Friday 9 May 2014

Makalah Bentuk-bentuk Akad Perjanjian Syariah

BENTUK-BENTUK AKAD PERJANJIAN SYARIAH
 (Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanian Syariah)



PEMBAHASAN

2.1 Akad Perjanjian Syariah Percampuran

            Percampuran secara etimologi berarti kerjasama atau as-syirkah, yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya, yang sulit untuk dibedakan. Sedangkan secara terminologi yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Sedangkan pengertian atau definisi menurut para ahli dibidang kerjasama atau As-syirkah adalah sebagai berikut:

1.      Abdurrahman Al-Juzairi, al-syirkah adalah; "campurnya satu harta dengan harta lain sekira tidak bisa dibeda-bedakan bagian-bagianya".

2.      Syirkah secara bahasa menurut Syekh Umairah adalah "percampuran", baik percampuran yang tidak dapat dibedakan (syuyu') atau percampuran yang dapat dibedakan (mujawir).

Dapat disimpulkan bahwasannya kerjasama atau as-syirkah adalah percampuran suatu harta dengan harta lain yang tidak bisa dibedakan maupun yang bisa dibedakan. Maksudnya  percampuran dua atau lebih jenis harta kekayaan yang sulit untuk dibedakan, dan kerjasama ini memiliki tujuan untuk mencari laba atau keuntungan.[1]

            Selanjutnya Sebelum membahas panjang lebar tentang akad al-syirkah, alangkah lebih baik apa bila kita ketahui terlebih dahulu landasan atau dasar pijakan hukumnya, baik landasan dari Al-Qur'an, Al-Hadits maupun Ijma’, yaitu sebagai berikut:

1.Al-Quran

Dalam QS. Shaad (38) ayat 24 sebagai berikut:

Artinya: Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.



Dalam QS. an-Nisa (4) ayat 12 sebagai berikut:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

2. Hadits

Sedangkan landasan hukum dari Al-Hadits adalah, hadits qudsi dari Abu hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda;

Artinya: "Allah SWT telah berfirman: Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah satu dari kedunya tidak mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu". (H.R.Abu Dawud dan al-Hakim).

Selain hadits qudsi di atas, juga terdapat hadits yang sangat masyhur dalam bab al-syirkah yaitu hadits Saib bin Abu Saib, yang merupakan teman perkongsian Rasulullah sebelum kenabian, ia berkata;
Artinya: "Selamat bertemu kembali wahai saudaraku dan teman perkongsianku".

Dari hadits qudsi dan hadits Saib tersebut telah menunjukkan bahwa perkongsian (al-syirkah) memang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan diperbolehkan dalam Islam. Menanggapi masalah ini (al-syirkah) berdasarkan dalil-dalil di atas, maka para ulama telah sepakat (ijma') bahwa akad atau perjanjian perkongsian hukumnya diperbolehkan, hanya saja mereka berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis al-syirkah yang banyak macam dan coraknya.[2] Selanjutnya berkaitan dengan teori percampuran terdapat dua macam, antara lain:

1.      Objek percampuran

Sebagaimana dalam teori pertukaran, fiqh juga membedakan dua jenis objek percampuran, yaitu:
1.      ‘ayn berupa barang dan jasa
2.      Dayn berupa uang dan surat berharga

2.      Waktu percampuran
Dari segi waktunya, sebagaimana dalam teori pertukaran fikih juga membedakan dua waktu percampuran, yaitu:
1.      Naqdan yakni penyerahan saat itu juga
2.      Ghairu Naqdan yakni penyerahan kemudian.
Penjelasan dari segi objek percampurannya sendiri dapat diidentifikasi tiga jenis percampuran, yaitu:
1.Percampuran Dayn dengan dayn

a.Al-Syirkah Al-‘Inan

Syirkah 'Inan atau perkongsian harta benda adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam harta benda untuk diperdagangkan dan mencari keuntungan bersama. Syirkah "inan merupakan macam syirkah yang disepakati oleh para ulama (ijma') atas kebolehannya.[3]

b. Al-Syirkah Al-Mufawadhah

Pengertian Syirkah Mufawadhah adalah kedua belah pihak yang berkongsi menyerahkan kekuasaan pada masing-masing pada harta mereka untuk mengalokasikannya tanpa adanya percampuran harta, dan dengan konsekuensi atau resiko yang ditanggung bersama. Syirkah Mufawadlah sebenarnya hampir sama dengan syirkah 'inan, hanya satu perbedaanya yaitu tidak adanya unsur percampuran harta.

