Tasyri’ Tentang
Nahdlatul Ulama’, Muhamaddiyah dan MUI
PEMBAHASAN
2.1
Nahdlatul
Ulama
A.Sejarah NU
Nahdlatul Ulama (kebangkitan
ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi
Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan
bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara
mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun
akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”.
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi
sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama
ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan
mmembentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal
juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), Sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan Keagamaan kaum santri. Didirikan kemudian Nalidlatut
Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak
menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini
banyak diziarahi karena dianggap bid'ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dan kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah
maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren
yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu
kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada
tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan dalam delegasi
sebagai Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan
mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim
Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya berjalan keluar membuat
delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah. Didorong oleh umatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan
bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh KH Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren
yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dan segala penjuru umat Islam
di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini
di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing.
Peran itulah internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Komite Berangkan dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu
untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai
kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar
organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU,
yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak
dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.[1]
B.Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal
Jama’ah, sebuah pola pikir yang banteng jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis)
dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya al-Quur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab: Syafi’i meskipun
tiga madzhab mengakui yang lain: Hanafi, Maliki, Hambali, sebagaimana yang
tergambar dalam lambang NU Berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syari’at.
Gagasan kembali kekhittah pada
tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Merumuskan kembali serta hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika
sosial dalam NU.
C.Perkembangan NU
Perkembangan kontemporer
pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang
menarik, terutama yang digalang kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan
keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis
pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan
pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.
Mereka tidak hanya concern dengan
modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga
melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan
tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga
melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan
dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri
seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan
sasaran kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih
responsif dibanding seniornya dalam menghadapi modernitas.
Munculnya gairah intelektualisme
NU tidak lepas dan keputusan NU meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik
praktis dengan konsep kembali ke khitah 1926 pada 1984. Dengan keputusan itu,
warga dan elite NU tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga
mempunyai waktu lebih banyak untuk memperhatikan masalah pendidikan. Selain
itu, terpilihnya Kyai Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan Abdurrahman
Wahid sebagai Ketua Umum Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di Situbondo tahun 1984
mempunyai pengaruh signifikan perkembangan pemikiran keagamaan NU.
Dalam konteks inilah, Muktamar
Pemikiran Islam di NU mempunyai makna yang strategis untuk terus menjadikan NU
sebagai eksemplar gerakan intelektual, bukan semata-mata sebagai gerakan
politik.
D. Metode Penetapan NU.[2]
Bahstul Masail al-Diniyah adalah
salah satu forum diskusi keagamaan yang ada dalam NU untuk merespon dan
memberikan solusi atas problematika actual (kontemporer) yang muncul dalam
kehidupan masyarakat, yang tidak hanya meliputi persoalan hukum halal dan haram
juga hal-hal yang bersifat pengembangan keislaman dan kajian kitab, sehingga
kalau selama ini Bahtsul Masail di NU hanya menyangkut masalah wqiiyyah, kini
telah doperluas dengan Bahtsul Masail secara maudhuiyah.
Dalam praktenya para ulam NU lebih
mengutamakan otoritas keahlian seseorang dan literature yang diperbolehkan,
dari pada meneliti kecendrungan madhzabnya. Oleh karena itu seain tetap
berpegang pada pemikiran para ulama klasik, juga tidak mempersoalkan pemikiran
ulama syaikh Muthi’I, Makhluf, abdul Qadir Audah dan lain sebagainya untuk
dirujuk kitabnya.
E.Metode pengambilan putusan hukum
islam dalam Bahsul Masail:[3]
A. Penjelasan umum
a. Yang
dimaksud dengan kitab adalah kutub al-madzahibu al-arba’ah yaitu kitab-kitab
tentag ajaran islam uang sesuai degan aqidah ahlussunnah wal jama’ah .
b. Yang
dimaksud dengan madzhab adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi
dalam lingkungan slah satu al-madhab al-arba’ah.
c. Yang
dimaksud dengan bermadhab secara manhajji adalah bermadzhab dengan mengikuti
jalan pikiran (metode) dan kaedah penetapan hukum yang telh disusun oleh para
imam-imam dari al-madhab al-arba’ah.
d. Yang
dimaksud dengan istimbath jama’I adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya
dengan qawaid ushuliyah secara kolektif.
e. Yang
dimaksud dengan qaul dalam referensi madhab syafi’I adalah pendapat imam
syafi’i.
f. Yang
dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madhab syafi’i.
