Wednesday 6 April 2016

PEMIKIRAN ABU UBAID

PEMIKIRAN ABU UBAID




PEMBAHASAN

A.    Latar sosial akademik Abu Ubaid (Riwayat kehidupan serta riwayat pendidikan Abu Ubaid)
      Abu Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya, ia meninggal pada tahun 224 H. Pada usia 20 tahun, Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak dalam satu bidang  pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.[1]
      Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M).
      Gottschalk memaparkan bahwasannya dari segi latar belakang kehidupannya, Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa kehidupannya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak menguasai bahasa tersebut. Gottschalk mengemukakan bahwasannya, pemikiran Abu Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman Ibn Amr al Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
     Adiwarman menyebutkan bahwa Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, umpan-balik dari teori sosio-ekonomi Islami, yang berakar dari ajaraAl-Quran dan Hadits, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
      Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan bahwa Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu). Sedangkan menurut Ibnu Rohubah, "Kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara aku.[2]
      Dari pendapat-pendapat diatas menurut kami bahwasannya beliau yaitu Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya, menurut pengamatan kami beliau hidup semasa dengan para Imam besar seperti Syafi'i dan Ahmad bin Hambal, hal ini membuat Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid yang mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu melainkan bisa jadi campuran.
      Awal pemikirannya dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari Kitab al-kharaj dari sisi kelengkapan hadist serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi 'in dan tabi' at-tabi’in. Abu Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) dari pada membicarakan syarat-syarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika dari pada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.[3]
      Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio atau nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
      Terdapat tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahman ar-Ramharmudzi bahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abu Ubaid dan asy-Syafi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, dan bahkan kadangkala Abu Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi’i tanpa menyebut nama, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka.[4]
      Menurut kami bahwasannya abu ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai ilmu hal tersebut membuat beberapa ulama seperti Syafi'i dan Hambali mengklaim bahwa Abu Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka, akan tetapi beliau yaitu abu ubaid sangat sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi'i dan lainnya, beliau (Abu Ubaid) juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf serta Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.

B.     Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

1.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kesejahtraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak kepada kepentingan publik. Abu Ubaid  menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung  kepada para penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan  atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.[5]
Dengan kata lain, perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tentang tarif atau persentasi untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-Muslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian. Abu Ubaid menekankan kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur, atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakat, dan dilain sisi masyarakat agar memenuhi kewajiban  finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau  favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).[6]
2.      Dikotomi Badui-Urban
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi  pendapatan  fai.  Abu  ubaid  menegaskan  bahwa,  kaum  badui  bertentangan dengan kaum urban (perkotaan). Demikianlah adalah apa–apa yang dilakukan oleh kaum urban:
a.       Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
b.      Memelihara  dan  memperkuat  pertahanan  sipil  melalui  mobilisasi  jiwa  dan harta mereka.
c.       Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui proses belajar-mengajar al- Qur’an dan sunnah serta penyebaran keunggulannya.
d.      Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
e.       Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah Singkatnya, disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan cinta.[7]
Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fa’i seperti kaum urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan. Fa’i hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat dan kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fa’i yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan tunjangan. Dari semua ini Abu Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar penghargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden.[8]
Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abu Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warga negara.[9]

