Sunday 31 January 2016

AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH

AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
(Untuk Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Masail Fiqhiyyah Iqtishadiyyah)

A.    Sejarah Berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Pada mulanya Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jamiat Khair yang berdiri pada 1905 dan mayoritas anggota dan pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid (alawiyin). Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya, yakni Syekh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani. Di Indonesia, Surkati giat melaksanakan pembaharuan dan menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Surkati diangkat sebagai penilik sekolah-sekolah yang dibuka oleh Jamiat Khair, baik yang dibangun di Jakarta maupun di Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Surkati, dalam waktu satu singkat, sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jamiat Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para pengurus Jamiat Khair. Walaupun Jamiat Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jamiat Khair dengan kerasnya menentang fatwa Surkati tentang kafaah (persamaan derajat). Sehingga, karena tak disukai lagi, Surkati akhirnya memutuskan mundur dari Jamiat Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawal 1332 H) dan di hari itu juga Surkati bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad, serta organisasi untuk menaunginya yang dinamakan dengan Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah, yang kemudian berganti nama menjadi Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah.[1]
Umumnya anggota organisasi Al-Irsyad terdiri dari orang Indonesia keturunan Arab (yang berasal dari Hadrami atau Hadramaut), karena itu ada yang menyebutnya sebagai organisasi orang-orang Arab, walaupun anggapan ini tidak seluruhnya benar, sebab mengacu kepada AD/ART, Al-Irsyad adalah organisasi Islam Nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa. Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini adalah Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.” Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal pelajaran resmi. Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang Indonesia. Al-Irsyad juga berperan penting sebagai prakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.
Al-Irsyad Al-Islamiyyah didirikan bertujuan untuk memurnikan tauhid, ibadah, dan amaliyah Islam melancarkan berbagai program di bidang pendidikan dan dakwah, dengan fokus pengembangan pada lima bidang utama, yakni bidang pendidikan, bidang organisasi, bidang dakwah dan penerangan, bidang usaha ekonomi, serta bidang kesejahteraan sosial dan budaya. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit; yang terbesar saat ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan. Sedangkan di bidang dakwah dan penerangan, usaha dan pengembangan yang dilakukan Al-Irsyad antaranya adalah membina anggota dan masyarakat menjadi khaira ummah dengan mengefektifkan peran mubaligh, melakukan pengkaderan ulama melalui pendidikan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri; penyelenggaraan dan pengembangan majelis taklim sebagai majelis ilmu dan dakwah; intensifikasi dakwah di daerah-daerah terpencil yang rawan karena masalah tekanan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan, menghidupkan media massa (media tertulis) dengan misi dakwah sebagai sarana komunikasi dan penyuluh umat. Berdasarkan data yang ada, menurut K.H. Abdullah Mubarak al-Jaidi (Ketua Umum Al-Irsyad Periode 2007-2012), organisasi yang dipimpinnya saat ini telah memiliki 134 cabang seluruh Indonesia, 23 wilayah propinsi, 250 sekolah, 5 pesantren mandiri, ada sejumlah rumah sakit, dan dalam waktu dekat juga akan dibangun Sekolah Tinggi Dakwah Al-Irsyad (Koran Republika, 2011). Kemudian sebagaimana organisasi keagamaan yang lain, dalam perkembangannya Al-Irsyad telah membuka cabang dan berdiri dibeberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Secara singkat, kepengurusan (dinamakan dengan Pimpinan Wilayah) Al-Irsyad di Kalimantan Selatan mulai dibentuk pada tahun 1989 melalui kegiatan Musyawarah Wilayah Al-Irsyad I untuk masa bakti 1989-1991, di mana pada masa ini Pimpinan Wilayah Al-Irsyad diketuai oleh H. Salim Thalib (bekas pemilik Hotel Maramin dan sekarang telah diubah namanya menjadi Hotel Mentari Banjarmasin) dengan sekretaris Drs. Muhammad Yusuf HB. Musyawarah tingkat wilayah ini kemudian juga diikuti oleh Musyawarah Cabang Al-Irsyad Kota Banjarmasin pada tahun yang sama dan berhasil mengukuhkan kepengurusan Pimpinan Cabang (PC) Al-Irsyad Kota Banjarmasin periode 1989-1991 yang waktu itu diketuai oleh H. Idrus Machdan (Pemilik Perusahan Jamu Rumput Fatimah). Adapun markas atau sekretariat PW dan PC Al-Irsyad pada waktu itu beralamat di Jl. Antasan Kecil Barat RT 26 No. 113 Banjarmasin (Kode Pos 70115). Pembentukan pengurus Al-Irsyad diberbagai cabang di Kalimantan Selatan diikuti lagi oleh cabang-cabang Al-Irsyad di kota lain, seperti Kabupaten Banjar (Martapura), Kabupaten Barito Kuala, dan lain-lain.[2]