g. Taqrir jama’I adalah upaya secara kolektif
untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul dalam madhab
syafi’i.
h. Ilhaq
adalah menyamakan hukum suatu kasus /masalah serupa yang telah dijawab oelh
kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
B. Sistem pengambilan keputusan
Bahstul Masail.[4]
a. Kerangka
analisis masalah
Dalam
memecahkan dan merespom masalah, bahstul masail hendaknya menggunakan kerangka
pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut:
1. Analisis
masalah (sebab kenapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai factor:
a. Factor
ekonomi
b. Factor
politik
c. Factor
budaya
d. Factor
sosial
2. Analisis
dampak (dampak positif dan negative yang ditimbulkan suatu kasus yang dicari
hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:
a. Aspek
sosial ekonomi
b. Aspek
sosial budaya
c. Aspek
sosial politik
d. Aspek
sosial lainnya
3. Analisa
hukum (dampak Bahstul Masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar
belakang dan dampaknya disegala bidang) disamping mempertimbangkan hukum islam
juga mepertimbangkan hukum yuridis formal.
a. Status
hukum
b. Dasar
dari ajaran
c. Hukum
positif
F.PROSEDUR
PENJAWABAN MASALAH[5]
Keputusan
Bahstul Masail dilingkungan NU dibuat dalam rangka bermadhab kepada salah satu
madhab empat yang disepakati dan diutamakan bermadhab secara qauli. Oleh karena
itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
A. Dalam
kasus ketika jawaban bisa dicukupi dengan ibarat dari kitab al-madzahib
al-arbaah dan disana terdapat hanya satu
pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.
B. Dalam
kasus ketika jawaban bisa dicukupi dengan ibarat dan disana terdapat lebih dari
satu pendapat, maka dilakukan taqrir jamai untuk memilih salah satu pendapat.
Pemilihan tersebut visa dilakukan sebagai berikut:
4. Dengan
mengambil pendapat yang lebih kuat atau yang lebih maslahat.
5. Khusus
dalam madhzab syafi’I sesuai dengan Maktamar ke-1 tahun 1926, perbedaan
pendapat disesuaikan dengan memilih:
a. Pendapat
yang disepakati oleh al-syaikhan
b. Pendapat
yang dipegang oleh al-nawawi
c. Pendapat
yang dipegang oleh al-rifa’i
d. Pendapat
yang didukung oleh mayoritas ulama
e. Pendapat
ulama yng terpandai
f. Pendapat
ulama yang paling wara
C. Dalam
kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur
ilhq al-masail bi nazhairiha secara jama’I oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan
dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih, wajhu al-ilhaq oelh para mulhiq yang
ahli.
D. Dalam
kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama’I
dengan prosedur bermadhab secara manhajji oelh para ahlinya yaitu dengan
mempraktekkan qawaid ushuliyah oleh para ahlinya.
G.
Kerangka analisa tindakan[6]
Kerangka analisa tindakan, peran dan
pengawasan efektifitas hasil Bahstul Masail (apa yang harus dilakukan sebagai
konsekuensi dari Bahstul Masail, siapa yang akan melaksanakan, bagaimana,
kapan, dan dimana hal tersebut akan dilakukan dan bagaimana cara sosialisasi
mekanisme pemantapan agar semua berjalan sesuai denga keputusan), maka harus
memperhatikan aspek-aspek berikut ini:
a. Aspek
politik (berusaha agar hasil Bahstul Masail dapat dujadikan sebagai sarana
mempengaruhi kebbijakan pemerintah)
b. Aspek
budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyrakat terhadap
hasil-hasil Bahstu Masail melalui berbagai media massa dan forum seperti majlis
ta’lim dan sebagainya)
c. Aspek
ekonomi (menigkatkan kesejahteraan masyarakat)
d. Aspek
sosial (upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkingan hidup dan
lain sebagainya)
H. Tujuan dan Usaha Organisasi
1.Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut
paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.Usaha Organisasi
a. Di
bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan
yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b. Di
bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan
luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang
bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.
c. Di
bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang
sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d. Di
bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai
dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu
masyarakat.
