KONSEP AKAD
GIRO TABUNGAN, GIRO DAN TABUNGAN
A. Konsep
Akad
1. Pengertian
Secara lughawi, makna al-aqd adalah perikatan,
perjanjian, pertalian, permufakatan (al-ittifaq). Secara Istilah, akad
didefinisikan dengan redaksi yang berbeda-beda. Berbagai definisi tersebut
dapat dimengerti bahwa, akad adalah pertalian ijab dan kabul dari pihak-pihak
yang menyatakan kehendak, sesuai dengan kehendak syariat, yang akan memiliki
akibat hukum terhadap obyeknya.[1]
Definisi tersebut mengisaratkan bahwa, pertama, akad
merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap
munculnya akibat hukum baru. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dari kedua
belah pihak. Ketiga, dilihat dari tujuan dilaksanakannya akad, ia bertujuan
untuk melahirkan akibat hukum baru. Persoalan akad adalah persoalan antar pihak
yang sedang menjalin ikatan.[2]
Secara terminologi, ulama fiqh membagi akad dilihat
dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah
segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang, seperi jual beli dan gadai. Pengertian akad secara umum di
atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat para
ulama Syafi’iyah, Malikiyyah, dan Hanabillah. Pengertian akad secara khusus
adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara
syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.
2. Dasar
Hukum Akad
Adapun yang menjadi dasar hukum dalam akad dalam
islam adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 188, 275, 282, 283, surat an-Nisa
ayat 29, al-Maidah ayat 1-2, surat al-Jumuah ayat 9, surat al-Muthafirrin ayat
1-6, dan beberapa hadis Rasulullah.
Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa: 29) yang
berbunyi:
Artinya : “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh
Allah Maha penyayang kepadamu”.
Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam
transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau
yang diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan
adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya
dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan
sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk
menunjukkan kerelaan.[3]
3. Rukun
dan Syarat Akad
Dalam KHES dikemukakan pada bagian pertama Bab III
buku Kedua tentang Rukun dan Syarat Akad (pasal 22 s/d 25). Keempat pasal yang
termaktub dalam bagian ini adalah sebagai berikut:
a. Pasal
22 : Rukun akad terdiri atas
1) Pihak-pihak
yang Berakad
2) Objek
akad
3) Tujuan
pokok akad
4) Kesepakatan
b. Pasal
23, Pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang
memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
c.
Pasal 24, objek
akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan orang dibutuhkan oleh masing-masing
pihak, dan pasal 25, akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
Ulama Hanafiyyah,
berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu sighat al aqd (ijab
Kabul), sedangkan menurut mereka pihak-pihak yang berakad dan objek akad tidak
termasuk dalam rukun akad, tetapi termasuk dalam syarat akad, karena menurut
mereka yang dikatakan rukun adalah esensi yang berada dalam akad itu sendiri,
sedangakan pihak-pihak yang berakad dan objek akad berada diluar esensi akad.[4]
Hendi Suhendi[5]
menguraikan tentang rukun akad tersebut sebagai berikut:
a.
Aqid
ialah orang yang berakal, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu
orang, terkadang juga terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan
pembeli.
b.
Ma’qud
alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda
yang dijual dalam akad jual beli.
c.
Maudhu’
al aqd, ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Berbeda akad, maka berbedalah tujuan akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya
adalah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti rugi.
Tujuan akad hibah adalah memindahkan barang dari pemberi kepada pihak yang
diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (iwadh).
