannya telah melewati batas waktu tersebut, permohonan banding tidak akan
diterima.
Dengan demikian jelaslah di sini bahwa hukum acara perdata mempunyai
sifat mengikat dan memaksa, karena dianggap menyelenggarakan kepentingan
umum,[4]
sehingga peraturan Hukum Acara Perdata ini tidak bisa dikesampingkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan atau yang bersengketa serta merta harus tunduk
dan mentaatinya.
Meskipun
demikian, ada juga bagian dari peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat
pelengkap (aanvullend recht) karena dianggap mengatur penyelenggaraan
kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga dapat dikesampingkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya mengenai alat bukti yang dipakai
dalam pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat
mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan 1
(satu) macam alat bukti, umpamanya tulisan, sedangkan pembuktian dengan alat
bukti lain tidak diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian
yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut
"perjanjian pembuktian", yang menurut hukum memang dibolehkan dalam
batas-batas tertentu.[5]
Sedangkan tujuan hukum acara perdata adalah supaya
masyarakat bisa mempertahankan hak keperdataanya, dan juga agar penyelesaian
perkara perdata atau pemulihan hak perdatanya tidak dengan cara main hakim
sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus menurut ketentuan yang
termuat dalam Hukum Perdata Formil sehingga tercipta ketertiban dan kepastian
hukum (perdata) dalam masyarakat.
Secara garis
besar dapat dikemukakan bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata agar benar-benar bermanfaat untuk
semua warga.
Adapun
sumber hukum acara perdata, antara lain:[6]
a.
Het Herziene Indonesiech Reglement (HIR) atau Reglement
Indonesia yang diperbaharui : Stbl. 1848 No. 16 Stbl. 1941 N. 44 untuk daerah
Jawa dan Madura ;
b.
Rechts Reglement Buitenngewesten (Rbg. Atau Reglement daerah
seberang : Stb 1927 No. 227 ) untuk luar Jawa san Madura) ;
c.
Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau
Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa : Stb. 1847 No. 52 , dan
Stb.1849 No. 63)
d.
Burgerlijke Wetboek (BW) atau disebut juga Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Eropa
e.
UU Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum
Sedangkan
asas-asas dalam hukum acara perdata adalah:
a.
Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van
Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek
fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim
ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum” sepanjang
undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara
perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak
dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan
2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
b.
Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)
Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo
Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para
pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
c.
Mendengar Kedua belah pihak.
d.
Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween
Instanties)
e.
Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
f.
Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan perkara perdata pada asalnya dikenakan biaya
perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4
HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya
perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk
berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo).
B. Hukum
Acara Peradilan Agama
Pengertian
hukum acara peradilan agama menurut pendapat abdul manan adalah hukum yang
mengatur tentang cara mengajukkan gugatan kepada pengadilan agama, bagaimana
pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat bagaimana para hakim
bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara
hakim memutus perkaara yang di ajukan oleh penggugat serta bagaimana
melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga
hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata agama dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut
mukti arto hukum acara peradilan agama adalah semua kaidah hukum yang
menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak hak dan kewajiban
kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil yang di atur dalam lingkungan
peradilan agama
Sumber
hukum acara peradilan agama
PP No. 45 Tahun 1957, PA dibentuk
luar Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan, namun tidak disinggung hukum
acaranya.
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang . Perkawinan jo.
PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaannya. dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang. Peradilan Agama Pasal 54. secara tegas disebutkan hukum acara yang berlaku di PA
Pasal 54 telah dikemukakan bahwa Hukum acara yang berlaku dalam
lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini
Inpres Nomor 1 tentang intruksi
permasyarakatan kompilasi hukum islam ( KHI) yang terdiri dari tiga buku yaitu
hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf.
Sebelum membicarakan pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan dalam Bab IX pasal 24
ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan
kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU
No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir
diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989
dalam pasal 2 disebutkan:“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari
Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang
berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang islam di
Indonesia.[7]
Menurut ketentuan Pasal 54, hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini.[8]
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara perdata
yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada pengadilan
dalam Peradilan Agama.
Menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 50
Tahun 2009 Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama
adalah hukum yang mengatur tentang berita pengajuan perkara perdata Islam
tertentu dalam kewenangan peradilan khusus di lingkungan Peradilan agama. Atau
dengan kata lain Hukum AcaraPeradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur
tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan
perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan
tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum
perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana
mestinya.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata”
dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
a.
Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan
pelaksanaannya
b.
Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam
melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang:
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, dan
c.
Wakaf dan shadaqoh[9]
Hukum Acara
Peradilan Agama sekarang secara garis besar bersumber kepada dua aturan yaitu:[10]
a.
Yang terdapat dalam UU No. 7 tahun
1989
b.
Yang berlaku di lingkungan Peradilan
Umum
Adapun
asas-asas Hukum
Acara Peradilan Agama adalah meliputi sebagai berikut:
a.
Asas umum lembaga peradilan agama
1)
Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum
Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004.
2)
Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman,
yaitu Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan
Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)
Asas Ketuhanan, yaitu peradilan agama dalam
menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga
pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimatBasmalah yang
diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4)
Asas Fleksibelitas, yaitu Pemeriksaan perkara
di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara
dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak
tersebut.
5)
Asas Non Ekstra Yudisial, yaitu segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945.
Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
akan dipidana.
6)
Asas Legalitas, yaitu Peradilan agama mengadili
menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3
(2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo.
Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Asas legalitas dapat
dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan
hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi
dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan
pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau
atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
b.
Asas khusus kewenangan Peradilan Agama
1)
Asas
Personalitas Ke-islaman, yakni Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada
kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam.
Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang
perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan
Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama.
2)
Asas
Ishlah (Upaya perdamaian), yaitu Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU
No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
3)
Asas
Terbuka Untuk Umum, Asas terbuka untuk
umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU
No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun
2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum,
kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting
yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara
keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup.
4)
Asas
Equality, Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak
dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif”
baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris.
5)
Asas
“Aktif” memberi bantuan, yaitu terlepas dari perkembangan praktik yang
cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum
acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku
untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang
pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)
Asas
Upaya Hukum Banding, yaitu terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat
dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)
Asas
Upaya Hukum Kasasi, yaitu terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding
dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8)
Asas
Upaya Hukum Peninjauan Kembali, yaitu terhadap putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)
Asas
Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi), yaitu segala putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Hukum Acara Peradilan Agama bersifat
“Lex Specialis”, dijelaskan dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang
menyatakan bahwa,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut
di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti
disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan
Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Seperti
telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan
umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara
Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara
perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian
besar adalah sama.
Sifat Hukum Acara : “sederhana,
murah dan cepat” atau ” Sederhana, cepat dan biaya ringan.” Peradilan cepat merupakan bagian dari hak asasi manusia agar
putusan segera dapat diaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia .Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Mertokusumo Sudikno,Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta: Liberty, 1979.,
Prodjodikoro
Wirdjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia Bandung: Penerbit Sumur Bandung,1984.
Rosyid roikhan, Hukum Acara Peradilan Agama. jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Subekti,
Hukum Pembuktian Jakarta: Pradnya Paramita, 1975.
Sudarsono,
Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Adipura, 2004.
Supomo, Hukum
Acara Perdata Pengadilan Negeri jakarta: Pradnya Paramita, 1972.
[1] Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S. H.., Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1979), hal. 2.
[2] Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S. H., Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1975), hal. 13.
[3] Wirdjono
Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Penerbit Sumur
Bandung,1984), hal. 13.
[4] Prof. Dr.
Supomo, SH., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1972), hal. 12.
[5] Prof. R
Subekti, SH., Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 1975), hal. 63.
[6]
Dr. H. Roikhan
A. Rasyid, S. H., M. A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 21.
[7] Dr. H. Roikhan
A. Rasyid, S. H., M. A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 6.
[8] Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), hal. 225.
[9]
M. Yahya
Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika,
2003), hal. 154-156
[10]
Dr. H. Roikhan
A. Rasyid, S. H., M. A., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 21.
No comments:
Post a Comment