e. Mengembangkan
usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan
menjadi yang terbaik bagi masyarakat.[7]
I. Lembaga NU
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu
bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
1. Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama (LDNU)
2. Lembaga Pendidikan Ma’arif
Nahdatul Ulama (LP ma’arif NU)
3. Lembaga Pelayanan Kesehatan
Nahdatul Ulama (LPKNU)
4. Lembaga Perekonomian Nhdatul
Ulama (LPNU)
5. Lembaga Pengembangan Pertanian
Nahdatul Ulama (LP2NU)
6. Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI)
7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga
Nahdatl Ulama(LKKNU)
8. Lembaga Takmir Masjid (LTM)
9. Lembaga Kajian dan Pengembangan
Sumberdaya Manusia (LKPSDA)
10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia
(SARBUMUSI)
11. Lembaga Penyuluhan dan Batuan
Hukum (LPBH)
12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
2.2
Muhammadiyah
A.Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18
November 1912 oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenali sebagai K.H. Ahmad Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan
sebagai pedagang. Melihat keadaan umat Islam pada waktu itu dalam keadaan
jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau
tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Oleh kerana itu beliau memberikan
pengertian keagamaan di rumahnya di tengah kesibukannya sebagai Khatib dan
pedagang.[8]
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut
mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang
didirikannya pada 1 Desember Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah
bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah
sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”.
Langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya
Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil
temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin
membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah,
membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan
kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam,
ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa, ayat 116)
Faktor utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah
hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah, membahas,
meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Dalam surat Ali Imran ayat 104
dikatakan bahwa: “ Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.[9]
Memahami seruan diatas, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun
sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang
tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
di tengah masyarakat.
B.Visi dan Misi Muhammadiyah[10]
1.
Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa
istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di
semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin menuju
terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2. Misi
a) Menegakkan keyakinan tauhid yang
murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh para Rasul sejak Nabi
Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
b) Memahami agama dengan menggunakan
akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan
persoalan-persoalan kehidupan.
c) Menyebar luaskan ajaran Islam yang
bersumber pada Al-Qur’an sebagai kitab Allah terakhir dan Sunnah Rasul untuk
pedoman hidup umat manusia.
d) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam
kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
C.Faktor Internal dan Eksternal
Lahirnya Muhammadiyah[11]
a.
Faktor obyektif yang bersifat Internal
1.
Kelemahan dan praktek ajaran Islam
a)
Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam
tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat terhadap khasanah
intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan
pembaharuan-pembaharuan dalam bidang agama. Paham dan praktek agama seperti ini
mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang
banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan
adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk-bentuk sikap penolakan terhadap
perubahan dan kemudian berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah
menjadi pengalaman hidup selama ini.
b)
Sinkretisme
percampuradukkan antara sistem
kepercayaan asli masyarakat-budaya setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan
budaya ini tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan
ketika percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku
sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis
tidak berubah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang,
takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang
Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-sama dalam sistem
kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
2.
Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam
Dalam di
pesantren salah satu kelemahan itu terletak pada materi pelajaran yang hanya
mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam,
Tasawwuf dan ilmu falak. Pesanteren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan
umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya,
yang justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman
dan dalam rangka menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan
lembaga pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu
latar belakang dan sebab kenapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni
untuk melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara
ilmu agama dan ilmu duniawi.
b. Faktor Objektif yang Bersifat
Eksternal
1.
Kristenisasi
Yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
Yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
2.
Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah
membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara
ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan
praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana
ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk
melakukan perlawanan. Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan
Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui
pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia
melalui jalur pendidikan.
D.Perkembangan
Muhammadiyah di Indonesia[12]
1. Muhammadiyah
Pada Masa Penjajahan
a. Pada tahun 1898, beliau meluruskan
arah kiblat secara benar dengan serong kearah barat laut 24,5 derajat.
b. Bermula dari sekolah yang dirintis
di teras rumah K.H.A Dahlan dan akhirnya beliau membangun gedung standard
school med de Qur’an hingga akhirnya pendidikan Muhammadiyah terus berkembang.
c. K.H.A Dahlan yang dibantu K.H.Suja’
merintis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada 15 Februari1923.
d. Pada tahun 1922, didirikan mushala
khusus wanita.
2.
Muhammadiyah Pada Masa Orde Lama
Kemenangan Partai Masyumi pada 1955,
membuat PKI dan antek-anteknya menaruh dendam hingga menuduh Masyumi terlibat
dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. PKI membujuk penguasa pada saat itu untuk
membubarkan Masyumi yang tentu akan mengancam eksistensi Muhammadiyah.
Tetapi,keputusan tertingi tetap di tangan presiden Soekarno.