Syirkah Mufawadlah menurut Abu Hanifah dan Imam Malik hukumnya diperbolehkan. Abu Hanifah beralasan bahwa percampuran dua harta secara fisik tidak merupakan syarat dalam akad syirkah, asalkan mereka telah sepakat dengan perjanjian (akad) akan melakukan perkongsian, maka akad syirkah tetap sah dan diperbolehkan, meskipun tidak ada percampuran harta benda secara fisik. Lain halnya dengan Imam Malik, beliau memberi alasan bahwa syirkah mufawadlah secara hukum (hukmi) dengan terjadinya akad perjanjian telah terjadi percampuran harta, meskipun secara fisik harta masih ditangan masing-masing yang berkongsi. Dengan demikian maka pada saat salah satu dari mereka mengalokasikan harta, sesungguhnya ia telah menjadi wakil dari bagian harta syirkah bukan atas nama pribadi. Sehingga dalam syirkah mafawadlah tetap disyaratkan adanya izin berniaga dari masing-masing pihak yang berkongsi. Hanya saja Abu Hanifah dan Imam Malik tidak selaras dalam maslah syarat kadar harta. Menurut Abu Hanifah, harta masing-masing yang berkongsi dalam syirkah mufawadlah harus sama, sedangkan menurut Imam Malik, harta modal masing-masing tidak harus sama.[4]

Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah mufawadlah tidak diperbolehkan (tidak sah) karena tidak adanya unsur percampuran harta secara fisik. Percampuran harta secara fisik bagi Syafi'iyyah sangat diperlukan, meskipun keuntunganya dalam syirkah mufawadlah akan dikumpulkan (dicampur), akan tetapi keuntungan bukan merupakan pokok, karena keberadaan keuntungan hanyalah cabang hukum.[5]

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasannya syirkah al-‘inan adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi antara para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama, sedangkan syirkah al-mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah penanggung dan wakil dari anggota lainnya.

2.Percampuran ‘Ayn dengan ‘ayn

Syirkah Abdan adalah perkongsian atau kerjasama di dalam pekerjaan bukan dalam harta benda, seperti kerjasama dalam membangun rumah, berjualan, atau menjahit. Dalam perkongsian macam ini tidak disyaratkan adanya kesamaan kadar pekerjaan, baik dalam profesi yang sama seperti sama-sama tukang kayu atau berlainan profesi seperti tukang cukur dengan tukang jahit yang menyewa satu ruko kemudian dimanfaatkan bersama, kemudian keuntungan dari masing-masing pekerjaan dibagi rata.[6]

Syirkah Abdan atau perkongsian pekerjaan atau profesi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah profesi seperti ini tidak diperbolehkan, dengan alasan bahwa akad syirkah menurut beliau hanya pada harta benda bukan pekerjaan. Sebab syirkah dalam pekerjaan amat sulit dibatasi dan disamakan kadarnya sehingga dapat memicu terjadi perselisihan (ghurur). Hal ini beda dengan alasan yang dilontarkan oleh Imam Malik, beliau memandang bahwa jika akad mudlarabah yang nota bene transakasi pada sebuah pekerjaan diperbolehkan oleh syari'at, maka tidak ada alasan untuk melarang akad syirkah profesi atau pekerjaan. Selain itu Imam Malik juga menggunakan dasar hadits Ibnu Mas'ud dan Said yang melakukan perkongsian dalam pekerjaan berperang untuk kemudian hasil jarahan dibagi berdua, dan hal tersebut telah diketahui oleh Rasulullah SAW. Menanggapi alasan Imam Malik, Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad syirkah sangat beda dengan akad mudlarabah sehingga tidak bisa disamakan hukumnya (qiyas), begitu juga masalah pada harta jarahan (ghanimah) tidak bisa disamkan dengan akad syirkah. Sedangkan Abu Hanifah tidak banyak komentar dalam mendasari pendapatnya, beliau hanya mengatakan bahwa syirkah dalam pekerjaan diperbolehkan.