Ketentuan khusus tentang hal ini
disebutkan dalam pasal 25 KHES yang menyatakan akad bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan
akad. Sekalipun demikian tidak semua tujuan dapat dibenarkan karena tujuan yang
dibenarkan hanyalah untuk akad yang sah. Pasal 28 (1) menyatakan bahwa akad
yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya. Kemudian pasal 26 KHES
menentukan bahwa akad tidak sah apabila berteentangan dengan:
1) Syariat
Islam
2) Peraturan
Perundang-undangan
3) Ketertiban
umum, dan/atau
4) Kesusilaan
Selanjutnya pada pasal 27 dan 28
disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
1) Akad
yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya;
2) Akad
yang fasid adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya tetapi terdapat segi
atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan muslihat;
3) Akad
yang batal adalah akad yang kurang rukun dan syarat-syaratnya.
d. Sighat al aqad,
ialah ijab dan Kabul ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedang Kabul
ialah perikatan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan
setelah adanya ijab.
Selain memenuhi rukun akad harus pula memenuhi
syarat tertentu. Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib
disempurnakan, syarat terjadinya akad ada dua macam:
a. Syarat
yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad.
b. Syarat
yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya ada dalam sebagian akad.
Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi
(tambahan) yang harus ada di samping syarat umum, seperti adanya saksi
dalam pernikahan.
Syarat yang harus
terdapat dalam segala macam akad adalah:[6]
1) Ahliyatul
‘aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap atau ahli);
2) Qabliyatul
mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek dapat
menerima hukuman);
3) Al-waliyatus
syar’iyah fi maudhu’il aqdi (akad itu diizinkan
oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya);
4) Alla yaquna’aqdu
au madhu’uhu mamnu’an binashshin syar’iyin (janganlah akad
itu yang dilarang syara’);
5) Kaunul aqdi
mufidan (akad itu memberi faedah);
4. Asas
Akad
Menurut
KHES Bab II pasal 21 bahwa akad dilakukan berdasarkan 11 asas, yaitu:
a. Ikhtiyari
(sukarela), setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari
keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain;
b. Amanah
(menepati janji), setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama
terhindar dari cidera-janji;
c. Ikhtiyati
(kehati-hatian), setiap akad dilakuakn dengan pertimbangan yang matang dan
dilaksanakan secara tepat dan cermat;
d. Luzum
(tidak berubah), setiap akad dilakukan denga tujuan yang jelas dan perhitungan
yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir;
e. Saling
menguntungkan, setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak
sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak;
f. Taswiyah
(kesetaraan), para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang;
g. Transparansi,
setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka;
h. Kemampuan,
setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan;
i.
Taisir
(kemudahan), setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada
masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan;
j.
Itikad baik,
akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan
dan perbuatan buruk lainnya;
k. Sebab
yang halal, tidak bertentangan hukum, tidak dilarang hukum dan tidak haram.[8]
5. Macam-macam
Akad
a. Akad
Tabarru’
Akad
tabarru’ (gratuitous) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut not-for
profit transaction (transaksi
nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari
keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong
dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa
Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan
dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad
tabarru’ tersebut. Contoh akad tabarru’ itu adalah hibah (pemberian), ibra,
wakalah, kafalah, hawalah, rahn (gadai), qard, wadi’ah, wakaf, dan lain-lain.[9]
b. Akad
Tijarah
Berbeda
dengan akad tabarru’, akad tijarah/mu’awadah
(compensational contract) adalah
segala macam perjanjian yang menyangkut for
profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari
keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad
investasi, jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain.[10]
B. Konsep
Giro Syariah
1. Pengertian
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang memiliki
simpanan giro akan memperoleh nomor rekening. Jadi, giro merupakan dana yang
disimpan di bank pada rekening giro sebagai titipan yang dapat diambil
sewaktu-waktu.[11]
Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya kapan
saja saat diperlukan asalkan saldonya cukup, baik untuk pembayaran maupun
lainnya. Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya melalui bank lain, baik
bank syari’ah maupun bank konvensional. Penarikan simpanan giro yang dilakukan
melalui bank lain, disebut dengan kliring. Bank yang menerima setoran cek
dan/atau bilyet giro bank lain akan menagihkan kepada bank yang menerbitkan cek
dan/atau bilyet giro tersebut. Penagihannya dilakukan melalui lembaga kliring
setempat, yaitu Bank Indonesia atau bank yang ditunjuk sebagai lembaga kliring
oleh Bank Indonesia.
Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro
yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan
Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/VI/2000 yang
menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip
wadiah dan mudharabah.
Simpanan giro sebenarnya bukan merupakan suatu simpanan
untuk mendapatkan hasil bunga, melainkan semata-mata dimanfaatkan sebagai
sarana memperlancar transaksi bisnis. Oleh karena itu, pada umumnya pemilik
rekening giro adalah pengusaha atau pemilik kegiatan yang membutuhkan alat
pembayaran berbentuk cek. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan
ketentuan tentang giro wadi’ah, diantaranya:
a. Bersifat
titipan.
Dalam hal titipan, maka orang yang dititipi
berkewajiban untuk memelihara dan menjaga barang titipan tersebut. Ia tidak
dibenarkan menggunakan dana yang dititipkan, kecuali atas izin pemiliknya.
b. Titipan
bisa diambil kapan saja.
Hal ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik
dana dapat menarik dananya sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu
siap mengembalikan dana yang dititipkan.
c. Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab bersifat titipan pula, maka tidak ada
kewajiban bagi pihak yang menitipkan (nasabah) untuk memberikan imbalan apapun
kepada bank, dan bank tidak berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada
nasabah sekalipun dananya sudah dikelola secara komersial. Namun pihak bank
boleh memberikan athaya (bonus) kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan
di depan atau dituangkan dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank,
maka nasabah tidak dapat menuntut untuk diberikan.[12]
2.
Sarana Penarikan
a.
Cek (cheque)
Penarikan rekening giro dengan menggunakan cek,
artinya penarikan dana secara tunai, oleh karena itu cek juga berfungsi sebagai
alat pembayaran. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178
menjelaskan tentang cek sebagai berikut:
1. Pada
cek harus tertulis kata “CEK”.
2. Berisi
perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama
bank tertarik (bank yang harus membayar).
4. Disebutkan
tanggal dan tempat cek dikeluarkan.
5. Tanda
tangan penarik. [13]
Jenis-jenis
cek ada 5 jenis, diantaranya:
1. Cek
Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang
atau badan hukum tertentu yang tertulis jelas di dalam cek tersebut. Sebagai
contoh jika didalam cek tertulis perintah bayarlah kepada: Tn. Roy Akase
sejumlah Rp 3.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang sejumlah Rp
1.000.000,- maka cek inilah yang disebut dengan cek atas nama, namun dengan
catatan kata "atau pembawa" dibelakang nama yang diperintahkan
dicoret.
2. Cek
Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan dari cek atas
nama. Di dalam cek atas unjuk tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum
tertentu jadi siapa saja dapat menguangkan cek atau dengan kata lain cek dapat
diuangkan oleh si pembawa cek. Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis
bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa pun.
3. Cek
Silang
Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang
dipojok kiri atas diberi dua tanda silang. Cek ini sengaja diberi silang,
sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai atau sebagai
pemindahbukuan.
4. Cek
Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari
tanggal sekarang, misalnya hari ini tanggal 01 Mei 2002. Sebagai contoh. Tn.
Roy Akase bermaksud mencairkan selembar cek dan di mana dalam cek tersebut
tertulis tanggal 5 Mei 2002. jenis cek inilah yang disebut dengan cek mundur
atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena ada
kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum
memiliki dana pada saat itu.
5. Cek
Kosong
Cek kosong atau blank cheque merupakan cek yang
dananya tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai contoh nasabah Tn.
Rahman Hakim menarik cek senilai 60 juta rupiah yang tertulis di dalam cek
tersebut, akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya ada 50
juta rupiah. Ini berarti kekurangan dana sebesar 10 juta rupiah, apabila
nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya dibandingkan
dengan jumlah dana yang ada.
b.
