Wednesday, 6 April 2016

Tasyri’ Tentang Nahdlatul Ulama’, Muhamaddiyah dan MUI

Tasyri’ Tentang Nahdlatul Ulama’, Muhamaddiyah dan MUI






                                                                PEMBAHASAN


2.1  Nahdlatul Ulama
A.Sejarah NU

Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan mmembentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), Sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan Keagamaan kaum santri. Didirikan kemudian Nalidlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid'ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dan kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan dalam delegasi sebagai Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya berjalan keluar membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Didorong oleh umatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dan segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Peran itulah internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Komite Berangkan dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.[1]

B.Paham Keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang banteng jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Quur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab: Syafi’i meskipun tiga madzhab mengakui yang lain: Hanafi, Maliki, Hambali, sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU Berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syari’at.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Merumuskan kembali serta hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

C.Perkembangan NU

Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.

Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsif dibanding seniornya dalam menghadapi modernitas.

Munculnya gairah intelektualisme NU tidak lepas dan keputusan NU meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke khitah 1926 pada 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elite NU tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga mempunyai waktu lebih banyak untuk memperhatikan masalah pendidikan. Selain itu, terpilihnya Kyai Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 mempunyai pengaruh signifikan perkembangan pemikiran keagamaan NU.

Dalam konteks inilah, Muktamar Pemikiran Islam di NU mempunyai makna yang strategis untuk terus menjadikan NU sebagai eksemplar gerakan intelektual, bukan semata-mata sebagai gerakan politik.

D. Metode Penetapan NU.[2]
Bahstul Masail al-Diniyah adalah salah satu forum diskusi keagamaan yang ada dalam NU untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika actual (kontemporer) yang muncul dalam kehidupan masyarakat, yang tidak hanya meliputi persoalan hukum halal dan haram juga hal-hal yang bersifat pengembangan keislaman dan kajian kitab, sehingga kalau selama ini Bahtsul Masail di NU hanya menyangkut masalah wqiiyyah, kini telah doperluas dengan Bahtsul Masail secara maudhuiyah.
Dalam praktenya para ulam NU lebih mengutamakan otoritas keahlian seseorang dan literature yang diperbolehkan, dari pada meneliti kecendrungan madhzabnya. Oleh karena itu seain tetap berpegang pada pemikiran para ulama klasik, juga tidak mempersoalkan pemikiran ulama syaikh Muthi’I, Makhluf, abdul Qadir Audah dan lain sebagainya untuk dirujuk kitabnya.

E.Metode pengambilan putusan hukum islam dalam Bahsul Masail:[3]

A. Penjelasan umum
a.       Yang dimaksud dengan kitab adalah kutub al-madzahibu al-arba’ah yaitu kitab-kitab tentag ajaran islam uang sesuai degan aqidah ahlussunnah wal jama’ah .
b.      Yang dimaksud dengan madzhab adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan slah satu al-madhab al-arba’ah.
c.       Yang dimaksud dengan bermadhab secara manhajji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran (metode) dan kaedah penetapan hukum yang telh disusun oleh para imam-imam dari al-madhab al-arba’ah.
d.      Yang dimaksud dengan istimbath jama’I adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawaid ushuliyah secara kolektif.
e.       Yang dimaksud dengan qaul dalam referensi madhab syafi’I adalah pendapat imam syafi’i.
f.       Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madhab syafi’i.
g.       Taqrir jama’I adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul dalam madhab syafi’i.
h.      Ilhaq adalah menyamakan hukum suatu kasus /masalah serupa yang telah dijawab oelh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
B. Sistem pengambilan keputusan Bahstul Masail.[4]
a.       Kerangka analisis masalah
Dalam memecahkan dan merespom masalah, bahstul masail hendaknya menggunakan kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut:
1.      Analisis masalah (sebab kenapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai factor:
a.       Factor ekonomi
b.      Factor politik
c.       Factor budaya
d.      Factor sosial
2.      Analisis dampak (dampak positif dan negative yang ditimbulkan suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:
a.       Aspek sosial ekonomi
b.      Aspek sosial budaya
c.       Aspek sosial politik
d.      Aspek sosial lainnya
3.      Analisa hukum (dampak Bahstul Masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang) disamping mempertimbangkan hukum islam juga mepertimbangkan hukum yuridis formal.
a.       Status hukum
b.      Dasar dari ajaran
c.       Hukum positif

