Monday 6 January 2014

FATWA DALAM ISLAM

FATWA DALAM ISLAM


PEMBAHASAN
A.    Pengertian
1.      Fatwa (Ifta’)
Kata Fatwa (kemudian disebut dalam istilah bahasa Indonesia) sepadan dengan kata Ifta’ yang berakar dari afta, berarti penjelasan tentang suatu masalah.[1]
Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan/pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.[2]
الإِخْبَارُ عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ الْعُمُوْمِ وَالشُّمُوْلِ
“Fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan”.
Menurut ulama Hanafi, ifta’ adalah menjelaskan hukum terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah). Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang satu persoalan sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).[3]
2.      Istifta’
Sedangkan istifta’ secara Etimologi ialah :
الْجَوَابُ عَمَّا يُشْكِلُ مِنَ الأُمُوْرِ
“menyelesaikan setiap problem”.[4]
Menurut Hallaq, di dalam Alquran, istilah istifta’ mengandung konotasi permohonan untuk memecahkan satu persoalan yang pelik.[5]
maka Istifta’ dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Sedangkan, Pihak yang meminta fatwa tersebut disebut al-mustafi.
3.      Mufti
Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”.
Adapun orang yang pertama menjabat mufti di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.
B.     Syarat dan Kewajiban Mufti
Dalam kitab Faroidu As Saniyyah Syarat sebagai Mufti ialah :
1.    Mengetahui ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum
2.    Mengetahui Hadits yang berhubungan dengan hukum
3.    Mengetahui Kaidah-kaidah fiqih
4.    Mengetahui Cabang-cabang ilmu fiqih
5.    Mengetahui Perselisihan Madzhab
6.    Mengetahui Madzhab yang sudah ditetapkan
7.    Mengetahui Ilmu Nahwu dan Shorof
8.    Mengetahui Ilmu Bahasa
9.    Mengetahui Ilmu Ushul
10.  Mengetahui Ilmu Ma’ani
11.  Mengetahui Ilmu Bayan
12.  Mengetahui Ilmu Tafsir
13.  Mengetahui Tingkah-tingkah rowi (Periwayat Hadits)
14.  Mengetahui Ketetapan dan Perselisihan
15.  Mengetahui Nasikh Mansukh
16.  Mengetahui Asbabun Nuzul.[6]
Menurut pendapat Imam Ahmad bahwa yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai lima perkara, yaitu :
1.   Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridloan Allah semata. Karenanya jangan member fatwa untuk mencari kekayaan ataupun kemegahan, atau karena takut kepada penguasa
2.   Hendaknya dia mempunyai ilmu, ketenangan , kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan. Ilmu sangat diperlukan dalam member fatwa. Orang yang memberi fatwa tanpa ilmu berarti mencari siksa Allah.
3.    Hendaknya mufti itu benar-benar orang yang menguasai Ilmunya, bukan seseorang yang lemah ilmu.
4.    Hendaknya seorang mufti memiliki kecukupan dalam bidang material bukan seseorang yang memerlukan bantuan orang lain untuk penegak hidupnya.
5.    Hendaknya mufti memiliki ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui keadaan masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan fatwa-fatwanya.[7][7]
Ibnu Qayyim menambahkan bahwa seorang mufti harusalah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
C.  Kedudukan Ifta’ (Fatwa)
Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
Disebutkan didalam kitab Al-Majmu’ tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa/berfatwa itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itubukan sembarang orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan urusan itu”
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat di bumi ini.
بَلِّغُواعَنِّى وَلَوْ ايَةً
“Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh diangkat menjadi mufti mengingat urusan fatwa adalah urusan agama. Sedangkan orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama. Fasik ialah orang yang tidak mau ta’at atau melanggar ketetapan-ketetapan agama. Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang terkenal fasik haram mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang dikeluarkan.[8]

KESIMPULAN
Fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Istifta’ dapat juga diartikan sebagai pertanyaan (aktifitas permohonannya) untuk memperoleh jawaban-jawaban (Fatwa) yang dikeluarkan sebagai respons terhadap berbagai peristiwa dan kejadian yang dihadapi di dalam masyarakat baik secara individual maupun kolektif.
“Sedangkan Mufti ialah pemberi Fatwa.”
Seorang mufti harusalah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
Fasik ialah orang yang tidak mau ta’at atau melanggar ketetapan-ketetapan agama.
Orang fasik tidak boleh diangkat menjadi mufti mengingat urusan fatwa adalah urusan agama. Sedangkan orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama.









4


DAFTAR PUSTAKA
Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain)
Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988)
Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001) Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001)
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah, (kudus, 2006)







[1][1] Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain) Hlm. 32
[3][3] Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hlm. 11.

2
[4][4] Khairul umam, ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), Hlm. 173
[6][6] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Al faroidu As Saniyyah, (kudus, 2006), hlm. 40

3
[7][7]Khairul umam, Ibid, Hlm. 178-179

No comments:

Post a Comment