KONSEPSI
PERIKATAN
(Untuk
memenuhi tugas UAS paper mata kuliah Hukum Perdata)
Dosen
Pengampu:
Dr.
H. Saifullah, SH, M.Hum
Oleh:
Abdul
Hakam Adlhani (12220084)
JURUSAN
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perikatan dalam arti luas meliputi semua
hubungan hokum antara dua pihak dimana satu pihak itu ada hak dan di pihak lain
ada kewajiban. Dengan berpegang pada perumusan seperti itu, maka di dalamnya
termasuk semua hubungan hokum yang muncul dari hubungan hokum dalam lapangan
hokum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan yang lain ada kewajiban.
Perikatan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku
III “tentang Perikatan”. Dalam Buku III ini, membahas berbagai macam hal
tentang perikatan yang tersidiri dari 18 Bab, dan 631 Pasal. Pasal tentang
perikatan dimulai dari pasal 1233 KHU Perdata sampai pasal 1864 KUH Perdata.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Sebutkan
kasus beserta kronologi dari kasus tersebut !
2.
Beberkan
landasan teori yang digunakan dalam pembahasan kasus tersebut!
3.
Sebutkan
asas-asas yang digunakan dalam masalah ini !
4.
Sebutkan
macam-macam dari perserikatan !
5.
Apa
sebab berhentinya perikatan ?
6.
Jelaskan
analisis kasus di atas !
C.
Tujuan
1.
Menyebutkan
kasus dan kronologinya.
2.
Membeberkan
landasan teori yang digunakan
3.
Menyebutkan
asas-asas dalam perikatan
4.
Menyebutkan
macam-macam perserikatan
5.
Menjelasakan
sebab-sebab berhentinya perikatan
6.
Menjelaskan
analisis kasus di atas
BAB
II
PEMBAHASAN
Kasus PT Metro Batavia dengan PT Garuda
Maintenance Facility
A.
Kasus
dan Kronologi Kasus
PT Metro Batavia salah satu perusahaan pesawat terkemuka
tersandung masalah dengan PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus
ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia
membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd.
Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional. Kemudian,
pada 12 September 2007 mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat
rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23
Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Batavia
menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan
mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga
1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali
lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat, akan tetapi GMF menolak. Alasannya,
kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika
kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak Batavia naik
pitam. Pada April 2007 Batavia pun menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke
Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui
jalan buntu.[1]
Dengan dasar hasil itu, pada Agustus 2008 Batavia
mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain,
Batavia memiliki hutang perawatan pesawat milik GMF sejak Agustus 2006, dan
tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut Batavia memutuskan secara
sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian pesawat, padahal
pesawat sudah sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF
mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara
sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh
tempo sejak awal 2007. Tapi tak kunjung dilunasi oleh Batavia hingga
pertengahan tahun 2008.
Pada mulanya pihak GMF tidak ingin memperkeruh
permasalahan ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia sangat baik, namun
setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan cara
mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon
timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan
oleh Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang berbanding
terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara hutang Batavia
dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak GMF
bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada
kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan
pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan
i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang
diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF
terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan
dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke
pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
B.
Landasan
Teori
Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda
verbintenis. Perikatan menurut Abdul Qadir adalah hal yang mengikat antara
orang yang satu dengan orang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hokum
yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat pula
berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dan dapat pula berupa seperti
keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.[2]
Subekti mengatakan yang dimaksud perikatan oleh Buku III
B. W itu adalah “Suatu hokum (mengenai kekayaan benda harta) antara dua orang,
yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.[3]
Ia menambahkan bahwa dalam Buku III B. W itu isinya
bersifat selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi Buku III juga dinamakan “Hukum
Perutangan”. Pihak yang menuntut dinamakan pihak yang berpiutang, sedangkan
pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak yang berhutang. Adapun
yang dapat dituntut dinamakan prestasi.
Prestasi yang dimaksudkan menurut Buku III Bab ke satu
bagian ke satu pasal (1234) KUH Perdata dapat berupa:
1.
Menyerahkan
suatu barang,
2.
Melakukan
suatu perbuatan,
3.
Tidak
melakukan suatu perbuatan.[4]
C.
Asas-Asas
Hukum Perserikatan
Di dalam hokum perikatan, dikenal dengan tiga asas
penting yaitu:
1.
Asas
Konsensualisme
Perkataan konsekualisme berasal dari perkataan latin consensus
yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan.[5]
Sedangkan asas konsensualisme sebagaimana yang telah di simpulkan dalam pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal
tertentu
4.
Suatu
sebab yang halal[6]
Dalam angka satu pasal tersebut, “sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya” mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dua belah pihak.
2.
Asas Pacta
Sunt Servanda
Ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat
disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Dalam perkembangannya,
asas Pacta Sunt Servanda diberi arti Pactum yang berarti sepakat tidak perlu
dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan Nudus Pactum
sudah cukup dengan sepakat saja.
3.
Asas
Kebebasan Berkontrak
Dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka”. Asas kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
1.
Membuat
atau tidak membuat perjanjian.
2.
Mengadakan
perjanjian dengan siapapun
3.
Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
4.