F.PROSEDUR PENJAWABAN MASALAH[5]
Keputusan Bahstul Masail dilingkungan NU dibuat dalam rangka bermadhab kepada salah satu madhab empat yang disepakati dan diutamakan bermadhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
A.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi dengan ibarat dari kitab al-madzahib al-arbaah  dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.
B.     Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi dengan ibarat dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jamai untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan tersebut visa dilakukan sebagai berikut:
4.      Dengan mengambil pendapat yang lebih kuat atau yang lebih maslahat.
5.      Khusus dalam madhzab syafi’I sesuai dengan Maktamar ke-1 tahun 1926, perbedaan pendapat disesuaikan dengan memilih:
a.       Pendapat yang disepakati oleh al-syaikhan
b.      Pendapat yang dipegang oleh al-nawawi
c.       Pendapat yang dipegang oleh al-rifa’i
d.      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
e.       Pendapat ulama yng terpandai
f.       Pendapat ulama yang paling wara
C.     Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhq al-masail bi nazhairiha secara jama’I oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih, wajhu al-ilhaq oelh para mulhiq yang ahli.
D.    Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama’I dengan prosedur bermadhab secara manhajji oelh para ahlinya yaitu dengan mempraktekkan qawaid ushuliyah oleh para ahlinya.

G. Kerangka analisa tindakan[6]
Kerangka analisa tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil Bahstul Masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari Bahstul Masail, siapa yang akan melaksanakan, bagaimana, kapan, dan dimana hal tersebut akan dilakukan dan bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantapan agar semua berjalan sesuai denga keputusan), maka harus memperhatikan aspek-aspek berikut ini:
a.       Aspek politik (berusaha agar hasil Bahstul Masail dapat dujadikan sebagai sarana mempengaruhi kebbijakan pemerintah)
b.      Aspek budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyrakat terhadap hasil-hasil Bahstu Masail melalui berbagai media massa dan forum seperti majlis ta’lim dan sebagainya)
c.       Aspek ekonomi (menigkatkan kesejahteraan masyarakat)
d.      Aspek sosial (upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkingan hidup dan lain sebagainya)
H. Tujuan dan Usaha Organisasi
1.Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


2.Usaha Organisasi

a.       Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b.      Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.
c.       Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d.      Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu masyarakat.
e.       Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat.[7]
I. Lembaga NU
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
1. Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama (LDNU)
2. Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdatul Ulama (LP ma’arif NU)
3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdatul Ulama (LPKNU)
4. Lembaga Perekonomian Nhdatul Ulama (LPNU)
5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdatul Ulama (LP2NU)
6. Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI)
7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdatl Ulama(LKKNU)
8. Lembaga Takmir Masjid (LTM)
9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSDA)
10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
11. Lembaga Penyuluhan dan Batuan Hukum (LPBH)
12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)

2.2 Muhammadiyah
A.Sejarah Berdirinya Muhammadiyah

            Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenali sebagai K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan umat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Oleh kerana itu beliau memberikan pengertian keagamaan di rumahnya di tengah kesibukannya sebagai Khatib dan pedagang.[8]
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”.
Langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.


“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa, ayat 116)

Faktor utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Dalam surat Ali Imran ayat 104 dikatakan bahwa: “ Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.[9] Memahami seruan diatas, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.

B.Visi dan Misi Muhammadiyah[10]

1.      Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

2. Misi
a)      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
b)      Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
c)      Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai kitab Allah terakhir dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
d)     Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

C.Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Muhammadiyah[11]
a.        Faktor obyektif yang bersifat Internal

1.      Kelemahan dan praktek ajaran Islam

a)      Tradisionalisme
                          Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang agama. Paham dan praktek agama seperti ini mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk-bentuk sikap penolakan terhadap perubahan dan kemudian berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup selama ini.

b)      Sinkretisme

                        percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat-budaya setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya ini tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan ketika percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis tidak berubah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.

2.      Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam

Dalam di pesantren salah satu kelemahan itu terletak pada materi pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan ilmu falak. Pesanteren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam rangka menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan lembaga pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang dan sebab kenapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu duniawi.

b.       Faktor Objektif yang Bersifat Eksternal

1.      Kristenisasi
           Yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.

2.       Kolonialisme Belanda

                        Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.

D.Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia[12]

1.      Muhammadiyah Pada Masa Penjajahan
a.       Pada tahun 1898, beliau meluruskan arah kiblat secara benar dengan serong kearah barat laut 24,5 derajat.
b.      Bermula dari sekolah yang dirintis di teras rumah K.H.A Dahlan dan akhirnya beliau membangun gedung standard school med de Qur’an hingga akhirnya pendidikan Muhammadiyah terus berkembang.
c.       K.H.A Dahlan yang dibantu K.H.Suja’ merintis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada 15 Februari1923.
d.      Pada tahun 1922, didirikan mushala khusus wanita.
2.      Muhammadiyah Pada Masa Orde Lama
Kemenangan Partai Masyumi pada 1955, membuat PKI dan antek-anteknya menaruh dendam hingga menuduh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. PKI membujuk penguasa pada saat itu untuk membubarkan Masyumi yang tentu akan mengancam eksistensi Muhammadiyah. Tetapi,keputusan tertingi tetap di tangan presiden Soekarno.
Dampak dari permasalahan tersebut, banyak tokoh Masyumi yang notabene aktivis Muhammadiyah dijebloskan ke penjara yakni :
a. Buya HAMKA
b. Mr.Kasman Singidimejo
c. dr.Yusuf Wibisono
Pada 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang memberi waktu pada Masyumi untuk membubarkan diri. Lalu dalam rangka menyelamatkan Muhammadiyah dari hasutan PKI terhadap presiden, diberikanlah predikat “Anggota Setia Muhammadiyah” kepada Ir.Soekarno.

3.      Muhammadiyah Pada Masa Orde Baru
Pada masa ini, Muhammadiyah menata kembali organisasinya dan turut membantu pemerintah dalam menumpas PKI. Namun setelah cukup lama berkuasa, mulai terjadi penyelewengan-penyelewengan. Semua organisasi Massa dan politik tidak ada yang boleh menentang kata-kata pemerintah. Pada 1977, munculnya krisis moneter yang menyerang bangsa Indonesia. Hal ini mendorong para aktivis untuk ikut bersama gelombang masyarakat untuk melengserkan rezim orde baru. Akhirnya pada 22 Mei 1998, rezim orde baru tumbang, dan digantikan dengan Masa Reformasi yang satu diantara penggeraknya ialah Prof. DR.H.Amien Rais.

4.      Muhammadiyah Pada Masa Reformasi

Dalam sidang Tanwir di Semarang pada 1998, Muhammadiyah merelakan Prof.DR.H. Amien Rais untuk melepaskan jabatannya sebaga Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah guna menjaga agar kondisi perpolitikan tidak menghambat gerak juang Muhammadiyah.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah bulan Februari 2002 di Bali, Muhammadiyah merumuskan khittah berbangsa dan bernegara yang isi nya mempertegas statement Ujung Pandang dan Khittah Surabaya.
Muhammadiyah mengihimbau kadernya yang berpolitik riil agar memperhatikan :
1.    Mengedepankan kejujuran
2.    Menjadi Uswatun Khasanah
3.    Melakukan Islah


E.     Lembaga Ijtihad Muhammadiyah[13]
Majlis tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fikih. Majlis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta, dengan KH. Mas Mansur sebagai ketua pertamanya.
1.      Tugas pokok Majlis Tarjih
a.       Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
b.      Menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlaq, ibadah, mu’amalah dunyawiyyah.
c.       Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Trjih sendiri memandang perlu.
d.      Menyalurkan perbedaan pendapat / paham dalam bidang keagamaan kearah yang lebih maslahat.
e.       Mempertinggi mutu ulama’
f.       Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan Persyarikatan.
                                                                                                       
