Wednesday 7 October 2015

KEKUASAAN BADAN PERADILAN AGAMA

KEKUASAAN BADAN PERADILAN AGAMA
(Untuk Memenuhi Makalah Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia)


BAB 2 PEMBAHASAN

A.    Kekuasaan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang kadandg-kadang diterjemahkan juga dengan “wewenang”, sehimgga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Peradilan, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relatif” dan “kekuasaan absolut”.[1]

1.      Kekuasaan Absolut (Mutlak) Badan Peradilan Agama

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya misalnya, pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi kekuasaan peradilan umum. Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama atau di mahkamah agung.[2]
Berdasarkan uraian diatas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009 (3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1989) dan berdasarkan atas asas personalitas keislaman. Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu menurut bustanul arifin, peradilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, seperti yang terdapat di beberapa negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.
Selanjutnya ditegaskan bahwa peradilan agama sebagai peradilan keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namum, peradilan agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang mencari keadilan. Disamping itu, peradilan agama harus pula diarahkan sebagai keluarga yang akan menjurus kepada sengketa-sengketa keluarga. Demikian pula pada saat akan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga suasananya benar-benar mausiawi dan kekeluargaan.
Sesuai dengan kompetensi absolute pengadilan agama yaitu perkara bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam hal ini akan saya jelaskan secara rinci.[3]

a.       Kewenangan mengadili perkara bidang perkawianan
Di atas telah dijelaskan bahwa kewenangan absolut peradilan agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak shadaqah, dan ekonomi syariah. Mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut ke dalam 22 butir, yaitu:


a.       izin beristri lebih dari seorang;
b.      izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c.       dispensasi kawin;
d.      pencegahan perkawinan;
e.       penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
f.       pembatalan perkawinan;
g.      gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
h.      perceraian karena talak;
i.        gugatan perceraian;
j.        penyelesian harta bersama;
k.      penguasaan anak-anak;
l.        ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
m.    penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
n.      putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o.      putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p.      pencabutan kekuasaan wali;
q.      penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
r.        menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
s.       pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
t.        penetapan asal usul seorang anak;
u.      putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, dan
v.      pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.[4]

Bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenang peradilan agama disebutkan dalam pasal 49 ayat (3) UU No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989) tentang peradilan agama sebagai berikut:[5]
1.      penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2.      penentuan mengenai harta peninggalan;
3.      penentuan masing-masing ahli waris;
4.      melaksanakan pembagian harta peninglan tersebut.
Mengenai butir huruf j tersebut diatas, yaitu tentang penyelesaian harta bersama, sekarang telah menjadi wewenang peradilan agama dan diselesaikan di pengadilan agama. Penyelesaian harta bersama di lingkungan peradilan agama, diajukan oleh suami atau isteri, atau dapat pula diajukan oleh suami atau isteri, atau dapat pula diajukan oleh bekas suami atau bekas isteri. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) UU No 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa permohonan atau gugatan harta bersama dirumuskan dengan jelas dan dapat dilakukan bersama-sama dengan pokok-pokok perkara perceraian.
Sehubungan dengan jenis-jenis perkara di bidang perkawinan di atas, mungkin menimbulkan pertanyaan bagaimana pengertian kata-kata “antara orang-orang yang beragama Islam” seperti yang disebutkan dalam pasal 49 ayat (1) UUNo 7 Tahun 1989, jika seumpamanya suami isteri berlainan agama (suami Islami, isteri bukan Islam atau sebaliknya), atau suami isteri pindah agama sesudah kawin, baik kedua-duanya atau hanya salah satunya saja? Begitu pula bagaimana kalau calon suami dan calon isteri berlainan agama dan salah satunya misalnya memerlukan izin kawin dari pengadilan agama? Selanjutnya bagaimana pula misalnya seorang anak (baru berusia 12 tahun) mau menggugat nafkah anak terhadap ayah dan ibunya sudah bercerai dan tidak lagi tinggal serumah dengan si anak, padahal ayahnya beragama non Islam, ibunya beregama Islam dan perkawinan ayah-ibunya dahulu tercatat di PPN (Pegawai Pencatat Nikah).
Mengenai kewenangan pengadilan agama ini dapat ditambahkan mengenai wali adhal. Wali adhal adalah wali yang enggan atau menolak tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan pria pilihan anaknya itu. Dalam keadaan seperti itu, pihak calon mempelai perempuan berhak mengajukan permohonan ke pengadilan agama, agar pengadilan memeriksa dengan menetapkan wali adhalnya. Jadi, apabila ada wali adhal, maka wali hakim baru dapat melaksanakan tugas sebagai wali nikah, setelah ada penetapan dari pengadialan agama tentang adhal-nya wali.[6]
b.      Kewenangan mengadili perkara bidang kewarisan, wasiat dan hibah
Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada masalah hukum yang lebih membingungkan dari pada masalah waris; masalah yang mudah sekali menimbilkan kekacauan dan perdebatan seru di kalangan para ahli hukum maupun aktivis politik. Banyak sekali bahan bacaan dan karangan yang diterbitkan sejak permulaan abad ini. Namun masih belum nampak ada kesimpulan yang menyeluruh dan belum pernah pula di coba membuat undang-undang yang mengatur masalah waris untuk seluruh Indonesia. Hanya dalam UU Agraris Tahun 1960, diketemukan beberapa ketentuan yang meyangkut waris, terutama dalam bentuk bahan penelitian dan administrasi.
Menurut pasal 49 ayat (3) UU No 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama di bidang kewarisan, yang disebut dalam pasal 149 ayat (1) huruf b, adalah mengenai (a) penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris; (b) penentuan harta peninggalan; (c) bagian masing-masing ahli waris; dan (d) melaksanakan pembagian harta peninggalan. Dalam pasal 2 jo. Pasal 49 ayat (1) jo. Penjelasan umum angka 2 alinia ketiga telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengkaitkan asas ini dengan ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b, jo. Penjelasan umum angka 2 alinea ketiga tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perkara kewarisan, meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan ke lingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan agama ditinjau dari subyek pihak yang beperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama islam tanpa terkecuali.
Dengan berdasar pada pasal 49 ayat (3), kewenangan pengadilan agama di jawa dan Madura, serta sebagian bekas residensi Kalimantan selatan dan timur mengenai perkara-perkara kewarisan yang dicabut oleh pemerintah Belanda pada tahun 1937, melalui UU ini dikembalikan lagi wewenang pengadilan agama. Dengan demikian, kewenangan pengadilan agama di jawa, Madura, dan di sebagian bekas residensi Kalimantan selatan dan timur disamakan dengan kewenangan pengadilan agama di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Dalam penjelasan UU No 7 Tahun 1989 dijelaskan bilamana pewarisan itu dilakukan oleh pengadilan agama. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kewarisan islam tersebut dilaksanakan dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan pengadilan agama diseluruh wilayah nusantara, yang selama ini berbeda satu sama lain karena dasar hukumnya berbeda. Selain itu, berdasarkan pasal 107 UU No 7 Tahun 1989 tentang  peradilan agama, pengadilan agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan, pertolongan, dan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.[7]
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut hukum waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3) jo. Penjelasan umum angka 2 alinea ke-enam. Jadi, uraian singkat dari ketentuan pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris Islam yang akan diterapkan pada golongan rakyat yang beragama Islam di Pengadilan Agama terdiri dari :
a.       Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewarisi, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris;
b.      Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
c.       Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad (pendapat Prof.Hazairin dan KHI); dan
d.      Melaksanakan pembagian harta peninggalan.[8]