Dampak dari permasalahan tersebut, banyak tokoh Masyumi yang
notabene aktivis Muhammadiyah dijebloskan ke penjara yakni :
a.
Buya HAMKA
b.
Mr.Kasman Singidimejo
c.
dr.Yusuf Wibisono
Pada 1959, dikeluarkan dekrit
presiden yang memberi waktu pada Masyumi untuk membubarkan diri. Lalu dalam
rangka menyelamatkan Muhammadiyah dari hasutan PKI terhadap presiden,
diberikanlah predikat “Anggota Setia Muhammadiyah” kepada Ir.Soekarno.
3.
Muhammadiyah Pada Masa Orde Baru
Pada masa ini, Muhammadiyah menata
kembali organisasinya dan turut membantu pemerintah dalam menumpas PKI. Namun
setelah cukup lama berkuasa, mulai terjadi penyelewengan-penyelewengan. Semua
organisasi Massa dan politik tidak ada yang boleh menentang kata-kata
pemerintah. Pada 1977, munculnya krisis moneter yang menyerang bangsa
Indonesia. Hal ini mendorong para aktivis untuk ikut bersama gelombang
masyarakat untuk melengserkan rezim orde baru. Akhirnya pada 22 Mei 1998, rezim
orde baru tumbang, dan digantikan dengan Masa Reformasi yang satu diantara
penggeraknya ialah Prof. DR.H.Amien Rais.
4.
Muhammadiyah Pada Masa Reformasi
Dalam sidang Tanwir di Semarang pada
1998, Muhammadiyah merelakan Prof.DR.H. Amien Rais untuk melepaskan jabatannya
sebaga Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah guna menjaga agar kondisi perpolitikan
tidak menghambat gerak juang Muhammadiyah.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah
bulan Februari 2002 di Bali, Muhammadiyah merumuskan khittah berbangsa dan
bernegara yang isi nya mempertegas statement Ujung Pandang dan Khittah
Surabaya.
Muhammadiyah mengihimbau kadernya yang berpolitik riil agar
memperhatikan :
1. Mengedepankan kejujuran
2. Menjadi Uswatun Khasanah
3. Melakukan Islah
Majlis tarjih adalah suatu lembaga
dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum
bidang fikih. Majlis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII
tahun 1928 di Yogyakarta, dengan KH. Mas Mansur sebagai ketua pertamanya.
1. Tugas pokok Majlis Tarjih
a. Menyelidiki dan memahami ilmu agama
Islam untuk memperoleh kemurniannya.
b. Menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlaq,
ibadah, mu’amalah dunyawiyyah.
c. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas
permintaan maupun Trjih sendiri memandang perlu.
d. Menyalurkan perbedaan pendapat /
paham dalam bidang keagamaan kearah yang lebih maslahat.
e. Mempertinggi mutu ulama’
f. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan
yang diserahkan oleh pimpinan Persyarikatan.
2. Metode ijtihad Majlis Tarjih
a. Al-Qur’an dan as-Sunnahal-Shahihah
Muhammadiah
berpendapat bahwa sumber utama dalam islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah
al-Shahihah. Al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum,
sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Akan tetapi jika
Hadis tesebut ti-dak sejalan apalagi bertentangan dengan al-Qur’an, maka Hadis
itu ti-dak dapat diterima. Kriteria hadis yang shahihah disini tidak
semata-mata ditentukan dari sanad saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi
matannya.
b. Ijma’ Shahabat
Muhammadiyah
pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli
ushul fiqh terdahulu, namun disana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepat
lagi disebut kombinasi seper-lunya. Ijma’ yang dibahas dalam ushul fiqh
kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah hanya menerima konsep Ijma’ yang terjadi dikalangan shahabat Nabi.
Hal ini mengisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, Ijma’ tidak mungkin terjadi
lagi setelah masa shahabat. Pada masa shasabat dimungkinkan adanya ijma’,
karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
c. Qiyas
Qiyas
sebagai metode penetapan hukum pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan
catatan tidak mengenai ibadah mahdah. Namun sebagian kelomok ada yang setuju
dan ada juga yang tidak menghendaki adanya metode ini dalam pembentukan hukum
di Mu-hammadiyah.
d. Istihsan
Dalam
rumusan manhaj Majlis Tarjih dapat dipahami bahwa Muhammadiyah menerima metode
istihsan. Dalam poin ke Sembilan manhaj tersebut dinyatakan, bahwa men-ta’lil,
dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami
kan-dungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis. Kegiatan ini erat kaitannya dengan
istihsan.
e. Istislah
Menurut
Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesua-tu yang harus diwujudkan.
Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan mu’amalah peran akal
cukup besar. Maslahah dalam Muhammadiyah tidak seperti halnya diungkapkan oleh
al-Thufi yakni “maslahah harus didahulukan dari pada nash, dalam arti masla-hah
dapat men-takhshish nash”. Dengan demikian Muhammadiyah te-tap mendahulukan
dhahir nash daripada maslahah, ketika satu sama lain dianggap bertentangan.
Pendapat ini juga dianut oleh kebanyakan ahli ushul fiqh.
f. Saddu al-dzari’at
Tujuan
digunakannya metode ini adalah untuk menghindari ter-jadinya fitnah dan
mafsadah. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan digunakannya metode
ini adalah untuk kemaslahatan manusia.
Adapun jalur yang ditempuh Muhammadiyah dalam berijtihad ada tiga ja-lur, yaitu:
1) Al-Ijtihad al-Bayani, yakni
menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadis.
2) Al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni
menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang
hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis.
3) Al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni
menjelaskan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dari kedua sumber hukum
diatas, dengan cara menggu-nakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
3. Langkah-langkah
Metode Penetepan
Hukum dalam Tarjih Muhammadiyah
Dalam mencari hukum yang ada dalam al Quran, ulama
ushul menempuh dengan jalan: 1) Ijtihad Bayani, 2) Ijtihad
Qiyasi, dan 3) Ijtihad Istislahi . Pokok-pokok rumusan tersebut
adalah sebagai berikut:[14]
a.
Ijtihad Bayani
Ijtihad bayani adalah pola ijtihad yang berkaitan dengan kajian kebahasaan
(semantik) yaitu kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana
memilih salah satu arti dari lafal musytarak (ambiguitas), mana ayat
yang umum yang diterangkan secara ‘am atau mubayyan dan mana pula
yang khusus yang menerangkan khas atau mubayyin, mana ayat yang qat’i
dan mana pula ayat yang dhanni, kapan dalil itu bersifat perintah yang
dianggap wajib dan kapan pula dianggap sunat, kapan larangan itu
dianggap haram dan kapan pula dianggap makruh dan seterusnya. Dengan
arti lain bahwa ijtihad Bayani adalah menjelaskan hukum yang kasusnya telah
terdapat dalam nash Al Quran dan
Hadits. Contoh : kesepakatan tentang iddah perempuan yang telah digauli
dan masih kedatangan haidh adalah tiga quru’.
Menurut Ulama’ Hanafiah, ada lima bayan, bayan-bayan dimaksud adalah
sebagai berikut :
a.
Bayan Taqrir, yaitu penjelasan dalam
rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain, yang memberikan
tambah jelasnya yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkapan
dalam nash atau dalil.
b.
Bayan Tafsir, yaitu penjelasan suatu
lafal atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.
c. Bayan Taghyir, yaitu
keterangan-keterangan yang mengubah dari makna dhahir menjadi makna yang
dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian. Dalam hal ini, usaha
yang dilakukan adalah mencari mukhassis yang umum tadi.
d. Bayan Tabdil, yaitu usaha mencari
penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh mansukh
dalam hukum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
e. Bayan Dlarurah, yaitu keterangan yang
tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan,. Bayan itu tidak
berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan.
2. Ijtihad Qiyasi
Ijtihad qiyasi juga disebut dengan ta’lili,
secara umum ijtihad ini adalah ijtihad yang
dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya
secara langsung.
Dalam pola ijtihad ini
dimasukkan semua penalaran yang menjadikan ‘illat sebagai titik tolaknya.
Disini dibahas cara-cara menemukan ‘illat, persyaratan, dan penggunaannya di
dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri
sekiranya ditemukan ‘illat baru (sebagai pengganti yang lama).Contoh :
perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu gandum,
kurma, anggur. Yang kemudian dianalogikan dengan makanan pokok.
3. Ijtihad Istislahi
Ijtihad Istislahi adalah ijtihad yang mengidentifikasi masalah-masalah yang tidak mempunyai
nash khusus sebagai rujukan.
Pola ini dapat ditempuh
dengan berbagai metode berikut :
a.
Metode Istihsan
b.
Metode Sadduz Dzaro’i
c.
Metode Maslahah Mursalah
d.
Metode Urf yang tidak bertentangan dengan nash dan tidak mendatangkan
mafsadah.
