Sunday 31 January 2016

MODEL ISTINBAT DAN ISTIDLAL ULAMA KALANGAN NADHATUL ULAMA (LAJNAH BAHTSUL MASAIL)

MODEL ISTINBAT DAN ISTIDLAL ULAMA KALANGAN NADHATUL ULAMA (LAJNAH BAHTSUL MASAIL)
(Untuk Memenuhi Makalah Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Iqtishadiyyah)




BAB II
PEMBAHASAN

A.        Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Sebelum kita membahas tentang istinbath dan istidlal di kalangan ulama Nahdlatul Ulama kurang lengkap rasanya jika kita tidak membahas sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi jami’iyyah diniyah yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama’ yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren. Dimana wilayah ajaran dan praktik Islam tradisional telah tergeser akibat pesatnya perkembangan modernisme Islam saat itu.[1]
Lahirnya Jami’iyyah Nahdlatul Ulama didahului dengan beberapa peristiwa penting. Pertama adalah berdirinya grup diskusi di Surabaya pada tahun 1914 dengan nama “Taswirul Afkar” yang dipimpin KH. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansyur. Pada tahun 1916 grup diskusi ini telah berkembang dan berubah dengan nama “Nahdlatul Wathan” (kebangkitan tanah air). Peristiwa yang lain adalah pembentukan komite Hijaz sebagai utusan ke Arab Saudi guna mengikuti konggres khilafah pada tahun 1926.[2]
Pada akhirnya muncullah kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.[3] K.H. Hayim Asy’ari merupakan tokoh pendiri NU, dan pemikirannyapun paling berpengaruh di dalam internal NU. Dan salah satunya pemikirannya rentang bermadzhab, beliau menawarkan empat pilihan bermadzhab. Dalam pandangannya yang kemudian menjadi pandangan resmi NU. Beliau sendiri telah menetapkan memilih madzhab Syafi’i, sebab madzhab ini dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia dan selalu mengambil jalan  tengah dalam menentukan (Istinbat) hukum-hukum Islam.[4]

B.         Model Istinbath dan Istidlal di Kalangan Ulama Nahdlatul Ulama
Metodologi penetapan hukum atau istinbath hukum dalam wacana hukum Islam merupakan spare part yang paling penting dan berpengaruh pada penetapan produk hukum yang dihasilkan. Para ulama ushul membahas metodologi penetapan hukum itu dalam pembahasan adillat al-ahkam yakni dalil-dalil yang menjadi dasar dan metode penetapan hukum. Kata istinbath sendiri berasal dari kata istinbatha yang berarti menemukan, menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilahi adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan as-Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga istinbath identik dengan ijtihad.
Dalam lembaga bahtsul masa’il NU istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal. Bagi ulama NU ini lebih berkonotasi pada istikhraj al-hukm min al-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlaq, yang menurut ulama NU sangat berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya adalah dengan istilah ittifaq hukum.
Di kalangan ulama NU, istinbath hukum diartikan bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni  al-Qur’an dan sunnah, tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara dinamis nash-nash yang telah dielaborasi fuqaha kepada persoalan (waqi’iyah) yang dicari hukumnya.[5]
     Istinbath hukum langsung dari sumber primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlaq, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan yang memang disadari terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan perlengkapan yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara ijtihad dalam batas mazhab di samping lebih praktis dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan terminologinya yang baku.
     Secara definitif NU memberikan arti istinbath hukum dengan upaya mengeluarkan hukum syara’ dengan al-qawaid al-fiqhiyyah dan al-qawaid al-ushuliyyah baik berupa adillah ijmaliyah, adillah tafshiliyyah maupun adillah ahkam. Dengan demikian produk hukum yang dihasilkan PBNU merupakan hasil ijtihad ulama atas nash-nash al-Qur’an dan sunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip mujtahid tempo dulu. Secara umum kaidah fiqhiyyah dengan qaidah ushuliyyah mempunyai perbedaan yang komplementer. Untuk mengetahui perbedaan tersebut perlu diidentifikasi bahwa kaidah fiqhiyyah adalah kaidah yang timbul dari pemahaman mujtahid terhadap nash-nash syara’, yang penekanannya dalam konteks hukum praktis. Sedangkan kaidah ushul timbul dari konteks kebiasaan dalam rangka memahami nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Selain itu, kaidah fiqhiyyah merupakan hasil penelitian induksi dari hukum-hukum yang telah ada, sedangkan kaidah ushul merupakan saran untuk memahami pesan-pesan nash dalam bentuk praktis, hukum-hukum Islam. Dari beberapa pertimbangan di atas, ada dua istinbath hukum yang dilakukan yakni melalui pendekatan kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah. Kaidah fiqhiyyah lebih didahulukan dari pada kaidah ushuliyyah yang secara umum telah disepakati oleh para ulama sebagai thariqat istinbath hukum, di samping itu juga mengingat eksistensi kaidah fiqhiyyah yang sangat penting dalam studi fiqih.
      Penggunaan kaidah fiqhiyyah dikalangan ulama NU, nampaknya dilatarbelakangi oleh konsep bermazhab dalam mengembangkan hukum Islam, yang menjadi pilihan bagi para founding fathers NU di masa awal. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat Indonesia yang telah menganut mazhab Syafi’i secara kultural. Dengan demikian apa yang dipilih NU merupakan akumulasi pendapat masyarakat dalam memahami dan mengamalkan hukum Islam yang dielaborasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Akumulasi itu selanjutnya terformat dalam konsep bermazhab, dengan cara mengikuti pendapat-pendapat yang sudah menjadi di kalangan mazhab tertentu yakni berupa aqwal hasil istinbath yang dilakukan oleh seorang mujtahid sekaligus menggunakan manhaj tersebut, bila memang diperlukan. Bermazhab secara qauli (aqwal) berarti mengikuti hasil istinbath yang telah dilakukan oleh mujtahid terdahulu, sedangkan bermazhab secara manhaji adalah bermazhab dapat mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[6]
     Pengaruh ajaran-ajaran teologi Asy’ari dan mazhab Syafi’i sangat kental di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Khususnya di berbagai pesantren salaf yang biasanya memberikan mata pelajaran ilmu kalam dan fiqih. Aqidat al-Awam, Umm al-Barahim dan Jawahir al-Kalamiyah menjadi kitab pegangan dalam mengajarkan akidah bagi para santri. Begitu juga dengan kitab-kitab faiqih madzhab Syafi’i Minhaj al-Talibin oleh Imam Nawawi, Fath al-Wahab karya Zakaria al-Anshori, Nihayat at-Muhtajnya oleh Imam Ramli, Mughni al-Muhtaj karya Syarbini, serta Al-Muharrornya Imam Rofi’i sangat mendominasi pengajaran ilmu fiqih di pesantren. Karya-karya ini selalu dikaji baik secara sorogan (individu) maupun bandongan (klasikal). Dengan berbagai data di atas, sangatlah beralasan apabila NU tidak terlalu revolusioner dalam mengadakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tidak seperti organisasi keagamaan modernis pada umumnya yang reaksioner. Ulama-ulama NU tetap memakai ajaran-ajaran ahlusunnah wal jamaah yang mengikuti empat Imam mazhab sunni.
      NU mendasarkan  paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, as-sunnah, al-ijma’, dan qiyas. Dalam memahami serta menafsirkan Islam dari berbagai sumber tersebut, NU mengikuti paham ahlusunnah wal jama’ah, dengan memakai jalan pendekatan sebagai berikut:[7]
1.      Di bidang aqidah, NU menganut paham ahlusunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi.
2.      Di bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari 4 mazhab. Keempat mazhab tersebut yaitu mazhab Abu Hanifah An-Num’an (Hanafi), Imam Malik bin Anas (Maliki), Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Syafi’i) serta Imam Ahamd bin Hambal (Hambali).
3.      Di bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf Imam Al-Junaid Al-Bugdadi, Imam Al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
Pada prinsipnya NU menggenggam pendirian dasar bahwa Islam adalah agama yang fitri atau suci, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang secara asasi sudah dimiliki oleh manusia. Berdasarkan prinsip tersebut, NU tidak pernah berniat menghapus nilai-nilai yang sudah menjadi milik masyarakat. NU hanya ingin menyempurnakan dan membimbing nilai-nilai atau tradisi yang telah ada di masyarakat, sehingga selaras dengan ajaran Islam. Bertitik tumpu pada dasar keagamaan seperti itu maka dalam perilaku kemasyarakatan NU mengambil sikap antara lain:[8]
1.   Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
2.   Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi
3.   Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmat serta berjuang
4.   Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwah), persatuan (ittihad) serta kasih mengasihi
5.   Meluhurkan kemuliaan moral (akhlakul karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) baik dalam berpikir, bersikap maupun dalam bertindak
6.   Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara
7.   Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dan ibadah kepada Allah SWT
8.   Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta para ahlinya
9.   Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan umat
10.  Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakat
11.  Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
Dengan prinsip-prinsip tersebut, dapat dimengerti jika NU senantiasa bersikap “lunak” terhadap beragam nilai atau tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat. NU tak pernah menyulut “api peperangan” terhadap tradisi, yang penting bagaimana agar pelaksanaan berbagai tradisi itu sesuai dengan Islam. Biarlah “kulitnya” masih diwarnai tradisi versi lama, asal “isinya” sudah Islam. Dengan demikian upaya mempribumikan Islam atau meng-Indonesia-kan Islam, sebetulnya sudah lama dilakukan oleh NU.
Dalam kalangan Nahdlatul Ulama yang paling berpengaruh adalah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf. Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas masalah ketuhanan sehingga ia nanti akan berkeyakinan bahwa Allah maujud. Ilmu fiqh adalah ilmu untuk mengetahui dan menghantarkan kepada ketaatan terhadap Allah, seperti halnya cara-cara bersuci, shalat, dan puasa. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tentang berbagai keadaan, maqam, tingkatan, dan membahas rayuan serta tipu daya nafsu dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Nahdlatul Ulama selalu mengidentifikasikan diri dengan organisasi yang berhaluan ahlusunnah wal jama’ah  dan mengikuti salah satu dari empat mazhab. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah dari Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa umat Muhammad akan terpecah menjadi 73 kelompok besar yang tersesat dan kelompok yang selamat, yaitu ahlusunnah wal jama’ah. Dalam Hasiyah asy-Syanwani disebutkan yang dimaksud dengan ahlusunnah wal jama’ah adalah Abu Hasan al-Asy’arie dan kelompoknya. Oleh karena Allah menjadikan mereka sebagai hujjah bagi makhluknya. Kelompok inilah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi, sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umat untuk bersepakat dalam kesesatan. Abu Mansur bin Tahir at-Tamimi mengatakan bahwa yang termasuk kelompok tersesat bukanlah mereka yang berbeda pendapat dalam masalah fiqh, tetapi perselisihan dalam masalah aqidah.[9]
Pengertian sunnah menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalankan dalam agama sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah dan tokoh agama yang lain seperti sahabat. Dia menukil hadis Nabi, yang menyebutkan bahwa, “Kalian harus berpegang pada tradisiku dan tradisi para penggantiku”. Para pengganti Nabi adalah golongan salafiyun yaitu golongan yang secara konsisten memegangi mazhab tertentu, berpegang pada kitab-kitab mu’tabarah yang berlaku, mencintai ahlul bait, para wali dan para shalihin, ber-tabaruk kepada mereka baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal berziarah kubur, membacakan talqin pada mayat, meyakini adanya syafa’at, manfaat doa tawasul dan yang lainnya.
Keharusan mengikuti empat mazhab karena mereka adalah penerus golongan salafus shalih yang merupakan golongan terbesar. Didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi, sesungguhnya Allah tidak akan menyatukan umatku dalam kesesatan. Tangan Allah bersama jama’ah. Barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri di neraka. Ibnu Majjah, mengatakan apabila terjadi perbedaan maka ikutilah golongan terbesar bersama kebenaran dan pengikutnya.
Berpegang pada empat mazhab memiliki manfaat yang besar, sedangkan berpaling dari itu mempunyai bahaya yang besar. Didasarkan hadis Rasul, ikutilah golongan terbesar. Oleh karena mazhab-mazhab yang benar sudah punah kecuali empat mazhab ini, maka mengikuti empat mazhab berarti mengikuti golongan terbesar dan keluar darinya berarti keluar dari golongan terbesar.[10]

