Wednesday 6 April 2016

KONSEP AKAD GIRO TABUNGAN, GIRO DAN TABUNGAN

KONSEP AKAD GIRO TABUNGAN, GIRO DAN TABUNGAN



A.    Konsep Akad
1.      Pengertian
Secara lughawi, makna al-aqd adalah perikatan, perjanjian, pertalian, permufakatan (al-ittifaq). Secara Istilah, akad didefinisikan dengan redaksi yang berbeda-beda. Berbagai definisi tersebut dapat dimengerti bahwa, akad adalah pertalian ijab dan kabul dari pihak-pihak yang menyatakan kehendak, sesuai dengan kehendak syariat, yang akan memiliki akibat hukum terhadap obyeknya.[1]
Definisi tersebut mengisaratkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berpengaruh terhadap munculnya akibat hukum baru. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dari kedua belah pihak. Ketiga, dilihat dari tujuan dilaksanakannya akad, ia bertujuan untuk melahirkan akibat hukum baru. Persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin ikatan.[2]
Secara terminologi, ulama fiqh membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperi jual beli dan gadai. Pengertian akad secara umum di atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat para ulama Syafi’iyah, Malikiyyah, dan Hanabillah. Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.


2.      Dasar Hukum Akad
Adapun yang menjadi dasar hukum dalam akad dalam islam adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 188, 275, 282, 283, surat an-Nisa ayat 29, al-Maidah ayat 1-2, surat al-Jumuah ayat 9, surat al-Muthafirrin ayat 1-6, dan beberapa hadis Rasulullah.
Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa: 29) yang berbunyi:
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah Maha penyayang kepadamu”.
Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang  diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.[3]
3.      Rukun dan Syarat Akad
Dalam KHES dikemukakan pada bagian pertama Bab III buku Kedua tentang Rukun dan Syarat Akad (pasal 22 s/d 25). Keempat pasal yang termaktub dalam bagian ini adalah sebagai berikut:
a.       Pasal 22 : Rukun akad terdiri atas
1)      Pihak-pihak yang Berakad
2)      Objek akad
3)      Tujuan pokok akad
4)      Kesepakatan
b.      Pasal 23, Pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
c.       Pasal 24, objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan orang dibutuhkan oleh masing-masing pihak, dan pasal 25, akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
Ulama Hanafiyyah, berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu sighat al aqd (ijab Kabul), sedangkan menurut mereka pihak-pihak yang berakad dan objek akad tidak termasuk dalam rukun akad, tetapi termasuk dalam syarat akad, karena menurut mereka yang dikatakan rukun adalah esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangakan pihak-pihak yang berakad dan objek akad berada diluar esensi akad.[4]
Hendi Suhendi[5] menguraikan tentang rukun akad tersebut sebagai berikut:
a.       Aqid ialah orang yang berakal, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang juga terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli.
b.      Ma’qud alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda yang dijual dalam akad jual beli.
c.       Maudhu’ al aqd, ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti rugi. Tujuan akad hibah adalah memindahkan barang dari pemberi kepada pihak yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (iwadh).

Ketentuan khusus tentang hal ini disebutkan dalam pasal 25 KHES yang menyatakan akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Sekalipun demikian tidak semua tujuan dapat dibenarkan karena tujuan yang dibenarkan hanyalah untuk akad yang sah. Pasal 28 (1) menyatakan bahwa akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya. Kemudian pasal 26 KHES menentukan bahwa akad tidak sah apabila berteentangan dengan:
1)      Syariat Islam
2)      Peraturan Perundang-undangan
3)      Ketertiban umum, dan/atau
4)      Kesusilaan
Selanjutnya pada pasal 27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
1)      Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya;
2)      Akad yang fasid adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan muslihat;
3)      Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan syarat-syaratnya.
d.      Sighat al aqad, ialah ijab dan Kabul ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedang Kabul ialah perikatan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.
Selain memenuhi rukun akad harus pula memenuhi syarat tertentu. Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat terjadinya akad ada dua macam:
a.       Syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b.      Syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad adalah:[6]
1)      Ahliyatul ‘aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap atau ahli);
2)      Qabliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek dapat menerima hukuman);
3)      Al-waliyatus syar’iyah fi maudhu’il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya);
4)      Alla yaquna’aqdu au madhu’uhu mamnu’an binashshin syar’iyin (janganlah akad itu yang dilarang syara’);
5)      Kaunul aqdi mufidan (akad itu memberi faedah);
6)      Ittihatul majlisil aqdi (bertemu di majlis akad).[7]

