الشركة
SYIRKAH (PERKONGSIAN)
(Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah)
Dosen Pengampu:
H. Abbas Arfan, Lc, MH
Oleh:
A.Syihabuddin Al Wahidy (09210039)
Abdul Hakam Adlhani (12220084)
Abdul Hakam Adlhani (12220084)
Novri
Hanif (12220085)
Aldino Abdi Imanda (12220087)
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam fiqh muamalah terdapat akad kerja sama dengan kaarakter yang
berbeda-beda. Di dalam bab terdahulu telah dibahas tentang akad mudlarabah (Qiradl).
Sama dengan akad mudlarabah, akad musyarakah adalah akad kerjasama dengan kedua
belah pihak atau lebih. Namun berbeda dengan akad mudlarabah, akad ini memiliki
spesifikasi-spesifikasi tertentu yang tidak ditemukan dalam akad mudlarabah.
Spesifikasi tersebut terkait dengan keterlibatan porsi modal, model pembagian
keuntungan/kerugian, keterlibatan para pihak dalam pengelolaan dan lain-lain.
Berikut penjelasan lebih tentang akad musyarakah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad musyarakah ?
2. Apa dasar hukum akad musyarakah ?
3. Apa saja rukun dari akad musyarakah ?
4. Apa saja syarat dari akad musyarakah ?
5. Ada berapa macam-macam syirkah ?
6. Sebutkan karakteristik akad musyarakah !
7. Bagaimana berakhirnya akad musyarakah ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan definisi musyarakah
2. Menyebutkan dasar hukum akad musyarakah
3. Menyebutkan rukun musyarakah
4. Menyebutkan syarat musyarakah
5. Mengetahui macam-macam dari syirkah
6. Menjelaskan karakteristik akad musyarakah
7. Memaparkan berakhirnya akad musyarakah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Musyarakah secara Lughowi berasal
dari kata Syâraka, Yusyâriku,
Musyâra’atan dari Fiil Madli Tsulasi Mujarrad syara’a yang
berarti bersekutu. Syâraka (dengan tambahan alif di ‘ain
fiil) bermakna saling bersekutu.[1] Akad musyarakah sering
disebut juga dengan istilah Akad Syirkah. Secara istilahi para imam
madzhab memberikan arti dengan banyak redaksi yang berbeda-beda, yaitu:
·
Ulama’ Madzhab Maliki:
suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerja sama
terhadap mereka.
·
Madzhab Syfi’i dan Hambali:
hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka
sepakati.
·
Ulama’ Madzhab Hanafi: akad
yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal dan keuntungan.
·
Wahbah al-Zuhailiy: akad
dua orang yang bersekutu dalam hal modal dan keuntungan. Ia adalah akad kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masing-masing pihak saling memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, akad Musyarakah
adalah akad yang dilakukan oleh orang yang mengikatkan diri untuk bekerja
sama, dimana masing-masing pihak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum
terhadap modal yang ia kelola.
B. Dasar Hukum Akad Musyarakah
Sebagaimana dalam akad mudharabah, al-Qur’an tidak menjelaskan akad
musyarakah. Maka, ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan bagi akad
musyarakah adalah keumuman ayat. Ulama’ ahli hukum Islam mendasarkan kebolehan
akad musyarakah pada beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ
فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ
امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ
كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (النساء: 12)
Artinya: “Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Q.S An-Nisa’ : 12)[3]
Ayat
di atas sebenarnya berbicara tentang pembagian warisan. Pada harta yang
ditinggal oleh seorang mayit, maka harta tersebut telah menjadi milik
bersamajika jumlah ahli waris banyak. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan
bahwa sejumlah harta dapat dimiliki secara bersama atas sebab-sebab tertentu.
Pada penggambaran inilah yang menjadi titik temu antara ayat tersebut dengan
konsep musyarakah.
