Monday, 26 August 2013

syirkah



الشركة
SYIRKAH (PERKONGSIAN)
(Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah)
Dosen Pengampu:
H. Abbas Arfan, Lc, MH

uin mlg.jpeg

Oleh:
A.Syihabuddin Al Wahidy   (09210039)
Abdul Hakam Adlhani         (12220084)
Novri Hanif                            (12220085)
Aldino Abdi Imanda                        (12220087)


JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG













BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Dalam fiqh muamalah terdapat akad kerja sama dengan kaarakter yang berbeda-beda. Di dalam bab terdahulu telah dibahas tentang akad mudlarabah (Qiradl). Sama dengan akad mudlarabah, akad musyarakah adalah akad kerjasama dengan kedua belah pihak atau lebih. Namun berbeda dengan akad mudlarabah, akad ini memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu yang tidak ditemukan dalam akad mudlarabah. Spesifikasi tersebut terkait dengan keterlibatan porsi modal, model pembagian keuntungan/kerugian, keterlibatan para pihak dalam pengelolaan dan lain-lain. Berikut penjelasan lebih tentang akad musyarakah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian akad musyarakah ?
2.      Apa dasar hukum akad musyarakah ?
3.      Apa saja rukun dari akad musyarakah ?
4.      Apa saja syarat dari akad musyarakah ?
5.      Ada berapa macam-macam syirkah ?
6.      Sebutkan karakteristik akad musyarakah !
7.      Bagaimana berakhirnya akad musyarakah ?
C.    Tujuan
1.      Menjelaskan definisi musyarakah
2.      Menyebutkan dasar hukum akad musyarakah
3.      Menyebutkan rukun musyarakah
4.      Menyebutkan syarat musyarakah
5.      Mengetahui macam-macam dari syirkah
6.      Menjelaskan karakteristik akad musyarakah
7.      Memaparkan berakhirnya akad musyarakah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Musyarakah secara Lughowi berasal dari kata Syâraka, Yusyâriku, Musyâra’atan dari Fiil Madli Tsulasi Mujarrad syara’a yang berarti bersekutu. Syâraka (dengan tambahan alif di ‘ain fiil) bermakna saling bersekutu.[1] Akad musyarakah sering disebut juga dengan istilah Akad Syirkah. Secara istilahi para imam madzhab memberikan arti dengan banyak redaksi yang berbeda-beda, yaitu:
·         Ulama’ Madzhab Maliki: suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap mereka.
·         Madzhab Syfi’i dan Hambali: hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
·         Ulama’ Madzhab Hanafi: akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal dan keuntungan.
·         Wahbah al-Zuhailiy: akad dua orang yang bersekutu dalam hal modal dan keuntungan. Ia adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak saling memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, akad Musyarakah adalah akad yang dilakukan oleh orang yang mengikatkan diri untuk bekerja sama, dimana masing-masing pihak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum terhadap modal yang ia kelola.
B.     Dasar Hukum Akad Musyarakah
Sebagaimana dalam akad mudharabah, al-Qur’an tidak menjelaskan akad musyarakah. Maka, ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan bagi akad musyarakah adalah keumuman ayat. Ulama’ ahli hukum Islam mendasarkan kebolehan akad musyarakah pada beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya :

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (النساء: 12)
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Q.S An-Nisa’ : 12)[3]
            Ayat di atas sebenarnya berbicara tentang pembagian warisan. Pada harta yang ditinggal oleh seorang mayit, maka harta tersebut telah menjadi milik bersamajika jumlah ahli waris banyak. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sejumlah harta dapat dimiliki secara bersama atas sebab-sebab tertentu. Pada penggambaran inilah yang menjadi titik temu antara ayat tersebut dengan konsep musyarakah.
            Di samping itu, Ulama’ ahli fiqh juga mendasarkan akad musyarakah pada ayat al-Qur’an:
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُدُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (ص : 24)
Artinya: ”Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat lalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat lalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat.” (Q.S Shaad : 24)[4]
            Ayat ini menceritakan bahwa pada masa Nabi Daud, ada sebagian orang yang melakukan kerja sama (berserikat), namun sebagian dari mereka mendzalimi terhadap orang lain. Ayat tersebut mengandung pesan universal tentang larangan saling mendzalimi bagi orang yang melakukan kerja sama. Jika dikatakan bahwa pada ayat inipun, al-Qur’an tidak berbicara pada wilayah teknis dari akad musyarakah.

C.    Rukun Syirkah
Menurut mayoritas Ulama’, rukun syirkah ada tiga:[5]
1.      Aqidain (kedua belah pihak yang berserikat)
2.      Ma’qud Alaih (barang yang menjadi objek beserikat/modal)
3.      Sighat Ijab Qabul (ucapan serah terima)
Sementara itu, menurut Ulama’ Hanafiyah rukun syirkah hanya Sighat Ijab Qabul (serah terima).

D.    Syarat-Syarat Akad Syirkah
Syarat-syarat akad musyarakah diperinci sesuai dengan hal-hal yang terkait dengan rukunnya. Secara terperinci, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Syarat Aqidain
a.       Akil dan Baligh; syarat ini mutlak berlaku bagi semua transaksi. Berbeda dengan Jumhur Ulama’ yang mensyaratkan akil baligh dalam akad musyarakah –dan semua akad dalam muamalah-, Imam Abu Hanifah menyebutkan syarat mumayyiz. Anak yang masih mumayyiz dapat melakukan akad atas seizin orang tuanya.
b.      Memiliki kemampuan dan kompetensi dalam memberikan atau menerima kuasa perwakilan. Jika objek musyarakah dikelola secara barsama-sama, maka kemampuan dan kompetensi disyaratkan ada pada kedua-duanya. Jika yang mengelola objek akad adalah salah satunya, maka ini hanya berlaku pada pihak pengelola. Sedangkan pihak yang tidak mengelola hanya disyaratkan kompeten di dalam memberikan kuasa perwakilan.[6]
2.      Syarat yang terkait dengan ma’qud ‘alaih(barang yang menjadi objek modal)
a.       Modal berupa barang yang mitsli(barang yang bisa ditimbang, ditakar, dan boleh diakad salam).
b.      Sama dalam jenis dan sifatnya, sekiranya barang tersebut bercampur maka “tidak bisa dibedakan”.
c.       Modal terkumpul lebih dahulu sebelum akad. Sehingga masing-masing pihak mengetahui porsi masing-masing.
3.      Syarat yang terkait dengan sighat (ucapan serah terima); sughat dalam akad musyarakah disyaratkan berupa lafadz (ucapan) yang lugas dan menunjukkan adanya izin dalam pengelolaan dana. Maka jika lafadz hanya terbatas pada memberi pengertian melakukan kerja sama saja, tanpa menunjukkan adanya izin dari kedua pihak yang berserikat, maka akad ini dianggap tidak sah.[7]

E.     Macam-Macam Syirkah
1.      Syirkah Amlak
Syirkah Amlak adalah persekutuan kepemimpinan dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa transaksi syirkah. Syirkah hak milik ini dibagi menjadi dua:
a.       Syirkah ikhtiyar (suka rela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua pihak yang bersekutu.
b.      Syirkah jabar (paksa), yaitu syirkah yang terjadi di antara dua orang atau lebih tanpa adanya kehendak dari kedua belah pihak.
Hukum kedua jenis syirkah ini adalah masing-masing sekutu bagaikan pihak asing bagi pihak sekutunya yang lain. Sehingga, salah satu pihak tidak berhak melakukan tindakan apapun tanpa izin dari yang lain, karena masing-masingsekutu tidak memiliki kekuasaan atas bagian saudaranya.[8]

2.      Syirkah ‘Uqud
Syirkah ‘Uqud adalah transaksi yang akadnya dilakukan dua orang atau lebih untuk menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan.[9]
Menurut Ulama’ Hanabilah, syirkah’uqud ada lima macam; yaitu:
1)      syirkah ‘inan,
2)      syirkah abdan,
3)      syirkah mudhârabah,
4)      syirkah wujûh, dan
5)      syirkah mufâwadhah
Menurut Ulama’ Hanafiyah, syirkah ‘uqud ada enam macam; yaitu:
1)      syirkah ‘inan,
2)      syirkah amwal,
3)      syirkah a’mal,
4)      syirkah wujuh,
5)      syirkah mufawadlah, dan
6)      syirkah mudharabah
Sedangkan menurut Ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah ‘uqud ada empat macam; yaitu:
1)      syirkah ‘inan,
2)      syirkah mufawadhah ,
3)      syirkah abdan, dan
4)       syirkah wujuh
1.      Syirkah ‘Inan, adalah kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih, dimana masing-masing pihak ikut memberikan dana, terlibat dalam pengelolaan dan berbagi keuntungan dan kerugian. Dalam syirkah ‘inan, dana hasil yang diberikan, kerja yang dilakukan dan hasil yang duterima oleh masing-masing pihak tidak sama karena sesuai dengan kesepakatan mereka.[10]
Batasan umum dalam syirkah ‘inan diantaranya :
a.       Perserikatan harta dalam sebuah perdagangan,
b.      Modal yang digabung oleh masing-masing pihak tidak harus sama,
c.       Dalam soal tanggung jawab dan kerja juga tidak harus sama,
d.      Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan,
e.       Kerugian ditanggung sesuai dengan prosentase modal masing-masing,
f.       Dalam hal ini, Ulama’ fiqh membuat kaidah:
keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, kerugian dibagi sesuai presentase modal masing-masing”
2.      Syirkah al-Mufawadhah, adalah perserikatan dua orang atau lebih yang melakukan bisnis dengan syarat adanya kesamaan dalam permodalan, pembagian keuntungan dan kerugian, kesamaan kerja, tanggung jawab, dan beban hutang.[11]
Batasan umum dalam syirkah mufawadhah diantaranya:
a.       Perserikatan dua orang atau lebih dalam suatu objek,
b.      Jumlah modal dari masing-masing pihak harus sama,
c.       Pihak-pihak yang berserikat harus sama-sama kerja, tidak ada yang lebih dominan,
d.      Adanya hak dan kewajiban yang sama dari masing-masing pihak,
e.       Masing-masing pihak bertindak atas nama orang-orang yang berserikat,
f.       Apabila modal, kerja, dan keuntungan masing-masing beda, maka menurut Ulama’ Hanafi perserikatan ini menjadi syirkah ‘inan,
g.      Masing-masing pihak boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari yang lain (menurut madzhab Hanafi), akan tetapi madzhab Maliki tidak membolehkannya.
3.      Syirkah Abdan, adalah perserikatan dalam bentuk kerja (tanpa modal) untuk menerima pekerjaan secara bersama-sama dan berbagi keuntungan. Karakteristik syirkah abdan yaitu:
a.       Dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menerima suatu pekerjaan,
b.      Hasil yang diterima dari pekerjaan tersebut dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan,
c.       Menurut Ulama’ madzhab Maliki, syirkah tersebut sah dengan syarat bahwa pekerjaan tersebut sejenis, satu tempat, serta hsil yang dibagi sesuai dengan kuantitas kerja masing-masing,
d.      Menurut madzhab Syafi’i dan Syiah Imamiyah, jenis syirkah ini tidak boleh, karena pada dasarnya yang menjadi objek syirkah harus modal/harta atau modal dan kerja, bukan kerja semata.[12]
4.      Syirkah wujuh, adalah perserikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki reputasi (dikenal baik) di kalangan masyarakat untuk hutang barang, kemudian menjual dan mambagi keuntungannya secara bersama-sama menurut kesepakatan.[13] Praktek dari syirkah ini pada zaman sekarang mirip dengan praktek makelar.

F.     Karakteristik Akad Musyarakah
Akad syirkah merupakan akad yang mengadi ciri khas dari ekonomi syariah. Dalam akad ini dikenal adanya karakteristik yang membedakan dengan akad-akad yang lainnya, yaitu:
1.      Para pihak saling memberikan modal sebesar atas kesepakatan. Akad musyarakah mengharuskan masing-masing pihak untuk memberikan modal untuk digabungkan.
2.      Jika usaha mereka berhasil, maka keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan, dan jika merugi maka ditanggung sesuai porsi modal yang diberikan.
3.      Musyarakah dalam Lembaga Keuangan Syariah dapat diterapkan dengan prinsip bagi hasil.
4.      Musyarakah dapat bersifat permanen atau menurun.[14]
G.    Berakhirnya Akad Musyarakah
Akad musyarakah dapat berakhir dengan beberapa prosedur berikut:
1.      Salah satu pihak mengundurkan diri , karena menurut ahli fiqh akad perserikatan tidak bersifat mengikat, boleh dibatalkan.
2.      Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
3.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila.
4.      Salah satu pihak murtad dan memerangi islam.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Musyarakah secara Lughowi berasal dari kata Syâraka, Yusyâriku, Musyâra’atan yang berarti bersekutu. Sedangkan secara istilahi yaitu akad dua orang yang bersekutu dalam hal modal dan keuntungan. Ia adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak saling memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Macam-macam musyarakah:
·         Syirkah ‘inan
·         Syirkah mufawadhah
·         Syirkah abdan
·         Syirkah wujuh
Syarat-syarat musyarakah:
·         Aqidain (kedua belah pihak yang berserikat)
·         Ma’qud Alaih (barang yang menjadi objek beserikat/modal)
·         Sighat Ijab Qabul
Akad musyarakah dapat berakhir dengan beberapa prosedur berikut:
·         Salah satu pihak mengundurkan diri , karena menurut ahli fiqh akad perserikatan tidak bersifat mengikat, boleh dibatalkan.
·         Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
·         Salah satu pihak kehilangan kecakapan bertindak hukum.
·         Salah satu pihak murtad dan memerangi islam.


Daftar Pustaka
Afandi, M. Y.  Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka. (2009).
Al-Bugha, M. a.-K. al-Fiqh al-Manhaj. Damaskus: Darul Ulum. (1997).
Al-Qur’an dan Tarjamahnya. Surah an-Nisa dan Shaad. Kudus: Menara Kudus
Dahlan, A. A. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove. (2001).
Dewi, Gemala. Hukum Perserkatan di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Group. (2006)
Zuhaili, P. D. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Darul Fikir. (2011).



[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove, 2001) V: 1711
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove, 2001) V: 1714.
[3] Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 12
[4]Al-Qur’an surah Shaad ayat 24
[5] Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al- Manhaj, (Damaskus: Darul Ulum, 1996) III, 221
[6] Gemala Dewi, Hokum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006) II, 58
[7] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011) I: 442
[8] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011) I: 444
[9] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011) I: 445
[10] Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al- Manhaj, (Damaskus: Darul Ulum, 1996) III, 223
[11] M. Yazid Afandi, fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 127
[12] M. Yazid Afandi, fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009) hal. 128
[13] Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al- Manhaj, (Damaskus: Darul Ulum, 1996) III, 223
[14] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Darul Fikir, 2011) IV: 814


No comments:

Post a Comment