Thursday, 29 August 2013

Hukum Perdata (Konsepsi Perikatan)



KONSEPSI PERIKATAN
(Untuk memenuhi tugas UAS paper mata kuliah Hukum Perdata)

Dosen Pengampu:
Dr. H. Saifullah, SH, M.Hum

uin mlg.jpeg


Oleh:
Abdul Hakam Adlhani                     (12220084)


JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hokum antara dua pihak dimana satu pihak itu ada hak dan di pihak lain ada kewajiban. Dengan berpegang pada perumusan seperti itu, maka di dalamnya termasuk semua hubungan hokum yang muncul dari hubungan hokum dalam lapangan hokum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan yang lain ada kewajiban.
Perikatan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III “tentang Perikatan”. Dalam Buku III ini, membahas berbagai macam hal tentang perikatan yang tersidiri dari 18 Bab, dan 631 Pasal. Pasal tentang perikatan dimulai dari pasal 1233 KHU Perdata sampai pasal 1864 KUH Perdata.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sebutkan kasus beserta kronologi dari kasus tersebut !
2.      Beberkan landasan teori yang digunakan dalam pembahasan kasus tersebut!
3.      Sebutkan asas-asas yang digunakan dalam masalah ini !
4.      Sebutkan macam-macam dari perserikatan !
5.      Apa sebab berhentinya perikatan ?
6.      Jelaskan analisis kasus di atas !
C.    Tujuan
1.      Menyebutkan kasus dan kronologinya.
2.      Membeberkan landasan teori yang digunakan
3.      Menyebutkan asas-asas dalam perikatan
4.      Menyebutkan macam-macam perserikatan
5.      Menjelasakan sebab-sebab berhentinya perikatan
6.      Menjelaskan analisis kasus di atas

BAB II
PEMBAHASAN


Kasus PT Metro Batavia dengan PT Garuda Maintenance Facility
A.    Kasus dan Kronologi Kasus
PT Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung masalah dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional. Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.[1]
Dengan dasar hasil itu, pada Agustus 2008 Batavia mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, Batavia memiliki hutang perawatan pesawat milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian pesawat, padahal pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Tapi tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008.
Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
B.     Landasan Teori
Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda verbintenis. Perikatan menurut Abdul Qadir adalah hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hokum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat pula berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dan dapat pula berupa seperti keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.[2]
Subekti mengatakan yang dimaksud perikatan oleh Buku III B. W itu adalah “Suatu hokum (mengenai kekayaan benda harta) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.[3]
Ia menambahkan bahwa dalam Buku III B. W itu isinya bersifat selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi Buku III juga dinamakan “Hukum Perutangan”. Pihak yang menuntut dinamakan pihak yang berpiutang, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak yang berhutang. Adapun yang dapat dituntut dinamakan prestasi.
Prestasi yang dimaksudkan menurut Buku III Bab ke satu bagian ke satu pasal (1234) KUH Perdata dapat berupa:
1.      Menyerahkan suatu barang,
2.      Melakukan suatu perbuatan,
3.      Tidak melakukan suatu perbuatan.[4]

C.    Asas-Asas Hukum Perserikatan
Di dalam hokum perikatan, dikenal dengan tiga asas penting yaitu:
1.      Asas Konsensualisme
Perkataan konsekualisme berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.[5] Sedangkan asas konsensualisme sebagaimana yang telah di simpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal[6]
Dalam angka satu pasal tersebut, “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dua belah pihak.
2.      Asas Pacta Sunt Servanda
Ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Dalam perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda diberi arti Pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan Nudus Pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
3.      Asas Kebebasan Berkontrak
Dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka”. Asas kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
1.      Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2.      Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3.      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
4.      Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Disamping ketiga asas itu, di dalam lokakarya hokum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17-19 November 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hokum perikatan Nasional, yaitu:
1.      Asas Kepercayaan,
2.      Asas Persamaan Hukum,
3.      Asas Keseimbangan,
4.      Asas Kepastian Hukum,
5.      Asas Moral,
6.      Asas Kepatuhan,
7.      Asas Kebiasaan, dan
8.      Asas Perlindungan.[7]

D.    Macam-Macam Perikatan
1.      Perikatan Bersyarat (voorwaardelijk)
Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang belum tentu akan terjadi.[8] Perikatan bersyarat ini dapat dilihat dalam bagian ke lima tentang perikatan-perikatan bersyarat, pasal 1253 yang berbunyi: “Suatu perikatan adalah besyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.[9]
2.      Perikatan dengan Ketetapan Waktu (tijdsbepaling)
Suatu waktu ketetapan tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketetapan waktu” adalah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktu yang ditetapkan”. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan.[10]
3.      Perikatan Manasuka (alternatief)
Objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan manasuka karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak boleh memaksa debitur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lain. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas pada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata)[11]
4.      Perikatan Tanggung-Menanggung (hoofdelijk)
Adalah perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan pada satu pihak yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Perikatan ini diatur dalam pasal 1278 sampai pasal 1296 KUH Perdata.
5.      Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka apabila salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh orang lain.
6.      Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudahnya melupakan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.[12]
E.     Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1.      Pembayaran
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.      Pembaharuan utang
4.      Perjumpaan utang atau kompensasi
5.      Percampuran utang
6.      Pembebasan utang
7.      Musnahnya barang yang terutang
8.      Batal/pembatalan
9.      Berlakunya suatu syarat batal, dan
10.  Lewatnya waktu.
Sepuluh cara tersebut di atas belumlah lengkap, karena masih ada cara-cara yang tidak disebutkan berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dari pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh debitur sendiri dan tidak boleh oleh orang lain.[13]
F.     Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberi somasi oleh kreditur sebanyak tiga kali. Apabila itu tidak diindahkan, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan, dan pengadilan lah yang akan memutuskan apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yang pertama adalah karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun kareana kelalaian. Yang kedua karena keadaan memaksa (overmacht), jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi.

Ada tiga keadaan, yaitu:
a.       Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
b.      Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
c.       Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat
Adapun beberapa akibat hukum bagi Debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum sebaimana berikut:
a.       Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata)
b.      Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUH Perdata)
c.       Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada Debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1273 ayat 2 KUH Perdata)
d.      Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata)
e.       Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka pengadilan negeri dan Debitur dinyatakan bersalah[14]

G.    Analisis Kasus
Perseteruan yang terjadi antara PT Metro Batavia, milik perusahaan ternama di bidang pesawat dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
1.      Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2.      Pihak Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3.      Pihak Batavia telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan pesawat, padahal pesawat sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh GMF.
4.      Pembayaran hutang perawatan oleh pihak Batavia yang melampaui tempo yang diperjanjikan.
Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai pengertian perjanjian yang sesuai dengan Pasal 1313 B.W, yang berbunyi : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lani atau lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini menurut pakar hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam ketentuan di atas tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.
Asas-asas tersebut antara lain:
a.       Asas Kebebasan Berkontrak
b.      Asas Pacta Sunt Servanda
c.       Asas Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi terciptanya kepastian hukum. Ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu tuntutan kesusilaan dan memanglah benar bahwa kalau orang ingi dihormati sebagai manusia, ia harus dapat dipegang perkataannyam namun hukum yang harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya Kepastian Hukum. Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas universil, dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1): Semua perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut. Semua persetujuan yang dibuta menurut hukum atau secara sah adalah mengikat, maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juag akan tersimpul bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan dalam Pasal 1320 B.W :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjectif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat yang terakhir disebutkan syarat objectif, karena mengenai objek dari perjanjian akan tetapi dalam analisis ini terfokus pada subjek perjanjian.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum GMF, Sugeng Riyono S.H, “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF.” I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tidak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai Pasal 1338 B.W yang berbunyi : Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan i;tikad baik. Maka, sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pelaksanaan tersebut.
Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan Batavia merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitor, dalam hal:
a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c.       Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian Batavia terhadap GMF menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan dibuat oleh GMF. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti dalam Pasal 1243 B.W yaitu:
1.      Memberikan sesuatu
2.      Berbuat sesuatu
3.      Tidak berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut terjadi karena:
a.       Kesengajaan
b.      Kelalaian
c.       Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi. Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa : Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ai berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan gtelah ditentukan. Bahwasanya peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.
Disebutkan dalam poin ketiga adala pihak Batavia telah mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian pesawat sehari setelah pesawat selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh GMF menjadi terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari Batavia. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W :Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara keduanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak dapat dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya si debitor dinyatakan lalai oleh kreditor (ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor (pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Dalam hal ketentuan di atas maka Batavia dikenakan beberapa pasal, antara lain:
1.      Pasal 1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
2.      Pasal 1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini.
3.      Pasal 1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dialahirkannya, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dialakukan olehnya.
4.      Pasal 1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya, sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlh uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu.
5.      Pasal 1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar disebabkan terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan undang-undang, denga tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus. Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.[15]
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materiil yakni berupa penyitaan tujuh pesawat milik Batavia sendiri, bukan lea asing, yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana Batavia yang tidak merespon baik ketika pihak GMF datang menemui Batavia di kantornya untuk menagih utang Batavia yang tersendat menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik Batavia-GMF mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan “obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh pihak lawan.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari uraian analisis diatas, tampaklah hubungan antara perjanjian dan perikatan yang dilakukan oleh PT. Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia yang mana hubungan diantara keduanya berawal dari Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional. Seterusnya Batavia memiliki hutang perawatan dan pembelian pesawat yang kala itu penyerahannya sudah siap seratus persen sehari sebelumnya, akan tetapi ada batas berakhir menjadi suatu permasalahan hukum, dikarenakan Batavia melakukan wanprestasi terhadap GMF.
Di sini debitor melakukan kesalahan dengan tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan maka dikatakan wanprestasi ”ingkar janji”. Dan kreditur dapat menunutut debitor yang telah melakukan ini (wanprestasi) melalui mekanisme, yakni somasi dengan bertujuan mendorong debitor untuk segera memenuhi prestasinya, tanpa melalaikannya atau meninggalkannya.

DAFTAR ISI


Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya. 2000
Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. 2003
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa. 1995
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Sinar Grafika. 1990
Subekti dan Tjiptrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 2001
http://claustrophobiasonarsolaris.wordpress.com/2013/04/27/kasus-perikatan-pt-metro-batavia-dengan-pt-garuda-maintenance-facility di unduh tanggal 10 Juni 2013


[1] http://claustrophobiasonarsolaris.wordpress.com/2013/04/27/kasus-perikatan-pt-metro-batavia-dengan-pt-garuda-maintenance-facility/
[2] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hal.198
[3] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hal.122-123
[4] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.232
[5] Prof. Subekti, SH, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Sinar Grafika, 1990), hal.15
[6] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.339
[7] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.158
[8] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hal.128
[9] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.4
[10] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hal.210
[11] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hal.211
[12] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hal.131
[13] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hal.64
[14] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hal.106
[15] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.325


 

No comments:

Post a Comment