PEMIKIRAN ABU
UBAID
PEMBAHASAN
A. Latar sosial akademik Abu Ubaid (Riwayat
kehidupan serta riwayat pendidikan Abu Ubaid)
Abu Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di
propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan
Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn
Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah. Pada tahun 192
H, Thabit ibn Nasr
ibn Malik (gubernur
yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi’ di Tarsus
sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H,
setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya, ia meninggal
pada tahun 224 H.
Pada usia 20
tahun, Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya Abu Ubaid
pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan
Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa
Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak dalam satu bidang
pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari
paham tengah campuran). Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu
Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab
Al-Amwal. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang
keuangan negara dalam Islam.[1]
Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah
mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi,
masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di
bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241
M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M).
Gottschalk memaparkan
bahwasannya dari segi latar belakang kehidupannya, Abu Ubaid merupakan seorang
ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa
kehidupannya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai
kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih
bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab
juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak menguasai bahasa tersebut. Gottschalk
mengemukakan bahwasannya, pemikiran Abu Ubaid ada kemungkinan sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman Ibn Amr al Azwa'i, karena
seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, serta
dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi
pejabat di Tarsus.
Adiwarman menyebutkan
bahwa Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka
pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan
revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadits melalui
reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata lain,
umpan-balik dari teori sosio-ekonomi Islami, yang berakar dari ajaran
Al-Quran dan Hadits, mendapatkan tempat yang eksklusif
serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti
Qudamah Assarkhasy mengatakan bahwa Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab
(ahli Nahwu). Sedangkan menurut Ibnu Rohubah, "Kita
memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita".
Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah
kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-Anbari, Abu Ubaid membagi
malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3
nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya
dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang
terpandai diantara aku.[2]
Dari
pendapat-pendapat diatas menurut kami bahwasannya beliau yaitu Abu Ubaid cukup
diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada
masanya, menurut pengamatan kami beliau hidup semasa dengan para Imam besar seperti
Syafi'i dan Ahmad bin Hambal, hal ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang
mujtahid yang mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab
tertentu melainkan bisa jadi campuran.
Awal
pemikirannya dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang
dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi
administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya.
Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan
sistemik dan penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat dikatakan
lebih kaya dari Kitab al-kharaj dari sisi kelengkapan hadist serta
kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari
para sahabat, tabi 'in dan tabi' at-tabi’in. Abu Ubaid tampaknya lebih
menekankan standar politik etis penguasa (rezim) dari pada
membicarakan syarat-syarat efisiensi teknis
dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan
profesional berdasarkan aspek etika dari pada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis
dengan pendekatan praktis.[3]
Dengan tidak menyimpang dari tujuan
keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid
lebih mementingkan aspek rasio
atau nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan
teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai
individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang
pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang
berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui
reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan
berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori
sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari
sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif
serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Terdapat tuduhan
yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh
Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzi bahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap
Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i, adalah sangat
sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu Ubaid dan
asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama
lainnya, dan bahkan kadangkala Abu Ubaid mengambil posisi yang berseberangan
dengan asy-Syafi’i tanpa menyebut nama, sehingga tidak mustahil jika terdapat
kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka.[4]
Menurut kami bahwasannya abu ubaid adalah
seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai ilmu hal
tersebut membuat beberapa ulama seperti Syafi'i dan Hambali mengklaim bahwa Abu
Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka, akan tetapi beliau yaitu abu
ubaid sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian
besar ulama madzhab Syafi'i dan lainnya, beliau (Abu Ubaid) juga mengutip
beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf serta Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.
B. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
1.
Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab
al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid
menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi
Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kesejahtraan
ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan
yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara, jika kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak kepada kepentingan
publik. Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat
tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada para penerimanya, sedangkan zakat
komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban
agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga menekankan bahwa
perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk
kepentingan pribadinya.[5]
Dengan kata
lain, perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika
membahas tentang tarif atau persentasi untuk kharaj dan jizyah,
ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial
penduduk non-Muslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity
to pay dengan kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya.
Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim
melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian. Abu Ubaid
menekankan kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur, atau zakat
untuk tidak menyiksa masyarakat, dan dilain sisi masyarakat agar memenuhi
kewajiban finansialnya secara teratur dan
sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan
terjadinya diskriminasi atau favoritisme,
penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).[6]
2.
Dikotomi Badui-Urban
Pembahasan
mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan
fai. Abu ubaid
menegaskan bahwa, kaum
badui bertentangan dengan kaum
urban (perkotaan). Demikianlah adalah apa–apa yang dilakukan oleh kaum urban:
a.
Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan
berbagi kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
b.
Memelihara
dan memperkuat pertahanan
sipil melalui mobilisasi
jiwa dan harta mereka.
c.
Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui
proses belajar-mengajar al- Qur’an dan sunnah serta penyebaran keunggulannya.
d.
Memberikan kontribusi terhadap keselarasan
sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
e.