Meskipun Abu Hanifah dan Imam Malik setuju akan diperbolehkanya akad syirkah perkerjaan (abdan) meskipun dengan alasan yang berbeda, namun terjadi perbedaan tentang syarat-syaratnya terutama masalah jenis pekerjaan. Menurut Abu Hanifah pekerjaan yang dikongsikan tidak harus sama, sehingga tukang jahit bisa berkongsi dengan tukang cukur. Sedangkan menurut Imam Malik mensyaratkan pekerjaan harus sejenis yaitu tukang jahit dengan tukang jahit, sebab jika pekerjaannya berbeda ditakutkan akan terjadi banyak penipuan (ghurur) yang akan mengakibatkan konflik.[7]

3.Percampuran ‘Ayn dengan Dayn

a.Al-Syirkah Al-Wujuh

Syirkah wujuh adalah perkongsian tanpa harta benda dan pekerjaan fisik. Mereka yang berkongsi hanya bermodalkan nama baik (reputasi) yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan sistem kredit (muajal) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.

Menurut Abu Hanifah syirkah wujuh diperbolehkan, dengan alasan bahwa suatu amal atau pekerjaan tidak harus secara fisik. Artinya, memesan barang dan menjualnya dengan bermodal reputasi menurut Abu Hanifah termasuk pekerjaan. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi'i, syirkah tersebut tidak diperbolehkan. Beliau berdua mendasari dengan alasan bahwa al-syirkah al-wujuh sudah keluar dari rel perkongsian dimana harta benda dan pekerjaan fisik tidak dalam perkongsian tersebut. Modal berupa reputasi sangat sulit diperkirakan kadar dan ketentuanya, sehingga berpotensi terjadi penipuan dan perselisihan.[8]

b.Syirkah Mudharabah (Qiradh)

Syirkah mudharabah (qiradh) adalah berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang (pihak pertama atau pemilik modal atau mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua atau pemakai atau pengelola atau dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan keuntungan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja.[9]

Percampuran atau syirkah memiliki syarat-syarat dalam pelaksanaannya dan diantara syarat  umum syirkah, yakni[10] :

1.      Adanya akad (kesepakatan) dalam izin berniaga (tasharruf) dari kedua belah pihak yang bersekutu atau berkerjasama. Menurut pendapat yang lebih shahih dari madzhab Syafi'i, jika hanya kesepakatan mencampur harta benda tanpa adanya kesepakan berniaga, maka akad tidak sah.

2.      Kedua belah pihak harus mempunyai kecakapan hukum (ahl al-tasharruf). Sebab pada hakekatnya mereka berdua adalah muwakil (orang yang mewakilkan) dalam hartanya masing-masing dan wakil dalam memperdagangkan harta orang lain.

3.      Harta benda yang dicampur merupakan harta benda yang sama jenisnya (mitsliy) seperti mata uang atau bahan mentah lainya seperti beras atau gandum. Namun menurut pendapat lain, akad al-syirkah hanya khusus pada mata uang.

4.      Bercampurnya harta benda sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan antara harta satu dengan yang lain. Untuk itu, harta benda yang dijadikan perkongsian diwajibkan harus yang sama jenisnya (mitsliy). Percampuran harta benda harus dilakukan sebelum dilaksanakanya perjanjian (akad). Percampuran harta benda setelah dilakukannya perjanjian, menurut pendapat yang lebih shahih (al-ashah) dalam madzhab Syafi'iyyah tidak dapat dibenarkan (tidak sah). Namun menurut Abu Hanifah, percampuran harta secara fisik tidak disyaratkan. Bagi yang berserikat cukup menyatakan dalam perjanjian (akad) bahwa mereka telah sepakat berkongsi bersama meskipun harta mereka masih dalam pegangan masing-masing.

5.      Kedua belah pihak mempunyai hak yang sama dalam pengalokasian harta benda, dengan syarat tidak ada unsur merugikan.

6.      Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama-sama sesuai dengan kadar modal masing-masing. Dalam akad syirkah 'inan, harta benda yang dibuat modal tidak disyaratkan sama jumlah dan kadarnya, seperti contoh si A berinfestasi 100 juta, dan si B berinfestasi 50 juta. Hanya saja tentang masalah keuntungan atau kerugian ditanggung sesuai dengan prosentase modal masing-masing.

Dan akad musyarakah bisa berakhir apabila:

1.      Salah satu pihak mengundurkan diri.
2.      Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia
3.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti: gila yang sulit disembuhkan.
4.      Harta syirkah rusak
5.      Tidak ada kesamaan modal[11]

2.2 Akad Perjanjian Syariah Pertukaran

Merupakan suatu jenis akad dalam perjanjian syariah, yang kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” (by their nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa, dll.

Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya. Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan resiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya B menyerahkan uang kepada A.[12] Di sini barang ditukarkan dengan uang, sehingga terjadilah kontrak jual-beli (al-bai’). Akad pertukaran ini terbabagi menjadi dua pilar, yaitu objek pertukaran dan waktu pertukaran, yaitu sebagai berikut:

1.Objek Pertukaran

Fiqh membedakan dua jenis objek pertukaran, yaitu:
1.      ‘Ayn berupa barang dan jasa
2.      Dayn berupa uang dan surat berharga

2.Waktu Pertukaran

Fikih membedakan dua waktu pertukaran, yaitu:

1.      Naqdan yang berarti penyerahan saat itu juga
2.      Ghairu naqdan yang berarti penyerahan kemudian

Penjelasan dari segi objek pertukaran sendiri, dapat diidentifikasi menjadi tiga jenis pertukaran, antara lain:

1.Pertukaran real asset ('ayn) dengan real asset (‘ayn)
            Dalam Pertukaran real asset ('ayn) dengan real asset (‘ayn), terdapat dua macam model atau bentuk yaitu:
1.Pertukaran barang yang sejenis
Yaitu objek pertukaran yang barangnya memiliki jenis yang sama atau sejenis. Dan barang sejenis ini dalam pertukaran di bagi lagi menjadi dua, yaitu :
a.Pertukaran uang dengan uang atau sharf
Al-Sharf secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al'adl (seimbang). Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang berarti membayar dengan penambahan.[13] Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas)[14]. Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjual belikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer. Dasar hukum al-Sharf sendiri fuqoha mengatakan bahwa kebolehan praktek al-Sharf didasarkan pada sejumlah hadis Nabi antara lain pendapat Jumhur yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi', dari Abu Sa'id al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "Dari Abu Said al Khudzriy ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali dengan seimbang dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali dengan seimbang, dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual dari padanya sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang tunai (ada)". (H. Muttafaq Alaihi).

Hadits diatas menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak dengan perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya melebih yang lain. Jika berlainan, misalnya emas dibeli dengan beras itu hukumannya boleh dengan syarat harus kontan dan memakai pelebihan, Jumhur fuqoha juga telah sepakat, bahwa emas atau perak yang sudah dicetak, juga masih lantakan atau sudah menjadi perhiasan, semuanya itu sama-sama dilarang menjualnya satu dengan yang lainnya memakai pelebihan. Kecuali mu’awiyah yang membolehkan pelebihan antara barang lantakan dengan barang yang sudah menjadi perhiasan, dengan alasan bertambahnya unsur kebiasaan

Selanjutnya berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-Sharf adalah sebagai berikut:

1.      Masing-masing pihak saling menyerah terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.

2.      Jika akad al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.

3.      Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf, karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai. Sedang khiyar syarat mengindikasikan jual beli secara tidak tunai.[15]

Adapun menurut para ulama, syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:

1.      Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.