Artinya bahwa prinsip
dalam metode ijtihad istislahi ini menempuh tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat,
Hajjiyat, Tahsiniyat.
2.3 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
A. Sejarah MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah badan otonom non-pemerintah
yang menghimpun Ulama, Zuama, dan Cendekiawan Muslim Indonesia. Majelis ini
berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta.
Lahirnya MUI diawali dengan lahirnya “Piagam Berdirinya MUI” dalam
musyawarah para Ulama, Cendekiawan, dan Zu’ama dari berbagai penjuru tanah air.
Kemudian, pertemuan tersebut dianggap sebagai Musyawarah Nasional Ulama I. Ketika
itu hadir 26 ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 ulama dari
ormas-ormas besar Islam tingkat pusat, seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyyah, 4 ulama dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan
POLRI, serta 13 orang tokoh atau cendekiawan yang mewakili pribadi.
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh, setidaknya, dua hal: pertama,
respons atas kebangkitan kembali bangsa Indonesia setelah 30 tahun merdeka;
kedua, keprihatinan terhadap sektarianisme yang amat mendominasi perpolitikan
umat Islam di tahun 1970-an, sehingga mulai mengabaikan masalah kesejahteraan
rohani umat. Selain itu, tantangan global yang sangat berat yang ditandai oleh
kemajuan sains dan teknologi, yang dapat menerobos sekat-sekat etika dan moral,
serta serbuan budaya global yang didominasi alam pikir barat, juga pendewaan
atas kebendaan dan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek rohani umat, menjadi
titik tolak para ulama untuk memfungsikan kembali agama sebagai penggerak
peradaban kehidupan umat manusia.
Atas dasar itulah, landasan perjuangan MUI dirumuskan ke dalam lima
fungsi dan peran utama, yaitu sebagai:
1.
Pewaris
tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2.
Pemberi
fatwa (mufti).
3.
Pembimbing
dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah).
4.
Gerakan
kedamian dan pembaruan (Islah wa at- Tajdid).
5.
Penegak
hal-hal yang baik dan pencegah dari hal-hal yang mungkar (Amar ma'ruf dan
nahi munkar).
Dalam perjalanan menapaki usia hampir empat dasawarsa sekarang ini,
MUI mempunyai beberapa lembaga strategis, di antaranya:
1.
Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Lembaga ini merupakan badan otonom MUI yang menjamin terlaksananya
kegiatan perekonomian dan keuangan yang sesuai dengan syariah. Lembaga ini
lahir sebagai respons atas kemajuan dalam perekonomian syariah di Indonesia
yang ditandai oleh beridirinya badan-badan keuangan berbasis syariah, seperti
perbankan syariah (yang dimulai oleh Bank Muamalat), takaful (asuransi
syariah), juga Baitul Mal (badan keuangan non perbankan syariah).
Badan ini berfungsi sebagai regulator sekaligus pengawas
perekonomian berbasis syariah dengan tugas utama sebagai berikut:
a.
Menumbuh-kembangkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
keuangan pada khususnya.
b.
Mengeluarkan
fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
c.
Mengeluarkan
fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
d.
Mengawasi
penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
2.
Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan Makanan dan Kosmetika (LPPOM)
Lembaga yang berdiri sejak 6 Januari 1989 ini mengurusi
permasalahan hukum halal dan haram, baik dalam hal pangan, obat-obatan, makanan
maupun produk kosmetika. Dalam Islam, masalah halal dan haram merupakan masalah
penting yang bertalian dengan keimanan dan ketakwaan sebagai muslim yang utuh.
Badan inilah yang berwenang mengeluarkan sertifikat “Halal” untuk
produk-produk tersebut di atas. Namun, sebelum mengeluarkan sertfikat halal
tersebut, badan ini menjalin kerja sama dengan para ahli untuk menilai
kandungan suatu produk sebelum diputuskan statusnya menjadi halal atau haram.
3.
Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS yang semula bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) badan ini didirikan pada 21 Oktober 1993. Badan ini merupakan badan
arbitrase Islam pertama di Indonesia. Perubahan BAMUI menjadi BASYARNAS
dilakukan pada 24 Desember 2003 atas amanat MUNAS MUI pada tahun 23-26 Desember
2002.
BASYARNAS merupakan badan permanen dan independen yang berfungsi
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan
perdagangan dan industri keuangan, serta jasa keuangan syariah lainnya di
kalangan umat Islam. Lembaga ini menjawab kehadiran perbankan syariah, asuransi
syariah dan perkreditan syariah yang telah hadir sebelumnya.
