Hukum Perburuhan dan Perjanjian Perburuhan
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Perburuhan dan Perjanjian
Perburuhan
2.1.1
pengertian Hukum Perburuhan
Secara umum hukum perburuhan merupakan hukum tertulis yang sebagiannya
telah dikodifikasikan dalam KUH Sipil dan bagian terbesar belum dikodifikasikan
dan tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, di samping masih banyak
ketentuan yang tak tertulis[1].
Sedangkan menurut beberapa ahli atau
pakar ilmu hukum pengertian hukum perburuhan adalah sebagai berikut:
1. Menurut Mr.M.G.Levenbach
Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah hukum yang
berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah
pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja itu.
2. Menurut Mr.N.E.H.Van Esveld
Hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja
dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan
yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab
dan resiko sendiri.
3. Menurut Prof.Iman Soepomo
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah
Dari pengertian-pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa hukum perburuhan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Serangkaian peraturan yang tertulis dan tidak tertulis
b.
Peraturan itu mengenai suatu kejadian
c.
Adanya orang yang bekerja pada orang lain
Adapula pekerjaan yang
di lakukan dibawah pimpinan orang lain, tetapi tidak termasuk perburuhan karena
tidak menerima upah misalnya pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain secara
suka rela atau secara gotong royong, pekerjaan orang hukuman yang di lakukan
atas perintah Negara.
Adapun perkataan
perburuhan itu adalah suatu kejadian dimana seseorang, bisanya disebut buruh
bekerja pada orang lain dan ada terdapat juga yang disebut majikan. Dengan
menerima upah, dengan sekaligus menyampingkan persoalan antara pekerjaan bebas
dan perkerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan (bekerja pada) orang lain, dan
menyampingkan pula persoalan antara pekerjaan dan pekerja.
Menurut pasal 1601
huruf (a) pengertian dari perjanjian perburuhan atau biasa disebut perjanjian
pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh mengikatkan
dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain si majikan untuk suatu waktu
tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah[3]
2.1.2 Perjanjian perburuhan
Pengaturan perjanjian
bisa kita temukan didalam buku III bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi,
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Disisi lain ada pula yang
menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian tersebut maka dapat diterangkan
lebih lanjut bahwa, perjanjian adalah sebuah kesepakatan antara 2 (dua) orang
atau lebih dalam lapangan hukum kebendaan untuk saling memberi dan menerima
sesuatu.[4]
Dalam setiap perjanjian
terdapat dua macam subyek perjanjian, yaitu :
1.seorang manusia atau badan hukum yang mendapat
beban kewajiban untuk sesuatu;
2.seorang manusia atau badan hukum yang mendapatkan
hak atas pelaksanaan kewajiban itu.
Dari pengertian diatas
maka subyek perjanjian dapat disimpulkan menjadi 2 (dua) macam yaitu manusia
pribadi dan badan hukum. Pengertian perjanjian kerja sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1601a KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian perburuhan adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya dibawah
perintah orang lain (majikan) untuk sesuatu waktu tertentu, melainkan pekerjaan
dengan menerima upah.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
menyatakan :
1.Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
2.Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
Adapun unsur-unsur
dalam perjanjian kerja sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata Pasal 1320
(menurut pasal 1338 (1) yang menyatakan sahnya perjanjian antara lain[5] :
- Mereka
sepakat untuk mengakibatkan diri;
- Cakap untuk
membuat suatu perikatan;
- Suatu hal
tertentu;
- Suatu sebab
yang halal.
Dalam perjanjian kerja
terdapat pula unsur-unsur dari syarat perjanjian kerja, antara lain :
- Adanya
unsur work (pekerjaan), karena dalam suatu perjanjian kerja haruslah ada
pekerjaan yang jelas yang dilakukan oleh pekerja dan sesuai dengan yang
tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dengan
ketentuan–ketentuan yang tercantum dalam UU nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan.
- Adanya
unsur service (pelayanan)
- Adanya unsur
time (waktu )
- Adanya
unsur pay (upah )
Dan dalam prakteknya
perjanjian kerja terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian, antara lain :
- Perjanjian
Tertulis, hal ini di peruntukan bagi perjanjian-perjanjian yang sifatnya
tertentu atau adanya kesepakatan para pihak, bahwa perjanjian yang
dibuatnya itu menginginkan dibuat secara tertulis agar terdapat kepastian
hukum.
- Perjanjian
Tidak tertulis, bahwa perjanjian yang oleh undang-undang tidak disyaratkan
dalam bentuk tertulis.
Akan tetapi suatu
perjanjian pekerjaan baik yang tertulis maupun tidak tertulis dapat juga
diakhiri atau berakhir bilamana[6]:
- pekerja
meninggal dunia;
- berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja
- adanya
putusan pengadilan dan putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Berakhirnya perjanjian kerja
sebagaimana tersebut di atas diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
adalah sebagai berikut
“Perjanjian kerja tidak berakhir dikarenakan
meninggalnya pengusaha atau beralihnya
hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah”
Dalam hal terjadi
pengalihan perusahaan, maka hak-hak pekerja atau buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja atau buruh. Dalam hal pengusaha orang perseorangan
meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah
merundingkan dengan pekerja atau buruh, sedangkan dalam hal pekerja/buruh meninggal
dunia, ahli waris pekerja atau buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan Pasal 62 UU
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja
atau buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Hal
ini merupakan asas fairness (keadilan) yang berlaku baik pengusaha maupun
pekerja agar kedua saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian kerja yang telah
dibuat dan ditandatangani.
2.2 Hubungan Kerja
Pengertian hubungan
kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan
perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana
pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar
upah[7].
Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian
tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau
tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Sedangkan menurut beberapa ahli hukum definisi
hubungan kerja adalah sebagai berikut:
1.Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro
Hubungan kerja adalah
kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga atau jasa seseorang secara teratur demi
kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha atau majikan),sesuai
dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.
2.Tjepi F. Aloewir
Hubungan kerja adalah
hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian
yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.
Hubungan kerja pada
dasarnya meliputi hal-hal mengenai:
- Pembuatan
Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)
- Kewajiban
Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha
atas pekerjaan tersebut)
- Kewajiban
Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak
dari si pekerja atas upah)
- Berakhirnya
Hubungan Kerja
Poin-poin terkait
dengan hubungan kerja akan dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1.Pengertian[8]
Perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja dengan pihak
lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang
dijanjikan dan disetujui bersama.
Pengaturan tentang pembuatan perjanjian kerja
berpedoman kepada :
a.Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) khususnya
buku III titel 7A.
b.Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) buku II.
c.Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993.
2.Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha Dalam
Perjanjian Kerja[9]
a.Hak pekerja
- Pekerja
berhak atas upah setelah melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian.
- Hak atas
fasilitas-fasilitas lain berupa tunjangan dan dana bantuan.
- Hak
perlakuan yang baik dari pengusaha atas dirinya seperti perlindungan
kesehatan kerja.
- Jaminan
kehidupan yang wajar dan layak dari pengusaha serta kejelasan status
waktu.
b.Kewajiban pekerja
- Melaksanakan
tugas dengan baik sesuai dengan perjanjian dan kemampuannya.
- Melaksanakan
tugas dan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain kecuali diizinkan oleh
pengusaha.
- Mentaati
segala peraturan kerja dan peraturan tat tertib yang berlaku di
perusahaan.
- Patuh dan
taat atas segala perintah pengusaha dalam melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan perjanjian.
c.Hak Pengusaha
- Pengusaha
berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.
- Pengusaha
berhak atas ditaatinya aturan kerja yang diberikan kepada pekerja.
- Pengusaha
berhak atas perlakuan yang hormat, sopan dan wajar serta sikap tingkah
laku yang layak dari pekerja.
- Pengusaha
berhak untuk melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh
pengusaha.
d.Kewajiban pengusaha
- Pengusaha
berkewajiban membayar imbalan kepada pekerja.
- Pengusaha
berkewajiban menyediakan dan mengatur fasilitas kerja, tempat kerja.
- Pengusaha
berkewajiban mengatur segala hal yang berada dibawah tanggung jawab dalam
hubungan kerja.
- Pengusaha
berkewajiban memberikan jaminan sosial kepada pekerja.
3.Berakhirnya hubungan kerja[10]
Berakhirnya
hubungan kerja didalam suatu masyarakat biasa disebut dengan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan atau
majikan, hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh
perusahaan atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang
– Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat
berakhir apabila :
- pekerja
meninggal dunia
- jangka
waktu kontak kerja telah berakhir
- adanya
putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Dan akan tetapi apabila
pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan,
wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja atau buruh
sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Hal-hal isi atau yang
diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja Perjanjian kerja akan memuat hal-hal
sebagai berikut :
- Macam
pekerjaan, cara pelaksanaannya, jam kerja dan tempat kerja.
- Besarnya upah,
tempat dan waktu pembayarannya dan fasilitas yang disediakan pengusaha
bagi pekerja.
- Pengobatan
berupa biaya dokter, poliklinik.
- Jaminan
sosial seperti kecelakaan, sakit, pensiun.
- Cuti, izin
meninggalkan pekerjaan, hari libur, uang pesangon.
2.3 Perselisihan Perburuhan[11]
Secara umum pengertian
perselisihan perburuhan merupakan setiap pertentangan atau ketidaksesuaian
antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat atau keadaan
perburuhan. Dengan demikian perselisihan perburuhan dapat terjadi antara buruh
dengan majikan, antara sekelompok buruh dengan majikan, antara serikat buruh
dengan majikan atau perkumpulan majikan
Berdasarkan Pasal 2 UU
PHI tahun 2004, jenis-jenis perselisihan industrial meliputi:
Perselisihan hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Contohnya;
(i) dalam Peraturan Perusahaan (PP),
Perjanjian Kerja Bersama (PKB),
dan perjanjian kerja; (ii) ada kesepakatan yang tidak dilaksanakan; dan (iii)
ada ketentuan normatif tidak dilaksanakan.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan
Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat
kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. Contohnya:
kenaikan upah, transpor, uang makan, premi dana lain-lain.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak. Contohnya; ketidaksepakatan alasan PHK dan perbedaan hitungan pesangon.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh
hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan Antar
Serikat Pekerja atau Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja
atau serikat buruh dengan serikat pekerja atau serikat buruh lain hanya dalam
satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
Dari
kasus perselisihan antara simajikan dengan siburuh maka didalam hukum perburuhan
juga terdapat cara bagaimana cara menyelesaikannya perselisihannya tersebut. Penjelasan
tentang bagaimana cara menyelesaikan perselisihan antara siburuh dengan
simajikan akan dijelaskan pada bab selanjutmya
2.4 Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Seperti
yang telah disinggung diatas didalam suatu hubungan antara siburuh dan
simajikan pastilah terdapat suatu perselisihan, maka dari itu didalam hukum
perburuhan juga terdapat media atau cara penyelesaian perselisihan. Didalam
perselisihan perburuhan terdapat dua cara, yang pertama yaitu penyelesaian
diluar pengadilan dan yang kedua didalam pengadilan.
1.Penyelesaian diluar pengadilan[12]
Penyelesaian perselisihan
tersebut terdapat pada undang-undang No.2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian
sengketa buruh atau tenaga Kerja diluar pengadilan.
1.Penyelesaian Melalui Bipartie
Merupakan perundingan
antara pekerja/serikat pekerja(SP/SB) dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan
harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan jika
dalam kurun waktu itu belum mencapai kesepakatan atau kemufakatan maka bipartie
dianggap gagal.
Apabila perundingan mendapat
kesepakatan maka dibuat perjajian bersama yang dutandatangani kedua belah
pihak, kemudian untuk kepastian hukumnya wajib didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri dimana wilayah Domisili perjanjian
bersama disepakati (wilayah perselisihan).
Dan pasal 6 dan pasal 7
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan
Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan
antara buruh dan majikan.
Bila terdapat
kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan
majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak
yang disebut dengan perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau
kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen
bersama dan merupakan perjanjian perdamaian. Penyelesaian Perselisihan Secara
Bipartit dilakukan melaui :
1.Mediasi
Pemerintah dapat
mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai
yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan
Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal
berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si
Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan
dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut
Pengangkatan dan
akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian
bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian
perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
2.Konsiliasi
Penyelesaian melalui
Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat
Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19
Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah
memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. Pejabat
Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian
bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang
diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan
Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat tesebut.
3.Penyelesaian Melalui Arbitrase
Undang-undang dapat
menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan
dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan.
Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
31 ayat (1) berbunyi :
a.Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.Cakap melakukan tindakan hukum
c.Warga negara Indonesia
d.Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima)
tahun
e.Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
f.Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan
dokter
g.Menguasai peraturan perundang-undangan dibidang
ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah
mengikuti ujian arbitrase
h.Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Selanjutnya pengangkatan
arbiter tersebut berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang
bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan
oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat
dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan
alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan
Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan
mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila
tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004,
seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan
Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di
exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya.
Putusan Kesepakatan
Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing
pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial. Terhadap
putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi atau
sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Upaya Hukum Terhadap
Putusan Arbitrase Salah satu atau kedua belah 1.pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan putusan Arbitrase dalam hal:
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
2.Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
3.Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
4.Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan
industrial; atau putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2.Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan[13]
Sebelum keluarnya
Undang-Undang hubungan Industrial, penyelesaian sengketa perburuhan diatur di
dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk
mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh sejalan dengan
tuntutan kemajuan zaman dibuat dan diundangkan Undang-undang No. 2 Tahun 2004 sebagai
wadah Peradilan Hubungan Industrial disamping Peradilan Umum.