2.      Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa.

3.      Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.

4.      Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.

5.      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan (bai al-alfudhuli).[16]


b.Pertukaran barang dengan barang atau barter

Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba, umpamanya kita saling menukar beras, tapi takarannya berbeda, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Selanjutnya menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, bahwa apabila berlangsung jual beli barter misalnya emas dengan emas atau gandum dengan gandum, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar jual beli hukumnya sah, yaitu:

1.      Persamaan dalam kwantitas tanpa memperhatikan baik dan jelek, berdiri kepada hadits diatas dan yang diriwayatkan oleh muslim bahwa seorang mendatangi Rasulullah, dengan membawa sedikit kurma Rasullulah lalu mengatakan padanya:

Artinya: "Ini bukanlah kurma kita." Orang tersebut berkata lagi: "Wahai Rasulullah, kami mi sebanyak dua sha' dengan satu sha'." Rasulullah lantas bersabda lagi: "Yang demikian itu riba. Kembalikanlah, kemudian juallah kurma kita dengan setelah itu belilah untuk kita dari jenis ini".
2.      Tidak boleh menangguhkan salah satu barang, bahkan pertukaran harus dilaksanakan secepat mungkin.[17]

2.Pertukaran barang yang tidak sejenis
            Yaitu pertukaran barang yang tidak sejenis, pertukaran dalam sistem ini terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.Pertukaran uang dengan barang, misalnya jual beli
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan.[18]
Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah.) Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
b.Pertukaran barang dengan uang, misalnya sewa.
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju.[19]

2.Pertukaran real asset (‘ayn) dengan financial asset (dayn)
Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn, maka yang dibedakan adalah jenis ‘ayn-nya. Bila ‘ayn-nya adalah barang, maka pertukaran ‘ayn dengan dayn itu disebut jual beli (al-bai’). Sedangkan bila ‘ayn-nya adalah jasa, maka pertukaran itu disebut dengan sewa-menyewa atau upah mengupah (al-ijarah).
Dari segi metode pembayarannya Islam membolehkan jual beli dilakukan secara tunai, secara tangguh bayar, atau secara tangguh serah. Bay muajjal dapat dibayar secara penuh (muajjal) atau secara cicilan (taqsith). Jual beli tangguh serah dapat dibedakan lagi menjadi: pertama, pembayaran lunas sekaligus di muka (ba’salam); kedua, pembayarannya dilakukan secara cicilan dengan syarat harus lunas sebelum barang diserahkan (bai’ istishna’).
Jual beli dapat dilakukan secara lazim tanpa si penjual menyebutkan keuntungannya. Akan tetapi dalam hal khusus, misalnya jual beli dengan anak kecil atau dengan orang yang akalnya kurang, jual beli dilakukan secara murabhahah. Dalam praktis perbankan syariah, akad murabahah lazim digunakan meskipun transaksinya tidak dilakukan dengan anak kecil atau orang yang akalnya kurang. Karena teknik perhitungan keuntungan yang dilakukan bank terlalu rumit untuk dipahami oleh masyarakat awam. Bank misalnya, menggunakan teknik perhitungan sliding, flat, progresif, yang jangankan masyarakat awam, staf bank yang bersangkutan pun tidak semuanya paham.
            Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat, barang yang disebut sewa menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat orang disebut upah mengupah. Ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ju’alah, success fre), dan Ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ijarah, gaji dan sewa).
            Dalam praktik perbankan, akad Ijarah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasabah menyewa ruko, misalnya, yang mengharuskan nasabah membayar sewanya secara lump-sum di muka untuk periode 3 tahun. Bank akan menyewa ruko tersebut dengan pembayaran lump-sum 3 tahun, kemudian bank akan menyewakan lagi kepada nasabah dengan pembayaran sewa bulanan untuk periode 3 tahun. Tentu saja bank mengambil untung drai transaksi ini.