Bilyet Giro
Bilyet giro digunakan oleh pemilik
rekening giro apabila akan melakukan penarikan secara non tunai atau
pemindahbukuan. Syarat-syarat dan tata cara penggunaan bilyet giro dalam
kegiatan bank syari’ah diatur oleh Bank Indonesia, di antaranya surat edaran
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia SE BI No. 4/670 UPPB/PbB Tanggal 24
Januari 1972 yang disempurnakan dengan SE BI No. 28/32/UPG Tanggal 01 Juli 1995.[14]
Perbedaan Cek dan Bilyet Giro
Cek
|
Bilyet
Giro
|
Diterbitkan atas unjuk
|
Diterbitkan atas nama
|
Surat perintah pembayaran
|
Surat perintah pemindahbukuan
|
Tidak berlaku tanggal efektif
|
Berlaku tanggal efektif
|
3. Macam-macam Giro Syariah
a.Giro
Wadiah
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah
berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun
pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan atau simpanan.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii
Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
mengkehendaki. Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang
antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah
wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah
berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pihak bank selaku pemegang
titipan boleh menggunakan uang atau barang yang dititipi dan bertanggung jawab
atas keutuhan harta titipan. Sedangkan wadiah amanah, pihak bank selaku pemegang
titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipi. Karena wadiah yang
diterapkan dalam produk giro perbankan adalah wadiah yad dhamanah, maka
implikasinya sama dengan hukum qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak
yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan
demikian, pemilik dana dan Bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan
imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
b.Giro
Mudharabah
Prinsip mudharabah diaplikasikan pada
produk tabungan, deposito dan giro. Pada tema ini kita hanya membahas tentang
prinsip mudharabah pada giro. Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro
yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Seperti yang telah kita tahu bahwa
mudharabah mempunyai dua bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah, yang perbedaan utama di antara keduanya terletak pada ada atau
tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana dalam mengelola hartanya, baik
dari sisi tempat, waktu, maupun objek investasinya. Dalam hal ini, Bank Syariah
bertindak sebagai mudharib, sedangkan nasabah bertindak sebagai sebagai
shahibul maal.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah,
Bank syariah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang
telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola
dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan
disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement,
bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.[15]
Terkait dengan karaktristik Giro Syariah, dibawah ini adalah beberapa
karakteristik dari giro wadi’ah, antara lain sebagai berikut:
1. Harus
dikembalikan utuh seperti semula sejumlah barang yang dititipkan sehingga tidak
boleh overdraft (cerukan).
2. Dapat
dikenakan biaya titipan.
3. Dapat
diberikan syarat tertentu untuk keselamatan barang.
4. Penarikan
giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet giro sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Jenis
dan kelompok rekening sesuai ketentuan yang berlaku dalam kegiatan usaha bank
sepanjang tidak bertentangan dengan dengan syariah.
6. Dana
wadi’ah hanya dapat digunakan seizin penitip.[16]
Selanjutnya adalah giro mudharabah, yakni giro yang
berdasarkan prinsip mudharabah, diantara beberapa ketentuannya adalah:
1. Dalam
transaksinya nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan
bank bertindak sebagai mudharib atau sebagai pengelola dana.
2. Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
5. Bank
sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank
tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.[17]
d. Konsep
Tabungan Syariah
1.
Pengertian Tabungan Syariah
Didalam Bank Syariah produk pendanaan
terbagi menjadi tiga yaitu Giro, tabungan serta deposito. Berdasarkan
Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Tabungan
adalah “simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,bilyet giro,dan
atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu”. Adapun yang dimaksud dengan
tabungan Syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Dan dalam hal ini dewan Syariah nasional telah mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan
prinsip wadiah dan mudharabah.[18]
a. Tabungan
Wadiah
Tabungan Wadiah merupakan tabungan yang dijalankan
berdasarkan akad wadiah,yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan
setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan
wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini,
nasabah bertindak sebagai penitip yang memnerikan hak kepada Bank Syariah untuk
menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank
Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yangdisertai hak
untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut.