      3.  Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
     Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.  Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima (tanah pribadi), pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.[10]
      Tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja. Setelah itu, jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanah pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.[11]
Adapun hukum-hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
a.       Iqtha',
Yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala negara. Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki orang Islam maupun kafir. Umar ra mengirim surat kepada Abu Musa, “Jika tanah itu bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-’iqtha tanah itu baginya”. Di sini jelas bahwa ‘iqtha itu terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah, jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada kepala Negara. Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasullah meng-’iqtha-kan tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah ‘iqtha-kan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasullah meng-’iqtha-kan kepada Zubair. Dari Muhammad bin Ubaidillah as-Tsaqafi keluar, disebutkan orang Nafi’ Abu Abdillah. Ia berkata kepada Umar ra, “Sebelum kami memiliki tanah di Basrah yang tidak termasuk tanah kharaj dan tidak merugikan seseorang dari kaum muslimin. Jika engkau memandang perlu meng-’iqtha-kan, maka aku lakukan, aku hanya mengambil satu petakan untuk perlu meng-’iqtha-kan, maka lakukanlah, aku hanya mengambil satu petakan untuk kudaku saja”. Lalu Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Jika tanah itu seperti yang diceritakan maka petakanlah baginya.”
Dari penjelasan di atas, mengenai ‘iqtha hendaknya pemerintah menurut Abu Ubaid tidak meng-’iqtha tanah  kharaj. Alasannya karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif memberikan hasil dan menambah devisa negara. Dan di sisi lain dengan mempetakan tanah bukan kharaj dapat memberikan manfaat untuk bagi para pengembalaan hewan ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama pentingnya dengan masalah pertanian.[12]
b.      Ihya' al-Mawat
Yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
Mengenai ihya al-Mawat ini, Abu Ubaid membagi menjadi tiga macam:
1.      Seseorang datang ke tanah tersebut lalu mengelola dan mendiaminya, kemudian datang orang lain yang mempebaharui tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang itu disebut al-irrqi al-Zhalim, yaitu perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin memilikinya. Adapun yang berhak atas tanah itu adalah yang mengelola lebih awal, seperti hadis riwayat Abu Hisyam, Rasullah saw bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zhalim”.

2.      Kepala negara meng-’iqtha-kan kepada seseorang tanah mati dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha’, kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan mendiaminya sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini tidak ada yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang telah memperoleh tanah iqtha’ pada masa Rasullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada masa kekhalifahan Umar ra, dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata, “Kalau bukan ‘iqtha dari Rasullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”.

3.      Jika seseorang membangun tembok tanah apakah dengan ‘iqtha dari pemerintah atau tidak kemudian meninggalkannya pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata, “Pada sebagian hadist dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain utnuk mendiami tempat tersebut”.   Maka dari ketentuan Umar ini mengandung arti, jika telah melewati masa tiga tahun dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang memutuskan dan dibolehkan bagi kepala Negara untuk menyerahkan kepala yang lain, yang mampu dan bisa menempatinya.[13]

c.       Hima (perlindungan)
Yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.
Dari penjelaan yang telah dipaparkan diatas kami dapat analisa atau disimpulkan bahwasannya, Abu ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal ini kepemilikan menurut pemikiran Abu Ubaid adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan  bahwa  kebijakan  pemerintahan, seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa. Bahkan tanah gurun yang termasuk hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama. Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber  daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima (taman pribadi), seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[14]

4.      Reformasi distribusi zakat
Bahwasannya Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cendrung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
a.       Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
b.      Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.       Kalangan menerima zakat Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui  zakat, secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip ”bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”.
Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, dia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.[15]
Abu Ubaid menjelaskan berkaitan dengan pengumpulan zakat, hak pemerintah untuk melaksanakan kekuatan politisnya, bagaimanapun juga, hanya terbatas pada bentuk kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan tidak pada kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana pemerintah bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik zakat yang pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai menghilang secara perlahan namun pasti. Pada saat ini, banyak umat muslim yang tidak membayarkan zakatnya kepada pemerintah atau pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal tersebut telah terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat itu, umat muslim mulai berselisih pendapat perihal pembayaran zakat kepada pemerintah. Sebagian ada yang tetap membayarkannya kepada pemerintah dan sebagian lainnya membagikannya sendiri kepada para mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal halaman 562, Abu Ubaid meriwayatkan:

عن إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن ابن يسرين قال : كانت الصدقة ترفع أو تدفع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، أو من أمر به، وإلى أبي بكر أو من أمر به، أو إلى عمر، أو من أمر به، وإلى عثمان أو من أمر به، فلما قتل عثمان اختلفوا، فكان منهم من يدفها إليهم، ومنهم من يقسمها وكان ممن يدفعها اليهم ابن عمر.