4.      Asas Akad

Menurut KHES Bab II pasal 21 bahwa akad dilakukan berdasarkan 11 asas, yaitu:

a.       Ikhtiyari (sukarela), setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain;
b.      Amanah (menepati janji), setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji;
c.       Ikhtiyati (kehati-hatian), setiap akad dilakuakn dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat;
d.      Luzum (tidak berubah), setiap akad dilakukan denga tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir;
e.       Saling menguntungkan, setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak;
f.       Taswiyah (kesetaraan), para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang;
g.      Transparansi, setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka;
h.      Kemampuan, setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan;
i.        Taisir (kemudahan), setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan;
j.        Itikad baik, akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya;
k.      Sebab yang halal, tidak bertentangan hukum, tidak dilarang hukum dan tidak haram.[8]

5.      Macam-macam Akad

a.       Akad Tabarru’

Akad tabarru’ (gratuitous) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Contoh akad tabarru’ itu adalah hibah (pemberian), ibra, wakalah, kafalah, hawalah, rahn (gadai), qard, wadi’ah, wakaf, dan lain-lain.[9]
b.      Akad Tijarah

Berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain.[10]

B.     Konsep Giro Syariah

1.      Pengertian
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang memiliki simpanan giro akan memperoleh nomor rekening. Jadi, giro merupakan dana yang disimpan di bank pada rekening giro sebagai titipan yang dapat diambil sewaktu-waktu.[11]
Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya kapan saja saat diperlukan asalkan saldonya cukup, baik untuk pembayaran maupun lainnya. Pemilik simpanan giro dapat menarik dananya melalui bank lain, baik bank syari’ah maupun bank konvensional. Penarikan simpanan giro yang dilakukan melalui bank lain, disebut dengan kliring. Bank yang menerima setoran cek dan/atau bilyet giro bank lain akan menagihkan kepada bank yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro tersebut. Penagihannya dilakukan melalui lembaga kliring setempat, yaitu Bank Indonesia atau bank yang ditunjuk sebagai lembaga kliring oleh Bank Indonesia.
Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 01/DSN-MUI/VI/2000 yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Simpanan giro sebenarnya bukan merupakan suatu simpanan untuk mendapatkan hasil bunga, melainkan semata-mata dimanfaatkan sebagai sarana memperlancar transaksi bisnis. Oleh karena itu, pada umumnya pemilik rekening giro adalah pengusaha atau pemilik kegiatan yang membutuhkan alat pembayaran berbentuk cek. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan ketentuan tentang giro wadi’ah, diantaranya:
a.       Bersifat titipan.
Dalam hal titipan, maka orang yang dititipi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga barang titipan tersebut. Ia tidak dibenarkan menggunakan dana yang dititipkan, kecuali atas izin pemiliknya.
b.      Titipan bisa diambil kapan saja.
Hal ini disebabkan sifatnya titipan, maka pemilik dana dapat menarik dananya sewaktu-waktu dan pihak yang dititipi harus selalu siap mengembalikan dana yang dititipkan.
c.       Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Sebab bersifat titipan pula, maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang menitipkan (nasabah) untuk memberikan imbalan apapun kepada bank, dan bank tidak berkewajiban memberikan imbalan apapun kepada nasabah sekalipun dananya sudah dikelola secara komersial. Namun pihak bank boleh memberikan athaya (bonus) kepada nasabah dengan catatan tidak diperjanjikan di depan atau dituangkan dalam akad. Jadi, athaya ini murni adalah hak bank, maka nasabah tidak dapat menuntut untuk diberikan.[12]
2. Sarana Penarikan
a. Cek (cheque)
Penarikan rekening giro dengan menggunakan cek, artinya penarikan dana secara tunai, oleh karena itu cek juga berfungsi sebagai alat pembayaran. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178 menjelaskan tentang cek sebagai berikut:
1.      Pada cek harus tertulis kata “CEK”.
2.      Berisi perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3.      Nama bank tertarik (bank yang harus membayar).
4.      Disebutkan tanggal dan tempat cek dikeluarkan.
5.      Tanda tangan penarik. [13]