Sebagai konsekuensinya, Bank
bertanggungjawab terhadap keutuhan barang titipan tersebut serta
mengembalikannya kapan saja pemilik yang menghendaki. Di sisi lain, bank juga
berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana
atau barang tersebut.
Mengigat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi
hukum yang sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling
menjanikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian,
bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak
disyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan Bank
Syariah semata yang bersifat sukarela.
Dari
pembahasan diatas, dapat disarikan beberapa ketentuan umum tabungan wadiah
sebagai berikut:
1.
tabungan wadiah
merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2.
Keuntungan atau
kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau
taggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menaggung kerugian.
3.
Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.
Dalam hal bank berkeinginan untuk
memberikan bonus wadiah, beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Bonus
wadiah atas dasar saldo terendah.
2. Bonus
wadiah atas dasar saldo rata-rata harian.
3. Bonus
atas dasar saldo harian.
Rumus yang digunakan dalam
memperhitungkan bonus tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
1. Bonus
wadiah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan
saldo terendah bulan yang bersangkutan.
2. Bonus
wadiah atas dasat saldo rata-rata harian, yakni tariff bonus wadiah dikalikan
dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
3. Bonus
wadiah atas dasar saldo hariah, yakni tariff bonus wadiah dikalikan dengan
saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Dalam memperhitungkan pemberian bonus
wadiah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Tarif
bonus wadiah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank sesuai ketentuan.
2. Saldo
terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan.
3. Saldo
rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil
sebenarnya menurut bulan kalender. Misalnya, bulan Januari 31 hari, bulan
Februari 28/29 hari, dengan catatan satu tahun 365 hari.
4. Saldo
harian adalah saldo pada akhir hari.
5. Hari
efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukaan atau tanggal
penutupan, tapi termasuk hari tanggal tutup buku.
6. Dana
tabungan yang mengendap kurang dari satu bulan para rekening baru dibukak awal
bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah,
kecuali apabila perhitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.[19]
b. Tabungan
Mudharabah
Tabungan mudharabah adalah tabungan yang
dijalankan berdsarkan akad akad mudharobah. Mudharabah mempunyai dua bentuk, mudharabah
mutlaqah dan mudharobah muqayyadah yang perbedaannya ada atau tidaknya
persyaratan yang diberikan oleh pemilik dana kepada Bank dalam mengelola
hartanya. Dalam hal ini, Bank syariah mempunyai kuasa untuk melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta
mengembangkannya,termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank
syariah akan menghasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut,
bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh
kelalaiannya. Namun apabila yang terjadi adalah mis manajemen (salah urus) maka
pihak Bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
Dalam mengelola harta mudharabah, Bank
menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang
menjadi haknya. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil tabungan
mudharaabah dibebankan lansung kerekening tabungan mudharabah pada saat perhitungan
bagi hasil.
Perhitungan bagi hasil tabungan
mudharabah dilakukan berdasarkan saldo rata-rata harian yang dihitung ditiap
akhir bulan dan dibuku awal bulan berikutnya.
Dalam memperhitungkan bagi hasil
tabungan mudharabah tersebut hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Hasil
perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah
- pembulatan ke atas
untuk nasabah
- pembulatan ke bawah
untuk bank
2. Hasil
perhitungan pajak dibulatkan keatas sampai puluhan terdekat.
Dalam hal
pembayaran bagi hasil, Bank Syariah menggunakan metode end of month,yaitu :
1. Pembayaran
bagi hasil tabungan mudharabah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal
tutup buku setiap bulan.
2. Bagi
hasil bnulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal
tutup buku,tetapi tidak termasuk
tanggal pembukaan tabungan.
3. Bagi
hasil bulan terakhir dihiyung secara
proporsional hari efektif. Tingkat bagi hasil yang dibayarkaan adalah bagi
hasil tutup buku bulan terakhir.
4. Jumlah
hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari,29
hari,30 hari dan 31 hari)
5. Bagi
hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai
dengan permintaan nasabah.
Dari pembahasan di
atas, dapat disariakan beberapa ketentuan umum tabungan mudharabah sebagai
berikut:
1. Dalam
transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan
bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam
kapasitannya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai bukan piutang.
4. Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam bentuk
akad pembukaan rekening.
5. Bank
sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank
tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.[20]
B.
Konsep Deposito Syariah
Selain giro dan tabungan, produk
perbankan syariah lainnya yang termasuk produk penghimpunan dana (funding)
adalah deposito. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang
dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang penariknya hanya dapat
dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpanan
dengan bank yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan deposito
syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal
ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa
deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip Mudharabah.
Dalam hal ini, Bank Syariahbertindak
sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul
mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah dapat
melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.[21]
Dengan demikian, Bank Syariah dalam kapasitasnya
sebagai mudharib memiliki sifat sebagai
seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta
beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat
kesalahan atau kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak
sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh
keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syariah.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah,
bank syariah akan menghasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang
telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola
dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan
disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement
(salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
Berdasarkan kewengan yang diberikan oleh
pihak pemilik dana, terdapat 2 (dua)
bentuk mudharabah, yakni:
1.
Mudharabah mutlaqah (unrestricted investment account, URIA)
2.
Mudharabah muqayyadah (restricted investment account, RIA)[22]
a. MUDHARABAH
MUTLAQAH (UNRESTRICTED INVESTMENT ACCOUNT, URIA)
Dalam deposito mudharabah mutlaqah
(URIA), pemilik dana tidak memberikan battasan atau persyaratan tertentu kepada
kepada bank syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan
tempat, cara maupun objek investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara
maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan
kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana URIA ini ke berbagai sektor
bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
Dalam menghhitung bagi hasil deposito
mudharabah mutlaqah (URIA), basis perhitungan adalah hari bagi hasil
sebenarnya, termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukuan
deposito mudharabah mutlaqah (URIA) dan tanggal jatuh tempo. Sedangkan jumlah
hari dalam sebulan yang menjadi angka penyebut/angka pembagi adalah hari
kelender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
Dalam memperhitungkan bagi hasil
deposito mudharabah mutlaqah tersebut, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1.
Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak
nasabah
a.
Pembulatan ke atas untuk nasabah
b.
Pembulatan ke bawah untuk bank
2.
Hasil perhitungan pajak dibulatkan ke atas sampai puluhan terdekat.
Pembayaran bagi hasil deposito
mudharabah mutlaqah (URIA) dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
1. Anniversary
Date
a. Pembayarran
bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama
dengan tanggal pembukaan deposito.
b. Tingkat
bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
c. Bagi
hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya
sesuai dengan permintaan deposan.
2. End
of Month
a. Pembayaran
bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku
setiiap bulan.
b. Bagi
hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal
tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.
c. Bagi
hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk
tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat
bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
d. Jumlah
hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29
hari, 30 hari, 31 hari).
e. Bagi
hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya
sesuai permintaan deposan.[23]
b.
MUDHARABAH MUQAYYADAH (RESTRICTED INVESTMENT ACCOUNT, RIA)
Berbeda halnya dengan deposito mudharabah
mutlaqah (URIA), dalam deposito mudharabah muqayyadah (RIA), pemilik dana
memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam
mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara, maupun objek
investasinya.
Dalam menggunakkan dana deposito
mudharabah muqayyadah (RIA) ini, terdapat dua metode, yakni:
1. Cluster
Pool of Fund
Yaitu
penggunaan dana untuk beberapa pyoyek dalam suatu jenis industry bisnis.
2. Specific
product
Yaitu penggunaan dana
untuk suatu proyek tertentu.
Dalam hal ini, bank
syariah melakukan pembayaran bagi hasil sesuai dengan metode penggunaan dana
RIA, yakni:
1.Cluster Poll of Fund
Pembayaran bagi hasil
deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, triwulanan,
semesteran atau periodisasi lain yang disepakati.
2.Specific Project
Pembayaran bagi hasil
disesuaikan dengan arus kas proyek yang dibiaya.
Dalam hal ini,
pembayaran bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dapat dilakukan
melalui metode sebagai berikut yaitu:
a. Anniversary Date
1. Pembayarran
bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, yaitu
pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito.
2. Tingkat
bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
3. Bagi
hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya
sesuai dengan permintaan deposan.
b.
End of Month
1. Pembayaran
bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, yaitu
pada tanggal tutup buku setiap bulan.
2. Bagi
hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal
tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.
3. Bagi
hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk
tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat
bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
4. Jumlah
hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29
hari, 30 hari, 31 hari).
5. Bagi
hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya
sesuai permintaan deposan.[24]
KESIMPULAN
Giro, tabungan serta deposito syari’ah
merupakan produk yang disediakan oleh bank syari’ah sebagai jasa untuk memenuhi
kebutuhan khalayak yang juga merupakan tuntutan zaman globalisasi yang semakin
mempermudah tercapainya kebutuhan manusia yang tak kenal cukup. Ada dua macam
akad yang dapat dilakukan pada kedua produk tersebut, yaitu akad wadi’ah dan
mudharabah.Kedua produk tersebut memiliki fungsi dan tujuan yang sama-sama
menguntungkan antara kedua belah pihak, baik nasabah atau shahibul maal
maupun pengelolanya atau disebut juga bank.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Ardiwarman Karim, Fiqh Ekonomi Keuangan
Islam, 2004, Jakarta : Darul Haq
Afandi,
Yazid, Fiqh Muamalah, 2009,
Yogyakarta : Logung Pustaka
Haroen,
Nasroen, Fiqh Muamalah, 2007, Jakarta
: PT Gaya Media Pratama
A.Adiwarman
Karim, Bank Islam, 2011, Jakarta: Rajawali Pers
Wiroso,
Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari'ah, 2005, Jakarta:
PT. Grasindo.
Drs.
Ismail, Perbankan Syari'ah, 2011, Jakarta: Kencana
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178
Himpunan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, 2006: 5
http://kujpalupi.blogspot..com/2014/09/konsep-akad.html.
Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.
http://datakata.wordpress.com/2014/12/07/konsep-akad-dalam-islam-akuntansi-syariah.html.
Diakses pada Tanggal 24 Maret 2015
http://acehmillano.wordpress.com/2013/03/24/giro-syariah/.
Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.
[1]
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 33
[2]
http://kujpalupi.blogspot..com/2014/09/konsep-akad.html. Diakses Pada Tanggal
24 Maret 2015.
[3]
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 34
[4]
Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,
(Jakarta : PT Gaya Media Pratama, 2007), h. 99
[5]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 56
[6]
Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi
Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 27
[7]
Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi
Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 28
[8]
Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi
Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 29
[9]
Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi
Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 66
[10] http://datakata.wordpress.com/2014/12/07/konsep-akad-dalam-islam-akuntansi-syariah.html.
Diakses pada Tanggal 24 Maret 2015
[11]
Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana,2011), h.25
[12]
Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana,2011), h.26
[13]
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178
[14]
Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana,2011), h.29
[15] https://acehmillano.wordpress.com/2013/03/24/giro-syariah/.
Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.
[16]
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah,( Jakarta: PT. Grasindo,2005), h.39
[17]
Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, 2006: 5
[18] A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.345
[19] A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.346
[20] A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.347
[21] A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.351
[22] A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.352
[23]A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.353
[24] A.Karim,
Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.356
No comments:
Post a Comment