Memberikan contoh universalisme Islam
dengan shalat berjamaah Singkatnya, disamping keadilan, Abu Ubaid membangun
suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan
cinta.[7]
Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum
Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum
urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fa’i seperti kaum urban, mereka tidak
berhak menerima tunjangan dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara
terhadap penerimaan. Fa’i hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti
saat penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat dan kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan,
sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang
dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fa’i yang
mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial
terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya
hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan. Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan
kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar
penghargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi
sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur
esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang
disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur
perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden.[8]
Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah
selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour),
surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi
perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih
jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini
dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak
dengan kewajiban-kewajiban warga negara.[9]
3. Kepemilikan
dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid
secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah
gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus
atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif
untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan
menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan
dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima
(tanah pribadi), pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami
dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang
sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami
setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.[10]
Tidak cukup dalam kepemilikan sepetak
tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur
lalu meninggalkannya begitu saja. Setelah itu, jika tidak diberdayakan atau
ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang
dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan
selanjutnya ditempati orang lain. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik
seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh
pernah dimonopoli seperti pada hima (tanah pribadi). Semua ini hanya dapat
dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan
masyarakat.[11]
Adapun hukum-hukum
pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
a.
Iqtha',
Yaitu tanah
yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai
sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid
menafsirkan tanah biasa yang bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan
biasanya setiap daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian
ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada
kepala negara. Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap)
tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki orang Islam maupun
kafir. Umar ra mengirim surat kepada Abu Musa, “Jika tanah itu bukan tanah
yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-’iqtha tanah itu baginya”. Di
sini jelas bahwa ‘iqtha itu terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah
jizyah, jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan
kepada kepala Negara. Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasullah meng-’iqtha-kan
tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu
pernah Rasulullah ‘iqtha-kan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan
mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasullah meng-’iqtha-kan
kepada Zubair. Dari Muhammad bin Ubaidillah as-Tsaqafi keluar, disebutkan orang
Nafi’ Abu Abdillah. Ia berkata kepada Umar ra, “Sebelum kami memiliki tanah
di Basrah yang tidak termasuk tanah kharaj dan tidak merugikan seseorang dari
kaum muslimin. Jika engkau memandang perlu meng-’iqtha-kan, maka aku lakukan,
aku hanya mengambil satu petakan untuk perlu meng-’iqtha-kan, maka lakukanlah,
aku hanya mengambil satu petakan untuk kudaku saja”. Lalu Umar menulis
surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Jika tanah itu seperti yang diceritakan
maka petakanlah baginya.”
Dari penjelasan
di atas, mengenai ‘iqtha hendaknya pemerintah menurut Abu Ubaid tidak
meng-’iqtha tanah kharaj.
Alasannya karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif memberikan
hasil dan menambah devisa negara. Dan di sisi lain dengan mempetakan tanah
bukan kharaj dapat memberikan manfaat untuk bagi para pengembalaan hewan
ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama
pentingnya dengan masalah pertanian.[12]
b.
Ihya' al-Mawat
Yaitu
menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada
pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan
bangunan dan menanam kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam
hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum
dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
Mengenai ihya
al-Mawat ini, Abu Ubaid membagi menjadi tiga macam:
1.
Seseorang datang ke tanah tersebut lalu
mengelola dan mendiaminya, kemudian datang orang lain yang mempebaharui tanaman
dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang sebelumnya.
Dalam hal ini perbuatan orang itu disebut al-irrqi al-Zhalim, yaitu
perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin memilikinya. Adapun yang
berhak atas tanah itu adalah yang mengelola lebih awal, seperti hadis riwayat
Abu Hisyam, Rasullah saw bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati
maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zhalim”.
2.
Kepala negara meng-’iqtha-kan kepada
seseorang tanah mati dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha’,
kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan mendiaminya
sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah
ini tidak ada yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada
yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang telah memperoleh tanah iqtha’ pada
masa Rasullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada masa kekhalifahan Umar ra,
dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata, “Kalau bukan ‘iqtha
dari Rasullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”.
3.
Jika seseorang membangun tembok tanah apakah
dengan ‘iqtha dari pemerintah atau tidak kemudian meninggalkannya pada waktu
yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata, “Pada sebagian hadist
dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain utnuk
mendiami tempat tersebut”. Maka
dari ketentuan Umar ini mengandung arti, jika telah melewati masa tiga tahun
dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang memutuskan dan dibolehkan bagi
kepala Negara untuk menyerahkan kepala yang lain, yang mampu dan bisa
menempatinya.[13]
c.
Hima (perlindungan)
Yaitu lahan
yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala
hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat
perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil
yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah, “Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang
lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.
Dari penjelaan
yang telah dipaparkan diatas kami dapat analisa atau disimpulkan bahwasannya, Abu
ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal ini
kepemilikan menurut pemikiran Abu Ubaid adalah mengenai hubungan antara kepemilikan
dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa
kebijakan pemerintahan, seperti iqta’
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah
tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.
Maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut,
akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa. Bahkan tanah
gurun yang termasuk hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak
ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui
proses yang sama. Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan
api tidak boleh dimonopoli seperti hima (taman pribadi), seluruh sumber daya
ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[14]
4.
Reformasi distribusi zakat
Bahwasannya Abu
Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat
harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cendrung
menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid,
yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun
besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Abu Ubaid
mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status
zakat, yaitu:
a.
Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
b.
Kalangan menengah yang tidak terkena wajib
zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.
Kalangan menerima zakat Berkaitan dengan distribusi
kekayaan melalui zakat, secara umum Abu Ubaid
mengadopsi prinsip ”bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”.
Lebih jauh,
ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang
diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, dia lebih cenderung pada
prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.[15]
Abu Ubaid menjelaskan
berkaitan dengan pengumpulan zakat, hak pemerintah untuk melaksanakan kekuatan
politisnya, bagaimanapun juga, hanya terbatas pada bentuk kekayaan yang tampak
(amwal zahiriyah) dan tidak pada kekayaan yang tidak tampak (amwal
batiniyah). Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana pemerintah
bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik zakat yang
pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai menghilang secara perlahan
namun pasti. Pada saat ini, banyak umat muslim yang tidak membayarkan zakatnya
kepada pemerintah atau pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal tersebut
telah terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman bin Affan kepada Ali
bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat itu, umat muslim mulai
berselisih pendapat perihal pembayaran zakat kepada pemerintah. Sebagian ada
yang tetap membayarkannya kepada pemerintah dan sebagian lainnya membagikannya
sendiri kepada para mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal
halaman 562, Abu Ubaid meriwayatkan:
عن إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن ابن
يسرين قال : كانت الصدقة ترفع أو تدفع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، أو من أمر
به، وإلى أبي بكر أو من أمر به، أو إلى عمر، أو من أمر به، وإلى عثمان أو من أمر
به، فلما قتل عثمان اختلفوا، فكان منهم من يدفها إليهم، ومنهم من يقسمها وكان ممن
يدفعها اليهم ابن عمر.
Artinya:
Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah
(zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus.
Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang
diutusnya. Kemudian, kepada Umar bin Khattab atau kepada orang yang diutusnya.
Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar bin Khattab dibayarkan kepada
khalifat penggantinya Ustman bin Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun,
setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan
diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah atau tidak
menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap membayarkan zakatnya kepada
pemerintah adalah Ibn Umar.[16]
Dalam karyanya Kitab al-Amwal,
Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara (pemerintah), yakni fa’i,
khums dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban
pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat. Setelah khalifah keempat, situasi diperburuk oleh
berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki
komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembayaran
zakat kepada pemerintah, Abu Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab
Al-Amwal dengan judul “Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan
Pendapat di Kalangan Ulama tentang Masalah ini.” Dalam hal ini Ibn Umar
dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan
situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan
kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu’awiyah
sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib telah
mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam menentukan kepada siapa
mereka membayarkan zakatnya.[17]
Pendapat Abu
Ubaid dalam Kitab Al-Amwal perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa
zakat dibayarkan:
Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang
(pembayaran) zakat. Dia menjawab, “Bayarkan kepada pengumpul zakat (‘umal)”,
tetapi mereka menjawab “Kadang orang-orang Syam (yakni pendukung Mua’wiyah)
berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni pendukung Ali) berkuasa.” Dia (yakni
Ibn Umar) menjawab: “Bayarkan kepada mayoritasnya”.
Namun dalam
kasus lain, mengutip pendapat Abu Ubaid dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar
memberikan jawaban yang berbeda pula perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Saya
berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya: “Apakah kami harus
membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk untuk kami (‘ummalina). Dia (Ibn
Umar menjawab: “Ya”. Kemudian dia (orang yang bertanya itu) mengatakan: “Para
kolektor yang ditunjuk untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan:“Ziyad
(bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim (untuk
mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab: “Jangan membayarkan
zakatmu kepada non-Muslim”.
Pada awalnya Ibn Umar secara tegas
menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di
samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah
memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang
mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu sendiri
sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi
politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan
Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat
dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk
mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas
non-muslim.[18]
Keputusan Ibn Umar tersebut didasari
oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah
sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan
petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin
bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik
tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat
(publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang
tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas
sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak
yang membutuhkannya.
Tujuan akhir
dari zakat adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang
membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang
adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga
penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus, sehingga zakat
dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual tentunya akan
menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta
tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai. Pola dan sistem
pengelolaan zakat pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, pengdilakukan dengan
menunjuk seorang utusan yang dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada
suatu suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’az bin bin
Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk
bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu’az
disamping sebagai seorang da’i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang
menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.[19]
Abu Ubaid dalam karyanya Kitab Al-Amwal
halaman 493, menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan praktek penarikan zakat
pada masa Rasulullah saw. Abu Ubaid menyebutkan:
حدثنا أبو الأسود عن ابن لهيعة عن
خَالد بن يزيد عن يحيى بن عبد الله بن صيفي عن أبي معبد عن ابن عباس أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم لمعاذ، حين بعثه إلى اليمن قال إنيى أبعثك إلى أهل كتاب فادعهم
إلى شهادة أن لا إله إلا الله. فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم خمس صلوات في
كل يوم وليلة، فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم صدقة أموالهم . فإن أقرّوا
بذلك فخذ مهم واتق كرائم أموالهم، وإياك ودعوة المظلوم، فإنه ليس لها دون الله
حجاب.
Sedangkan dalam riwayat lain, Abu Ubaid
mengutip pada halaman 493:
فأعلم أن الله قد افترض عليهم صدقة
تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.
Dalam hadits yang dikutip oleh Abu
Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman tidak hanya
untuk berdakwah, akan tetapi ia (Mu’az) juga bertugas untuk mengambil zakat
dari para penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian
menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).[20]
Kata “تؤخذ”
(tu`khadzu) pada hadits di atas berarti “diambil”, hal ini menegaskan
kembali bahwasanya zakat itu tidak dibayarkan akan tetapi diambil dari para
muslim yang tergolong wajib zakat (kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman).
Sedangkan pada kata “فترد”
(fa turaddu) yang berarti “lalu dikembalikan”, hal tersebut menerangkan
bahwa zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya) di antara mereka
(penduduk Yaman) disalurkan atau didistribusikan kembali kepada golongan
fakir-miskin di antara mereka (penduduk Yaman) pula.
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan
dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan
zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti
penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut
diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang
mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak).
Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai
daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan
menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat.
Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki
dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat.
Mengenai hal ini menuturkan dengan
kisah yang dialami imam terdahulu, seperti yang dikutip dari kitab al-Amwal pada halaman 596 yaitu:
Pada masa
Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan
dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang
dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang
yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika
kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya
dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya
mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya
kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya
menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun
kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat
yang dipungutnya kepada Umar,tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga,
Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan
Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang
berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.
Prioritas penyaluran zakat
diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran
zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan
(surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam
mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami
kekurangan zakat.[21]
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa sistem
dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid
dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat
dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah
dalam penarikan zakat dan penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution)
antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.Terkait dengan pertimbangan
kebutahan, bahwasannya Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang
berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima
zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling)
terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah
memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan
orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu
Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham
(harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap
sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang
memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga
ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.[22]
Karenanya
pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio-ekonomi
pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena
wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak
berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan
dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara
umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya
masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar
lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut
haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada
pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam. Terkait
dengan relevansinya di Indonesia pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang
zakat adalah penerapan dan pengelolaan zakat yang diprakteknya pada masa
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa
tersebut adalah adanya peran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik
dalam pengelolaan zakat, pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan
publik, dan pola distribusi zakat. Secara prinsip pengelolaan zakat pada masa
tersebut dapat diaplikasikan pada masa kini, khususnya pengelolaan zakat di
Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan zakat merupakan
peran pemerintah dalam hal menjamin pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi
diperlukan beberapa perbaikan dan penyelarasan, serta pengawasan dalam praktek
zakat di lapangan. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, diharapkan pola
dan sistem pengelolaan zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan
kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian
umat muslim yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Kita tahu bahwa
Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal tersebut
merupakan potensi sekaligus masalah buat kita. Dengan jumlah yang cukup besar,
umat muslim di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
pembayaran zakat. Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang,
tentunya sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia tidak pernah luput dari
permasalahan-permasalahan yang pada umumnya dialami oleh negara berkembang,
yaitu masalah kemiskinan.[23]
Sebagai
negara demokrasi, pemerintah telah dengan serius memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan umat muslim Indonesia dan memfasilitasi beberapa kebijakan
dalam rangka memberikan kemudahan atas pelaksanaan ajaran agama Islam. Di
antara kebijakan tersebut adalah kebijakan tentang zakat yang diwujudkan dalam
bentuk undang-undang. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah
Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri
Agama RI No. 581 Th. 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 Th. 1999 tersebut.
Undang-undang tersebut dirancang sebagai upaya perbaikan pengelolaan zakat di
Indonesia.
Dengan adanya beberapa kebijakan
pemerintah dalam hal pengelolaan zakat, tugas dan tanggung jawab pemerintah
tidak otomatis hilang. Pemerintah diharapkan dengan aktif mengontrol dan
memberikan peringatan bagi lembaga-lembaga zakat yang tidak mengelola zakat
dengan baik. Meskipun undang-undang telah dibuat, permasalahan tentang
pengelolaan zakat, khususnya lembaga-lembaga pengelola zakat masih akan timbul,
seperti persaingan antara Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berbasis lembaga
swadaya masyarakat dan lembaga yang dibentuk pemerintah Badan Amil Zakat (BAZ).