Di samping itu, Ulama’ ahli fiqh
juga mendasarkan akad musyarakah pada ayat al-Qur’an:
قَالَ
لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُدُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ
فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (ص : 24)
Artinya: ”Daud berkata:
"Sesungguhnya dia telah berbuat lalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat lalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertobat.” (Q.S Shaad
: 24)[4]
Ayat
ini menceritakan bahwa pada masa Nabi Daud, ada sebagian orang yang melakukan
kerja sama (berserikat), namun sebagian dari mereka mendzalimi terhadap orang
lain. Ayat tersebut mengandung pesan universal tentang larangan saling
mendzalimi bagi orang yang melakukan kerja sama. Jika dikatakan bahwa pada ayat
inipun, al-Qur’an tidak berbicara pada wilayah teknis dari akad musyarakah.
C. Rukun Syirkah
Menurut mayoritas
Ulama’, rukun syirkah ada tiga:[5]
1. Aqidain (kedua belah pihak yang berserikat)
2. Ma’qud Alaih
(barang yang
menjadi objek beserikat/modal)
3. Sighat Ijab
Qabul (ucapan serah
terima)
Sementara itu, menurut Ulama’ Hanafiyah rukun syirkah hanya Sighat
Ijab Qabul (serah terima).
D. Syarat-Syarat Akad Syirkah
Syarat-syarat akad musyarakah diperinci sesuai dengan hal-hal yang
terkait dengan rukunnya. Secara terperinci, syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Syarat Aqidain
a.
Akil dan Baligh; syarat ini
mutlak berlaku bagi semua transaksi. Berbeda dengan Jumhur Ulama’ yang
mensyaratkan akil baligh dalam akad musyarakah –dan semua akad dalam muamalah-,
Imam Abu Hanifah menyebutkan syarat mumayyiz. Anak yang masih mumayyiz dapat
melakukan akad atas seizin orang tuanya.
b.
Memiliki kemampuan dan
kompetensi dalam memberikan atau menerima kuasa perwakilan. Jika objek
musyarakah dikelola secara barsama-sama, maka kemampuan dan kompetensi
disyaratkan ada pada kedua-duanya. Jika yang mengelola objek akad adalah salah
satunya, maka ini hanya berlaku pada pihak pengelola. Sedangkan pihak yang
tidak mengelola hanya disyaratkan kompeten di dalam memberikan kuasa
perwakilan.[6]
2.
Syarat yang terkait dengan ma’qud
‘alaih(barang yang menjadi objek modal)
a.
Modal berupa barang yang mitsli(barang
yang bisa ditimbang, ditakar, dan boleh diakad salam).
b.
Sama dalam jenis dan
sifatnya, sekiranya barang tersebut bercampur maka “tidak bisa dibedakan”.
c.
Modal terkumpul lebih
dahulu sebelum akad. Sehingga masing-masing pihak mengetahui porsi
masing-masing.
3.
Syarat yang terkait dengan
sighat (ucapan serah terima); sughat dalam akad musyarakah disyaratkan
berupa lafadz (ucapan) yang lugas dan menunjukkan adanya izin dalam
pengelolaan dana. Maka jika lafadz hanya terbatas pada memberi
pengertian melakukan kerja sama saja, tanpa menunjukkan adanya izin dari kedua
pihak yang berserikat, maka akad ini dianggap tidak sah.[7]
E.
Macam-Macam Syirkah
1.
Syirkah Amlak
Syirkah Amlak adalah persekutuan kepemimpinan dua orang atau lebih
terhadap suatu barang tanpa transaksi syirkah. Syirkah hak milik
ini dibagi menjadi dua:
a.
Syirkah ikhtiyar (suka
rela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua pihak yang bersekutu.
b.
Syirkah jabar (paksa),
yaitu syirkah yang terjadi di antara dua orang atau lebih tanpa adanya
kehendak dari kedua belah pihak.
Hukum kedua jenis syirkah ini adalah masing-masing sekutu bagaikan
pihak asing bagi pihak sekutunya yang lain. Sehingga, salah satu pihak tidak
berhak melakukan tindakan apapun tanpa izin dari yang lain, karena
masing-masingsekutu tidak memiliki kekuasaan atas bagian saudaranya.[8]
2.