B.     Perkembangan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Berdirinya al-Irsyad tidak dapat dipisahkan dari organisasi Jamiat Khair, karena kedatangan Syaikh Ahmad Soorkati ke Indonesia atas undangan Jamiat Khair, sebagai guru di sekolah Jamiat Khair. Rupanya keharmonisan tidak selalu seiring antara Ahmad Soorkati dengan Jamiat Khair, dengan adanya peristiwa yang dikenal dengan ‘fatwa Solo’ maka pada tanggal 6 September 1914, setelah 2 tahun mengabdi di Jamiat Khair, Soorkati mengundurkan diri, karena dirinya merasa sudah tidak lagi diperlukan.
Keluar dari Jamiat Khair, Soorkati ditampung oleh Umar Manggus, seorang pemuka masyarakat Arab di Jakarta yang bukan keturunan ‘Alawi, kemudian beliau diberi kepercayaan untuk memimpin madrasah yang didirikan oleh komunitas masyarakat Arab non-‘alawi. Madrasah tersebut diberi nama al-Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-‘Arabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan al-Irsyad. Pada tanggal 11 Agustus 1915, al-Irsyad mendapat status hukum dari pemerintah Belanda. Meskipun demikian, pihak al-Irsyad mencatat hari kelahirannya pada 6 September 1914, yang bertepatan dengan dibukanya madrasah pertama di Jati Petamburan, Jakarta.[3]
Seiring dengan kemajuan al-Irsyad, pihak ‘Alawi cemburu berat. Lalu mereka melakukan maneuver-manuver politik yang sifatnya fitnah. Bahkan, mereka pun sempat mendekati konsul Inggris, agar para anggota al-Irsyad tidak boleh memasuki wilayah jajahan Inggris. Tidak hanya itu, untuk melaksanakan ibadah haji saja, mereka dihalang-halangi, dengan berbagai cara, antara lain memberikan informasi yang tidak benar kepada pihak-pihak yang berwenang.
Pada tahun 1920, semua bentuk larangan dan hambatan yang dilakukan pemerintah Inggris terhadap jamah al-Irsyad bisa dicairkan. Upaya-upaya untuk berdamai dengan ‘Alawi pun mulai dirintis. Menyadari keadaan yang tidak juga membaik, dan demi kerukunan antar masyarakat, Soorkati mengundurkan diri dari al-Irsyad, tahun 1921.
Soorkati mundur dari al-Irsyad karena ia ingin perguruan yang dikelolanya itu maju. Agar bias maju, diperlukan beberapa persyaratan antara lain hadirnya guru-guru yang berkualitas, sistem pendidikan dan sarana penunjang. Semua itu memerlukan dana, sementara al-Irsyad sebagai ormas yang belum kuat secara finansial, belum mampu menopang keinginan Soorkati tersebut. Maka, Soorkati memutuskan untuk mundur sementara, lalu ia berdagang, dengan harapan hasil upayanay itu nantinya bias mengembangkan perguruan al-Irsyad, sebagaimana yang ia cita-citakan.[4]
      Pada tahun 1923, Soorkati merintis lembaga pendidikan diluar stuktur organisasi al-Irsyad. Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah namanya, didanai oleh para dermawan yang dekat dengan Soorkati. Walhasil, madrasah yang didirikan Soorkati berhasil dan maju pesat, sementara madrasah milik jamiah al-Irsyad, yang ditinggalkannya mengalami kemunduran. Semua madrasah al-Irsyad dimaksudkan untuk menampung atau menerima semua anak-anak Muslim bukan hanya keturunan Arab. Tidak seperti pondok pesantern yang menekankan penghafalan masalah teologi dan hokum, sekolah al-Irsyad mencoba membekali siswanya dengan ajarn Islam yang komprehensif. Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena merupakan basis dari ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim. Al-Irsyad lebih memilih karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai cara terbaik menghidupkan kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep reformasi yang dijelaskan lebar oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa revitalisasi Islam akan terjadi. Keberhasilan al-Irsyad mendapat tempat yang dihormati oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah bukti ketangguhannya mencoba menjalankan kegiatan pendidikan. Al-Irsyad berhasil mendapatkan dukungan dari dalam dan luar, yaitu masyarakat Muslim Indonesia dan reformis Mesir. Tak lama setelah madrasah al-Irsyad didirikan, kontak dengan gerakan Muslim modern yang lain menjadi lebih erat, khususnya dengan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini membentuk tahap awal pembentukan gerakan reformasi di daerah koloni. Al-Irsyad didirikan untuk menyebarkan paham modernisme Islam, organisasi ini tidak begitu peduli dengan membentuk sistem yang mencerminkan sifat penduduk asli, bahkan mencoba menghilangkan kepercayaan setempat dan tindakan yang bertolak belakang dengan ajaran aslinya. Al-Irsyad tidak mencoba menyerupai pondok pesantren yang menjadi pusat pembelajaran Muslim tradisional. Sebaliknya, Al-Irsyad berjalan bersama Muhammadiyah di Jawa dan mewakili usaha-usaha memerangi ide-ide kuno dan mendidik Muslim Indonesia cara-cara hidup modern. Dari segi pendidikan Al-Irsyad lebih memperhatikan bagaimana membekali siswa-siswanya dengan pendidikan agama, yang akan membantu mereka berhadapan dengan ide-ide reformasi. Adapun secara umum tujuan pendidikan pada sekolah-sekolah yang bernaung di bawah al-Irsyad adalah pembentukan watak, pembentukan kemauan serta latihan untuk melaksanakan kewajiban.[5]
       Dikenal sebagai cendekiawan dan intelektual Ahmad Soorkati tidak menulis banyak buku. Tetapi beliau lebih banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang ada hubungannya dengan pelaksanaan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari tulisan-tulisannya tampak Ahmad soorkati menyadari kaum Muslim di Indonesia masih sangat lemah dan ia berkeinginan menebalkan keimanan mereka. Keadaan moral, social dan intelektual juga sangat rendah, ditandai dengan adanya kebiasaan yang sangat tidak dianjurkan Islam. Melihat kondisi ini Ahmad Soorkati menyimpulkan, bahwa jalan keluarnya adalah kembali mengajarkan Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, ia berpendapat tujuan inilah yang terpenting dari semua tujuannya. Tujuan-tujuan itu dipaparkan Ahmad Soorkati dalam pengantar yang ditulisnya di al-Dhakirah :
1.      Memperlihatkan hadis-hadis yang palsu dan kisah-kisah yang direkayasa, namun dipercayai sebagai ajarn Islam oleh Muslim di Indonesia
2.      Untuk membuktikan bahwa argumentasi-argumentasi yang kontra-Islam salah dengan menggunakan dalil al-Qur’an dan hadis Nabi. Ia juga berharap dengan cara ini Muslim Indonesia akan melaksanakan rukun Islam dengan benar
3.      Untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kebajikan, sesuai untuk segala zaman dan semua Negara
4.      Untuk mendorong kaum Muslim agar mengikuti kemajuan dan tidak didekte oleh kekuasaan atau pengaruh asing.[6]

