Monday 1 February 2016

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA

BAB 1 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembuktian

       Terkait dengan pengertian pembuktian (hukum acara pidana) bahwasannya didalam KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian.  Pengertian Pembuktian Hukum Acara Pidana menurut Subekti misalnya, beliau memberi pengertian pembuktian yaitu meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa”. Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan membuktikan atau pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sedangkan didalam bukunya M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.[1]
Sedangkan pengertian hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.
     Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan bahwasannya penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa dan sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.[2]

B.     Prinsip-Prinsip Pembuktian
Didalam suatu pembuktian terdapat beberapa prinsip-prinsip pembuktian antara lain sebagai berikut:
1.      Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a.       Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak.  Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b.      Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.[3]

2.      Menjadi saksi adalah kewajiban
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”
3.      Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.[4]
4.      Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
5.      Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.[5]

C.     Sistem atau teori Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formel.Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan, bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa continental yang lalin, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri dan bukan jury seperti Amerika Serikat dan negara-negara Anglil Saxon. Di negara-negara tersebut belakang jury yang umumnya terdiri dari orang awam itulah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana (sentencing).[6]
Mencari kebenaran materiel itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relative. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relative. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja berganti oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Oleh karena itulah dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling tepat dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Diusahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan yang kana menenteramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran materiel itu. Dalam alasan mencari kebenaran materiel itulah maka asas akusator yamg memandang terdakwa sebagai pihak sama dengan dalam acara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor yang memandang terdakwa sevagai objek pemeriksaan, bahkan kadang-kala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa.[7]
a.       Sistem atau Teori Pembuktian Brdasarkan Undang-undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Dalam minilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian tang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang disbut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formel.
Menurut D.Simons sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengkat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lago. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana mungkin hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mugkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.[8]
b.      Sistem atau Teori Pembuktikan Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction intime. Disadari bahwa alat buktu berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran, pemgakuanpun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah maka teori berdasar keyakiana hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbutan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemindanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-lat ukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembiktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilandiskrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini dikatakan memungkingkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium. Sistem ini member kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini dapat memidanakan terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa is telah melakukan apa yang didakwakan. Praktek peradilan juri di Prancis membuat pertimbanagn berdasarkanmetode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu (conviction intime).[9]
c.       Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah nuncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasar kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, pemutusan hakim dijatuhkan debgab suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative.[10]
Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama verdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak padakeyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpukan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif. HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned. Sv. Yang lama dan yang baru, semuannya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negative. Hal tersebut dapat disimulakan dari pasal 183 KUHAP, dahulu pasal 194 HIR. Pasal tersebut berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperileh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
    Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim diperoleh dari lat-alat bukti tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang tersebut pada pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakianan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbutana yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbutan itu.”
     Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) pasal 6 yang berbunyi :
“Tiada seorang juga pun dapat dijatuhkan pidana kecuali apabila pengadilan karena lat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang ditiduhkan atas dirinya.”[11]
     Kelemahan rumus undang-undang ini ialah disebut alat pembuktian, bukan alay-lat pembuktian, atau seperti dalam pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti. Di negeri Belanda, pada wakti konsep Ned. Sv., dibicarakan pertama kali, sebenarnya yang dicantumkan ialah sistem pembuktian conviction raisonnee. Sesudah melalui perdebatan yang panjang, antara yang ingin mengadakan perubahan seperti yang telah tercantum dalam konsep rencana itu, dan pihak lain yang ingin mempertahankan sistem lama yaitu negatief wettelijk, akhirnya golongan yang tersebut kedualah yang menang, tetapi dengan suatu komsesi kepada pihak pertama conviction raisonnee, bahwa pasal-pasal yang mengikat hakim dalam undang-undang harus dikurangi, sehingga menjadi dua saja, ayitu yang dikenal sekarang degan pasal 341 ayat (4) dan 342 ayat (2) Ned. Sv.
     Pasal 341 ayat (4) itu mengatur bahwa kesalahan terdakwa tidak dapat dianggap terbukti atas pengakuan salah terdakwa saja, melainkan harus ditambah dengan alat-alat bukti yang lain, sedangkan pasal 342 ayat (2) mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidaklah cukup untuk menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti. Ini disebut bukti minimum. Ketentuan tersebut mirip dengan KUHAP pasal 183 KUHAP sejajar dengan pasal 341 ayat (4) Ned. Sv. Pasal itu mengatakan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah….”, selanjutnya pasal 185 ayat (2) KUHAP sama dengan pasal 342 ayat (2) Ned. Sv. Tersebut. Pasal itu mengatakan: “keterangan orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”[12]
     Dalam sistem atau teori pembuktikan yang berdasar undang-undang secara negatif ini pemidanaan dudasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.
     Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan pasal 183 KUHAP tersebut yag mengatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim. Dalam pasal 338 Ned. Svv. Ditegaskan sejelas mungkin bahwa keyakinan itu sendiri hanya dapat didasarkan kepada isi alat-alat bukti yang sah (yang disebut oleh undang-undang). Demikianlah sehingga de Bosch Kemper mengatakan bahwa keyakinan itu, yang disyaratkan untuk memidana, tiadalah lain dari pada pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut oleh undang-undang). Penjelasan pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Ini sama bevar yabg tertulis oleh D.Simons bahwa berdasarkan undang-undang pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada pidananya orang yang tidak bersalah hanya dapat kadang-kadang memaksa dibebaskannya orang bersalah.
Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang negative sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah layaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.[13]