4.
Lembaga
Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (Lembaga PLH-SDA)
Lembaga ini lahir paling akhir dari pada lembaga-lembaga otonom
lainnya, didirikan pada 23 September 2010, yang bertujuan untuk
menjaga kelestarian lingkungan di tengah-tengah umat, terutama setelah melihat
sektor pertambangan yang begitu besar dalam menyumbang kerusakan lingkungan dan
sumber daya alam di Indonesia.[15]
B. METODE IJTIHAD MUI
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses
penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash
qath’i, Pendekatan qauli dan Pendekatan Manhaji. Pendekatan Nash qoth’i
dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk sesuatu
masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun
Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur’an
maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan qauli dan Manhaji.
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa
dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban
dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub
al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat (qaul)
yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk
dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau
karena alasan hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu
dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama
terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu
yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan
pedoman.
Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh
nash qoth’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam
kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan
fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.[16]
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa
dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan
metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu
masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad
jama’i), dengan menggunakan metode, mempertemukan pendapat yang berbeda
(al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi),
menganalogkan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka
penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq. Jika usaha al-Jam’u
wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode
tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan
argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran
al-madzahib) dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama
yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat
untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur,
batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang
memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil
dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang
menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah)
namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan
melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus
padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah. Sedangkan metode Istinbathi dilakukan
ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena tidak ada padanan
pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan
dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum
(mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-syari’ah). Sehingga
fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat
dan dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam
menjalankan kehidupannya.[17]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari materi-materi baik itu tentang yang sudah disampaikan di atas baik itu tentang maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama(Kebangkitan Ulama) Didirikan pada
16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH.
Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar, Nahdlatul Ulama
menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis). Sedangkan Muhammadiyah adalah sebuah
organisasi keagamaan yang didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 8
Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenali
sebagai K.H. Ahmad Dahlan. Dasar berdirinya muhammadiyah pada masa lalu ialah
bahwasannya melihat keadaan umat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku
dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya
untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan
gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita
bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air.
DAFTAR
PUSTAKA
Solikhin, M. 2005. Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail.
Kamal Pasha Musthafa, dkk. 2000. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:Logos Publishing House.
Abdurrahman Asjmuni, 2010.
Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan
Aplikasinya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Muchtar Masyhudi, dkk, 2007, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya:
Khalista
Zaki Hadziq Moh, 2009, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari,
Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam
http://marwaniloveblue.blogspot.com/2014/01/sejarah-berdirinya-muhammadiyah.html
(diakses tanggal 26 Mei 2014)
Www.Wikipedia
NU.or.id (diakses tanggal 25 mei 2014)
Www.MUI.or.id
(diakses tanggal 1 juni 2014)
[1] Muchtar Masyhudi, dkk.Aswaja
An-Nahdliyah,(Surabaya: Khalista,2007).hlm.25
[2] Muchtar Masyhudi, dkk.Aswaja An-Nahdliyah,(Surabaya: Khalista,2007).hlm.30
[3] Zaki Hadziq
Moh, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Pustaka
Warisan Islam,2007).hlm.25
[4] Ibid hal 30
[5] Wikipedia NU
[6] Wikipedia NU
[7] Zaki Hadziq
Moh, Konsep Aswaja Ala Mbah Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Pustaka
Warisan Islam,2007).hlm.16
[9]Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm.114
[10]
Ibid. hlm.117
[11]
http://marwaniloveblue.blogspot.com/2014/01/sejarah-berdirinya-muhammadiyah.html
(diakses tanggal 26 Mei 2014)
[12] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm.230
[13] Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,
Jakarta:Logos Publishing House, 1995, hlm.116
[14] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj
Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasinya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010,
h.105-106
[15] www.MUI.or.id
(diakses tanggal 1 juni 2014)
[16] Majelis Ulama
Indonesia.Himpunan Fatwa MUI.(Jakarta Erlangga,2011).hlm.8
[17] Majelis Ulama
Indonesia.Himpunan Fatwa MUI.(Jakarta Erlangga,2011).hlm.9
nahdlatul ulama artinya kebangkitan ulama,,,andai saja pada saat masa penjajahan dulu para ulama tidak bangkit, kira kira indonesia akan merdeka tidak ya?
ReplyDelete