Syirkah ‘Uqud
Syirkah ‘Uqud adalah transaksi yang akadnya dilakukan dua orang
atau lebih untuk menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan.[9]
Menurut Ulama’ Hanabilah, syirkah’uqud ada lima macam; yaitu:
1)
syirkah ‘inan,
2)
syirkah abdan,
3)
syirkah mudhârabah,
4)
syirkah wujûh, dan
5)
syirkah mufâwadhah
Menurut Ulama’ Hanafiyah, syirkah ‘uqud ada enam macam; yaitu:
1)
syirkah ‘inan,
2)
syirkah amwal,
3)
syirkah a’mal,
4)
syirkah wujuh,
5)
syirkah mufawadlah, dan
6)
syirkah mudharabah
Sedangkan menurut Ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah ‘uqud ada
empat macam; yaitu:
1) syirkah ‘inan,
2) syirkah mufawadhah ,
3) syirkah abdan, dan
4) syirkah wujuh
1.
Syirkah ‘Inan, adalah kerja
sama yang dilakukan dua orang atau lebih, dimana masing-masing pihak ikut
memberikan dana, terlibat dalam pengelolaan dan berbagi keuntungan dan
kerugian. Dalam syirkah ‘inan, dana hasil yang diberikan, kerja yang
dilakukan dan hasil yang duterima oleh masing-masing pihak tidak sama karena
sesuai dengan kesepakatan mereka.[10]
Batasan umum dalam syirkah ‘inan diantaranya
:
a.
Perserikatan harta dalam sebuah perdagangan,
b.
Modal yang digabung oleh masing-masing pihak tidak harus sama,
c.
Dalam soal tanggung jawab dan kerja juga tidak harus sama,
d.
Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan,
e.
Kerugian ditanggung sesuai dengan prosentase modal masing-masing,
f.
Dalam hal ini, Ulama’ fiqh membuat kaidah:
“keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan, kerugian dibagi sesuai presentase modal masing-masing”
2.
Syirkah
al-Mufawadhah, adalah perserikatan dua orang atau lebih yang
melakukan bisnis dengan syarat adanya kesamaan dalam permodalan, pembagian
keuntungan dan kerugian, kesamaan kerja, tanggung jawab, dan beban hutang.[11]
Batasan
umum dalam syirkah mufawadhah diantaranya:
a.
Perserikatan dua orang atau lebih
dalam suatu objek,
b.
Jumlah modal dari masing-masing
pihak harus sama,
c.
Pihak-pihak yang berserikat harus
sama-sama kerja, tidak ada yang lebih dominan,
d.
Adanya hak dan kewajiban yang sama
dari masing-masing pihak,
e.
Masing-masing pihak bertindak atas
nama orang-orang yang berserikat,
f.
Apabila modal, kerja, dan
keuntungan masing-masing beda, maka menurut Ulama’ Hanafi perserikatan ini
menjadi syirkah ‘inan,
g.
Masing-masing pihak boleh melakukan
transaksi jika mendapat persetujuan dari yang lain (menurut madzhab Hanafi),
akan tetapi madzhab Maliki tidak membolehkannya.
3.
Syirkah Abdan, adalah
perserikatan dalam bentuk kerja (tanpa modal) untuk menerima pekerjaan secara
bersama-sama dan berbagi keuntungan. Karakteristik syirkah abdan yaitu:
a.
Dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menerima suatu pekerjaan,
b.
Hasil yang diterima dari pekerjaan tersebut dibagi bersama sesuai
dengan kesepakatan,
c.
Menurut Ulama’ madzhab Maliki, syirkah tersebut sah dengan
syarat bahwa pekerjaan tersebut sejenis, satu tempat, serta hsil yang dibagi
sesuai dengan kuantitas kerja masing-masing,
d.
Menurut madzhab Syafi’i dan Syiah Imamiyah, jenis syirkah ini
tidak boleh, karena pada dasarnya yang menjadi objek syirkah harus modal/harta
atau modal dan kerja, bukan kerja semata.[12]
4.
Syirkah wujuh, adalah
perserikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki reputasi
(dikenal baik) di kalangan masyarakat untuk hutang barang, kemudian menjual dan
mambagi keuntungannya secara bersama-sama menurut kesepakatan.[13]
Praktek dari syirkah ini pada zaman sekarang mirip dengan praktek makelar.
F.
Karakteristik Akad
Musyarakah
Akad syirkah merupakan akad yang
mengadi ciri khas dari ekonomi syariah. Dalam akad ini dikenal adanya
karakteristik yang membedakan dengan akad-akad yang lainnya, yaitu:
1. Para pihak saling memberikan modal sebesar atas kesepakatan.
Akad musyarakah mengharuskan masing-masing pihak untuk memberikan modal untuk
digabungkan.
2. Jika usaha mereka berhasil, maka keuntungan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, dan jika merugi maka ditanggung sesuai porsi modal yang diberikan.
3. Musyarakah dalam Lembaga Keuangan Syariah dapat diterapkan
dengan prinsip bagi hasil.
4. Musyarakah dapat bersifat permanen atau menurun.[14]
G.
Berakhirnya Akad Musyarakah
Akad musyarakah dapat berakhir dengan beberapa prosedur berikut:
1.
Salah satu pihak mengundurkan
diri , karena menurut ahli fiqh akad perserikatan tidak bersifat mengikat,
boleh dibatalkan.
2.
Salah satu pihak yang
berserikat meninggal dunia.
3.
Salah satu pihak kehilangan
kecakapan bertindak hukum, seperti gila.
4.
Salah satu pihak murtad dan
memerangi islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Musyarakah secara Lughowi berasal dari kata Syâraka,
Yusyâriku, Musyâra’atan yang berarti bersekutu.
Sedangkan secara istilahi yaitu akad dua orang yang bersekutu dalam hal modal
dan keuntungan. Ia adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak saling memberikan kontribusi
dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
Macam-macam musyarakah:
·
Syirkah ‘inan
·
Syirkah mufawadhah
·
Syirkah abdan
·
Syirkah wujuh
Syarat-syarat
musyarakah:
·
Aqidain (kedua belah pihak yang berserikat)
·
Ma’qud Alaih (barang yang menjadi objek beserikat/modal)
·
Sighat Ijab Qabul
Akad musyarakah
dapat berakhir dengan beberapa prosedur berikut:
·
Salah satu pihak
mengundurkan diri , karena menurut ahli fiqh akad perserikatan tidak bersifat
mengikat, boleh dibatalkan.
·
Salah satu pihak yang
berserikat meninggal dunia.
·
Salah satu pihak kehilangan
kecakapan bertindak hukum.
·
Salah satu pihak murtad dan
memerangi islam.
Daftar Pustaka
Afandi, M. Y. Fiqh
Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
(2009).
Al-Bugha, M. a.-K. al-Fiqh
al-Manhaj. Damaskus: Darul Ulum. (1997).
Al-Qur’an
dan Tarjamahnya. Surah
an-Nisa dan Shaad. Kudus:
Menara Kudus
Dahlan, A. A. Ensiklopedi
Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove. (2001).
Dewi, Gemala. Hukum Perserkatan di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Group. (2006)
Zuhaili, P. D. Fiqih
Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Darul Fikir. (2011).
[1] Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hove, 2001) V: 1711
[2] Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hove, 2001) V: 1714.
[3]
Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 12
[4]Al-Qur’an
surah Shaad ayat 24
[5] Musthafa
al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al- Manhaj, (Damaskus: Darul
Ulum, 1996) III, 221
[6] Gemala Dewi, Hokum Perikatan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006) II, 58
[7] Prof.
Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir,
2011) I: 442
[8] Prof.
Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir,
2011) I: 444
[9] Prof.
Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir,
2011) I: 445
[10]
Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al- Manhaj, (Damaskus:
Darul Ulum, 1996) III, 223
[11] M.
Yazid Afandi, fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 127
[12] M.
Yazid Afandi, fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 128
[13]
Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al- Manhaj, (Damaskus:
Darul Ulum, 1996) III, 223
[14] Prof.
Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011)
IV: 814
No comments:
Post a Comment