C.     Pemikiran Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif memasuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya. Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena merupakan basis dari ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim. Al-Irsyad lebih memilih karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai cara terbaik menghidupkan kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep reformasi yang dijelaskan lebar oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa revitalisasi Islam akan terjadi.[7]
Untuk itu, mereka yang menjadi anggota Al-Irsyad mesti memahami prinsip atau mabadi Al-Irsyad, yakni:
1.      Memahami ajaran Islam dari Alquran dan Sunnah serta bertahkim kepada keduanya;
2.      Beriman dengan akidah Islamiyyah yang berdasarkan nash-nash kitab Alquran dan Sunnah yang sahih sebagaimana pemahaman sahabat atau kalangan salafussalih, terutama bertauhid kepada Allah dengan ketauhidan yang bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat;
3.      Beribadat menurut tuntunan Alquran dan Sunnah Rasul-Nya, bersih dari bidah;
4.      Berakhlak dengan adab susila yang luhur, moral dan etik Islam serta menjauhi adat-istiadat, moral dan etik yang bertentangan dengan Islam;
5.      Memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi dan ukhrawi yang diridhai Allah Swt;
6.      Meningkatkan kehidupan dan pengetahuan duniawi, pribadi dan masyarakat selama tidak diharamkan oleh Islam dengan nash, serta mengambil manfaat dari segala alat dan cara teknis, organisasi, dan administrasi modern yang bermanfaat bagi pribadi dan umat, materil, moril, dan spirituil;
7.      Bergerak dan berjuang secara terampil dan dinamis dengan pengorganisasian dan koordinasi yang baik bersama-sama organisasi-organisasi lain dengan jiwa ukhuwah Islamiyyah dan kesetiaan.[8]
Perkembangan oganisasi Al-Irsyad kurang begitu pesat jika dibandingkan dengan organisasi yang lahir jauh sesudahnya seperti Muhammadiyah dan NU. Hal ini bisa dilihat karena kebanyakan para pengurus dan pendukung organisasi ini adalah dari kalangan keturunan Timur Tengah. Adanya jarak antara masyarakat keturunan Arab dgn pribumi menyebabkan sosialisasi organisasi ini kurang menyentuh atau melebar ke masyarakat pribumi.Dilihat dari pergerakan keorganisasiannya Al-Irsyad lebih cenderung penekanannya dalam bidang sosial pendidikan. Mengenai masalah perpolitikan organisasi ini cenderung bersifat netral atau kurang menyentuhnya sehingga pada hal-hal yang justru mengandung nilai perjuangan yang tinggi yaitu perjuangan untuk ummat Islam dapat menjalankan syari’atnya dgn kafah di negara RI kurang mendapat respon.
Jika dirunut, genealogi pemikiran keislaman Al Irsyad bermula dari kehadiran Ahmad Surkati di Indonesia. saat itu, surkati merasa menghadapi masyarakat yang memiliki kesamaan ciri dengan yang dihadapi Muhammad Abdul Wahab pada masanya. baik Surkati maupun Abdul Wahab sama-sama dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar dalam agama islam yakni Tauhid, kehadiran Surkati di Indonesia, khususnya dikota Solo, membuat dia merasa prihatin dengan kemurnian ajaran tauhid yang berkembang dimasyarakat. Meskipun agama islam telah berkembang cukup lama di Indonesia, namun pengaruh Hindu-Budha maupun budaya lokal masih sangat kuat, apa lagi di kota Solo yang merupakan pusat situs kerajaan besar di Indonesia, tentu persinggungan islam dengan budaya setempat masih sangat insentif. Meyikapi kondisi yang demikian, Ahmad Surkati pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan. Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab, maka terdapat kemiripan, sebagai contoh, Surkati mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut:[9]
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka menjadikan pendapat seseorang sebagai dalil agama, Surkati menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalil agama tidak diperbolehkan oleh Allah dan Rosull-Nya, para sahabat maupun para ulama terdahulu, dan merupakan bid’ah yang sesat.[10]
Kedua, meminta syafa”at. Ia mengatakan kepada orang yang sudah minta dan bertawasul dengan Mereka, Surkati menyatakan sebagai perbuatan yang munkar dan bid’ah. Meminta syafa’at kepada orang mati atau bertawasul kepada mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh Rasulullah SAW, al Khulafa’al Rasyidan ataupun oleh para Mujtahid, baik bertawasul dengan Rasul sendiri atau dengan yang lain. Selain itu, hal tersebut merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam ruang lingkup al Din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat akan masuk neraka.[11]
Ketiga, dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya, ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan ’’.Kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’. Bagi Surkati, perbuatan ini dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama, dan merupakan perbuatan bid’ah.[12]
Keempat, dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur Surkati melihatnya sebagai perbuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al Qur’an dan Hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat.[13]
Kelima, perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid Nabi Muhammad saw, bagi Surkati bukan perbuatan agama, namun demikian apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama, atau termasuk dalam ruang lingkup agama, maka perbuatan tersebut tetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.[14]
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Surkati adalah perbuatan bid’ah. Alasannya, melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati. Menurut Sukarti pula, ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari Nabi Muhammad, atau dari para sahabat, walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat. Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut. Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.[15]
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang baru ditimpah musibah kematian menurut Surkati, merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah. Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan, sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.[16]
Kedelapan, adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib lima waktu menurut Surkati, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulullah selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.[17]
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa ”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia. Deliar Noor menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain, pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.[18]

D.    Metode dan Pendekatan oleh Ahmad Surkati dalam Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Pendekatan yang dilakukan oleh Ahmad Surkati adalah memperhatikan muridnya dari segi budi pekerti dan intelektual, pemikiran yang mampu diterima oleh muridnya, menggunakan pendekatan rasional dalam pembelajaran, personal psikologis dan konseling dalam memahami minat, bakat dan kemampuan siswanya.
Metode yang digunakan oleh Ahmad Surkati adalah diskusi, praktek, ceramah, keteladanan. Ahmad Surkati mengatakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman dan pengertian yang luas dalam menafsirakan Al-Quran seorang mufassir hendaknya pertama, menguasai berbagai ilmu, ilmu agama Islam maupun ilmu-ilmu umum lainnya. Kedua, menggunakan pendekatan ma’thur yaitu memahami dan menafsirkan Al-Quran berdasarkan keterangan Al-Quran dan Hadits. Ketiga, pendekatan tauhid.
Kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Ahmad Surkati adalah pakar pendidikan berbagai bidang beberapa disiplin ilmu. Hal ini dapat ditilik dari konsep-konsep yang lebih bersifat aplikatif dan berdaya guna Qur’an dan Hadits. Dan juga sebagai jawaban serta penjelasan dari berbagai bentuk pertanyaan yang diajukan padanya.
Di antara karya-karya Ahmad Surkati itu ada yang berbentuk buku dan risalah, ada pula yang berbentuk artikel di majalah dan surat kabar. Karya itu baik yang sudah diterbitkan dalam bahasa aslinya (bahasa Arab), yang telah diterjemahkan, atau yang belum sempat dicetak dan berbentuk tulisan tangan yang disimpan murid-muridnya di Al-Irsyad, antara lain:
1.      Risalah Surat al-Jawab (1915); risalah ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto, yang kala itu sebagai pimpinan redakis surat kabar Suluh Hindia, seputar permasalahan kafa’ah.
2.      Risalah Tawjih Al-Qur’an ila Adab Al-Qur’an (1917); merupakan risalah yang berisikan argumentasi pada Surat al-Jawab yang dikaji berdasarkan catatan sejarah Nabi serta dikuatkan oleh dalil-dalil dari Alquran dan hadis.
3.      Al-Dzakirah Al-Islamiyah (1923); majalah bulanan yang diterbitkan oleh Ahmad Surkati sendiri dengan dibantu oleh beberapa anggota sebagai staf redaksi.
4.      Al-Masail At-Thalat (1925); berisikan pembahasan seputar pemurnian ajaran Islam yang mencakup Ijtihad, Taqlid, Sunnah dan Bid’ah, serta tentang ziarah kubur dan tawashul melalui para Nabi dan orang-orang yang dipandang shaleh.
5.      Al-Wasiyyat Al-Amiriyyah (1918); Sebuah buku yang diterbitkan di Surabaya yang berisikan anjuran untuk berbuat kebajikan.
6.      Zedeleer Uit Den Qor’an (1932); Buku ini merupakan buku terjemahan ke dalam bahasa Belanda. Adapun buku aslinya adalah Al-Adab al-Qur’aniyah.
7.      Al-Khawatir Al-Hisan (1941); Buku yang berisikan kumpulan sajak yang dibuat oleh Ahmad Surkati di masa tuanya, dimana kala itu dia mengalami penyakit mata hingga menyebabkannya buta.[19]