c.       Kewenangan mengadili perkara bidang wakaf dan shadaqah
Pasal 1 ayat (1) PP No 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudut kelembagaan keagamaan. PP.No 28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam Islam yang telah menjadi hukum positif, dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakilan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai degan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Masalah wakaf ini, tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini berarti masalah wakaf tersebut dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama menganut asas hukum Islam yang universal. Maksudnya, masalah wakaf tersebut dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama menganut asas hukum islam yang universal. Maksudnya, masalah wakaf tersebut tidak dibatasi dalam hal tersebut saja sebagaimana tersebut dalam PP. No 28 Tahun 1977, lembaga negara No. 1938 Tahun 1989 jo. PERMENDAGRI No.6 Tahun 1977. Perwakafan agama ini meliputi: perwakafan yang diatur dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama ini meliputi sah tidaknya barang wakaf, sengketa tentang apakah barang wakaf sudah dijual, digadaikan atau sudah diwariskan oleh orang yang mengelola barang wakaf (nadzir).[9] Barang yang dijadikan barang wakaf menyangkut barang yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak, jadi lebih luas jangkauannya dari pada peraturan pemerintah No 28 Tahun 1997 jo. Peraturan menteri dalam negeri No 6 Tahun 1997. Terakhir pada saat ini telah lahir UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dimana rumusan, prosedur, syarat-syarat, dan penyelesaian sengketa bahkan ketentuan pidananya disebutkan lebih rinci.
Mengenai sedekah, masih ada sementara orang yang berpandangan sempit, yaitu merupakan pemberian sesuatu benda atau sejumlah uang yang bernilai kecil atas dasar karena Allah. Padahal perbendaraan hukum islam, shadaqah mempunyai dua makna, yaitu shadaqah biasa seperti yang tersebut diatas dan shadaqah wajib. Shadaqah wajib ini disebut juga zakat. Oleh karena itu, peradilan agama berwenang pula menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat yang disebut shadaqah dalam pasal 49 ayat (1) huruf c. Dengan dikeluarkannya UU No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat (dan mulai berlaku tahun 2001) maka dewasa ini telah bertambah lagi dengan bagian hukum islam yang berlaku secara formal yuridis (sebagai hukum positif).
Sebagaimana diatas bahwa pada umumnya shadaqah itu dapat menjelma dalam bentuk zakat, infak, shadaqah jariah untuk pembagunan rumah sakit, tempat-tempat ibadah, pondok pesantren, dan lembaga-lembaga pendidikan. Kemungkinan konflik bersedekah yang menjadi perkara di lembaga pengadilan agama antara lain:
(1)   Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang diberi amanah oleh umat Islam untuk menerima mengelola dan menyalirkan benda-benda tersebut tetapi telah nyata menyalah gunakan untuk kepentingan pribadi dengan cara korupsi, manipulasi, dan cara-cara lain yang bertentangan dengan hukum;
(2)   Penyaluran Zakat, Infaq dan Shadaqah yang tidak merata dan tidak adil karena ada nepotisme, atau karena adanya kolusi dengan pihak tertentu;
(3)   Panitia, atau kepentingan pengurus yayasan yang menyalahkangunakan dana sedekah untuk kepentingan lain yang menyimpang dari tujuan semula.

d.      Kewenangan mengadili perkara bidang ekonomi syariah

Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:

a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.

Selanjutnya ditegaskan pula dalam pasal 52 ayat (1) UU No 7 Tahun 1989 yang menentukan bahwa peradilan agama juga diberi tugas dan kewenangan lain yaitu”dapat memberi keterangan, pertimbanagan dan nasehat tentang hukum Islam kepada institusi pemerintah di daerah hukumnya, apalagi diminta. Pemberian keterangan, pertimbanagn dan nasehat tentang hukum Islam itu, tidak dibenarkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan atau akan diperiksa di pengadilan. Selain itu, juga diserahi tugas tambahan dan/ atau berdasarkan UU, misalnya pengawasan terhadap pengacara/advokat yang berpraktek dilingkungan peradilan agama, notaries, Pegawai Pencatat Ikrar Wakaf (PPIW), Nadzir, dan sebagainya.[10]
2.      Kekuasaan Relatif Badan Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pegadilan Agama Bogor.
Dalam contoh yang telah diberikan, Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.[11]
Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan:
“peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten”.
Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan:
“pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkkinan adanya pengecualian”.
Tiap pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.
Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.
Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut di samping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktiknya, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan itu diajukan.[12]
Contoh-contoh ketentuan menentukan wilayah yuridiksi sebuah pengadilan adalah sebagaimana berikut:
a)      Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
b)      Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
c)      Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
d)     Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
e)      Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya terpilih.[13]
Pada dasarnya untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu seperti di dalam UU No. 7 Tahun 1989 sebagai berikut:
a)      Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman permohon.
b)      Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
c)      Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
d)     Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.[14]
Sebagaimana yang diterangkan di atas, kewenangan relatif Pengadilan Agama tetap terdapat beberapa pengecualian dibanding dengan Pegadilan Umum seperti dalam hal sebagai berikut:
a.       Permohonan Cerai Talak: Dalam hal cerai talak, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 66 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 7 Tahun 1989:

