Friday 9 May 2014

Makalah Ushul Fiqh Haqîqah (Hakikat) dan Majâz


A.    Pengertian Haqîqah (Hakikat) dan Majâz

Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il), sehingga memiliki arti yang tetap atau objek (maf’ul), yang berarti ditetapkan. Pengertian Hakikat adalah suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.Maksudnya lafaz itu digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu[1].
Contohnya seperti kata “kursi” menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, meskipun kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan untuk itu tetapi “tempat duduk”.
Sedangkan pengertian majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut[2].
Selanjutnya pengertian-pengertian majaz menurut para ulama’ ushul sangatlah beragam, akan tetapi semuannya berdekatan artinya dan saling melengkapi yaitu sebagai berikut[3]:

1.Al-sarkhisi
ا سم لكلّ لفظ هو مستعا لشيء غير ما و ضع له
            Yaitu nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan.
2.Ibnu Qudamah
هو اللّفظ المستعمل في غير مو ضو عه علي وجه يصحّ
            Yaitu lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan.
3.Ibnu Subki                                                                                                                                      
هو اللّفظ المستعمل بو ضع ثا ن لعلا قة
            Yaitu lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaiatan.
Dari beberapa contoh definisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut, yaitu:
a.       Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa
b.      Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud
c.       Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu mrmang ada kaitannya.
Umpamanya kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz kursi menurut hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada kaitannya, yaitu bahwa kekuasaan itu dilaksanakan dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang mendorong ke arah itu adalah sebagai berikut[4]:
a.       Karena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqah-nya. Oleh karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz حنفقيق, dalam bahasa arab yang berarti bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk diucapkan seseorang. Karenanya ia lebih senang menggunakan kata-kata maut (مو ت).

b.      Karenanya buruknya kata haqiqah itu bila digunakan, seperti kata حراءة dalam bahasa arab yang menurut hakikatnya berarti tempat berak. Karena buruk dan joroknya tempat itu, maka digunakan kata lain, yaitu ئطالغا yang artinya tempat yang tenang di belakang rumah. Dalam bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan kata pergi untuk “buang berak”, diganti dengan pergi “ke belakang” karena keduaanya ada kaitan, yaitu sama-sama tempatnya dibelakang. Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan ditengah orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain yang lebih enak didengar yaitu, “bergaul”.

c.       Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata hahiqah. Umpamanya kata “ijma dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bergaul”.

d.      Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya) seperti menggunakan kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra ketimbang kata “pemberani”.
B.     Macam-Macam Haqîqah (Hakikat) dan Majâz

Selanjutnya macam-macam haqiqah (hakikat) dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama’ membagi haqiqah itu kepada beberapa bentuk yaitu sebagai berikut[5]:
1.Haqiqah Lughawiyah
            Lafaz yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa atau memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan bahasa, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli linguistik.
Contoh dari hakikat ini adalah penggunaan kata manusia pada hewan yang berbicara dan serigala pada hewan yang buas.
2.Haqiqah Syar’iyyah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’ atau memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli syari’at (fiqh), umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.
3.Haqiqah “urfiyah Khashshah
            Yaitu lafaz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya, bisa juga didefinisikan sebagai suatu lafaz yang didalam maknanya menggunakan pendekatan kebiasaan yang tertentu. Hakikat ini juga bisa disebut dengan al-Hakikat al-Istilahiyyat.Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku dikalangan fiqh. Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku dikalangan ahli fiqh


4.Haqiqah ‘Urfiyah Ammah
            Yaitu lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan hukum, atau lafad yang di dalam maknanya menggunakan pendekatan kebiasaan yang umum dilakukan maupun dilakukan, umpamanya penggunaan kata dabbah dalam bahasa arab untuk hewan ternak yang berkaki empat[6].
Selanjutnya terkait dengan macam-macam majaz atau bentuk-bentuk majaz terbagi  adalah sebagai berikut[7]:
1.      Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidaj mengurangi arti hakikatnya. Umpamanya tambahan kataكم yang berarti “seperti” yang terdapat dalam firman Allah, surat al-syura (42:11) yaitu:
}§øŠs9¾ÏmÎ=÷WÏJx.Öäïx«
Tidak ada seperti semisal sesuatu pun.
Seandainya kata كم(seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan mengurangai artinya. Adanya tambahan ini menempatkannya sebagai majaz, karena berlebihan dari hakikatnya.

2.      Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran maksud dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu. Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf (12): 82 yaitu:
È@t«óursptƒös)ø9$#
Tanyalah kampung itu.
Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah “tanyakanlah penduduk kampung itu”. Adanya kekurangan kata “penduduk” dalam kata “kampung” di atas, menjadikannya sebagai majaz.
3.      Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah dalam surat an-nisa’ (4): 11 yaitu:


Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan utangnya.
Maksud sebenarnya adalah “sesudah membayarkan utang dan mengeluarkan wasiatnya”.
4.      Meminjamkan kata lain atau isti’arah, yaitu menanamkan sesuatu dengan menggunakan (meminjam) kata lain atau isti’arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafaz majaz, seperti memberi nama si A yang “pemberi” dengan “singa”.[8]