Di dalam Pasal 56
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
- Di tingkat
pertama mengenai perselisihan hak
- Di tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
- Di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
- Di tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja atau serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari[14]:
- Hakim
- Hakim ad
Hoc
- Panitera
Muda, dan
- Panitera
Pengganti
Untuk Pengadilan Kasasi
di Mahkamah Agung terdiri dari :
- Hakim Agung
- Hakim ad
Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
- Panitera
Syarat-syarat untuk
dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut :
- Warga
negara Indonesia
- Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Setia
kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
- Berumur
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
- Berbadan
sehat sesuai dengan keterangan dokter
- Berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
- Berpendidikan
serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada
Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum serta berpengalaman
dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pengangkatan dan
penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pada Pengadilan Hubungan Industrial
berdasarkan Surat Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan
janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc
tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66
Undang-Undang No.2 Tahun 2004.
Hukum acara yang
dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku di lingkungan Pengadilan Umum, kecuali diatur secara khusus oleh
Undang-Undang No 2 Tahun 2004 serta menunggu keputusan Presiden untuk
menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Perburuhan.
Sebelum Undang-Undang
ini berlaku secara effektif di dalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan
Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.13
Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penyelesaian Perselisihan
Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
- PHI
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
- Tingkat
pertama mengenai perselisihan hak;
- Tingkat pertama
dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
- Tingkat
pertama mengenai perselisihan PHK;
- Tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Ketentuan Beracara
dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata; Kecuali hal-hal yang
diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 81 Pasal 115). Putusan
PHI mengenai Perselisihan Hak dan PHK dapat diajukan ke MA melalui Upaya Hukum
Permohonan Kasasi paling lama 14 hari setelah putusan dibacakan, atau menerima
pemberitahuan putusan.[15]
BAB
3 PENUTUP
3.1Penutupan
Pada dasarnya pembahasan hukum perburuhan sangatlah komplek
dan hukum perburuhan ini sangatlah dibutuhkan masyarakat khususnya yang bekerja
disektor industri atau yang lainnya. Dan didalam hukum perburuhan ini baik
seorang pekerja atau buruh dan seorang majikan dalam aplikasinya akan diatur
dalam hukum perburuhan baik cara perekrutannya, perjanjian kerja, hubungan
kerja, bahkan sampai perselisihan kerja.
Misalnya seperti dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menjelas atau yang menyatakan bahwa:
1.Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja
atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak.
2.Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
Apabila
didalam perjanjian atau hubungan kerja tersebut terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti melanggar hak dan kewajiban baik yang melanggar itu buruh
atau majikan, maka akan terjadi suatu perselisihan perburuhan. pengertian
perselisihan perburuhan merupakan setiap pertentangan atau ketidaksesuaian
antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat atau keadaan
perburuhan. Dengan demikian perselisihan perburuhan dapat terjadi antara buruh
dengan majikan, antara sekelompok buruh dengan majikan, antara serikat buruh
dengan majikan atau perkumpulan majikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Djumadi.2004.Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja.Jakarta:
Rajawali Pers
Rahayu, Dewi.2011.Hukum Ketenagakerjaan Teori dan
Studi Kasus.Yogyakarta: Elmatera Publisher
Sutedi, Adrian.2009.Hukum Perburuhan.Jakarta:
Sinar Grafika
Kansil.1983.Pengantar Ilmu dan Tata Hukum
Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka
Hartono, Judiantoro.1992.Segi Hukum Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Jakarta: Rajawali Pers
[2]Kansil,Pengantar
Ilmu dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1983),
hlm.312
[3]Djumadi,Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.29
[4]
Djumadi,Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.13
[5]
Djumadi,Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.35
[6]
Djumadi,Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.91
[7]
Adrian
Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.23
[8]
Djumadi,Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.101
[9]
Dewi
Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta:
Elmatera Publisher,2011),hlm.89
[10]
Dewi
Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta:
Elmatera Publisher,2011),hlm.220
[11]
Adrian
Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.95
[12]
Adrian
Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.108
[13]
Adrian
Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.128
[14]
Dewi
Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta:
Elmatera Publisher,2011),hlm.229
[15]
Dewi
Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta:
Elmatera Publisher,2011),hlm.232
No comments:
Post a Comment