2.      Metode ijtihad Majlis Tarjih

a.       Al-Qur’an dan as-Sunnahal-Shahihah
Muhammadiah berpendapat bahwa sumber utama dalam islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Shahihah. Al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum, sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Akan tetapi jika Hadis tesebut ti-dak sejalan apalagi bertentangan dengan al-Qur’an, maka Hadis itu ti-dak dapat diterima. Kriteria hadis yang shahihah disini tidak semata-mata ditentukan dari sanad saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi matannya.
b.      Ijma’ Shahabat
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqh terdahulu, namun disana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seper-lunya. Ijma’ yang dibahas dalam ushul fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah hanya menerima konsep Ijma’ yang terjadi dikalangan shahabat Nabi. Hal ini mengisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, Ijma’ tidak mungkin terjadi lagi setelah masa shahabat. Pada masa shasabat dimungkinkan adanya ijma’, karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
c.       Qiyas
Qiyas sebagai metode penetapan hukum pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai ibadah mahdah. Namun sebagian kelomok ada yang setuju dan ada juga yang tidak menghendaki adanya metode ini dalam pembentukan hukum di Mu-hammadiyah.
d.      Istihsan
Dalam rumusan manhaj Majlis Tarjih dapat dipahami bahwa Muhammadiyah menerima metode istihsan. Dalam poin ke Sembilan manhaj tersebut dinyatakan, bahwa men-ta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kan-dungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Kegiatan ini erat kaitannya dengan istihsan.
e.       Istislah
Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesua-tu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan mu’amalah peran akal cukup besar. Maslahah dalam Muhammadiyah tidak seperti halnya diungkapkan oleh al-Thufi yakni “maslahah harus didahulukan dari pada nash, dalam arti masla-hah dapat men-takhshish nash”. Dengan demikian Muhammadiyah te-tap mendahulukan dhahir nash daripada maslahah, ketika satu sama lain dianggap bertentangan. Pendapat ini juga dianut oleh kebanyakan ahli ushul fiqh.
f.       Saddu al-dzari’at
Tujuan digunakannya metode ini adalah untuk menghindari ter-jadinya fitnah dan mafsadah. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan digunakannya metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia.

Adapun jalur yang ditempuh Muhammadiyah dalam berijtihad ada tiga ja-lur, yaitu:
1)      Al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadis.
2)      Al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis.
3)      Al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menjelaskan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dari kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggu-nakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.

3.      Langkah-langkah Metode Penetepan Hukum dalam Tarjih Muhammadiyah

                   Dalam mencari hukum yang ada dalam al Quran, ulama ushul menempuh dengan jalan: 1) Ijtihad Bayani, 2) Ijtihad Qiyasi, dan 3) Ijtihad Istislahi . Pokok-pokok rumusan tersebut adalah sebagai berikut:[14]
a.       Ijtihad Bayani
                  Ijtihad bayani adalah pola ijtihad yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik) yaitu kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (ambiguitas), mana ayat yang umum yang diterangkan secara ‘am atau mubayyan dan mana pula yang khusus yang menerangkan khas atau mubayyin, mana ayat yang qat’i dan mana pula ayat yang dhanni, kapan dalil itu bersifat perintah yang dianggap wajib dan kapan pula dianggap sunat, kapan larangan itu dianggap haram dan kapan pula dianggap makruh dan seterusnya. Dengan arti lain bahwa ijtihad Bayani adalah menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash  Al Quran dan Hadits. Contoh : kesepakatan tentang iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haidh adalah tiga quru’.
                  Menurut Ulama’ Hanafiah, ada lima bayan, bayan-bayan dimaksud adalah sebagai berikut :
a.       Bayan Taqrir, yaitu penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain, yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil.
b.      Bayan Tafsir, yaitu penjelasan suatu lafal atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.
c.      Bayan Taghyir, yaitu keterangan-keterangan yang mengubah dari makna dhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhassis yang umum tadi.
d.     Bayan Tabdil, yaitu usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
e.      Bayan Dlarurah, yaitu keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan,. Bayan itu tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan.
2.      Ijtihad Qiyasi
        Ijtihad qiyasi juga disebut dengan ta’lili, secara umum ijtihad ini adalah ijtihad yang  dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
Dalam pola ijtihad ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan ‘illat sebagai titik tolaknya. Disini dibahas cara-cara menemukan ‘illat, persyaratan, dan penggunaannya di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan ‘illat baru (sebagai pengganti yang lama).Contoh : perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu gandum, kurma, anggur. Yang kemudian dianalogikan dengan makanan pokok.
3.      Ijtihad Istislahi
Ijtihad Istislahi adalah ijtihad yang mengidentifikasi masalah-masalah yang tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan.
Pola ini dapat ditempuh dengan berbagai metode berikut :
a.       Metode Istihsan
b.      Metode Sadduz Dzaro’i
c.       Metode Maslahah Mursalah
d.      Metode Urf yang tidak bertentangan dengan nash dan tidak mendatangkan mafsadah.
Artinya bahwa prinsip dalam metode ijtihad istislahi ini menempuh tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, Hajjiyat, Tahsiniyat.





2.3 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
A. Sejarah MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah badan otonom non-pemerintah yang menghimpun Ulama, Zuama, dan Cendekiawan Muslim Indonesia. Majelis ini berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta.
Lahirnya MUI diawali dengan lahirnya “Piagam Berdirinya MUI” dalam musyawarah para Ulama, Cendekiawan, dan Zu’ama dari berbagai penjuru tanah air. Kemudian, pertemuan tersebut dianggap sebagai Musyawarah Nasional Ulama I. Ketika itu hadir 26 ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 ulama dari ormas-ormas besar Islam tingkat pusat, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyyah, 4 ulama dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 orang tokoh atau cendekiawan yang mewakili pribadi.
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh, setidaknya, dua hal: pertama, respons atas kebangkitan kembali bangsa Indonesia setelah 30 tahun merdeka; kedua, keprihatinan terhadap sektarianisme yang amat mendominasi perpolitikan umat Islam di tahun 1970-an, sehingga mulai mengabaikan masalah kesejahteraan rohani umat. Selain itu, tantangan global yang sangat berat yang ditandai oleh kemajuan sains dan teknologi, yang dapat menerobos sekat-sekat etika dan moral, serta serbuan budaya global yang didominasi alam pikir barat, juga pendewaan atas kebendaan dan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek rohani umat, menjadi titik tolak para ulama untuk memfungsikan kembali agama sebagai penggerak peradaban kehidupan umat manusia.
Atas dasar itulah, landasan perjuangan MUI dirumuskan ke dalam lima fungsi dan peran utama, yaitu sebagai:
1.      Pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2.      Pemberi fatwa (mufti).
3.      Pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah).
4.      Gerakan kedamian dan pembaruan (Islah wa at- Tajdid).
5.      Penegak hal-hal yang baik dan pencegah dari hal-hal yang mungkar (Amar ma'ruf dan nahi munkar).
Dalam perjalanan menapaki usia hampir empat dasawarsa sekarang ini, MUI mempunyai beberapa lembaga strategis, di antaranya:
1.      Dewan Syariah Nasional (DSN)
Lembaga ini merupakan badan otonom MUI yang menjamin terlaksananya kegiatan perekonomian dan keuangan yang sesuai dengan syariah. Lembaga ini lahir sebagai respons atas kemajuan dalam perekonomian syariah di Indonesia yang ditandai oleh beridirinya badan-badan keuangan berbasis syariah, seperti perbankan syariah (yang dimulai oleh Bank Muamalat), takaful (asuransi syariah), juga Baitul Mal (badan keuangan non perbankan syariah).
Badan ini berfungsi sebagai regulator sekaligus pengawas perekonomian berbasis syariah dengan tugas utama sebagai berikut:
a.       Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
b.      Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
c.       Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
d.      Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