C.    Cara mengetahui Haqîqah (Hakikat) dan Majâz

Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna haqîqah, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majâz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majâz atau haqîqah sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui haqîqah dan majâz dapat dilakukan dengan cara normativitas teks atau istidlāl.
Asal penggunaan kata (menurut prinsipnya) adalah menurut hakikatnya dan tidak beralih kepada penggunaan majaz, kecuali dalam keadaan yang terpaksa. Suatu kata baru dapat diketahui keadaanya sebagai majâz bila ada qarinah (petunjuk) yang mengiringinya. Karena itu perlu diketahui yang haqîqah dan majâz itu dan antara keduanya dapat dibedakan.[9]
Adapun untuk mengetahui lafaz haqîqah adalah secara sima’i (سماعي), yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu, juga tidak dapat diketahui melalui analogi.  Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat diketahui melalui nash syara’ itu sendiri.
Cara mengetahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjam kata). Adapun orang Arab dalam menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun dalam arti.
Contoh keterkaitan dalam bentuk, umpamanya menggunakan kata ghaith (الغائط) yang berarti tempat yang tenang di belakang yang dijadikan majaz terhadap kata “buang air besar”, karena buang air besar itu memang biasanya dilakukan di tempat yang tenang di belakang. Begitu pula menyamakan dan menggunakan kata أولامستم النساء yang berarti saling menyentuh dengan jima’ (bersetubuh) karena memang diantara keduanya terdapat sentuhan.[10]
D.    Ketentuan Haqîqah (Hakikat) dan Majâz

Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz  antara lain:
a. Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna hakikat dan makna majaz dalam satu lafad, contohnya adalah pada saat nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang diiringi dengan shalawat badar. Pada contoh tersebut menunjukan bahwa ada pengumpulan sifat tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan purnama dan wajah Nabi Muhammad SAW.
b. الكون  artinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat al-Qur’an:
Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baliqh) harta mereka
Ayat di atas didasarkan pada ayat al-Qur’an yang lain pada surat an-Nisa ayat 6.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
c.ألأول  adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil atau penjelasan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada contohnya mimpi Nabi Yusuf .as
إنّى أرَانِى أعْصِرٌ خَمْرًا
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
Maksud ayat di sini adalah Nabi Yusuf memeras buah anggur yang ditakwil dengan khamr.
d. ألإستعداد adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, hitungan-hitungan atau pertimbangan-pertimbangan, yang mana hal tersebut untuk menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah pada kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali dalam menyebabkan kematian.
e. ألحلول adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, seperti pada ayat Al-Qur’an surat Yusuf ayat 82 yang artinya “tanyalah kampung itu” maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
f. ألجزئيةوعكسها adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya dan menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja. Contohnya تبتيداأبىلهب maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya.
g. ألسببية adalah menyebutkan sebab dari suatu hal, sedang yang dimaksud adalah musabbabnya ataupun sebaliknya. Contoh pertama adalah فلان أكل دم أخيه (sebab), maksud di sini adalah diat atau denda bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (musabab). Contoh kedua adalah إعْتَدِي (kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).[11]

E.     Keberadaan Majâz dalam ucapan

Pembicaraan tentang haqiqah dan majaz, berlaku dalam lafaz atau ucapan. Namun dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam ucapan atau lafaz yang bersifat syar’i, terdapat beda pendapat di kalangan ulama’.
1.      Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan, baik dalam ucapan Syari’ (pembuat hukum) dalam Al-Qur’an dan sunah, sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang digunakan. Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi seperti penggunakan lafaz “mulamasah” (ملا مسة) yang berarti saring bersentuhan dalam Al-Qur’an, surat an-nisa’ (4); 34, sebagai ganti dari ucapan “jima” atau bersetubuh yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu’.
2.      Abu Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaiannya majaz. Apa yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah. Karena ada petunjuk yang menjelaskannya. Umpamanya ucapan, “saya melihat singa memanah”. Adanya kata “memanah” menjadi petunjuk apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “singa” itu.
3.       Golongan ulama’ Zhahiri menolak adanya majaz dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Seandainya menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk digunakan dalam artinya syari’, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam Al-Qur’an dan hadits ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti dusta, sedangkan Allah SWT dan rasulullah SAW terjauh dari dusta[12].

F. Penyebab Tidak Berlaku Hakikat dan Majaz

Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
a.       Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu.
b.      Adanya petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak lagi disebut daging.[22]
c.       Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya. Seumpama firman Allah, surat al-Kahfi ayat 29 yang artinya:“Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa yang kafirlah. Sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yang zalim.” 
Secara hakikat, ayat di atas memberikan pilihan untuk beriman ataupun kafir. Namun, dengan adanya kalimat ancaman di belakangnya, maka kalimat ini tidak lagi difahami secara hakikat, melainkan dengan arti lain yaitu keharusan beriman kepada Allah.
d.      Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
e.       Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat.[24] Umpanya firman Allah dalam surat al-Fāṭir ayat 19 yang artinya: “Tidak sama orang yang buta orang yang melihat”.
Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut hakikatnya secara umum berlaku untuk segala hal. Namun kalau kita memperhatikan arah pembicaraan diatas, tentu hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatannya. Hal ini berarti tidak untuk menurut tuntutan haqiqah lafaz.[13]












BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Majaz dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1. Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz seperti adanya keserupaan, menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat dan majaz dalam keadaan antara lain: Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari sifat pembicara dan Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.







DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir. 2011. Ushul Fiqih. Jilid 2, Cet. 6.Jakatra: Kencana.
Effendi, Satria. 2008. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Cet. II,. Bandung: Pustaka Satia.
Bakry, Nazar.Fiqih dan Ushul Fiqih. Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Miftahul, Arufin.1997. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I.Surabaya: Citra Media.




[1] Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.42
[2]Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.44
[3]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2011).hlm.29
[4]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.29
[5]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.27
[6]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.28
[7]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.31
[8]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2011).hlm.31
[9]Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 32.
[10] Arufin Miftahul, Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam,(Surabaya: Citra Media,1997),hlm.175
[11] Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia,2001),hlm.180
[12]Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.36

[13] Nazar Bakry, Ushul Fiqih,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003),hlm.153

No comments:

Post a Comment