Permasalahan lain yang adalah sistem
pengelolaan yang kurang professional dan transparan. Akibatnya kepercayaan
masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga zakat berkurang dan
akhirnya akan menimbulkan penyaluran zakat secara individual atau langsung
tanpa perantara lembaga zakat. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap
distribusi zakat yang tumpang tindih, di mana pembagian zakat kepada para mustahiq
tidak merata dan tepat sasaran. Tidak merata dan tidak tepat sasaran artinya
akan terdapat mustahiq yang tidak mendapatkan bagian dari zakat, atau
bahkan ada mustahiq yang mendapatkan zakat dari dua sumber yang berbeda pada
waktu yang bersamaan.[24]
Berdasarkan
beberapa permasalahan di atas, diperlukan peran pemerintah dalam penertiban
lembaga-lembaga zakat yang ada di Indonesia. Penertiban dapat dilakukan dalam
beberapa aspek, diantaranya adalah aspek manajemen, laporan penghimpunan dan
penyaluran, akuntabilitas laporan, wilayah operasi lembaga dan koordinasi
diantara lembaga-lembaga zakat. Penghimpunan zakat di Indonesia sangat bergantung kepada
tingkat kesadaran umat muslim dalam membayar zakat. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah strategi dari lembaga zakat untuk membangun kesadaran dari umat muslim.
Di antara strategi tersebut adalah membentuk kepercayaan umat muslim untuk
menyalurkan zakatnya kepada lembaga-lembaga zakat. Kepercayaan dapat dibentuk
melalui beberapa cara, di antaranya adalah dengan memberikan laporan yang
akuntabilitas dan transparan kepada para pembayar zakat (muzakki).
Kepercayaan juga dapat dibangun dengan pola dan sistem pelayanan yang
berkualitas dan professional, dengan memberikan beberapa kemudahan dan
fasilitas kepada para muzakki dalam hal pembayaran zakat dan monitoring
penyalurannya. Distribusi
zakat yang adil dan merata dapat menentukan pengelolaan zakat yang efektif dan
efisien. Pemerintah diharapkan untuk menertibkan lembaga-lembaga zakat dengan
membatasi jumlah lembaga zakat pada suatu daerah tertentu. Kemudian, setiap
lembaga zakat diberikan batas wilayah operasinya, sehingga pemberdayaan zakat
akan lebih terkoordinir dan terfokus pada wilayah oleh lembaga zakat tertentu.
Diantara lembaga zakat yang telah menerapkan pembagian wilayah operasi zakat
adalah lembaga zakat Rumah Zakat dengan program ICD (Integrated Community
Development) pada beberapa daerah yang termasuk wilayah operasinya.[25]
Menurut kami melanjutkan pemaparan diatas bahwasannya dengan semakin banyaknya
jumlah lembaga zakat di Indonesia, diperlukan sebuah konsep management
networking dalam rangka koordinasi setiap lembaga zakat. Hal tersebut penting, karena
melalui koordinasi antar lembaga zakat dapat didapat daerah atau lembaga zakat
yang mengalami surplus zakat, sehingga dapat dilakukan distribusi silang (cross
distribution) kepada daerah atau lembaga zakat yang mengalami kekurangan
zakat (defisit).
5.
Fungsi
Uang
Pada
prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagi standar nilai
pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of
exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
“Adalah hal
yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali
keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang
dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu
(infaq).”
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan
bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali
tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali
keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Abu Ubaid merujuk pada kegunaan
umum relatif stabil nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan
komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagai komoditas,
nilai dari keduannya akan dapat berubah-ubah pula, karena dalam hal tersebut
keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni barang yang harus dinilai
atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Abu Ubaid secara
implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store
of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib
terkena zakat.[26]
Menurut kami pemikiran Abu Ubaid seperti
yang dikemukakan diatas uang memiliki dua fungsi yaitu nilai intrinsic sebagai
standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media
pertukaran (medium of exchange). Hal tersebut juga berlaku juga di Indonesia.
Negara Indonesia mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk
pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan
cara barter. Namun di Indonesia, lebih rincinya uang yang dibedakan dalam dua
kategori fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi turunan. Maksudnya fungsi asli disini sebagaimana yang kami
pahami ialah sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan
nilai. Sedangkan maksud dari fungsi turunan disini yaitu uang sebagai alat pembayaran yang sah,
uang sebagai alat pembayaran utang, uang
dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa yang akan datang, uang
sebagai alat penimbun kekayaan, dan uang sebagai alat pemindah kekayaanUang sebagai alat pendorong kegiatan
ekonomi.
C. Pemikiran Abu Ubaid dalam beberapa
karya tulisnya
Dalam setiap harinya, Menurut Abu Bakar
ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur,
1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu
hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan
Allah Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah,
fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal
dalam bidang fikih.[27]
Kitab al-Amwal dibagi dalam
beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat tentang ”Hak penguasa atas
subjek (individu dalam masyarakat) dan hak subjek atas penguasa”. Bab ini
memaparkan kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan
referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid mengatakan
bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi
pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin.
Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan
kebijakan ekonomi. Ia juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang
bertakwa kepada Allah dan jujur. Kemudian dilanjutkan dengan bab yang berjudul jenis
penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan
dasar-dasarnya di dalam Kitab dan Sunnah. Bab ini menjelaskan mengenai
jenis-jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan
dasar-dasar pemikirannya yang dibahas dalam kitab Allah serta Sunnah. Abu Ubaid
memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah,
seperti fa’i, bagian khumus dan shafi, serta
pengalokasiannya, baik di masa Rasulullah saw maupun setelahnya. Oleh karena
itu, pada bagian-bagian berikutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar
pemikiran dalam bab ini ketika membahas tiga sumber utama penerimaan negara,
yakni fa’i, khumus dan shadaqah, temasuk zakat yang merupakan
kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepda masyarakat. Didalam
Kitab al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (Public
Finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada
di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al Amwal
menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi
dan hukum internasional. Hal tersebut membuat Kitab ini menjadi sumber
pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua
abad awal Islam. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi
asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in tentang
masalah ekonomi.[28]
Abu Ubaid dalam
Kitab al-Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam,
yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah li al-raiyyah
(sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang
dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep
penting, yaitu :
1. Istilah amwal,
yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber
keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan zakat.
2.
A’immah mengacu
kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan
publik.
3. Wilayah
mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan
kepercayaan demi kepentingan publik.
4.
Istilah
ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non
muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu
didistribusikan.[29]
Secara umum,
pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling
baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan
sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor
pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian
modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan
legistimasi sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil. Walaupun
merupakan sebuah kompendium yang mayoritas isinya adalah hadist Nabi, Kitab
Al-Amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu
pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti pemerintahan
khalifah Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan
dan pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang berhasil memperbaiki serta
menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak. Jika merujuk pada
format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis
Nabi saw, kesepakatan pada sahabat, tabi'in serta at-tabit tabi’in ditampilkan
bersama dengan pendapat al-Fiqih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis
yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan telaah
mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abu Ubaid telah melakukan
verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata
rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat
serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya.
Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas
tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar
yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar
beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari
kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun. Ibrahim al
Harbi (murid dari Abu Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari
kitab al-Amwal adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun
begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abu
Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadist sehingga ia mampu
memilih hadist-hadist yang relevan, bahkan beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan
lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.[30]
Walaupun Abu
Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga
memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra'yu). Dalam setiap isu ia
selalu mengacu pada atsar (hadist) serta pendapat ulama lainnya mengenai
hadist yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi
kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada
ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia
membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah
satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abu Ubaiddianggap sebagai
seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi
hukum-hukum dari nash (al-Qur'an dan Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan
atau kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama
mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum. Referensi utama Abu
Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur'an dan al-Hadist,
baginya otoritas al-Qur'an adalah di atas al-hadits. Walaupun sebenarnya
al-hadis adalah penjelasan dari al-Qur'an. Penjelasan dari para sahabat,
tabi'in dan at-ta'bi at-tabi'in dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding
hadist. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan
hadist, secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika
dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau
keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir
dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad saw, itu yang lebih diutamakan. Tingkat
pemahaman Abu Ubaid terhadap keduanya (al-Qur'an dan Hadist) membuatnya mampu
untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nasikh wa
al-Mansukh , fi al-qur'an al-aziz wumafihi min al-Qur’an was as sunan, gharib
al-Qur'an, ma 'ani al-Qur'an, gharib al-Hadits, yang merupakan penjelasan
(tafsir) dan interpretasi (ta'wil) dari al-Qur'an dan al-Hadits.[31]
Abu Ubaid
mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu
sendiri, tidak dengan menggunakan ra'yu. Sunnah dapat dibatalkan dengan
sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur'an. Sumber ketiga yang
digunakan Abu Ubaid adalah `ijma al-`Rimmah (kesepakatan). Tampak bahwa
Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika
tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur'an dan sunnah. Hukum untuk
kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan)
satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang
dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi
untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat
dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.[32]
Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya
pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur'an dan
hadist, walaupun
begitu ia memberikan tempat bagi mayashid asy-syari'ah dalam melakukan
ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (ul-muslahah
al-'ammah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.
Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan
tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja.
Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah
lama membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta'amul (hukum adat atau tradisi).
Dalam kitab tersebut, ia tidak hanya
sekedar melaporkan pendapat-pendapat orang lain, tetapi juga selalu
mengakhirinya dengan menjalinkan masalah tersebut secara sistematis,
mengungkapkan suatu preferensi atas sebuah pendapat dari beberapa pandangan
yang dilaporkan atau memberikan pendapatnya sendiri dengan dukungan beberapa
basis syariah tertentu atau dengan alasan-alasan rasional. Misalnya,
setelah melaporkan berbagai pendapat tentang besarnya zakat yang seharusnya
diterima oleh seorang penerima zakat yang berhak, dia dengan keras menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap mereka yang meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling)
pada pemberian zakat tersebut. Hal yang terpenting baginya adalah keterpenuhan
kebutuhan rakyat dan terselamatkannya masyarakat dari penghancuran yang
dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan ‘tidak terbatas’, bahkan jika hal
tersebut harus dilakukan dengan pengeluaran uang yang amat besar pada sebuah kasus
tertentu.[33]
D. Relevansi pemikiran Abu Ubaid dengan
dinamika hukum ekonomi syariah (Islam) di Indonesia
Dari penjelasan yang telah dipaparkan
oleh Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal, tampak jelas bahwa doktrinnya adalah
pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna
mungkin. Dengan kata lain, Abu Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan
yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok
masyarakat lainnya harus dihindari negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus
mengatur harta kekayaan negara harus selalu dimanfaatkan demi kepentingan
bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalah gunakan
sehingga mengganggu serta mengurangi manfaat bagi masyarakat umum. Pandangan-pandangan
Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan
keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan rasa
persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu Ubaid juga sacara
tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan
yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.[34]
Namun, jika
kita telaah pada saat sekarang ini, maka kita hanya mendapati apa yang
diutarakan Ubu Ubaid hanyalah sebuah teori belaka, khususnya di Indonesia.