C.         Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Bahtsul masail al-Diniyyah adalah salah satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi Nahdlatul Ulama untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyaraka. Melalui forum bahtsul masail, para ulama NU selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual tersebut dengan berusaha secara optimal untuk memecahkan kebutuhan hukum Islam akibat dari perkembangan sosial masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara tekstual tidak terdapat landasannya dalam al-Qur’an dan hadis, atau ada landasannya, namun pengungkapannya secara tidak jelas. Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah atau metode penetapan fatwa, antara lain sebagai berikut:[11]
1. Analisis masalah, yakni (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai faktor:
a.    Faktor ekonomi
b.   Faktor politik
c.    Faktor budaya
d.   Faktor sosial
e.    Faktor lainnya
2.  Analisis dampak, yaitu (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:
a.    Aspek sosial ekonomi
b.   Aspek sosial budaya
c.    Aspek sosial politik
d.   Aspek lainnya
3. Analisis hukum, yakni (dampak bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang) di samping mempertimbangkan hukum Islam juga mempertimbangkan hukum yuridis formal.
a.    Status hukum (al-ahkam al-khamsah)
b.   Dasar dari ajaran / ahlusunnah wal jama’ah
c.    Hukum positif
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu empat mazhab yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:[12]
1. Metode Qauli
     Yakni jika dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh kitab dari kutub al-madzahib al-arba’ah dan di sana terdapat hanya satu pendapat dari kutub al-madzahib al-arba’ah, maka dipakailah pendapat tersebut.
    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh kitab dan di sana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut:
a.    Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b.   Khusus dalam mazhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar ke I (1926 M), perbedaan pendapat disesuaikan dengan cara memilih:
1)      Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’iy)
2)      Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi
3)      Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’iy
4)      Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5)      Pendapat ulama yang terpandai
6)      Pendapat ulama yang wara’
c. Untuk mazhab selain Syafi’i berlaku ketentuan-ketentuan menurut mazhab yang bersangkutan.
2. Metode Ilhaqi
    Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nazhairiha secara jama’iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih dan wajhu al-ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
3. Metode Manhaji
    Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’iy dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah oleh para ahlinya. Hierarki dan sifat keputusan bahtsul masail antara lain:  
1.   Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.

2.   Suatu hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.


3.   Sifat keuputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:

a.       Mengesahkan rancangan keputusan yang telah disiapkan sebelumnya dan atau
b.      Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang

4.   Muktamar sebagai forum tertinggi di Nahdlatul Ulama, maka Muktamar dapat mengukuhkan atau menganulir hasil Munas.
Kerangka analisa tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil bahtsul masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari bahtsul masail, siapa yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal itu hendak dilakukan serta bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantapan agar semua berjalan sesuai dengan keputusan), maka perlu memperhatikan aspek-aspek berikut ini:
1.   Aspek politik, yaitu dengan berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah.
2.   Aspek budaya, yakni dengan berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap hasil-hasil bahtsul masail melalui berbagai media massa dan forum seperti majlis ta’lim dan sebagainya.
3.   Aspek ekonomi, yaitu dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.   Aspek sosial, yakni dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup dan lain sebagainya.[13]
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
     Berdasarkan penjelasan atau uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwasannya jika dilihat dari segi sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yaitu berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar, yang menganut salah satu empat mazhab untuk mengambil hukum dan menetapkan memilih madzhab Syafi’i, sebab madzhab ini dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia dan selalu mengambil jalan  tengah dalam menentukan (Istinbat) hukum-hukum Islam. Selanjutnya terkait dengan metode istinbath dan istidlal hukum Nahdlatul Ulama menggunakan dua metode yaitu dengan pendekatan al-qawaid al-fiqhiyyah dan pendekatan al-qawaid al-ushuliyyah. Sedangkam sistem pengambilan keputusan hukum Islam dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama ada 3 prosedur yang digunakan antara lain menggunakan metode qauli, metode ilhaqi serta metode manhaji.






DAFTAR PUSTAKA

Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen. NU Pasca Khittah (Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah). Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992.
Barton, Greg dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama–Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.
Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M). Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004.
Mawardi, Kholid. Mazhab Sosial Keagamaan NU. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Grafindo Litera Media, 2006.
Muzadi, Abdul Muchith. NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran. Surabaya: Khalista, 2006.
Qomar, Mujamil. NU ‘Liberal’ dari Tradisional Ahlusunnah Wal Jamaah Ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Yahya, Imam. Dinamika Ijtihad NU. Semarang: Walisongo Press, 2009.
Suprapto, Bibit. Nahdlatul Ulama: Eksistensi Perandan Prospeknya. Malang: LP.Ma’arif, 1987.






[1] Barton, Greg dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama–Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1997), h.14
[2] Suprapto, Bibit, Nahdlatul Ulama: Eksistensi Perandan Prospeknya, (Malang: LP.Ma’arif, 1987), h.36
[3] Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya: Khalista, 2006), h.36
[4] Qomar, Mujamil, NU ‘Liberal’ dari Tradisional Ahlusunnah Wal Jamaah Ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h.45
[5] Yahya, Imam, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h.47
[6] Yahya, Imam, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h.48
[7] Yahya, Imam, Dinamika Ijtihad NU, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h.49
[8] Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah (Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah), (Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992), h.12
[9] Mawardi, Kholid, Mazhab Sosial Keagamaan NU, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Grafindo Litera Media, 2006), h.12
[10] Mawardi, Kholid, Mazhab Sosial Keagamaan NU, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Grafindo Litera Media, 2006), h.14
[11]Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), h.712
[12] Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), h.713
[13]  Miri, M. Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha, Soulusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), h.

No comments:

Post a Comment