Jenis-jenis cek ada 5 jenis, diantaranya:
1.      Cek Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang atau badan hukum tertentu yang tertulis jelas di dalam cek tersebut. Sebagai contoh jika didalam cek tertulis perintah bayarlah kepada: Tn. Roy Akase sejumlah Rp 3.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang sejumlah Rp 1.000.000,- maka cek inilah yang disebut dengan cek atas nama, namun dengan catatan kata "atau pembawa" dibelakang nama yang diperintahkan dicoret.
2.      Cek Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan dari cek atas nama. Di dalam cek atas unjuk tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu jadi siapa saja dapat menguangkan cek atau dengan kata lain cek dapat diuangkan oleh si pembawa cek. Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak ditulis kata-kata apa pun.
3.      Cek Silang
Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang dipojok kiri atas diberi dua tanda silang. Cek ini sengaja diberi silang, sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai atau sebagai pemindahbukuan.
4.      Cek Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal sekarang, misalnya hari ini tanggal 01 Mei 2002. Sebagai contoh. Tn. Roy Akase bermaksud mencairkan selembar cek dan di mana dalam cek tersebut tertulis tanggal 5 Mei 2002. jenis cek inilah yang disebut dengan cek mundur atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena ada kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum memiliki dana pada saat itu.
5.      Cek Kosong
Cek kosong atau blank cheque merupakan cek yang dananya tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai contoh nasabah Tn. Rahman Hakim menarik cek senilai 60 juta rupiah yang tertulis di dalam cek tersebut, akan tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya ada 50 juta rupiah. Ini berarti kekurangan dana sebesar 10 juta rupiah, apabila nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah dana yang ada.
b. Bilyet Giro
      Bilyet giro digunakan oleh pemilik rekening giro apabila akan melakukan penarikan secara non tunai atau pemindahbukuan. Syarat-syarat dan tata cara penggunaan bilyet giro dalam kegiatan bank syari’ah diatur oleh Bank Indonesia, di antaranya surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia SE BI No. 4/670 UPPB/PbB Tanggal 24 Januari 1972 yang disempurnakan dengan SE BI No. 28/32/UPG Tanggal 01 Juli 1995.[14]
  Perbedaan Cek dan Bilyet Giro


Cek
Bilyet Giro
Diterbitkan atas unjuk
Diterbitkan atas nama
Surat perintah pembayaran
Surat perintah pemindahbukuan
Tidak berlaku tanggal efektif
Berlaku tanggal efektif

  
3.   Macam-macam Giro Syariah
a.Giro Wadiah
       Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip.  Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan atau simpanan.
       Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip mengkehendaki. Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
       Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pihak bank selaku pemegang titipan boleh menggunakan uang atau barang yang dititipi dan bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan. Sedangkan wadiah amanah, pihak bank selaku pemegang titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipi. Karena wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan adalah wadiah yad dhamanah, maka implikasinya sama dengan hukum qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan Bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
b.Giro Mudharabah
     Prinsip mudharabah diaplikasikan pada produk tabungan, deposito dan giro. Pada tema ini kita hanya membahas tentang prinsip mudharabah pada giro. Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Seperti yang telah kita tahu bahwa mudharabah mempunyai dua bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah, yang perbedaan utama di antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana dalam mengelola hartanya, baik dari sisi tempat, waktu, maupun objek investasinya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib, sedangkan nasabah bertindak sebagai sebagai shahibul maal.
      Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank syariah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement, bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.[15]
                 Terkait dengan karaktristik Giro Syariah, dibawah ini adalah beberapa karakteristik dari giro wadi’ah, antara lain sebagai berikut:
1.      Harus dikembalikan utuh seperti semula sejumlah barang yang dititipkan sehingga tidak boleh overdraft (cerukan).
2.      Dapat dikenakan biaya titipan.
3.      Dapat diberikan syarat tertentu untuk keselamatan barang.
4.      Penarikan giro wadiah dilakukan dengan cek dan bilyet giro sesuai ketentuan yang berlaku.
5.      Jenis dan kelompok rekening sesuai ketentuan yang berlaku dalam kegiatan usaha bank sepanjang tidak bertentangan dengan dengan syariah.
6.      Dana wadi’ah hanya dapat digunakan seizin penitip.[16]
Selanjutnya adalah giro mudharabah, yakni giro yang berdasarkan prinsip mudharabah, diantara beberapa ketentuannya adalah:
1.      Dalam transaksinya nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau sebagai pengelola dana.
2.      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6.      Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.[17]

d.      Konsep Tabungan Syariah
1. Pengertian Tabungan Syariah
       Didalam Bank Syariah produk pendanaan terbagi menjadi tiga yaitu Giro, tabungan serta deposito. Berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Tabungan adalah “simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,bilyet giro,dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu”. Adapun yang dimaksud dengan tabungan Syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dan dalam hal ini dewan Syariah nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.[18]
a.       Tabungan Wadiah
Tabungan Wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memnerikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yangdisertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut.
       Sebagai konsekuensinya, Bank bertanggungjawab terhadap keutuhan barang titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemilik yang menghendaki. Di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut.
Mengigat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak disyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus merupakan kebijakan Bank Syariah semata yang bersifat sukarela.
     Dari pembahasan diatas, dapat disarikan beberapa ketentuan umum tabungan wadiah sebagai berikut:
1.                 tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2.                 Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau taggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menaggung kerugian.
3.                 Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.
Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadiah, beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Bonus wadiah atas dasar saldo terendah.
2.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian.
3.      Bonus atas dasar saldo harian.
      Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
1.      Bonus wadiah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.
2.      Bonus wadiah atas dasat saldo rata-rata harian, yakni tariff bonus wadiah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
3.      Bonus wadiah atas dasar saldo hariah, yakni tariff bonus wadiah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
     Dalam memperhitungkan pemberian bonus wadiah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1.      Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank sesuai ketentuan.
2.      Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan.
3.      Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender. Misalnya, bulan Januari 31 hari, bulan Februari 28/29 hari, dengan catatan satu tahun 365 hari.
4.      Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.
5.      Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, tapi termasuk hari tanggal tutup buku.
6.      Dana tabungan yang mengendap kurang dari satu bulan para rekening baru dibukak awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila perhitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.[19]

b.      Tabungan Mudharabah
       Tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdsarkan akad akad mudharobah. Mudharabah mempunyai dua bentuk, mudharabah mutlaqah dan mudharobah muqayyadah yang perbedaannya ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan oleh pemilik dana kepada Bank dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, Bank syariah mempunyai kuasa untuk melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya,termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
       Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank syariah akan menghasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun apabila yang terjadi adalah mis manajemen (salah urus) maka pihak Bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
       Dalam mengelola harta mudharabah, Bank menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil tabungan mudharaabah dibebankan lansung kerekening tabungan mudharabah pada saat perhitungan bagi hasil.
       Perhitungan bagi hasil tabungan mudharabah dilakukan berdasarkan saldo rata-rata harian yang dihitung ditiap akhir bulan dan dibuku awal bulan berikutnya.
       Dalam memperhitungkan bagi hasil tabungan mudharabah tersebut hal-hal yang perlu diperhatikan  adalah sebagai berikut :
1.      Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah
- pembulatan ke atas untuk nasabah
- pembulatan ke bawah untuk bank
2.      Hasil perhitungan pajak dibulatkan keatas sampai puluhan terdekat.
 Dalam hal pembayaran bagi hasil, Bank Syariah menggunakan metode end of month,yaitu :
1.      Pembayaran bagi hasil tabungan mudharabah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan.
2.      Bagi hasil bnulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup    buku,tetapi tidak termasuk tanggal pembukaan tabungan.
3.      Bagi hasil bulan terakhir  dihiyung secara proporsional hari efektif. Tingkat bagi hasil yang dibayarkaan adalah bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
4.      Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari,29 hari,30 hari dan 31 hari)
5.      Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai dengan permintaan nasabah.
Dari pembahasan di atas, dapat disariakan beberapa ketentuan umum tabungan mudharabah sebagai berikut:
1.      Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2.      Dalam kapasitannya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai bukan piutang.
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam bentuk akad pembukaan rekening.
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6.      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.[20]

B. Konsep Deposito Syariah
        Selain giro dan tabungan, produk perbankan syariah lainnya yang termasuk produk penghimpunan dana (funding) adalah deposito. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang penariknya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpanan dengan bank yang  bersangkutan.
      Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip Mudharabah.
      Dalam hal ini, Bank Syariahbertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.[21]
       Dengan demikian, Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib  memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syariah.
       Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, bank syariah akan menghasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
      Berdasarkan kewengan yang diberikan oleh pihak pemilik dana, terdapat 2  (dua) bentuk mudharabah, yakni:

1. Mudharabah mutlaqah (unrestricted investment account, URIA)
2. Mudharabah muqayyadah (restricted investment account, RIA)[22]
a.    MUDHARABAH MUTLAQAH (UNRESTRICTED INVESTMENT ACCOUNT, URIA)
       Dalam deposito mudharabah mutlaqah (URIA), pemilik dana tidak memberikan battasan atau persyaratan tertentu kepada kepada bank syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana URIA ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
       Dalam menghhitung bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah (URIA), basis perhitungan adalah hari bagi hasil sebenarnya, termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukuan deposito mudharabah mutlaqah (URIA) dan tanggal jatuh tempo. Sedangkan jumlah hari dalam sebulan yang menjadi angka penyebut/angka pembagi adalah hari kelender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
        Dalam memperhitungkan bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah tersebut, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah
a. Pembulatan ke atas untuk nasabah
b. Pembulatan ke bawah untuk bank
2. Hasil perhitungan pajak dibulatkan ke atas sampai puluhan terdekat.
       Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah mutlaqah (URIA) dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:

1.      Anniversary Date
a.    Pembayarran bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito.
b.   Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
c.    Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya sesuai dengan permintaan deposan.
2.      End of Month
a.    Pembayaran bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiiap bulan.
b.   Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.
c.    Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
d.   Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
e.    Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya sesuai permintaan deposan.[23]
b. MUDHARABAH MUQAYYADAH (RESTRICTED INVESTMENT ACCOUNT, RIA)
     Berbeda halnya dengan deposito mudharabah mutlaqah (URIA), dalam deposito mudharabah muqayyadah (RIA), pemilik dana memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya.
       Dalam menggunakkan dana deposito mudharabah muqayyadah (RIA) ini, terdapat dua metode, yakni:

1.      Cluster Pool of Fund
Yaitu penggunaan dana untuk beberapa pyoyek dalam suatu jenis industry bisnis.
2.      Specific product
Yaitu penggunaan dana untuk suatu proyek tertentu.
Dalam hal ini, bank syariah melakukan pembayaran bagi hasil sesuai dengan metode penggunaan dana RIA, yakni:
1.Cluster Poll of Fund
Pembayaran bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, triwulanan, semesteran atau periodisasi lain yang disepakati.
2.Specific Project
Pembayaran bagi hasil disesuaikan dengan arus kas proyek yang dibiaya.
Dalam hal ini, pembayaran bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dapat dilakukan melalui metode sebagai berikut yaitu:

            a. Anniversary Date
1.      Pembayarran bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito.
2.      Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
3.      Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya sesuai dengan permintaan deposan.

b. End of Month
1.      Pembayaran bagi hasil deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan.
2.      Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, tapi tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.
3.      Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
4.      Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
5.      Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diaflikasikan kerekening lainnya sesuai permintaan deposan.[24]

 KESIMPULAN

         Giro, tabungan serta deposito syari’ah merupakan produk yang disediakan oleh bank syari’ah sebagai jasa untuk memenuhi kebutuhan khalayak yang juga merupakan tuntutan zaman globalisasi yang semakin mempermudah tercapainya kebutuhan manusia yang tak kenal cukup. Ada dua macam akad yang dapat dilakukan pada kedua produk tersebut, yaitu akad wadi’ah dan mudharabah.Kedua produk tersebut memiliki fungsi dan tujuan yang sama-sama menguntungkan antara kedua belah pihak, baik nasabah atau shahibul maal maupun pengelolanya atau disebut juga bank.


DAFTAR PUSTAKA

A. Ardiwarman Karim, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, 2004, Jakarta : Darul Haq
Afandi, Yazid, Fiqh Muamalah, 2009, Yogyakarta : Logung Pustaka
Haroen, Nasroen, Fiqh Muamalah, 2007, Jakarta : PT Gaya Media Pratama
A.Adiwarman Karim, Bank Islam, 2011, Jakarta: Rajawali Pers
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari'ah, 2005, Jakarta: PT. Grasindo.
Drs. Ismail, Perbankan Syari'ah, 2011, Jakarta: Kencana
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178
Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, 2006: 5
http://kujpalupi.blogspot..com/2014/09/konsep-akad.html. Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.
http://datakata.wordpress.com/2014/12/07/konsep-akad-dalam-islam-akuntansi-syariah.html. Diakses pada Tanggal 24 Maret 2015
http://acehmillano.wordpress.com/2013/03/24/giro-syariah/. Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.




[1] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 33
[2] http://kujpalupi.blogspot..com/2014/09/konsep-akad.html. Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.
[3] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 34
[4] Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Gaya Media Pratama, 2007), h. 99
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 56
[6] Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 27
[7] Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 28
[8] Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 29
[9] Ardiwarman A. Karim, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h. 66
[10] http://datakata.wordpress.com/2014/12/07/konsep-akad-dalam-islam-akuntansi-syariah.html. Diakses pada Tanggal 24 Maret 2015
[11] Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana,2011), h.25
[12] Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana,2011), h.26
[13] Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178
[14] Drs.Ismail, MBA., Ak. Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana,2011), h.29
[15] https://acehmillano.wordpress.com/2013/03/24/giro-syariah/. Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2015.
[16] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah,( Jakarta: PT. Grasindo,2005), h.39
[17] Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, 2006: 5
[18] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.345
[19] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.346
[20] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.347
[21] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.351
[22] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.352
[23]A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.353
[24] A.Karim, Adiwarman.Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), h.356

No comments:

Post a Comment