Artinya: Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar bin Khattab atau kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar bin Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman bin Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.[16]
     Dalam karyanya Kitab al-Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara (pemerintah), yakni fa’i, khums dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat. Setelah khalifah keempat, situasi diperburuk oleh berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembayaran zakat kepada pemerintah, Abu Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab Al-Amwal dengan judul “Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama tentang Masalah ini.” Dalam hal ini Ibn Umar dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu’awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.[17]
     Pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang (pembayaran) zakat. Dia menjawab, “Bayarkan kepada pengumpul zakat (‘umal)”, tetapi mereka menjawab “Kadang orang-orang Syam (yakni pendukung Mua’wiyah) berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni pendukung Ali) berkuasa.” Dia (yakni Ibn Umar) menjawab: “Bayarkan kepada mayoritasnya”.
       Namun dalam kasus lain, mengutip pendapat Abu Ubaid dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar memberikan jawaban yang berbeda pula perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
      Saya berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya: “Apakah kami harus membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk untuk kami (‘ummalina). Dia (Ibn Umar menjawab: “Ya”. Kemudian dia (orang yang bertanya itu) mengatakan: “Para kolektor yang ditunjuk untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan:“Ziyad (bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim (untuk mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab: “Jangan membayarkan zakatmu kepada non-Muslim”.
       Pada awalnya Ibn Umar secara tegas menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.[18]
      Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkannya. Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus, sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai. Pola dan sistem pengelolaan zakat pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, pengdilakukan dengan menunjuk seorang utusan yang dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada suatu suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’az bin bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu’az disamping sebagai seorang da’i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.[19]
      Abu Ubaid dalam karyanya Kitab Al-Amwal halaman 493, menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan praktek penarikan zakat pada masa Rasulullah saw. Abu Ubaid menyebutkan:
حدثنا أبو الأسود عن ابن لهيعة عن خَالد بن يزيد عن يحيى بن عبد الله بن صيفي عن أبي معبد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ، حين بعثه إلى اليمن قال إنيى أبعثك إلى أهل كتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله. فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم صدقة أموالهم . فإن أقرّوا بذلك فخذ مهم واتق كرائم أموالهم، وإياك ودعوة المظلوم، فإنه ليس لها دون الله حجاب.

      Sedangkan dalam riwayat lain, Abu Ubaid mengutip pada halaman 493:

فأعلم أن الله قد افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.

       Dalam hadits yang dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah, akan tetapi ia (Mu’az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).[20]
       Kata “تؤخذ” (tu`khadzu) pada hadits di atas berarti “diambil”, hal ini menegaskan kembali bahwasanya zakat itu tidak dibayarkan akan tetapi diambil dari para muslim yang tergolong wajib zakat (kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman). Sedangkan pada kata “فترد” (fa turaddu) yang berarti “lalu dikembalikan”, hal tersebut menerangkan bahwa zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya) di antara mereka (penduduk Yaman) disalurkan atau didistribusikan kembali kepada golongan fakir-miskin di antara mereka (penduduk Yaman) pula.
       Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat.
      Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, seperti yang dikutip dari kitab al-Amwal pada halaman 596 yaitu:
     Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar,tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.
     Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.[21]
      Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.Terkait dengan pertimbangan kebutahan, bahwasannya Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.[22]
       Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio-ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam. Terkait dengan relevansinya di Indonesia pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang zakat adalah penerapan dan pengelolaan zakat yang diprakteknya pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa tersebut adalah adanya peran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik dalam pengelolaan zakat, pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan publik, dan pola distribusi zakat. Secara prinsip pengelolaan zakat pada masa tersebut dapat diaplikasikan pada masa kini, khususnya pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan zakat merupakan peran pemerintah dalam hal menjamin pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi diperlukan beberapa perbaikan dan penyelarasan, serta pengawasan dalam praktek zakat di lapangan. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, diharapkan pola dan sistem pengelolaan zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian umat muslim yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi sekaligus masalah buat kita. Dengan jumlah yang cukup besar, umat muslim di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembayaran zakat. Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, tentunya sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia tidak pernah luput dari permasalahan-permasalahan yang pada umumnya dialami oleh negara berkembang, yaitu masalah kemiskinan.[23]
      Sebagai negara demokrasi, pemerintah telah dengan serius memperhatikan kebutuhan-kebutuhan umat muslim Indonesia dan memfasilitasi beberapa kebijakan dalam rangka memberikan kemudahan atas pelaksanaan ajaran agama Islam. Di antara kebijakan tersebut adalah kebijakan tentang zakat yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 581 Th. 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 Th. 1999 tersebut. Undang-undang tersebut dirancang sebagai upaya perbaikan pengelolaan zakat di Indonesia.
      Dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan zakat, tugas dan tanggung jawab pemerintah tidak otomatis hilang. Pemerintah diharapkan dengan aktif mengontrol dan memberikan peringatan bagi lembaga-lembaga zakat yang tidak mengelola zakat dengan baik. Meskipun undang-undang telah dibuat, permasalahan tentang pengelolaan zakat, khususnya lembaga-lembaga pengelola zakat masih akan timbul, seperti persaingan antara Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berbasis lembaga swadaya masyarakat dan lembaga yang dibentuk pemerintah Badan Amil Zakat (BAZ). Permasalahan lain yang adalah sistem pengelolaan yang kurang professional dan transparan. Akibatnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga zakat berkurang dan akhirnya akan menimbulkan penyaluran zakat secara individual atau langsung tanpa perantara lembaga zakat. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap distribusi zakat yang tumpang tindih, di mana pembagian zakat kepada para mustahiq tidak merata dan tepat sasaran. Tidak merata dan tidak tepat sasaran artinya akan terdapat mustahiq yang tidak mendapatkan bagian dari zakat, atau bahkan ada mustahiq yang mendapatkan zakat dari dua sumber yang berbeda pada waktu yang bersamaan.[24] Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, diperlukan peran pemerintah dalam penertiban lembaga-lembaga zakat yang ada di Indonesia. Penertiban dapat dilakukan dalam beberapa aspek, diantaranya adalah aspek manajemen, laporan penghimpunan dan penyaluran, akuntabilitas laporan, wilayah operasi lembaga dan koordinasi diantara lembaga-lembaga zakat. Penghimpunan zakat di Indonesia sangat bergantung kepada tingkat kesadaran umat muslim dalam membayar zakat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi dari lembaga zakat untuk membangun kesadaran dari umat muslim. Di antara strategi tersebut adalah membentuk kepercayaan umat muslim untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga-lembaga zakat. Kepercayaan dapat dibentuk melalui beberapa cara, di antaranya adalah dengan memberikan laporan yang akuntabilitas dan transparan kepada para pembayar zakat (muzakki). Kepercayaan juga dapat dibangun dengan pola dan sistem pelayanan yang berkualitas dan professional, dengan memberikan beberapa kemudahan dan fasilitas kepada para muzakki dalam hal pembayaran zakat dan monitoring penyalurannya. Distribusi zakat yang adil dan merata dapat menentukan pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Pemerintah diharapkan untuk menertibkan lembaga-lembaga zakat dengan membatasi jumlah lembaga zakat pada suatu daerah tertentu. Kemudian, setiap lembaga zakat diberikan batas wilayah operasinya, sehingga pemberdayaan zakat akan lebih terkoordinir dan terfokus pada wilayah oleh lembaga zakat tertentu. Diantara lembaga zakat yang telah menerapkan pembagian wilayah operasi zakat adalah lembaga zakat Rumah Zakat dengan program ICD (Integrated Community Development) pada beberapa daerah yang termasuk wilayah operasinya.[25]
Menurut kami melanjutkan pemaparan diatas bahwasannya dengan semakin banyaknya jumlah lembaga zakat di Indonesia, diperlukan sebuah konsep management networking dalam rangka koordinasi setiap lembaga zakat. Hal tersebut penting, karena melalui koordinasi antar lembaga zakat dapat didapat daerah atau lembaga zakat yang mengalami surplus zakat, sehingga dapat dilakukan distribusi silang (cross distribution) kepada daerah atau lembaga zakat yang mengalami kekurangan zakat (defisit).

