Wednesday 6 April 2016

SOAL POLITIK HUKUM

===== SOAL POLITIK HUKUM =====

1)      Sebutkan ciri-ciri politik hukum Orde Baru dan Orde Reformasi? Jelaskan perbedaan antara keduannya?

2)      Apa yang saudara ketahui tentang Otonomi Daerah, jelaskan asas-asas Otonomi Daerah dan mengapa pemerintah Orde Reformasi melaksanakan Otonomi Daerah tersebut?

3)      Apa persamaan dan perbedaan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dan PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional), jelaskan Politik Hukum yang terkandung didalamnya?

4)      Apa yang saudara ketahui tentang hukum responsive, progresif dan represif (tangan besi), jelaskan ciri-cirinya?

5)      Jelaskan Politik Hukum Fatwa DSN dalam tata hukum Indonesia?


====================== JAWABAN ======================


1) Terkait dengan ciri-ciri politik hukum orde baru adalah sebagai berikut:

a.       Bidang Politik

1.      Lembaga kepresidenan terlalu dominan
2.      Rendahnya kesetaraan diantara lembaga tinggi negara.
3.      Rekruitmen politik yang tertutup
4.      Birokrasi sebagai instrumen kekuasaan.
5.      Kebijakan publik yang tidak transparan.
6.      Sentralisasi kekuasaan.
7.      Implementasi hak asasi yang masih rendah.

b.      Bidang ekonomi

1.      Kebijakan mengutamakan pertumbuhan ekonomi.
2.      Pinjaman luar negeri.
3.      Konglomerasi.Dwi fungsi ABRI
4.      Politik Luar Negeri yang bebas aktif

Sedangkan ciri-ciri dari masa reformasi adalah sebagai berikut:

1.      Mengutamakan musyawarah mufakat.
2.      Mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
3.      Tidak memaksakan kehendak pada orang lain.
4.      Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5.      Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil musyawarah.
6.      Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur.
7.      Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Than Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
8.      Penegakan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya masyarakat.
9.      Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
10.  Penghormatan kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai.
11.  Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia.

Sedangkan terkait dengan perbedaan politik hukum antara orde baru dengan orde lama salah satunya yaitu terkait dengan tujuan politik hukumnya, politik hukum pada masa orde baru memiliki kecenderungan untuk membawa hukum kuat ke arah liberalisasi dan Kapitalisasi sistem ekonomi Indonesia. Titik berat arah politik hukum yang diambil pemerintah saat itu adalah pembangunan nasional. Pembangunan nasional ini dimaknai sebagai pembentukan TRILOGI yakni stabilitas nasional yang mantab, Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan Pemerataan hasil-hasil Pembangunan. Oleh sebab itu maka konsekwensi logis dari Trilogi Pembangunan ini adalah Kekuasaan Orde Baru yang dengan efisien dan efektif digunakan mengendalikan kekuasaan politik di legislatif, kekuasaan birokrasi di eksekutif, maupun kekuasaan hukum di yudikatif dan seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada masa orde baru, visi dan konsep otonomi daerah lebih terfokus pada pembangunan ekonomi nasional yang menekankan stabilitas, integrasi dan pengendalian secara sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Sehingga konsep pemerintahan daerah menjadi sentralistik dimana daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan politik hukum pada masa reformasi saat ini, pemerintah lebih memfokuskan sistem otonomi daerah yang pada hakekatnya merupakan kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tangung jawab. Ketergantungan daerah pada pemerintah pusat, yang disebabkan konsep tersebut diatas (orde baru), membuat daerah menjadi tidak kreatif dalam menghadapi permasalahan yang timbul khususnya dalam hal krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Untuk itu terjadi perubahan paradigma dalam UU pemerintahan daerah dari paradigma pembangunan ke paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik. Pemerintah yang berkuasa pasca jatuhnya orde baru (masa reformasi) membentuk UU pemerintah daerah dengan visi dan konsep yang berbeda dengan pemerintah orde baru, yaitu dengan disahkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang hubungan keuangan pusat dan daerah. Menurut Ryas Rasyid, ada 3 hal yang menjadi visi dalam UU no 22 tahun 1999 tersebut, yaitu:

a.       Membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya.
b.      Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional.
c.       Daerah bisa lebih berdaya dan kreatif

Visi tersebut kemudian dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama sebagai berikut:

a.       Di bidang politik, karena otonomi merupakan buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dibuka kemungkinan adanya peluang untuk lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, terpeliharanya mekanisme pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, adanya transparansi kebijakan, pembangunan struktur pemerintahan yang sesuia dengan kebutuhan daerah, pembangunan sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta pengembangan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
b.      Di bidang ekonomi, menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus memberi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah.
c.       Di bidang sosial dan budaya, membangun harmoni sosial sekaligus memelihara nilai-nilai local yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

Dan perbedaan lainnya yaitu terkait dengan kebijakan politik hukum yang paling terlihat yaitu setelah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999 bahwasannya kekuasaan legislatif yang semakin kuat (legislative heavy). Hal ini sangat bertolak belakang dengan pelaksanaan yang terjadi pada masa orde baru, dimana pada masa itu kekuasaan eksekutif yang sangat kuat (eksekutive heavy).



2) Otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandiran daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri. Sedangkan menurut sarun dajang menyatakan bahwa otonomi daerah  pada hakikatnya adalah :

a.       Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah.
b.      Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya.
c.       Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.
d.      Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Selanjutnya terkait dengan asas-asas pelaksanaan otonomi daerah terdapat tiga macam yaitu:
a.       Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal, diantaranya: (1)desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.
b.      Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian,kehadiran dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan Pemerintahan sentral di daerah. Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayahnya. (UU No. 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 8).
c.       Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari Pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Menurut Irawan Soejito tugas pembantuan itu dapat berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Sebelum menjelaskan tentang mengapa pemerintah orde reformasi melaksanakan otonomi daerah? Akan penulis jelaskan latar belakang sejarah lahirnya otonomi daerah. Sebenarnya pelaksanaan otonomi daerah mulai bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan pemerintahan Orde Baru (OB) menjalankan mesin sentralistiknya. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Atas dasar itulah yang mendorong masyarakat tidak menyukai sistem sentralistik yang diterapkan pemerintah. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang. Selanjutnya terkait pertanyaan mengapa pemerintahan orde reformasi melaksanakan otonomi daerah? Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan pemerintah diantaranya sebagai berikut:

1.      Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “sapi perahan” pemerintah pusat. Mereka lebih banyak dibebani kewajiban-kewajiban untuk menyetorkan segala potensi kekayaan alamnya ke pusat tanpa reserve, disisi lain hak-hak daerah untuk mendapatkan kue bagi pembangunan sering terabaikan.
2.      Tradisi sentralistik kekuasaan melahirkan ketimpangan antara pembangunan di pusat dan daerah, sehingga pemicu ketidakadilan dan ketidaksejahteraan di berbagai daerah, terutama yang jauh dari jangkauan pusat. Daerah yang kaya sumber daya alam tak menjamin rakyatnya sejahtera karena sumber kekayaannya disedot oleh pusat. Seperti Aceh yang memiliki potensi gas alam terbesar di dunia, rakyatnya hanya gigit jari ditengah riuhnya eksplorasi gas oleh Exxon Mobile. Rakyat Papua juga merana ditengah gelimpangan emas yang digali Freeport yang hanya meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan.
3.      Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah. Misalnya menerapkan regulasi yang ketat sehingga mematikan kreatifitas daerah dalam membangun. Budaya minta petunjuk ke pusat tertanam kuat sehingga proses pembangunan di daerah berjalan lamban dan kepengurusan kepentingan rakyat terabaikan.
4.      Otonomi diharapkan menjadi freedom atas tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebagai ekspresi ketidakpercayaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Atas daerah buruknya penerapan sistem pemerintahan sentralistik diatas itulah maka otonomi daerah diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat.


3) Terkait dengan perbedaan antara Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan Program Legislasi Nasional (Prolrgnas) yaitu kalau GBHN dapat diberi pengertian sebagai pola umum pembangunan nasional, yaitu rangkaian program-program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, yang berlangsung secara terus-menerus. Rangkaian program-program pembangunan yang terus-menerus itu dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti. termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Program-program itu pada hakikatnya adalah pernyataan kehendak rakyat tentang masyarakat yang dicita-citakan. Dapat juga dikatakan bahwa GBHN tidak lain adalah arah dan strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang dicita-citakan. GBHN menggariskan kebijaksanaan, langkah dan sasaran-sasaran untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Selanjutnya fungsi GBHN adalah sebagai haluan ke arah mana pembangunan nasional ditujukan, dan sebagai alat untuk mencitra masa depan negara. GBHN juga berfungsi sebagai ethos pembangunan nasional. Ethos adalah tata perilaku, ethos pembangunan nasional berarti tata perilaku bagaimana pembangunan nasional harus dilaksanakan. Sedangkan Prolegnas menurut UU No. 12 Tahun 2011 adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Atau menurut Moh Mahfud M.D menyatakan bahwa Prolegnas adalah instrumen perencanaan pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis yang memuat potret rencana hukum dalam periode tertentu disertai prosedur yang harus ditempuh dalam pembentukannya. Selanjutnya terkait fungsi dari Prolegnas yaitu sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang bertujuan agar adanya suatu perencanaan yang matang dan mendalam dalam pembentukan undang-undang, sehingga undang-undang yang dihasilkan kemudian adalah undang-undang yang berkualitas, sinkron dengan peraturan lainnya, serta efektif dalam pelaksanaannya. Proses penyusunanpun juga berbeda, kalau prolegnas terdapat beberapa tahapan yaitu, pertama tahap kompilasi dan konsep Rencana Legislasi Nasional (Relegnas), kedua tahap klasifikasi dan sinkronisasi Relegnas, ketiga tahap konsultasi dan komunikasi, keempat tahap penyusunan naskah, dan yang kelima tahap koordinasi dan penetapan Prolegnas. Sehingga penyusunan GBHN Prolegnas kadang-kadang terdapat unsur politik lebih kuat untuk kepentingan penyokong politik untuk mempertahankan kepentingan serta kekuasaannya. Sedangkan dalam menyusun GBHN nyata sekali adanya partisipasi rakyat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lembaga-lembaga pendidikan dan, kelompok atau orang-orang professional, mereka ada yang diminta dan atas kemauan sendiri menyampaikan sumbangannya. Peranan pers juga Nampak, dengan demikian nyata bahwa GBHN memang berasal dari rakyat sebagai perwujudan dari asas demokrasi, nilai demokrasi sungguh nampak dalam proses penyusunan GBHN tersebut, karena itu dalam masa yang akan datang partisipasi rakyat dalam penyusunan GBHN perlu diteruskan dan ditingkatkan. Selanjutnya terkait dengan persamaan antara GBHN dengan Prolegnas, bahwasannya kedua program pemerintah ini sama-sama sebagai rencana dan sarana untuk memprogramkan keinginan-keinginan pemerintah dimasa yang akan datang jika GBHN yaitu arah dan strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang dicita-citakan, sedangkan Prolegnas lebih kepada instrumen perencanaan pembentukan perundang-undangan.