1)      Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
2)      Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
3)      Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dari ketetapan ini, maka dapat disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut:
a)      Apabila suami atau pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri atau termohon.
b)      Suami atau pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami atau pemohon apabila istri atau termohon secara sengaja menunggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami.
c)      Apabila isti atau termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau pemohon.
d)     Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

b.      Perkara Gugat Cerai: Dalam hal perkara gugat cerai, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989:
1)      Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2)      Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3)      Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dari ketetapan ini, maka dapat disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut:
a)      Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri atau penggugat.
b)      Apabila istri atau penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami, maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami atau tergugat.
c)      Apabila istri atau penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau tergugat.
d)     Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, maka yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[15]





A.    Sumber Hukum Peradilan Agama
Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, yaitu Hukum Materiil dan Hukum Formil yang sering disebut hukum acara.
1.      Pengertian Hukum Materiil dan Formil
Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertah ankan dan melaksanakan hukum materiil. Dengan kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi putusan.

a. Hukum Materiil Peradilan Agama
Hukum materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefenisikan sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain, dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindak lanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.[16]
Dalam surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab yakni : Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid, Bughyat Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-Muhtaj.
Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya pun belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif adalah hukun yang tertulis, dan hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan ini merupakan awal pergeseran hukum islam menjadi hukum tertulis. Namun bagian lain dari perkawinan seperti Kewarisan dan Wakaf masih di luar hukum tertulis sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama karena pengambilan dan dasar hukumnya dari kitab fikih yang berbeda.
Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb membuat dan memberlakukan hukum islam sebagai undang-undang yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.
Atas dasar itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan loka karya dan hasil pengkajian, penalaahan kitab kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah kompilasi, diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden tanggal 14 Maret 1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.
Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu yang terlalu panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah-masalah hukum Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam surat Keputusan Menteri Agama tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama agar mengoordinasi pelaksanaannya.[17]
Kemudian dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas tugas dan wewenangnya, yaitu :
1.      Perkawinan
2.      Kewarisan
3.      Wasiat
4.      Hibah
5.      Wakaf
6.      Zakat
7.      Shadaqah
8.      Infaq
9.      Ekonomi syari’ah
Dalam pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah : bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah.[18]

b. Hukum Formil Peradilan Agama
Meskipun lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh Pemerintah Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl.1937 No 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957 tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggung sama sekali tentang hukum acara yang harus digunakan oleh hakim dalam memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam penerapannya berbeda antar satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lainnnya.[19]
Oleh karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura. Reglement Voor De Buitengwesten (R.Bg) untuk luar Jawa dan Madura, maka kedua aturan hukum acara ini diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut.
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakkukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut:[20]
1. Reglement op de Burgerlijk Rechsvordering (B.Rv)
Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justie dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63. Berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.
Dengan dihapuskannya Raad van Justie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv masih banyak yang relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan tersebut masih dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, dan ketetntuan hukum acara perdata lainnya.
2. Inlandsch Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herziene Indonesia Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang diberlakukan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3. Rechtsregelement Voor De Buitengwesten (R.Bg)
Ketentuan hukum acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada diluar Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad.
Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 titel, yang masih digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberang adalah titel IV dan V, sedangkan titel I, II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dengan dihapuskannya Pengadilan Districgerecht, Districtraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht dan R. van Justitie.[21]
4. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.
            5. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktik peradilan.
WvK diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitannya dengan Hukum Dagang ini, terdapat juga Hukum Acara Perdata yang diatur dalam Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl. 1906 No. 348.