5.       Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagi standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
“Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu (infaq).”
     Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum relatif stabil nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduannya akan dapat berubah-ubah pula, karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Abu Ubaid secara implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.[26]
      Menurut kami pemikiran Abu Ubaid seperti yang dikemukakan diatas uang memiliki dua fungsi yaitu nilai intrinsic sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Hal tersebut juga berlaku juga di Indonesia. Negara Indonesia mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Namun di Indonesia, lebih rincinya uang yang dibedakan dalam dua kategori fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi turunan. Maksudnya  fungsi asli disini sebagaimana yang kami pahami ialah sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai. Sedangkan maksud dari fungsi turunan disini yaitu uang sebagai alat pembayaran yang sah, uang sebagai alat pembayaran utang, uang dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa yang akan datang, uang sebagai alat penimbun kekayaan, dan uang sebagai alat pemindah kekayaanUang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi.



C.     Pemikiran Abu Ubaid dalam beberapa karya tulisnya

       Dalam setiap harinya, Menurut Abu Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang fikih.[27]
      Kitab al-Amwal dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat tentang ”Hak penguasa atas subjek (individu dalam masyarakat) dan hak subjek atas penguasa”. Bab ini memaparkan kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abu Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Ia juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur. Kemudian dilanjutkan dengan bab yang berjudul jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitab dan Sunnah. Bab ini menjelaskan mengenai jenis-jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan dasar-dasar pemikirannya yang dibahas dalam kitab Allah serta Sunnah. Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti fa’i, bagian khumus dan shafi, serta pengalokasiannya, baik di masa Rasulullah saw maupun setelahnya. Oleh karena itu, pada bagian-bagian berikutnya, ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam bab ini ketika membahas tiga sumber utama penerimaan negara, yakni fa’i, khumus dan shadaqah, temasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepda masyarakat. Didalam Kitab al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (Public Finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat Kitab ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua abad awal Islam. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in tentang masalah ekonomi.[28]
      Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep penting, yaitu :
1.     Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan zakat.
2.      A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.
3.     Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.
4.      Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.[29]
      Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan legistimasi sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil. Walaupun merupakan sebuah kompendium yang mayoritas isinya adalah hadist Nabi, Kitab Al-Amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti pemerintahan khalifah Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan dan pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak. Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi saw, kesepakatan pada sahabat, tabi'in serta at-tabit tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat al-Fiqih. Abu Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan telaah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abu Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun. Ibrahim al Harbi (murid dari Abu Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitab al-Amwal adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abu Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadist sehingga ia mampu memilih hadist-hadist yang relevan, bahkan beberapa kali Abu Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.[30]
    Walaupun Abu Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra'yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadist) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadist yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak. Abu Ubaiddianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur'an dan Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan atau kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum. Referensi utama Abu Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur'an dan al-Hadist, baginya otoritas al-Qur'an adalah di atas al-hadits. Walaupun sebenarnya al-hadis adalah penjelasan dari al-Qur'an. Penjelasan dari para sahabat, tabi'in dan at-ta'bi at-tabi'in dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadist. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan hadist, secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi. Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad saw, itu yang lebih diutamakan. Tingkat pemahaman Abu Ubaid terhadap keduanya (al-Qur'an dan Hadist) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nasikh wa al-Mansukh , fi al-qur'an al-aziz wumafihi min al-Qur’an was as sunan, gharib al-Qur'an, ma 'ani al-Qur'an, gharib al-Hadits, yang merupakan penjelasan (tafsir) dan interpretasi (ta'wil) dari al-Qur'an dan al-Hadits.[31]
    Abu Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra'yu. Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur'an. Sumber ketiga yang digunakan Abu Ubaid adalah `ijma al-`Rimmah (kesepakatan). Tampak bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi, di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur'an dan sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.[32]
     Abu Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur'an dan hadist, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi mayashid asy-syari'ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (ul-muslahah al-'ammah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abu Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta'amul (hukum adat atau tradisi).
      Dalam kitab tersebut, ia tidak hanya sekedar melaporkan pendapat-pendapat orang lain, tetapi juga selalu mengakhirinya dengan menjalinkan masalah tersebut secara sistematis, mengungkapkan suatu preferensi atas sebuah pendapat dari beberapa pandangan yang dilaporkan atau memberikan pendapatnya sendiri dengan dukungan beberapa basis syariah tertentu atau dengan alasan-alasan rasional. Misalnya, setelah melaporkan berbagai pendapat tentang besarnya zakat yang seharusnya diterima oleh seorang penerima zakat yang berhak, dia dengan keras menyatakan ketidaksetujuannya terhadap mereka yang meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) pada pemberian zakat tersebut. Hal yang terpenting baginya adalah keterpenuhan kebutuhan rakyat dan terselamatkannya masyarakat dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeinginan ‘tidak terbatas’, bahkan jika hal tersebut harus dilakukan dengan pengeluaran uang yang amat besar pada sebuah kasus tertentu.[33]

D.    Relevansi pemikiran Abu Ubaid dengan dinamika hukum ekonomi syariah (Islam) di Indonesia
     Dari penjelasan yang telah dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal, tampak jelas bahwa doktrinnya adalah pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip-prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Dengan kata lain, Abu Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara harus selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalah gunakan sehingga mengganggu serta mengurangi manfaat bagi masyarakat umum. Pandangan-pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Di samping itu, Abu Ubaid juga sacara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.[34]
      Namun, jika kita telaah pada saat sekarang ini, maka kita hanya mendapati apa yang diutarakan Ubu Ubaid hanyalah sebuah teori belaka, khususnya di Indonesia. Banyak kita lihat orang-orang yang berada di atas hanyalah mementingkan kesejahteraan golongannya saja tanpa memikirkan golongan lain. Memang pemerintah di Indonesia selalu menggembor-gemborkan pemeratan kekayaan, namun masih saja kita lihat yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin. Kita bisa lihat bahwa Indonesia kuat akan korupsinya. Memakan uang rakyat telah menjadi hal yang lumrah. Hukum juga sudah patuh pada yang mempunyai uang. Jika saja pemikiran-pemikiran dalam Islam, seperti pemikiran Abu Ubaid dapat menjadi salah satu bahan pemikiran bangsa Indonesia, saya kira perlahan demi perlahan kita mampu memperbaiki kondisi negara kita. Selanjutnya terkait relevansinya dibidang zakat, pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang zakat adalah penerapan dan pengelolaan zakat yang diprakteknya pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa tersebut adalah adanya peran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik dalam pengelolaan zakat, pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan publik, dan pola distribusi zakat. Secara prinsip pengelolaan zakat pada masa tersebut dapat diaplikasikan pada masa kini, khususnya pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan zakat merupakan peran pemerintah dalam hal menjamin pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi diperlukan beberapa perbaikan dan penyelarasan, serta pengawasan dalam praktek zakat di lapangan. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, diharapkan pola dan sistem pengelolaan zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian umat muslim yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia.[35]
     Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi sekaligus masalah buat kita. Dengan jumlah yang cukup besar, umat muslim di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembayaran zakat. Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, tentunya sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia tidak pernah luput dari permasalahan-permasalahan yang pada umumnya dialami oleh negara berkembang, yaitu masalah kemiskinan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah telah dengan serius memperhatikan kebutuhan-kebutuhan umat muslim Indonesia dan memfasilitasi beberapa kebijakan dalam rangka memberikan kemudahan atas pelaksanaan ajaran agama Islam. Di antara kebijakan tersebut adalah kebijakan tentang zakat yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 581 Th. 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 Th. 1999 tersebut. Undang-undang tersebut dirancang sebagai upaya perbaikan pengelolaan zakat di Indonesia. Dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan zakat, tugas dan tanggung jawab pemerintah tidak otomatis hilang. Pemerintah diharapkan dengan aktif mengontrol dan memberikan peringatan bagi lembaga-lembaga zakat yang tidak mengelola zakat dengan baik. Meskipun undang-undang telah dibuat, permasalahan tentang pengelolaan zakat, khususnya lembaga-lembaga pengelola zakat masih akan timbul, seperti persaingan antara Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang berbasis lembaga swadaya masyarakat dan lembaga yang dibentuk pemerintah Badan Amil Zakat (BAZ). Permasalahan lain adalah sistem pengelolaan yang kurang profesional dan transparan. Akibatnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga zakat berkurang dan akhirnya akan menimbulkan penyaluran zakat secara individual atau langsung tanpa perantara lembaga zakat. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap distribusi zakat yang tumpang tindih, di mana pembagian zakat kepada para mustahiq tidak merata dan tepat sasaran. Tidak merata dan tidak tepat sasaran artinya akan terdapat mustahiq yang tidak mendapatkan bagian dari zakat, atau bahkan ada mustahiq yang mendapatkan zakat dari dua sumber yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, diperlukan peran pemerintah dalam penertiban lembaga-lembaga zakat yang ada di Indonesia. Penertiban dapat dilakukan dalam beberapa aspek, diantaranya adalah aspek manajemen, laporan penghimpunan dan penyaluran, akuntabilitas laporan, wilayah operasi lembaga dan koordinasi diantara lembaga-lembaga zakat.[36]
     Penghimpunan zakat di Indonesia sangat bergantung kepada tingkat kesadaran umat muslim dalam membayar zakat. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi dari lembaga zakat untuk membangun kesadaran dari umat muslim. Di antara strategi tersebut adalah membentuk kepercayaan umat muslim untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga-lembaga zakat. Kepercayaan dapat dibentuk melalui beberapa cara, di antaranya adalah dengan memberikan laporan yang akuntabilitas dan transparan kepada para pembayar zakat (muzakki). Kepercayaan juga dapat dibangun dengan pola dan sistem pelayanan yang berkualitas dan professional, dengan memberikan beberapa kemudahan dan fasilitas kepada para muzakki dalam hal pembayaran zakat dan monitoring penyalurannya.[37]
      Distribusi zakat yang adil dan merata dapat menentukan pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Pemerintah diharapkan untuk menertibkan lembaga-lembaga zakat dengan membatasi jumlah lembaga zakat pada suatu daerah tertentu. Kemudian, setiap lembaga zakat diberikan batas wilayah operasinya, sehingga pemberdayaan zakat akan lebih terkoordinir dan terfokus pada wilayah oleh lembaga zakat tertentu. Diantara lembaga zakat yang telah menerapkan pembagian wilayah operasi zakat adalah lembaga zakat Rumah Zakat dengan program ICD (Integrated Community Development) pada beberapa daerah yang termasuk wilayah operasinya.
      Sehingga menurut kami dapat disimpulkan bahwa dengan banyaknya jumlah lembaga zakat di Indonesia, diperlukan sebuah konsep hubungan manajemen dalam rangka koordinasi setiap lembaga zakat. Hal tersebut sangat penting, karena melalui koordinasi antar lembaga zakat dapat didapat daerah atau lembaga zakat yang mengalami surplus zakat, sehingga dapat dilakukan distribusi silang kepada daerah atau lembaga zakat yang mengalami kekurangan zakat.






BAB 3 PENUTUP

A.    Kesimpulan

Abu Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli bahasa Arab (ahli nahwu). Dari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Karyanya yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab dari Abu Ubaid ini merupakan suatu karya yang lengkap yang berbicara seputar keuangan negara dalam Islam. Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan Rasulullah saw, wawasan pengetahuannya serta isi, format, dan metodologi Kitab al-Amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari Pemikir Ekonomi Mazhab Klasik. Ada beberapa hal terkait dengan beberapa pemikiran ekonomi Abu Ubaid yaitu sebagai berikut:

1.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
2.      Dikotomi Badui-Urban
3.      Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
4.      Reformasi distribusi zakat
5.      Fungsi Uang
Terkait dengan pandangan-pandangan Abu Ubaid merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan hak dan kewajiban masyarakat, menjadikan keadilan sebagai prinsip utama dalam menjalankan roda kebijakan pemerintah, serta menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim. Abu Ubaid mengatakan bahwa penerimaan negara (fai', khumus, shadaqah dan zakat) wajib dikelola negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, DR. Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta:Gramata Publishing, 2010.
Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.,2006.
Abdullah, Boedi. Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia 2011.
Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Yogyakarta:Pusat Studi Zakat (PSZ). 2004.
Abu Ja’far Ahmad bin Nasir al dawwidi.Al Amwal.Jakarta: Daru al asalami, 2001.
Mudzar, Atho. Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam. Artikel pada Mimbar Hukum. Jakarta: Departemen Agama, 1992.
Arsyad, Nastir. Ilmuan Muslim Sejarah. Bandung: Mirzan, 1989.
http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html. diakses tanggal 9 Juni 2014.





[1] Adimarwan Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), h. 242.
[2] Adimarwan Karim, (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), h. 259.
[3] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 152.
[4] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 152.
[5] Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd (Yogyakarta: Pusat Studi Zakat, 2004),h. 39.
[6] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 153.
[7] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.174.
[8] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 154.
[9] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 153.
[10] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.179.
[11] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 154.
[12] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 156.
[13] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 157.
[14] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 158.
[15] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.180.
[16] Abu Ja’far Ahmad bin Nasir al dawwidi, Al Amwal (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 250
[17] Abu Ja’far Ahmad bin Nasir al dawwidi, (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 250 
[18] Abu Ja’far Ahmad bin Nasir al dawwidi, (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 251
[19] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.183.
[20] Abu Ja’far Ahmad bin Nasir al dawwidi, (Jakarta: Daru al asalami, 2001), h. 254
[21] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.185.
[22] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.186.
[23] Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum, (Jakarta: Departemen Agama, 1992), h. 74.
[24] Atho Mudzar, (Jakarta: Departemen Agama, 1992), h. 75.
[25] Atho Mudzar, (Jakarta: Departemen Agama, 1992), h. 76.
[26] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.186.
[27] Nastir Arsyad, Ilmuan Muslim Sejarah, (Bandung: Mirzan, 1989), h.81
[28] Nastir Arsyad, (Bandung: Mirzan, 1989), h.82
[29] Atho Mudzar, (Jakarta: Departemen Agama, 1992), h. 77.
[30] Nastir Arsyad, (Bandung: Mirzan, 1989), h.84
[31] Euis Amalia, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 169.
[32] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.188.
[33] Boedi Abdullah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),  h.190.
[34] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html. diakses tanggal 9 Juni 2014.
[35] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html. diakses tanggal 9 Juni 2014.
[36] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html. diakses tanggal 9 Juni 2014.
[37] http://www.muhammadisnan.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html. diakses tanggal 9 Juni 2014.

No comments:

Post a Comment