            Dalam perkembangan terakhir, muncul pula kebutuhan nasabah yang menyewa untuk memiliki barang yang disewanya di akhir periode sewa. Kebutuhan ini dipenuhi dengan adanya Ijarah Muntahia bi Tamlik. Bagi bank, akad ini merupakan berkah karena memberikan  fleksibilitas harga sewa bulanan; suatu hal yang tidak mungkin dilakukan dalam akad murabahah. Akad ini juga membuka peluang bagi bank untuk memperpanjang waktu dengan melakukan akad sewa baru, bila di akhir periode sewa pertama nasabah belum mapu untuk melakukan pembelian barrang tersebut.

3.Pertukaran financial (dayn) dengan financial asset (dayn)

Dalam pertukaran ini, dibedakan antara dayn yang berupa uang dengan dayn yang tidak berupa uang, yaitu surat berharga. Pada zaman ini, uang tidak lagi terbuat dari emas atau perak. Sehingga uang saat ini adalah uang kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Yang membedakan uang dengan surat berharga adalah uang dinyatakan sebagai alat bayar resmi oleh pemerintah, sehingga setiap warga negara wajib menerima uang sebagai alat bayar. Sedangkan akseptasi surat berharga hanya terbatas bagi mereka yang mau menerimanya.[20]





















BAB 3 PENUTUP

3.1Kesimpulan

Jadi, yang di maksud dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah percampuran yaitu percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan secara terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Bentuk perjanjian ini lebih cenderung disebut dengan kerja sama atau asy-syirkah.
Dalam syirkah atau percampuran ini berdasarkan objeknya dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya yang paling pokok yaitu menjadi 3 jenis, yaitu: Percampuran Dayn dengan dayn, Percampuran ‘Ayn dengan ‘ayn, dan Percampuran ‘Ayn dengan Dayn
Kemudian, yang disebut dengan bentuk-bentuk perjanjian syariah pertukaran yaitu system pertukaran aset yang dimiliki antara kedua pihak, yang objectnya baik berupa barang maupun jasa harus ditetapkan di awal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jualbeli, upah-mengupah, sewa-menyewa.
Bentuk akad ini yang apabila dilihat dari sudut objek juga terdapat 3 jenis atau macam akad itu sendiri yaitu: Pertukaran real asset ('ayn) dengan real asset (‘ayn), Pertukaran real asset (‘ayn) dengan financial asset (dayn), dan Pertukaran financial (dayn) dengan financial asset (dayn).










DAFTAR PUSTAKA


Dewi, Gemala.2005.Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.Jakarta: Kencana.
Ghufron, A. Mas’adi.2002. Fiqh Muamalah Konstekstual.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mujieb, M.Abdul.1995.Kamus Istilah Fiqh.Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Adiwarman A. Karim. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Afandi, M.Yazid.2009.Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah.Yogyakarta: Logung Pustaka.



[1] Gemala Dewi.Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.(Jakarta:Kencana,2005).hlm.98
[2] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.135
[3] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keungan.(Jakarta: Raja Grafindo,2004).hlm.91
[4] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keungan.(Jakarta: Raja Grafindo,2004).hlm.91
[5] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.136
[6] M.Yazid Afandi.Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).hlm.114
[7] M.Yazid Afandi.Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).hlm.114
[8] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.138
[9] Gemala Dewi.Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.(Jakarta:Kencana,2005).hlm.101
[10] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.138
[11] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.138
[12] Gemala Dewi.Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.(Jakarta: Kencana,2005).hlm.95

[13] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.140
[14] M. Abdul Mujieb.Kamus Istilah Fiqh.(Jakarta: PT Pustaka Firdaus,1995).hlm.34.
[15] A.Mas’adi Ghufron.Fiqh Muamalah Konstekstual.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.150
[16] M.Yazid Afandi.Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).hlm.120
[17] M.Yazid Afandi.Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).hlm.120

[19]A.Karim, Adiwarman.Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keungan.(Jakarta: Raja Grafindo,2004).hlm.97
[20] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keungan.(Jakarta: Raja Grafindo,2004).hlm.98




No comments:

Post a Comment