D.    Alat-alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
     Berikut penulis akan memberikan penjelasan mengenai alat bukti antara lain sebagai berikut:
a.   Keterangan Saksi
      Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 KUHAP. Pada umunya tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi menurut M. Yahya Harahap bahwa hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.[14]
     Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tenyang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
1)      Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan
2)      Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3)      Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4)      Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5)      Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
6)      Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a.       Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b.      Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c.       Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d.      Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
7)      Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.[15]
       Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undangini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a.       Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b.      Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
c.       Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
      Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi :
a.       Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b.      Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.[16]
Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah mengatakan bahwa:
“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja”.[17]
       Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
1)      Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi.
2)      Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)), bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga? Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah disebut testimonium de auditu.[18]
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti yang lain. Andi Hamzah. Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
      Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”. Menurut D. Simons: “Suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”.
      M. Yahya Harahap megungkapkan bahwa bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa. Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan terdakwa.[19]
b.   Keterangan Ahli
      Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Andi Hamzah dalam bukunya menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.[20]
      Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti :
1.   Pasal 1 angka 28
      Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28, M. Yahya Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:
a.       Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.
b.      Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
2.   Pasal 120 ayat (1) KUHAP
      Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
3.   Pasal 133 (1) KUHAP
      Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
4.   Pasal 179 KUHAP menyatakan:
1)      Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan.
2)      Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133 ayat (1). Seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap (2002:300), ada dua kelompok ahli:
1.   Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
2.   Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.
Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan penyidikan. Menurut M. Yahya Harahap bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:
Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.
Pada saat penyidik demi untuk kepentingan peradilan, penyidik minta keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan. Atas permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”. Laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut juga dengan nama visum et repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.[21]


Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang
Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata keterangan ahli dalam bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah. Di satu sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et repertum tetap dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti saksi. Apakah hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum memberikan nama pada alat bukti tersebut tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembukti?[22]
M. Yahya Harahap, menegaskan bahwa keleluasaan hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada alat bukti seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat bukti itu, baik alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya.[23]
c.   Surat
     Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71)surat-surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat). Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1.   Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabatat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2.   Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3.   Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
4.   Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.[24]

d.   Petunjuk
      Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.      Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a.    Ketrangan saksi;
b.   Surat;
c.    Keterangan terdakwa.
3.      Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.
      Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain.[25]


e.   Keterangan Terdakwa
      Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:
1)   Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2)   Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3)   Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4)   Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.[26]




DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi.1996.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: CV Sapta Artha Jaya.
Harahap, M. Yahya.2003.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua.Jakarta: Sinar Grafika.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita.2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Subekti. 2001.Hukum Pembuktian.Jakarta: Pradnya Paramita.
Prinst, Darwan.1998.Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.


[1] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.273
[2] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.10

[3]Hari Sasangka dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.20

[4] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.267
[5] M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h. 321
[6] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.257
[7] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.258

[8] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.259

[9] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.261
[10] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.261

[11] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.263
[12] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.264
[13] Andi Hamzah, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya,1996), h.265
[14] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2001), h.17
[15] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,2001), h.18
[16] Hari Sasangka dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.29
[17] Hari Sasangka dan Lily Rosita, ( Bandung: Mandar Maju,2003), h.30
[18] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan,1998), h.35
[19] M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.237
[20] http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html. Diakses Tanggal 8 September 2015.
[21] Darwan Prinst, (Jakarta: Djambatan,1998), h.42
[22] Darwan Prinst, (Jakarta: Djambatan,1998), h.42
[23] M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.239
[24] M. Yahya Harahap, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h.241
[25] http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html. Diakses Tanggal 8 September 2015.
[26] http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html. Diakses Tanggal 8 September 2015.

1 comment: