RAHN (GADAI)
(Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits al-Ahkam)
Dosen Pengampu:
H. Moh. Toriquddin, Lc., M. Hi
Oleh:
Abdul Hakam A. (12220084)
Rizul Barzan G. (12220110)
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
Segala puji bagi
Allah pencipta alam semesta seraya isinya, solawat serta salam semoga tetap
tercurahkan pada baginda Nabi Muhammad SAW, sang cahaya dunia, yang membawa
kita dari jalan kesesatan menuju jalan yang terang benerang. Juga terhadap para
sahabat dan keluarga beliau.
Rasa syukur terus
kami panjatkan kepada Allah, yang atas izinnya kami bisa menyelesaikan
makalah ini yang berjudul Rahn (Gadai)
Dalam makalah ini, kami hanya menyebutkan beberapa hadits yang
berkaitan dengan masalah jual beli baik hukumnya,macamnya dll. Kami membahas
analisis teks hadits, asbabul wurud, dan isi kandungan haditsnya
serta pengertian-pengertian yang berkaitan
dengan bab tersebut.
Penulis yang memang pemula dalam hal ini, tentu dalam makalah ini pasti akan ditemukan berbagai kekurangan, oleh
karenanya kami meminta kepada para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik
dan saran agar karya ini menjadi lebih baik. Dalam kesempatan ini, tidak lupa
juga kami ucapkan rasa terima kasih kami pada :
1. H.Moh. Thoriquddin Lc.,M.Hi
3. Semua
orang yang membantu kami dalampenulisan makalah ini.
Ahkirnya kami sebagai penulis berharap semoga karya yang sederhana
ini bisa bermanfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca. Amin
ya Mujibassailin.
Malang, 26 Mei
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Islam merupakan
agama dan daulah, sebagaimana ia menjelaskan hubungan antara hamba dengan
Rabb-nya, hubungan Rabb dengan hamba dan adab-adabnya, maka ia juaga menjelaskan
berbagai macam aturan hidup, seperti jual beli, upah, persekutuan dan
lain-lain.
Seiring dengan
perkembangan zaman di era modern yang serba canggih, maka berubah pula
alat-alat yang dilakukan dalam hal transaksi, komunikasi dan lain-lain semuanya menggunakan
mesin. oleh karena itu, kita sebagai
umat islam harus mengetahui perkembangan
zaman sekarang dan mengerti bagaimana
hukum-hukumnya agar kita tidak terjerumus pada transaksi yang salah
tentu dengan landasan al-qur’an dan hadist-hadist Nabi. Dengan memahami
hadits-hadist Nabi Muhammad SAW secara mendalam serta mengetahui asbabul
wurudnya, isi kandungannya dan mengaplikasikannya secara kontekstual maka kita
akan selamat dunia dan akherat.
Banyak sekali
kitab-kitab hadits yang telah di karang oleh ulama zaman dahulu, akan tetapi
yang menjadi sumber rujukan dari berbagai karangan ulama-ulama tersebut adalah kutubussittah,
oleh karena itu dengan mengambil beberapa hadits tentang jual beli dari kitab
tersebut kita bisa mengetahui hadits dari sumber asli nya ssebagi landasan
tentang masalah jual beli.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sebutkan Hadits yang berhubungan dengan Rahn/Gadai !
2.
Jelaskan makna dari kata-kata yang terkandung dalam hadits !
3.
Apa pengertian Rahn ?
4.
Apa ayat yang mendasari Rahn ?
5.
Sebutkan rukun dan syarat Rahn !
C.
Tujuan
1.
Menyebutkan hadits yang berhubungan dengan Rahn.
2.
Menjelaskan makna dalam hadits.
3.
Menjelaskan arti dari Rahn.
4.
Menyebutkan ayat-ayat yang mendasari Rahn.
5.
Menyebutkan rukun dan syarat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Tentang Al-Rahn
1. Hadits Pertama
Dari Abu Hurairah berkata, Rasullullah SAWbersabda :
الظَّهرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كانَ مَرْهُونًا وَ لَبَنُ الدَّارِّ
يُشرَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كانَ مَرهُونًا و على الَّذِى يَركَبُ و يَشرَبُ النَّفَقَةُ.
“ Hewan tunggangan yang digadai boleh
ditunggangi dengan syarat diberi makanan oleh pene-rima gadai, dan susunya
boleh diminum dengan syarat diberi makan oleh orang yang menung-gang hewan
tersebut dan yang minum susunya harus
memberi makan dan minum kepada binatang tersebut.” Diriwayatkan oleh
al-Bukhari.[1]
2.
Hadits Kedua
وَعَنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لَايُغْلَقُ الرَّهنُ مِنْ
صَاحِبِهِ اَّلذِي رَهَنَهُ لِهُ غُنْمُهُ وعَليْهِ غُرمُهُ : رواه الدار قطنى
والحَاكِم, ورِجالُهُ ثِقَاتٌ, إلَّا اَنَّ المَخْفُوظَ عِندَ
اَبِى داود وغيرِهِ إرْسَالُهُ.
Dari dia, dia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: "gadai tidak menutup pemiliknya yang
menggadaikannya (Ia memiliki hasilnya) dan wajib menanggung kerusakannya."
riwayat Daruquthni dan Hakim.Perawi-prawinya dapat dipercaya. Hanya saja ia
hadits mursal yang termaktub dalam riwayat Abu Dawud.[2]
B.
Penjelasan Lafadz
1.
Hadits Pertama
الظهر : Hewan tunggangan, maksudnya punggung hewan
tunggangan yang digadaikan.
يركب
بنفقته :
Boleh ditunggangi
bila diberi makan, maksudnya boleh bagi penerima gadai untuk menungganginya
dengan tanggung jawab memberi makanan kepada hewan tersebut.
اذا
كان مرهونا : Yang digadai, maksudnya apabila hewan tersebut yang ditunggangi
disimpan pada orang yang diberi gadai.
و
لبن الدار :
Dan susunya,
Ibnu Hajar berkata dalam al-fath,”Perkataannya ad-darr ( الدار ) dengan fathah pertama dan tasydid
ra’ adalah kata benda yang berarti ad-darrah yaitu yang memiliki
kantung susu. Dan perkataannya laban ad-darr ( لبن الدار ) adalah termasuk menggabungkan sesuatu
kepada dirinya sendiri, dan ini seperti firman Allah SWT.
و حب الحصيد
“
Biji-biji tanaman yang diketam.” ( 50:9 )
Dan ditanggapi oleh
al-‘Aini bahwasannya apabila maksud dari ad-darr adalah ad-darrah
maka itu tidaklah menggabungkan sesuatu kepada dirinya sendiri karena susu itu
bukanlah kantong susu.
يشرب
بنفقته :
Boleh
meminumnya dengan memberi makan, maksudnya boleh bagi yang menerima gadai hewan
tersebut minum dari susunya dengan kadar
ukuran makanan yang dia berikan kepadanya.
اذا
كان مرهونا : Yang digadai, maksudnya apabila kantung susu itu disimpan pada
orang yang diberi gadai.
و
على الذى يركب : Orang yang menunggang hewan tersebut dan yang meminum susunya harus
و
يشرب النفقة : memberi makan dan minum kepada binatang tersebut, maksudnya wajib bagi
orang yang mengambil manfaat dari penunggangan hewan yang digadai atau meminum
susunya untuk memberi makanan dan minuman kepada hewan tersebut selama disimpan
padanya.[3]
2.
Hadits Kedua
لا يغلق : Tidak menutupi hak orang yang
menggadaikan dalam memilikinya.
الرهن : Barang yang digadaikan,
masdar yang ma’nanya ismu maf’ul.
غرمه : Sesuatu yang ia nafkahkan.
C.
Pembahasan
1.
Pembahasan Hadits Pertama dan Kedua
Al-bukhari telah mengeluarkannya dalam Shahihnya pada kitab ar-Rahnu
fi al-hadhar ( penggadaian saat mukim ), dalam bab ar-Rahnu Markub wa
Mahlub ( penggadaian yang
ditunggangi dan yang di perah susunya ), dua hadis, dimana dia berkata pada
hadis pertama dari keduanya : Abu Nuaim telah meriwayatkan kepada kami, Zakaria
telah meriwayatkan kepada kami, dari Amir dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW
bahwasanya beliau bersabda :
الرهن يركب بنفقته و يشرب لبن الدار اذا كان مرهونا.
“ Baranggadaian hendaklah ditunggangi
dengan ( syarat )memberi nafkah, dan air susu darihewan yang
menyusui boleh diminum apabila digadaikan.”
Muhammad bin Muqatil telah meriwayatkan kepada kami, Abdullah telah
mengabarkan kepada kami, Zakaria telah mengabarkan kepada kami, dari asy-Sya’bi
dari Abu Hurairah berkata, Rasullulah bersabda “ Hewan tunggangan boleh
ditunggangi dengan member nafkah.....” dengan lafad yang disebutkan oleh
penulis disini. Dan sesungguhnya telah
ada pada sebagian besar cetakan Shahih al-Bukhari yang telah dicetak
kata “ Hewan tungggangan boleh ditunggangi dengan memberi nafkah apabila
digadaikan“ diganti dengan “penggadaian boleh ditunggangi dengan memberi
nafkah apabila digadaikan” dan ini adalah sebuah kesalahan yang jelas
sekali.
Dan sesungguhnya kesalahan ini telah
ada pada cetakan dari penerbit al-Fajalah al-Jadidah yang telah diterbitkan
oleh Maktabah an-Nahdhah al-Haditsah oleh Abdul Hafizh dan Abd
asy-Syakur di makkah al-Mukarramah, demikian juga pada cetakan Fath al-Bari dari
percetakan al-Halabi di mesir tahun 1378 H, dan dalam cetakan lain, padahal
Ibnu Hajar berkata pada penjelasan hadis pertama dari dua hadis bab “Barang
gadaian yang ditunggangi dan yang diperah susunya”, dan “Barang
gadaianditunggangi dengan memberi nafkah.”
Demikianlah untuk semua dengan dhamah pertamayurkabu (يركب ) dengan bentuk kalimat pasif, demikian juga yusyrabu
(يشرب)
yaitu sebagai predikat yang bermakna perintah namun yang diperintahkan tidaklah
jelas, dan yang dimaksud-kandengan penggadaian (ar-Rahn) yaitu yang
digadaikan. Dan sebenarnya telah
dijelaskan pada jalan yang kedua dimana dia berkata “Hewan tunggangan apabila
digadaikan dapat ditunggangi dengan memberi nafkah.”
Dan dalam cetakan lain Fath
al-Bari dari percetakan al-Maktabah as-Salafiyah di mesir telah menjelaskan
bahwa hewan tunggangan, boleh ditunggangi apabila ia tergadaikan. Dan sesungguhnya al-Bukhari telah
menyimpulkan dari dua hadis tersebut sebagai inti sari bab ini dan bahwasannya
pemanfaatan barang yang digadaikan adalah seukuran dengan apa yang dinafkahkan
oleh orang yang menerima peng-gadaian tersebut terhadap barang tadi, dan dia
mengisyaratkan bahwasannya makna ini juga telah diriwayatkan oleh Mughirah bin
Muqsim dari Ibrahim an-Nakha’i dimana al-Bukhari berkata setelah pendahuluanya,
Mughirah berkata dari Ibrahim “Hewan yang hilang dapat ditunggangi sesuai
dengan kadar nafkah yang diberikan kepadanya, dan juga dapat diperah susunya
sedangkan hewan gadaian adalah seperti itu juga.”
Ibnu Hajar berkata dalam al-fath,
“Said bin Mansur telah menyambung riwayat ini dari Hasyim dari Mughirah
dengannya “perkataannya, Dan gadaian juga seperti itu” maksudnya seperti
itu dalam ketetapannya yang telah disebutkan.
Dan sesunggunhnya telah disambung oleh Said bin Mansur dengan isnad
yang telah disebutkan di atas dan lafadnya :
الدابة
اذا كانت مرهونة تركب بقدر علفها, و اذا كان لها لبن يشرب منه بقدر علفها.
“Seekor hewan bila digadaikan, hendaklah
dikendarai sesuai dengan kadar nafkah yang diberikan kepadanya, dan apabila dia
memiliki air susu, hendaklah diminum sesuai dengan kadar nafkah yang juga
diberikan untuknya.”
Diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dalam jami’nya dari
Hammad bin Abi Sulaiman dari Ibrahim dengan lafad yang lebih jelas dari yang
tadi. Adapun lafadnya :
اذا ارتهن شاة شرب المرتهن من لبنها بقدر ثمن علفها, فان استفضل من
اللبن بعد ثمن العلف فهو ربا.
“Apabila seekor domba telah digadaikan,
maka orang yang menerima gadai tersebut, hendaklah meminum air susunya sesuai
dengan harga makanan yang dia berikan kepada hewan tersebut dan apabila dia
mengambil lebih dari harga makanan yang dia berikan kepadanya maka hal itu
adalah riba.”[5]
Tidaklah diragukan bahwasannya
selama orang yang menerima gadai tidak mengambil manfaat dari barang gadaian
kecuali sesuai dengan sesuatu yang telah dia nafkahkan kepadanya dari makanan
atau minuman untuk mempertahankan kehidupannya maka sesungguhnya tidak ada hal
yang syubhat padanya, karena dia tidak mengambil manfaat dari jasa hartanya
tersebut pada orang yang memberikan gadai sama sekali, hanya saja menjadi
seperti orang yang membeli susu atau dia menyewa hewan untuk ditunggangi yang
tidak ada muamalah antara dia dan yang lainnya.
Dan yang dapat dipahami secara terbalik dari kedua hadis dan riwayat
tersebut yaitu seandainya orang yang memberikan gadaian bertanggung jawab atas
nafkah barang yang digadaikan yang ada pada orang yang diberikan gadai maka tidaklah
halal bagi orang yang menerima gadai tersebut meminum air susunya ataupun
menunggangi hewan gadaian tersebut.
Berdasarkan tujuh dasar itulah, maka tidak ada celah sama sekali untuk melemahkan
hadis yang shahih dan kuat tersebut.
Adapun perkataan Ibnu Abdulbar,
hadis ini menurut sebagian besar ulama fikih telah bertentangan dengan
dasar-dasar yang telah diijma’kan dan riwayat-riwayat yang kuat yang
tidak ada perselisihan akan keshahihannya, dan yang menunjukkan bahwa
dia telah dinaskh (dihapus) adalah
hadis Ibnu Umar yang telah berlalu pada bab-bab kezaliman-kezaliman :
لا تحلب ما شية امرئ بغير اذنه
“Tidaklah boleh memerah susu hewan orang
lain tanpa seizinnya.”
Maka saya berkata, perkataan ini
tertolak dan tidak cocok sama sekali, dan hadis ini juga sama sekali tidaklah
bertentangan dengan sesuatu pun dari dasar-dasar yang kuat dari Rasulullah
karena hal ini bukanlah dalam bentuk jual beli air susu dalam kantung susunya
dan tidak juga dalam bentuk setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat, maka itu
adalah riba, dan juga bukan dalam bentuk memerah susu hewan seseorang tanpa
seizing pemiliknya, namun hadis ini merupakan kebaikan terbesar dari syariat
Islam karena telah meliputi kasih sayang terhadap binatang yang digadaikan dan
berbuat baik kepadanya serta menolak mudharat darinya dan dari orang
yang menerima gadaian hewan tersebut serta tidak pula dari orang yang
memberikan gadaian hewan tersebut.[6]
D.
Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai
(ar-rahn) berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan penahanan.Adapula
yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah
syara', yang dimaksud rahn ialah:
عَقْدٌ مَوْضُوعُهُ إحْتِبَاسُ مالٍ لِوَفَاءِ حَقٍّ
يُمْكِنُ إسْتِبْفَاءُهُ مِنه
"akad yang
objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran
dengan sempurna darinya."[7]
Gadai
adalah akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan hutang.[8]
Menurut Sulaiman Rasyid, gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan
atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[9]
Adapun pendapat lain, Gadai yaitu menjadikan suatu benda bernilai menurut
pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[10]
E.
Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi
atau landasan hukum pinjam meminjam dengan jaminan adalah firman Allah sebagai berikut :
وإن كنتم على سفرٍ
ولَمْ تجدوا كاتبًا فَرِهَان مقبوضة[11]
“Apabila kamu
dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan hutang,maka hendaklah
dengan rungguhan dan di terima ketika itu"(al Baqarah :283)
Diriwayatkan oleh
Ahmad Bukhori Nasai dan Ibnu Majah dari Anas r.a ia berkata:
رهن رسول الله ص م دِرْعًا
عندَ يهوديٍّ بالمدينة وأَخَذَ منهُ شعيرا لِاَهلِهِ
“Rasulullah saw merungguhkan
baju besi kepada orang yahudi di Madinah ketika beliau menghutangkan gandum
dari seorang yahudi.”
Dari Hadits diatas
dapat dipahami bahwa agama islam tidak membeda bedakan antara orang muslim dan
non muslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar
hutangnya sekalipun kepada non muslim.
F.
Rukun dan Syarat Rahn
Gadai atau
pinjaman dengan jaminan sesuatu benda memiliki beberapa rukun antara lain :
1.
Akad ijab kabul seperti seseorang berkata :”aku gadaikan
mejaku ini dengan harga Rp. 10.000 dan yang satu lagi menjawab “Aku terima
gadai mejamu seharga Rp.10.000 atau bisa pula dilakukan selain dengan kata kata
seperti dengan surat maupun isyarat atau yang lainnya.
2.
Aqid,yaitu yang menggadaikan dan yang menerima gadai.
Adapun syarat bagi berakad adalah ahli tasharuf yaitu mampu membelanjakan harta
dan dalam hal ini memahami persoalan persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.
Barang yang dijadikan jaminan, syarat pada benda yang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji hutang harus
dibayar. Menurut Ahmad bin Hijazi yang dapat
dijadikan jaminan dalam masalah gadai ialah 1) kesaksian, 2) barang gadai, 3)
barang tanggungan.
4.
Ada hutang, disyaratkan keadaan
hutang telah tetap.[12]
BAB III
PENUTUP
A
Kesimpulan
1.
Bolehnya orang yang menerima gadaian memanfaatkan barang gadaian
tersebut sesuai dengan kadar nafkah yang dia berikan kepada barang tersebut
tanpa lebih.
2.
Bahwasanya pemanfaatan orang yang menerima gadaian terhadap barang
gadaian yang sesuai dengan kadar nafkah yang dia berikan tersebut bukan
termasuk riba.
3.
Mendetailnya sistem Islam pada masalah harta dan lainnya, dan
pondasinya atas dasar kasih sayang dan kebaikan.
4.
Kerusakan dalam rahn ditanggung oleh orang yang menggadaikan
menurut Syafi’i.
5.
Hak orang yang menggadaikan tidak gugur dengan sebab rusaknya
barang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bassam,
Abdullah bin Abdurrahman. Taudhihul Ahkam. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.
Ash-Shidqi, Habsy. Pengantar Ilmu Muamalah. Jakarta: Bulan
Bintang. 1984.
Asqalani, Ibnu
Hajar.. Syarhu Bulughul Maraam. Beirut: Darul Fikr. 2008
Azhar Basyir,
Ahmad. Riba, Hutang-Piutang dan Gadai. Bandung: al-Ma’arif. . 1983
Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad. t. t. Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid. Beirut: Darul Qalaam. 1989.
Mahrus Ali,
Muhammad. Terjemah Bulughul Maraam. Surabaya: Mutiara Ilmu. 1995.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah. 1976
Zuhdi, Masfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV. Agung Masagung.
1988.
[1]M. Mahrus Ali, Terjemah Bulughul Maraam (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 1995) hlm.363
[3]Ibnu Hajar Asqalani,Syarhu Bulughul Maraam (Beirut: Darul
Fiqr, 2008)hlm.110-111
[5] Syekh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhihul Ahkam (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006)hlm.247
[6]Muhammad bin Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
Wa Nihayatul Muqtashid (Beirut: Darul Qalam, 1988)hlm.244
[7] Habsy Ash-Shidqi, Pengantar Ilmu Muamalah (Jakarta: Bulan
BIntang, 1984)hlm.86-87
[8]Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung,
1988)hlm.153
[9]Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jalarta: Atthahiriyah, 1976)hlm.295
[10]Ahmad Azhar Basyir, Riba, Hutang Piutang dan Gadai (Bandung:
Al-Ma’arif, 1983)hlm.50
[11](البقرة: 283)
No comments:
Post a Comment