Banyak kita lihat orang-orang yang berada di atas hanyalah mementingkan
kesejahteraan golongannya
saja tanpa
memikirkan golongan lain. Memang pemerintah di Indonesia selalu menggembor-gemborkan
pemeratan kekayaan, namun masih saja kita lihat yang kaya semakin kaya
sedangkan yang miskin semakin miskin. Kita bisa lihat bahwa Indonesia kuat akan korupsinya.
Memakan uang rakyat telah menjadi hal yang lumrah. Hukum juga sudah patuh pada yang
mempunyai uang. Jika saja pemikiran-pemikiran dalam Islam, seperti pemikiran
Abu Ubaid dapat menjadi salah satu bahan pemikiran bangsa Indonesia, saya kira
perlahan demi perlahan kita mampu memperbaiki kondisi negara kita. Selanjutnya
terkait relevansinya dibidang zakat, pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang
zakat adalah penerapan dan pengelolaan zakat yang diprakteknya pada masa
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa
tersebut adalah adanya peran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik
dalam pengelolaan zakat, pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan
publik, dan pola distribusi zakat. Secara prinsip pengelolaan zakat pada masa
tersebut dapat diaplikasikan pada masa kini, khususnya pengelolaan zakat di
Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan zakat merupakan
peran pemerintah dalam hal menjamin pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi
diperlukan beberapa perbaikan dan penyelarasan, serta pengawasan dalam praktek
zakat di lapangan. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, diharapkan pola
dan sistem pengelolaan zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan
kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian
umat muslim yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia.[35]
Kita tahu
bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal
tersebut merupakan potensi sekaligus masalah buat kita. Dengan jumlah yang
cukup besar, umat muslim di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam pembayaran zakat. Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara
berkembang, tentunya sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia tidak pernah
luput dari permasalahan-permasalahan yang pada umumnya dialami oleh negara
berkembang, yaitu masalah kemiskinan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah telah dengan serius
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan umat muslim Indonesia dan memfasilitasi
beberapa kebijakan dalam rangka memberikan kemudahan atas pelaksanaan ajaran
agama Islam. Di antara kebijakan tersebut adalah kebijakan tentang zakat yang
diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut
adalah Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan
Menteri Agama RI No. 581 Th. 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 Th. 1999
tersebut. Undang-undang tersebut dirancang sebagai upaya perbaikan pengelolaan
zakat di Indonesia.
Dengan adanya
beberapa kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan zakat, tugas dan tanggung
jawab pemerintah tidak otomatis hilang. Pemerintah diharapkan dengan aktif
mengontrol dan memberikan peringatan bagi lembaga-lembaga zakat yang tidak
mengelola zakat dengan baik. Meskipun undang-undang telah dibuat, permasalahan
tentang pengelolaan zakat, khususnya lembaga-lembaga pengelola zakat masih akan
timbul, seperti persaingan antara Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berbasis
lembaga swadaya masyarakat dan lembaga yang dibentuk pemerintah Badan Amil
Zakat (BAZ). Permasalahan lain
adalah sistem
pengelolaan yang kurang profesional dan transparan. Akibatnya kepercayaan
masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga zakat berkurang dan
akhirnya akan menimbulkan penyaluran zakat secara individual atau langsung
tanpa perantara lembaga zakat. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap distribusi
zakat yang tumpang tindih, di mana pembagian zakat kepada para mustahiq
tidak merata dan tepat sasaran. Tidak merata dan tidak tepat sasaran artinya
akan terdapat mustahiq yang tidak mendapatkan bagian dari zakat, atau
bahkan ada mustahiq yang mendapatkan zakat dari dua sumber yang berbeda
pada waktu yang bersamaan. Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, diperlukan
peran pemerintah dalam penertiban lembaga-lembaga zakat yang ada di Indonesia.