4) a. Hukum responsive adalah hukum sebagai suatu sarana respon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Hukum responsive memiliki ciri-ciri yaitu:

a)Tujuan hukum berdasarkan kompetensi
b)            keadilan substansi yang dicari
c)Aturan hukum tunduk pada prinsip/asas/doktrin dan kebijaksanaan
d)           Aspirasi hukum dan politik saling terintegrasi

b. Selanjutnya terkait dengan pengertian hukum progesif adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia, atau secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. ciri-cirinya yaitu:

1.      Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
2.      Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3.      Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4.      Bersifat kritis dan fungsional.

c. Sedangkan hukum represif adalah dimana hukum sebagai alat kekuasaan dari pemerintah  untuk menindas. Hukum represif memiliki ciri-ciri yaitu:
a.       Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo penguasa, kerapkali dikemukakan dengan dalih untuk menjamin ketertiban
b.      Aturan-aturan hukum represif keras dan terperinci, akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuat peraturan sendiri.
c.       Hukum tunduk pada politik kekuasaan.


5) Terkait dengan politik hukum fatwa (DNS) dalam tata hukum Indonesia menurut penulis bahwasannya, dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Untuk itu baik itu DSN maupun lembaga lainnya juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Dalam konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia, termasuk fatwa DSN dan lembaga lainnya.

Lahirnya fatwa hukum DSN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks sosial politik itu terjadi. Fatwa DSN ini disamping merupakan produk politik juga merupakan suatu kebutuhan masyarakat, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Islam. Lucu kiranya apabila dinegara yang mayoritas Islam ini akan tetapi didalam perundangan-undangannya tidak ada hukum Islamnya, karena hukum tercipta dari perilaku baik sosial dan kebiasaan masyarakat yang dilakukannya. Oleh karena itu tidak salah kalau pemerintah mengeluarkan fatwa ini sebagai penunjang kebutuhan hukum masyarakat Islam pada khususnya dan bagi seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Selanjutnya terkait dengan kedudukan fatwa dalam tata hukum di Indonesia bahwa dalam realitanya sebagian besar hakim agama dan arbiter Basyarnas seringkali tak menjadikan fatwa DSN sebagai dasar pertimbangan karena fatwa DSN bersifat tak mengikat seperti halnya Al-Qur’an, Hadits, dan peraturan perundang-undangan, para hakim agama dan arbiter tak melihat keterkaitan antara fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan, tetapi lebih melihat kedudukan fatwa itu sendiri yang bukan dianggap sebagai sumber hukum Islam yang utama. Akan tetapi menurut penulis Fatwa DSN bersifat mengikat, dikarenakan dalam perkembangannya, pemerintah dalam hal ini yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan atau Bapepam LK, seringkali melibatkan DSN dalam menyusun peraturan. Misalnya, Keputusan Menkeu, Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan Ketua Bapepam LK. DSN kerap diminta membuat fatwa terlebih dahulu ketika pemerintah akan membuat aturan. Dengan demikian, fatwa DSN-MUI menjadi pedoman atau dasar keberlakuan kegiatan ekonomi syariah tertentu bagi pemerintah dan LKS. Jadi fatwa DSN itu bersifat mengikat karena diserap ke dalam peraturan perundang-undangan, terlebih lagi adanya keterikatan antara DPS dan DSN karena anggota DPS direkomendasikan oleh DSN, keterikatan itu juga ketika melakukan tugas pengawasan, DPS harus merujuk pada fatwa DSN.

1 comment: