Saturday 4 May 2019

KONSEP DASAR HUKUM KEWARISAN

KONSEP DASAR HUKUM KEWARISAN



A. PENGERTIAN KEWARISAN DAN SEBAB KEWARISAN

Dalam menangani perkara di Pengadilan Agama khususnya tentang kewarisan, maka Kompilasi Hukum Islam menjadi salah satu rujukan dalam dalam standar hukum materil. Olehnya itu pengertian dasar tentang kewarisan akan dimabil dalam Pasal 171 Huruf a, b, c, d dan e Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Kalau dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut al-Qur`an, hadis Rasulullah, dan Kompilasi Hukum Islam, ditemukan dua penyebab, yaitu: (1) Hubungan kekerabatan (nasab); dan (2) hubungan perkawinan.1 Kedua bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut.

(a) Hubungan Kekerabatan

Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Karena itu, bila seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapapun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya, sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara se orang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya, maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Hal itu, bila dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya.

Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya yang disebutkan di atas, ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Hal itu diketahui melalui hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa "seorang anak dihubungkan kepada laki-laki yang secara sah menggauli ibunya.3 Namun, dalam tulisan ini tidak diuraikan secara rinci mengenai syarat-syarat sahnya akad nikah, dan anak yang sah menurut hukum Islam karena yang menjadi kajian utama pembahasan adalah hukum kewarisan Islam.

Kalau sudah mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya yang disebutkan di atas, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak beserta keturunannya, dan hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara berserta keturunanya. Dengan mengetahui hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan.

Tentang hubungan kerabat yang disebutkan di atas, bila dianalisis pengelompokannya sebagai ahli waris, perlu diungkapkan pendapat Hazairin yang mengelompokkannya ke dalam 3 (tiga) kelompok ahli waris, yaitu: (1) dzawul faraid, (2) dzawul qarabat, dan (3) mawali. Demikian pula pendapat ahlus sunnah yang mengelompokannya menjadi 3 (tiga) kelompok ahli waris, yaitu: (1) dzawul faraid, (2) `ashabah, dan (3) dzawul arham

(b) Hubungan Perkawinan.

Kalau Hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Karena itu, bila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan dan janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya.


B. ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM

Dalam modul ini akan dijelaskan beberapa asas hukum kewarisan Islam, antara lain: (a) ijbari, (b) bilateral, (c) individual, (d) keadilan berimbang, (e) akibat kematian, dan (f) Asas Personalitas Keislaman.

a) Ijbari

Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.

Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: (1) dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari al-Qur`an surah IV: 7 yang menjelaskan bahwa "bagi laki-laki dan perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan keluarga dekatnya". Dari kata nasib atau bagian itu, dapat diketahui bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat bagian atau hak ahli waris. Karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan ahli waris, tidak perlu meminta-minta hak kepada (calon) pewarisnya.9 Demikian juga bila unsur ijbari dilihat dari segi (2) jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Hal ini tercermin dalam kata mafrudan yang makna asalnya adalah "ditentukan atau diperhitungkan". Apa yang sudah ditentukan atau diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh hamba-Nya. Sifat wajib yang dikandung oleh kata itu menyadarkan manusia untuk melaksanakan kewarisan yang sudah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur`an.

Selain itu, bila unsur ijbari dilihat dari (3) kepastian penerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci oleh Allah dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, 176, dan 33. Rincian ahli waris dan pembagiannya yang sudah pasti itu, tidak ada suatu kekuasaan manusiapun yang dapat mengubahnya. Unsur yang demikian, dalam kepustakaan hukum kewarisan Islam yang sui generis dapat disebut juga bersifat wajib dilaksanakan oleh ahli waris.

b) Asas Bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateralan itu, mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam al-Qur`an surah IV: 7, ll, 12, dan 176, yaitu (1) antara anak dengan orang tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orangtua. Hal ini, diuraikan sebagai berikut.

(a) Dimensi saling mewarisi antara anak dengan orangtuanya.

Dalam al-Qur`an surah IV: 7 ditegaskan bahwa "laki-laki dan perempuan berhak mendapat harta warisan dari ibu-bapaknya". Demikian juga dalam garis hukum surah IV: 11a ditegaskan bahwa anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Demikian juga dalam garis hukum surah IV: 11d, ditegaskan bahwa ayah dan ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.

(b) Dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara juga terjadi bila pewaris tidak mempunyai keturunan dan/atau orangtua. Kedudukan saudara sebagai ahli waris dalam garis hukum al-Qur`an surah IV: 12, ditentukan bahwa bila seorang laki-laki mati punah dan mempunyai saudara, maka saudaranya (saudara laki-laki atau saudara perempuan) berhak mendapat harta warisannya. Demikian juga garis hukum surah IV:12, bila pewaris yang mati punah seorang perempuan dan mempunyai saudara, maka saudaranya (laki-laki atau perempuan) berhak menerima harta warisannya. Selain itu, garis hukum al-Qur`an surah IV: 176 menegaskan bahwa seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, saudaranya yang perempuan itulah yang berhak menerima warisannya. Demikian juga bila seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki, saudaranya yang laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisannya.  Kalau kewarisan antara anak dengan orangtua, dan antara orang yang bersaudara diketahui melalui perincian ayat al-Qur`an yang disebutkan di atas, maka ahli waris keluarga dekat (kerabat) dapat diketahui dari penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah. Selain itu, dapat diketahui pula perluasan pengertian ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur'an. Misalnya, kewarisan kakek dapat diketahui dari kata abun dalam al-Qur'an, yang dalam bahasa Arab berarti kakek secara umum. 

Demikian juga halnya dengan nenek, dapat dikembangkan dari perkataan Ummi (maternal = maternal grand mother = nenek dari pihak ibu) yang terdapat dalam al-Qur'an. Di samping itu terdapat juga penjelasan dari Nabi tentang kewarisan kakek dan kewarisan nenek. Dari perluasan pengertian itu dapat pula diketahui garis kerabat ke atas melalui pihak laki-laki dan melalui pihak perempuan. Demikian juga halnya dengan garis kerabat ke bawah. Walaupun tidak secara jelas disebut dalam al-Qur'an, namun garis kerabat ke bawah itu dapat diketahui dari perluasan pengertian walad (anak), baik anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunannya. Namun di kalangan Sunni makna anak itu dibatasi pada anak laki-laki dan keturunannya saja (seperti yang biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal).

Di kalangan Sji'ah makna anak itu diperluas kepada anak laki-laki dan anak perempuan serta cucu melalui anak laki-laki dan anak perempuan. Kekerabatanbilateral ini berlaku juga untuk kerabat garis ke samping. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur`an surah IV: 12 dan 176. Ayat itu, menetapkan bahwa "kewarisan saudara laki-lakidan saudara perempuan dengan pembagian yang berbeda dengan hak atau bagian yang diperoleh saudara dalam ayat 176 surat yang sama". Perbedaan itu menunjukkan adanya perbedaan dalam hal (orang) yang berhak menerima harta warisan. Hak saudara baik laki-laki maupun perempuan dalam ayat l2 adalah 1/6 atau 1/3, sama pembagian ibu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan saudarasaudara dalam ayat 12 itu adalah saudara garis ibu, sedang saudara-saudara dalam ayat 176 adalah saudara garis ayah atau ayah dan ibu. Dengan mendalami makna surah IV: 12 dan 176 tersebut diperoleh satu kesimpulan bahwa pada garis kerabat ke samping pun berlaku kewarisan dua arah, melalui arah ayah dan arah ibu.

c) Asas Individual

Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagibagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Karena itu, bila setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnyatanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).

Asas keindividualan hukum kewarisan Islam diperoleh dari analisis garis hukum al- Qur'an mengenai pembagian harta warisan. Sebagai contoh dapat disebut misalnya, garis hukum surah IV: 7 dijelaskan bahwa anak laki-laki untuk menerima warisan dari orangtua atau keluarga dekatnya. Demikian juga halnya dengan perempuan berhak menerima harta warisan orang tuanya dan atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing) mempunyai rincian tertentu.

Ayat 11, 12 dan 176 surat IV yang telah disebutkan di atas, menjelaskan secara rinci hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tentupun seperti bagian anak laki-laki bersama dengan anak perempuan seperti disebutkan dalam surat IV: 11 dan bagian saudara laki-laki bersama saudara perempuan dalam surah IV: 176, dijelaskan perimbangan pembagiannya yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Dari perimbangan tersebut, tampak bahwa ketentuan bagian masing-masing ahli waris sifatnya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang muslim yang mempunyai harta warisan.

Kalau pembagian menurut asas individual ini telah terlaksana, maka setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak atas harta yang diperolehnya bila ia telah mempunyai kemampuan untuk bertindak. Bila belum, maka untuk mereka yang tidak dan/atau belum mampu bertindak itu, diangkat wali untuk mengurus hartanya itu menurut ketentuan perwalian. Wali tersebut, bertanggung jawab mengurus harta orang yang belum dapat bertindak mengurus hartanya itu, memberikan pertanggung jawaban dan mengembalikan harta itu bila pemiliknya telah mampu bertindak sepenuhnya mengurus miliknya yang (selama ini) berada di bawah perwalian dengan harta kekayaan orang yang mengurusnya (wali), sehingga sifat individualnya berubah menjadi kolektif yang bertentangan dengan asas individual kewarisan Islam. 

Bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam masyarakat dengan adat tertentu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Sebabnya adalah dalam pelaksanaan hukum kewarisan kolektif itu, mungkin sengaja atau tidak, ikut termakan harta anak yatim yang sangat dilarang oleh ajaran agama Islam.

d) Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam al-Quran yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Di dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.

Asas keadilan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Sebagai contoh dapat disebut misalnya, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris daripewaris pada hakekatnya adalah pelanjutan tanggungjawab pewaris terhadapkeluarganya. Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli warisberimbang dengan kewajiban atau tanggungjawab terhadap keluarganya.24 Selain itu, al-Qur`an surah II: 233 menjelaskan bahwa seorang laki-laki menjadi penanggungjawabkehidupan keluarga untuk mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya menurut kemampuanya. Tanggungjawab itu merupa-kan kewajibann agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Demikian juga, al-Qur`an surah II: 177 menjelaskan bahwa seorang laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap kerabat lain berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan. Sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah sama.

e) Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Karana itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.

Kalau hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja yaitu kewarisan sebagai akibat dari meninggalnya seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestato atau kewarisan karena kematian atau kewarisan menurut undang-undang, maka hukum kewarisan Islam tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh seseorang pada waktu ia masih hidup, yang disebut dalam hukum perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen.

Asas akibat kematian seseorang mempunyai kaitan dengan asas ijbari yang sudah disebutkan yakni seseorang tidak sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak. Melalui wasiat, menurut hukum Islam, dalam batasbatas tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannyasetelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri, terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam.

f) Asas Personalitas Keislaman
Asas Personalitas Keislaman. Asas dimaksud, berarti peralihan harta warisan hanya terjadi bila antara pewaris dan ahli waris sama-sama menganut agama Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984)

Muhammad Mustafa Salaby, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun

H.Moh. Djafar, "Polemik Antara Prof.Dr. Hazairin dan Para Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan", (Disertasi doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993)

H. Mohammad Daud Ali, Ibid. John Burton, The Sources of Islamic Law, (Oxford: Edinburgh University Press, 1990)

H. Mohammad Daud Ali, "Asas-Asas Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam", (Makalah
disampaikan pada Orientasi Kompilasi Hukum Islam tanggal 21-30, Jakarta, 1992)





















No comments:

Post a Comment