2.      Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan Makanan dan Kosmetika (LPPOM)
Lembaga yang berdiri sejak 6 Januari 1989 ini mengurusi permasalahan hukum halal dan haram, baik dalam hal pangan, obat-obatan, makanan maupun produk kosmetika. Dalam Islam, masalah halal dan haram merupakan masalah penting yang bertalian dengan keimanan dan ketakwaan sebagai muslim yang utuh.
Badan inilah yang berwenang mengeluarkan sertifikat “Halal” untuk produk-produk tersebut di atas. Namun, sebelum mengeluarkan sertfikat halal tersebut, badan ini menjalin kerja sama dengan para ahli untuk menilai kandungan suatu produk sebelum diputuskan statusnya menjadi halal atau haram.
3.      Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS yang semula bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) badan ini didirikan pada 21 Oktober 1993. Badan ini merupakan badan arbitrase Islam pertama di Indonesia. Perubahan BAMUI menjadi BASYARNAS dilakukan pada 24 Desember 2003 atas amanat MUNAS MUI pada tahun 23-26 Desember 2002.
BASYARNAS merupakan badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan dan industri keuangan, serta jasa keuangan syariah lainnya di kalangan umat Islam. Lembaga ini menjawab kehadiran perbankan syariah, asuransi syariah dan perkreditan syariah yang telah hadir sebelumnya.
4.      Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (Lembaga PLH-SDA)
Lembaga ini lahir paling akhir dari pada lembaga-lembaga otonom lainnya, didirikan pada 23 September 2010, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan di tengah-tengah umat, terutama setelah melihat sektor pertambangan yang begitu besar dalam menyumbang kerusakan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia.[15]
B. METODE IJTIHAD MUI
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash qath’i, Pendekatan qauli dan Pendekatan Manhaji. Pendekatan Nash qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan qauli dan Manhaji.
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan pedoman.
Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.[16]
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan menggunakan metode, mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq. Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah. Sedangkan metode Istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah. Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.[17]


                                                                          PENUTUP


Kesimpulan
Dari materi-materi baik itu tentang yang sudah disampaikan di atas baik itu tentang maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama(Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar, Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Sedangkan Muhammadiyah adalah sebuah organisasi keagamaan yang didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenali sebagai K.H. Ahmad Dahlan. Dasar berdirinya muhammadiyah pada masa lalu ialah bahwasannya melihat keadaan umat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

  

DAFTAR PUSTAKA

Solikhin, M.  2005. Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail.
Kamal Pasha Musthafa, dkk. 2000.  Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,  Jakarta:Logos Publishing House.
Abdurrahman Asjmuni, 2010. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasinya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Muchtar Masyhudi, dkk, 2007, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya: Khalista
Zaki Hadziq Moh, 2009, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari, Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam
http://marwaniloveblue.blogspot.com/2014/01/sejarah-berdirinya-muhammadiyah.html (diakses tanggal 26 Mei 2014)
Www.Wikipedia NU.or.id (diakses tanggal 25 mei 2014)
Www.MUI.or.id (diakses tanggal 1 juni 2014)



[1] Muchtar Masyhudi, dkk.Aswaja An-Nahdliyah,(Surabaya: Khalista,2007).hlm.25
[2] Muchtar Masyhudi, dkk.Aswaja An-Nahdliyah,(Surabaya: Khalista,2007).hlm.30
[3] Zaki Hadziq Moh, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam,2007).hlm.25
[4] Ibid hal 30
[5] Wikipedia NU
[6] Wikipedia NU
[7] Zaki Hadziq Moh, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam,2007).hlm.16
[8] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2005, hlm. 156

[9]Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm.114
[10] Ibid. hlm.117
[11] http://marwaniloveblue.blogspot.com/2014/01/sejarah-berdirinya-muhammadiyah.html (diakses tanggal 26 Mei 2014)

[12] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm.230
[13] Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:Logos Publishing House, 1995, hlm.116
[14] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasinya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010, h.105-106
[15] www.MUI.or.id (diakses tanggal 1 juni 2014)
[16] Majelis Ulama Indonesia.Himpunan Fatwa MUI.(Jakarta Erlangga,2011).hlm.8
[17] Majelis Ulama Indonesia.Himpunan Fatwa MUI.(Jakarta Erlangga,2011).hlm.9

1 comment:

  1. nahdlatul ulama artinya kebangkitan ulama,,,andai saja pada saat masa penjajahan dulu para ulama tidak bangkit, kira kira indonesia akan merdeka tidak ya?

    ReplyDelete