6.   Peraturan Perundang-undangan
a.       Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
b.      Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam praktik Peradilan di Indonesia.
c.       Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI.
d.      Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut.
e.       Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut.
f.       Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 54 disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali hal-hal lain yang telah diatur secara khusus.
g.      Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf.[22]
7. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockerna Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat dalam putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedent’’, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat keputusan sebelumnya.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI ini banyak pakar hukum menganggap bahwa Mahkamah Agung RI sudah mencampuri urusan hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur pada Pasal 195 HIR dan R.Bg sekaligus tampaknya pendapat tersebut ada benarnya tetapi apabila dilihat Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan dalam pasal 11 ayat (4) ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang dianjurkan kepadanya.[23]
9.   Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 8), doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan hukum acara guna, hakim dapat mengadili hukum acara perdatta. Doktrin itu bukan hukum,  melainkan sumber hukum.
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No.B/1/1735 Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan peraturan pemerintahan No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab fikih.
Dengan menunjukkan kepada 13 buah kitab fikih, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil atau menyerahkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang dianjurkan kepadanya dilingkungan Peradilan Agama.
Beberapa asas hukum acara peradilan agama, antara lain :
1.      Pemeriksaan perkara dimulai setelah diajukan gugatan/permohonan,
2.      Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau tidak jelas,
3.      Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
4.      Putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat ‘’Bismillahirrahmanirrahim’’,
5.      Pengadilan mengadili dengan menurut hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang,
6.      Pengadilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
7.      Sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian dilakukan sidang tertutup,
8.      Rapat pemusyawaratan hakim bersifat rahasia,
9.      Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.[24]


















BAB 3 KESIMPULAN

Bahwasannya didalam peradilan agama di Indonesia terdapat dua macam kekuasaan yaitu kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif, selanjutnya terkait dengan kesimpulan sumber pengadilan baik itu formil dan materil bahwasannya, sebelum Tahun 19991, yakni sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam, hukum materil Peradilan Agama merupakan hukum tidak tertulis, karena masih berserakan diberbagai kitab-kitab fikik, malah pada tahun1958 sudah diarahkan kepada hanya 13 kitab dan sebagaimana hukum materil, demikian pula hukum formil, sebelum lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Hukum Acara Peradilan Agama masih mengambil dari kitab-kitab fikih, karenanya kemungkinan adanya perbedaan dalam penerapan antara satu pengadilan dengan pengadilan yang lain sangat besar. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlakudi Peradilan Umum (HIR dan R.Bg) kecuali hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.










DAFTAR PUSTAKA

Zuhriyah, Erfaniah.2014.Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama).Malang: Setara Press.
A.Basiq, Djalil.2006.Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wahyudi, Abdullah Tri.2004.Peradilan Agama di Indonesia. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Fauzan, M.2007.Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia.Jakarta: Kencana.

A. Rasyid, Roihan.1998.Hukum Acara Peradilan Agama.Jakarta: CV. Rajawali.
Nuruddin, Amiur dan A. Tarigan, Azhari.2006.Hukum Perdata Islam Di Indonesia.Jakarta: kencana.
Asasriwarni dan Nurhasnah.2006.Peradilan Agama di Indonesia.Padang: Hayfa Press.




[1] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), h. 25
[2] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 132

[3] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 133
[4] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 134
[5] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 143
[6] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 135
[7] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 144
[8] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 137
[9] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 144
[10] Erfaniah Zuhriyah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan Agama), (Malang: Setara Press,2014), h. 139
[11] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.87
[12] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.88
[13] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 37
[14] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 38
[15] M. Fauzan, Po                                                                 kok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 40
[16] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 147
[17] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 150
[18]  Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press, 2006), h. 58
[19] Amiur Nuruddin dan Azhari A. Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2004), h.26
[20] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 153
[21] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 154
[22] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 155
[23] Djalil A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 157
[24] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 47

No comments:

Post a Comment