Penertiban dapat dilakukan dalam beberapa aspek, diantaranya adalah aspek
manajemen, laporan penghimpunan dan penyaluran, akuntabilitas laporan, wilayah
operasi lembaga dan koordinasi diantara lembaga-lembaga zakat.[36]
Penghimpunan zakat di
Indonesia sangat bergantung kepada tingkat kesadaran umat muslim dalam membayar
zakat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi dari lembaga zakat untuk
membangun kesadaran dari umat muslim. Di antara strategi tersebut adalah
membentuk kepercayaan umat muslim untuk menyalurkan zakatnya kepada
lembaga-lembaga zakat. Kepercayaan dapat dibentuk melalui beberapa cara, di
antaranya adalah dengan memberikan laporan yang akuntabilitas dan transparan
kepada para pembayar zakat (muzakki). Kepercayaan juga dapat dibangun
dengan pola dan sistem pelayanan yang berkualitas dan professional, dengan
memberikan beberapa kemudahan dan fasilitas kepada para muzakki dalam
hal pembayaran zakat dan monitoring penyalurannya.[37]
Distribusi zakat yang adil dan merata
dapat menentukan pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Pemerintah diharapkan
untuk menertibkan lembaga-lembaga zakat dengan membatasi jumlah lembaga zakat
pada suatu daerah tertentu. Kemudian, setiap lembaga zakat diberikan batas
wilayah operasinya, sehingga pemberdayaan zakat akan lebih terkoordinir dan
terfokus pada wilayah oleh lembaga zakat tertentu. Diantara lembaga zakat yang
telah menerapkan pembagian wilayah operasi zakat adalah lembaga zakat Rumah
Zakat dengan program ICD (Integrated Community Development) pada
beberapa daerah yang termasuk wilayah operasinya.
Sehingga menurut kami dapat disimpulkan
bahwa dengan banyaknya jumlah lembaga zakat di Indonesia, diperlukan
sebuah konsep hubungan
manajemen dalam rangka koordinasi setiap lembaga zakat. Hal
tersebut sangat penting, karena melalui koordinasi antar lembaga zakat dapat
didapat daerah atau lembaga zakat yang mengalami surplus zakat, sehingga dapat
dilakukan distribusi silang kepada daerah atau lembaga zakat yang mengalami
kekurangan zakat.
BAB
3 PENUTUP
A. Kesimpulan
Abu Ubaid
merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa
Arab (ahli nahwu). Dari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid
hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M).
Karyanya yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab dari
Abu Ubaid ini merupakan suatu karya yang lengkap yang berbicara seputar
keuangan negara dalam Islam. Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif
dekat dengan Rasulullah saw, wawasan pengetahuannya serta
isi, format, dan metodologi Kitab al-Amwal, Abu Ubaid pantas
disebut sebagai pemimpin dari Pemikir Ekonomi Mazhab Klasik. Ada beberapa hal terkait dengan beberapa pemikiran ekonomi Abu Ubaid
yaitu sebagai berikut:
1.
Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
2.
Dikotomi Badui-Urban
3.
Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan
Pertanian
4.
Reformasi distribusi zakat
5.
Fungsi Uang
Terkait dengan pandangan-pandangan
Abu Ubaid merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan hak dan
kewajiban masyarakat, menjadikan keadilan sebagai prinsip utama dalam
menjalankan roda kebijakan pemerintah, serta menekankan rasa persatuan dan
tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan
bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi
setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim. Abu Ubaid mengatakan bahwa
penerimaan negara (fai', khumus, shadaqah dan zakat) wajib dikelola
negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, DR.
Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontenporer.
Jakarta:Gramata Publishing,
2010.
Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.,2006.
Abdullah, Boedi. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam.
Bandung: Pustaka Setia 2011.
Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat
dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Yogyakarta:Pusat Studi Zakat
(PSZ). 2004.
Abu Ja’far Ahmad bin Nasir al dawwidi.Al Amwal.Jakarta:
Daru al asalami, 2001.
Mudzar, Atho. Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran
Hukum Islam. Artikel pada Mimbar Hukum. Jakarta: Departemen Agama, 1992.
Arsyad, Nastir. Ilmuan Muslim Sejarah. Bandung:
Mirzan, 1989.
http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html.
diakses tanggal 9 Juni 2014.
[3] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h.
152.
[5] Ugi Suharto, Keuangan
Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd
(Yogyakarta: Pusat Studi Zakat, 2004),h. 39.
[7] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h.174.
[10] Boedi Abdullah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.179.
[15] Boedi Abdullah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.180.
[16] Abu Ja’far
Ahmad bin Nasir al dawwidi, Al Amwal (Jakarta: Daru al asalami, 2001),
h. 250
[17] Abu Ja’far
Ahmad bin Nasir al dawwidi, (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 250
[18] Abu Ja’far
Ahmad bin Nasir al dawwidi, (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 251
[19] Boedi Abdullah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.183.
[20] Abu Ja’far
Ahmad bin Nasir al dawwidi, (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 254
[21] Boedi Abdullah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.185.
[22] Boedi Abdullah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.186.
[23] Atho Mudzar, Pendekatan
Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum,
(Jakarta: Departemen Agama, 1992), h. 74.
[24] Atho Mudzar, (Jakarta:
Departemen Agama, 1992), h. 75.
[25] Atho Mudzar, (Jakarta:
Departemen Agama, 1992), h. 76.
[26] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h.186.
[29] Atho Mudzar,
(Jakarta: Departemen Agama, 1992), h. 77.
[31] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing,
2010), h. 169.
[32] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h.188.
[33] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h.190.
[34] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html.
diakses tanggal 9 Juni 2014.
[35] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html.
diakses tanggal 9 Juni 2014.
[36] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html.
diakses tanggal 9 Juni 2014.
[37] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html.
diakses tanggal 9 Juni 2014.
No comments:
Post a Comment