E.     Tokoh-tokoh Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Kedatangan Surkati di pulau Jawa bulan Maret 1911 ternyata kemudian menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia yaitu sejarah pekembangan faham pembaharuan Islam di Indonesia terutama karena kegiatannya yang suka bergelut dalam bidang pendidikan ketimbang keorganisasian Al-Irsyad itu sendiri. Pada saat Ahmad Surkati mengujungi sahabatnya Awad Sungkar Al-Urmei di Solo tahun 1912 dalam perjalanannnya bertemu dengan tokoh pribumi yang sedang asyik membaca majalah Almanar dan mengaguminya karena kemampuannya membaca bahasa Arab. Di samping itu memang karena jalan pikirannya yang sama tentang pemahaman pemurnian aqidah sehingga keduanya menjadi akrab. Dalam pertemuan dan perkenalannya inilah terjadi tukar pikiran antara keduanya sampai pada kesimpulan yang mengandung tekad mereka berdua untuk sama-sama mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia.
Pada waktunya di kemudian berkembang pesatlah organisasi pembaharu yang menjadi terkenal dan besar di Indonesia hingga saat ini yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah dan kemudian menyusul pada tahun 1912 berdiri Muhamadiyah oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dan pada tahun 1923 berdiri pula organisasi yang sepaham yaitu Persatuan Islam di Bandung.[20]
Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yang disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tercatat pengurus pertamanya adalah
a.       Salim bin Awad Balweel sebagai ketua.
b.      Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris.
c.       Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
d.      Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal pada hari Selasa tanggal 19 Syawwal /31 Agustus 1915 telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam rapat itu diputuskan susunan pengurus untuk kepentingan intern. Pengurus ini dilengkapi dengan 19 orang sebagai komisaris yang berkewajiban mengawasi jalannya perhimpunan dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya yaitu:
a.       Ja’far bin Umar Balfas.
b.      Abdullah bin Ali Balfas.
c.       Abdullah bin Salmin bin Mahri.
d.      Abdullah bin Abdulqadir Harharah.
e.       Sulaiman bin Naji.
f.       Ahmad bin Thalib.
g.      Muhammad bin Said Aluwaini.
h.      Ali bin Abdullah bin ‘On.
i.        Mubarak bin Said Balwel.
j.        Awad bin Said bin Eili.
k.      Said bin Abdullah Basalamah.
l.        Awad bin Ja’far bin Mar’ie.
m.    Salim bin Abdullah bin Musa’ad.
n.      Said bin Salim bin Hariz.
o.      Aid bin Muhammad Balweel.
p.      Abud bin Muhammad bin Al-Bin Said.
q.      Ghalib bin Said bin Thebe’.
r.        ‘Abid bin Awad Al-’Uwaini dan
s.       Mubarak Ja’far bin Said.
t.        Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas.[21]
Selain itu terdapat tokoh-tokoh terhormat dan terpercaya lainnya yang juga tidak masuk dalam kepengurusan seperti Sayyid Abdullah bin Abudakar Al-Habsyi Sayyid Abdullah bin Salim Alatas dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya, tokoh tokoh tersebut tercatat sebagai lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di berbagai bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme Islam di Indonesia antara lain:


1.      Yunus Anis:
Alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki “tulang punggung Muhammadiyah” karena pengabdiannya sebagai sekretaris jenderal di organisasi tersebut selama 25 tahun.

2.      Prof. Dr. T.M. Hasby As-Shiddique:
Putera asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir, dan fikih Islam moderen. Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup).

3.      Prof. Kahar Muzakkir:
Berasal dari Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo. Ia sangat aktif berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

4.      Muhammad Rasjidi:
Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Ia pernah menjadi professor di McGill University di Montreal, Kanada, dan juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya menulis banyak buku.

5.      Prof. Farid Ma’ruf:
Asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini sempat menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.


6.      Al-Ustadz Umar Hubeis:
Jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia juga menjadi professor di Universitas Airlangga, Surabaya. Semasa ia hidupnya beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih. Yang terkenal adalah Kitab FATAWA.

7.      Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani:
Lulusan Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi professor di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di kalangan cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin (cendekiawan terkemuka di bidang hukum Islam dari Al-Irsyad). Sayang kebanyakan bukunya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab, belum diterjemahkan.

8.      Abdurrahman Baswedan:
Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan RI. Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000), yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000, terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys Amar SH yang telah menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000). Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen anggota masing-masing. Yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang tengah menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan ahli).[22]


F.      Kemunduran Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Namun perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun drastic dengan sebab sebagai berikut:
1.      Masuknya pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia
2.      Meninggalnya Syekh Ahmad Surkati pada 1943
3.      Revolusi fisik sejak 1945
4.      Banyak sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas laskar pejuang kemerdekaan
5.      Beberapa gedung milik Al-Irsyad yang dirampas Belanda berpindah tangan, tanpa bisa diambi l lagi oleh Al-Irsyad.[23]








DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Thaba dan Affan Ghaffar.1996.Dalam Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insai Press.
Hasjmy, A.1981.Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.Bandung: Al-Maarif.
Madjid, Nurcholis.1992.Islam Doktrin dan Peradaban.Jakarta: Paramadina.
Gottschalk, Louis.1985.Mengerti Sejarah.Terj Nugroho Notosusanto.Jakarta: Gramedia.
Mohammad, Herry.2006.Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20.Jakarta: Gema Insani.
Azyumardi, Azra.1999.Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Cet. 1..Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Dewan Ensiklopedi Islam.1993.Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
www.alirsyad.org.
www.torehanseorangguru.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015.
www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015.
www.muhtarom84.blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015.
www.istanailmu.com/archives-2011/inovasi-pendidikan-islam-al-irsyad/html.Di Akses Pada Tanggal 3Desember 2015.
www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015.



[1]  Abdul Aziz Thaba dan Affan Ghaffar, Dalam Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insai Press,1996),h.58
[2] A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Maarif,1981),h.37
[3] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,1992),h.18
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Gramedia,1985),h.24
[5] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Gramedia,1985),h.25
[6] www.torehanseorangguru.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
[7] www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
[8] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Gramedia,1985),h.27
[9] www.muhtarom84.blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015
[10] Azra Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Cet. 1., (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.25
[11] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.25
[12] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.26
[13] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.26
[14] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.27
[15] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.28
[16] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.28
[17] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.29
[18] Azra Azyumardi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999),h.30
[19] www.istanailmu.com/archives-2011/inovasi-pendidikan-islam-al-irsyad/html. Di Akses Pada Tanggal 3Desember 2015.
[20] Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani,2006),h.48
[21]www.alirsyad.org
[22] Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I.,(Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993),h.17
[23] www.Taskmasaialfiqh.Blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 3 Desember 2015



No comments:

Post a Comment