Thursday 20 February 2014

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PERJANJIAN SYARIAH


PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP 
PERJANJIAN SYARIAH



PEMBAHASAN
  1. Definisi Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’[2]. Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain[3].
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu disamakan dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang lain[4].
Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang[5].
Di dalam melakukan suatu perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan dalam hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah[6].
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.
  1. Dalil tentang perjanjian
1.      Al-quran
4n?t/ ô`tB 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ 4s+¨?$#ur ¨bÎ*sù ©!$# =ÅsムtûüÉ)­GßJø9$# ÇÐÏÈ  
76. (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.(Q.S. Ali ‘Imran: 76)
öNs9r& ts? ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ( $tB Ücqà6tƒ `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO žwÎ) uqèd óOßgãèÎ/#u Ÿwur >p|¡÷Hs~ žwÎ) uqèd öNåkޝϊ$y Iwur 4oT÷Šr& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽsYò2r& žwÎ) uqèd óOßgyètB tûøïr& $tB (#qçR%x. ( §NèO Oßgã¤Îm6t^ム$yJÎ/ (#qè=ÏHxå tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÐÈ  
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
2.      As-sunnah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Hurairah menyampaikan bahwa rasulullah SAW. Berkata bahwa Allah SWT. Berfirman: “aku anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka aku keluar dari syirkah itu”.
  1. Keabsahan Hukum Perjanjian Syariah Dan Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
1.      Keabsahan Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
a.        Rukun akad  merupakan di dalamnya terdapat ijab dan qobul. Dan rukun tersebut menyangkut dengan adanya subyek dan obyek
b.       Syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian itu disepakati oleh kedua belah pihak yang mana akan mempunyai akibat hukum :
1.      Ijab Qabul itu harus dinyatakan atau dilakukan oleh orang yang mencapai umur tamyiz atau bbisa dikatakan sebagai orang yang cakap. Karena bila orang tersebut tidak cakap, maka orang tersebut tidak dapat melakukan suatu perjanjian maupun perikatan dengan orang lain.
2.      Ijab qabul harus merujuk kepada obyek perjanjian tersebut.
3.      Ijab qabul harus ada hubungannya dengan majelis, bila kedua belah pihak sama- sama hadir.
4.      Jumhur ulama mengatakan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting suatu perjanjian atau akad[7].
2.      Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian. Namun, hal ini berbeda dengan perspektif syari’ah. Pada sharia level, akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu akad baru dapat dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syari’ah dan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi serta waktu penyerahan telah diketahui. Sementara itu, dalam pembiayaan yang berbentuk line facility, syari’ah memandang perjanjian tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya berbentuk wa’ad (promise). Dalam konteks ini, akad baru akan terjadi pada saat dropping pembiayaan yang diwujudkan dalam bentuk SPRP (surat permohonan realisasi pembiayaan) dari nasabah dan dijawab oleh bank dalam bentuk surat persetujuan pencairan pembiayaan.
Dengan kata lain, dalam sharia level, akad tidak selalu berwujud surat perjanjian, melainkan juga bisa berbentuk surat dokumen pencairan. Begitu pula halnya dengan surat perjanjian, ia bisa mencerminkan suatu akad , bisa pula hanya mencerminkan sebuah wa’ad (promise). Istilah hukum yang sama dapat mempunyai dua arti yang berbeda, tergantung dari perspektif level apa yang digunakan[8].
  1. Syarat Sah dan Batalnya Suatu Hukum Perjanjian Syariah
Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
1.      Tidak menyalahi hukum syariah yang telah disepakati
Bahwasannya suatu perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut tidak boleh bertentangan maupun melawan  hukum syariah. Dikarenakan apabila suatu perjanjian dilakukan dengan menimbulkan adanya suatu pertentangan dengan hukum, maka perjanjian tersebut dikatakan suatu perjanjian yang tidak sah. Dalam hadis Rasulullah mengatakan :
“ Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah bathil, sekalipun seribu syarat “ ( Sayid Sabiq, 11, 1987 :178 )
2.      Harus sama ridha dan ada pilihan
Dalam melakukan suatu perjanjian, antara kedua belah pihak harus sama- sma ridha dan tidak ada paksaan dari pihak yang lainnya. Karena dalam hal itu sebuah perjanjian akan menimbulkan akibat hukum dan mempunyai kekuatan hukum. Apabila terdapat paksaan dari orang lain, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
3.      Harus jelas
Perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak harus jelas apa adanya yang telah tercantum dalam perjanjian. Agar apabila terjadi suatu kesalahan suatu saat, antara kedua belah pihak sudah mendapatkan dan mengerti tentang apa yang mereka buat dalam sebuah perjanjian tersebut. Yang mana dengan hal ini, kedua belah pihak mempunyai hasil dari tujuan perjanjian yang telah mereka sepakati.
Sedangkan dalam sebuah akad bisa terjadi adanya suatu kebatalan atau terputusnya akad perjanjian, adapun factor-faktor yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian diantaranya yaitu:
1.      Jangka waktu telah berakhir
Dalam melakukan suatu perjanjian harus ditentukan jangka waktunya. Agar di dalam melakukan suatu perjanjian, salah satu pihak tidak menyalahgunakan waktu yang telah ditentukan. Maka dari itu, suatu perjanjian juga mempunyai jangka waktu yang terbatas dalam melaksanakannya. Apabila jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak telah habis maka perjanjian tersebut dapat dikatakan batal.
2.      Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu pihak
Apabila antara kedua belah pihak, yang mana salah satu pihak melakukan penyimpangan dalam sebuah perjanjian, maka perjanjian dapat dibatalkan. Akan tetapi, dalam membatalkan sebuah perjanjian harus ada aturannya. Seperti halnya bila diketahui ada salah satu pihak yang melakukan penyimpangan maka pihak yang lain diperbolehkan membatalkan perjanjian tersebut dengan baik sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya.
3.      Terdapat atau ditemukannya penipuan dalam perjanjian
Di dalam suatu perjanjian telah ditemukan penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak yang lain dapat membatalkan perjanjiannya sesuai dengan perjanjian yang mengikat sebelumnya. Seperti halnya yang telah tercantum dalam Al-Quran surat Al- Anfal 58 yang berbunyi :
“ Dan jika kamu khawatir akan ada penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berkhianat.” (Dewan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Al- Quran, 1990 : 270).
Adapun prosedur dari perjanjian syariah:
1.      Memberi lebih dulu kepada pihak yang melakukan perjanjian, bahwasannya perjanjian yang telah disepakati akan dihentikan. Dengan memberitahukan alasan- alasan dibatalkannya perjanjian tersebut.
2.      Setelah pihak yang diberitahu tersebut telah mempunyai waktu untuk menyiapkan   perjanjian, maka terlaksanakanlah pembatalan perjanjian tersebut[9].
  1. Ruang Lingkup Hukum Perjanjian Syari’ah
Menurut pernyataan Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. Tentang hukum perikatan islam  dapat disimpulkan bahwa adanya kaitan erat antara hukum perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber hukum islam tersebut. Hal ini menunjukkan sifat “religious transendental” yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi hukum perikatan islam itu sendiri yang mencerminkan otoritas Allah SWT. Tuhan yang maha mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam hubungan antar sesamanya[10].
Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan islam lebih luas dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang pencipta (Allah SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan vertical dan horizontal[11].
  1. Pengertian Hukum Bisnis
Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam “De Legibus” menyatakan hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan[12]. Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa hukum sebagai buatan manusia, yakni segala norma buatan  manusia karena kekuasaan atau kesepakatan untuk merealisasikan hukum kodrat atau hukum wahyu dalam kehidupan manusia.
Secara umum tujuan hukum adalah mengatur pergaulan huidup secara damai.[13]dalam setiap kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial akan selalu berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan adanya interaksi ini akan timbul kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan yang kadang menimbulkan pertikaian, akan tetapi dengan interaksi juga memberikan manfaat dengan menambah pengetahuan serta informasi lainnya.
Secara etimologis , kata bisnis berarti usaha, perdagangan, toko, perusahaan, tugas, urusan dan hak.[14]secara epistimologis, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan laba atau menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat[15].
Jadi, hukum bisnis dapat diterjemahkan sebagai seperangkat kaedah-kaedah hukum yang diadakan untuk mengetur serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul antar aktivitas manusia, khususnya dalam bidang perdagangan[16].
Pengertian hukum bisnis ini menunjuk pada beberapa unsur. Pertama, ada norma-norma hukum yang dibuat manusia (pejabat yang berwenang mewakili peran Negara). Kedua. Mengatur persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat. Ketiga, obyek yang diselesaikan atau diatur adalah mengenai perdagangan atau dunia bisnis[17].















DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur, perbankan syari’ah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University    Press, 2009.
A.karim, Adiwarman, Bank Islam:Analisis Fiqh Dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Dewi, Gemala dan Wirdyaningsih dan Barlinti, Yeni Salma, Hukum Perikatan Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Pasaribu, Chairuman dan Lubis, suhrawadi K., Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: sinar grafika, 2004.
Kabul, Imam, Hukum Bisnis Di Era Kapitalisme Global, Jakarta: Nirmana Media, 2006.
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori Dan Analisis Kasus, Jakarta: kencana prenada media
Group, 2007.








BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari pemaparan atau penjelasan materi diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.         Pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’[18]. Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
2.         Dalil dari perjanjian syaiah yaitu Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 76 dan hadis nabi yang berbunyi “aku anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka aku keluar dari syirkah itu”.
3.         Di dalam melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
4.         Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
a.       Tidak menyalahi hukum syariah yang telah disepakati
b.      Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu pihak
c.       Harus jelas
5.         Ruang lingkup hokum perjanjian syariah. Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan islam lebih luas dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang pencipta (Allah SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan vertical dan horizontal.
6.         Pengertian hokum bisnis menurut Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam “De Legibus” menyatakan hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan[19]. Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa hukum sebagai buatan manusia, yakni segala norma buatan  manusia karena kekuasaan atau kesepakatan untuk merealisasikan hukum kodrat atau hukum wahyu dalam kehidupan manusia.
  1. Saran
            Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa sedikit banyak memberikan wacana kepada para pembaca tentang zakat perdagangan ini dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Disamping itu, kami juga mengharapakan kritik dan saran dari pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih memiliki banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin. 

















[1] Suharnoko, Hokum Perjanjian;Teori Dan Analisa Kasus (Jakrta: Kencana Prenada Media Gpoup,2007),1. 
[2] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: sinar grafika, 2004),1.
[3] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009),51.
[4] Anshori, Perbankan,51
[5] Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),13.
[6] Anshori, Perbankan,52-53
[7] Ibid. 53
[8] Adiwarman, A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2006),362-363.
[9] Pasaribu dan Lubis, Hukum, 7
[10]Gemala Dewi, Wirdyaningsih Dan Yeni Salma Barlianti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006),3-4.
[11] M. Tahir Azhari, Bahan Kuliah Perikatan Islam Di Fakultas Hokum Universitas Indonesia Tanggal 16 Februari 1998;Barlianti, Hukum,3-4
[12] Johanes Ibrahm Dan Lindawati Sewu, Hokum Bisnis Dalam Persesi Manusia Modern,(Bandung: Refika Aditama, 2004);Imam Kabul, Hokum Bisnis Di Era Kapitalisme Global,(Jakarta: Nirmana Media, 2006),68.
[13] L.J. Vaan Apeldoon, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986),22.;Kabul,Hukum,71
[14]Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia, (Jakarta: Modern English Press, 1991),265.;ibid,44
[15] Hughes dan kapoor, dikutip oleh bukhari alma, pengantar bisnis,; ibid,44
[16] Ibid, 72
[17] Ibid, 72
[18] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: sinar grafika, 2004),1.
[19] Johanes Ibrahm Dan Lindawati Sewu, Hokum Bisnis Dalam Persesi Manusia Modern,(Bandung: Refika Aditama, 2004);Imam Kabul, Hokum Bisnis Di Era Kapitalisme Global,(Jakarta: Nirmana Media, 2006),68.



No comments:

Post a Comment