Menentukan
bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Disamping ketiga asas itu, di dalam lokakarya hokum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari
tanggal 17-19 November 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hokum
perikatan Nasional, yaitu:
1.
Asas
Kepercayaan,
2.
Asas
Persamaan Hukum,
3.
Asas
Keseimbangan,
4.
Asas
Kepastian Hukum,
5.
Asas
Moral,
6.
Asas
Kepatuhan,
7.
Asas
Kebiasaan, dan
8.
Asas
Perlindungan.[7]
D.
Macam-Macam
Perikatan
1.
Perikatan
Bersyarat (voorwaardelijk)
Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
kejadian di kemudian hari, yang belum tentu akan terjadi.[8]
Perikatan bersyarat ini dapat dilihat dalam bagian ke lima tentang
perikatan-perikatan bersyarat, pasal 1253 yang berbunyi: “Suatu perikatan
adalah besyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut
terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.[9]
2.
Perikatan
dengan Ketetapan Waktu (tijdsbepaling)
Suatu waktu ketetapan tidak menangguhkan perikatan,
melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketetapan waktu” adalah
pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktu yang ditetapkan”. Waktu yang
ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu
sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan.[10]
3.
Perikatan
Manasuka (alternatief)
Objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan manasuka
karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda
yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak boleh memaksa debitur
untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lain. Jika
debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam
perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi ada pada
debitur, jika hak ini tidak secara tegas pada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH
Perdata)[11]
4.
Perikatan
Tanggung-Menanggung (hoofdelijk)
Adalah perikatan dimana beberapa orang bersama-sama
sebagai pihak yang berhutang berhadapan pada satu pihak yang menghutangkan atau
sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu
orang. Perikatan ini diatur dalam pasal 1278 sampai pasal 1296 KUH Perdata.
5.
Perikatan
yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi.
Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak
yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi
suatu perikatan barulah tampil ke muka apabila salah satu pihak dalam
perjanjian telah digantikan oleh orang lain.
6.
Perikatan
dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan
mudahnya melupakan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana
si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang
sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan
sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.[12]
E.
Hapusnya
Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya
suatu perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1.
Pembayaran
2.
Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.
Pembaharuan
utang
4.
Perjumpaan
utang atau kompensasi
5.
Percampuran
utang
6.
Pembebasan
utang
7.
Musnahnya
barang yang terutang
8.
Batal/pembatalan
9.
Berlakunya
suatu syarat batal, dan
10.
Lewatnya
waktu.
Sepuluh cara tersebut di atas belumlah lengkap, karena masih ada
cara-cara yang tidak disebutkan berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu
perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian,
seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dari pada
umumnya dalam perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan
oleh debitur sendiri dan tidak boleh oleh orang lain.[13]
F.
Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara
kreditur dan debitur.seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia
telah diberi somasi oleh kreditur sebanyak tiga kali. Apabila itu tidak
diindahkan, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan, dan
pengadilan lah yang akan memutuskan apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena disebabkan
oleh dua kemungkinan alasan, yang pertama adalah karena kesalahan debitur, baik
dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun kareana kelalaian. Yang kedua
karena keadaan memaksa (overmacht), jadi diluar kemampuan debitur. Debitur
tidak bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana
debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi.
Ada tiga keadaan, yaitu:
a.
Debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali
b.
Debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
c.
Debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat
Adapun beberapa akibat hukum bagi Debitur yang telah melakukan
wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum sebaimana berikut:
a.
Debitur
diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH
Perdata)
b.
Apabila
perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan
perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUH Perdata)
c.
Dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada Debitur sejak terjadi
wanprestasi (pasal 1273 ayat 2 KUH Perdata)
d.
Debitur
diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata)
e.
Debitur
wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka pengadilan negeri dan
Debitur dinyatakan bersalah[14]
G.
Analisis
Kasus
Perseteruan yang terjadi antara PT Metro Batavia, milik
perusahaan ternama di bidang pesawat dengan PT Garuda Maintenance Facility
(GMF) Aero Asia tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
1.
Kerjasama
yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis
berlandaskan i’tikad buruk.
2.
Pihak
Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini Batavia
sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3.
Pihak
Batavia telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan pesawat, padahal
pesawat sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan
kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh GMF.
4.
Pembayaran
hutang perawatan oleh pihak Batavia yang melampaui tempo yang diperjanjikan.
Sebelum menganalisis poin-poin di atas yang akan
dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan
dipaparkan mengenai pengertian perjanjian yang sesuai dengan Pasal 1313 B.W,
yang berbunyi : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lani atau lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam pasal ini menurut pakar hukum perdata (pada umumnya) bahwa definisi
perjanjian terdapat di dalam ketentuan di atas tidak lengkap karena hanya
bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, pengertian
perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan, akan tetapi berdasarkan
alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama
yang dilakukan oleh pihak Batavia dengan GMF dilakukan dengan transaksi bisnis
berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian
diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan
seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah
adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.
Asas-asas tersebut antara lain:
a.
Asas Kebebasan
Berkontrak
b.
Asas Pacta
Sunt Servanda
c.
Asas
Konsesualisme
Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus
ditonjolkan. Karena asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian yang
modern dan bagi terciptanya kepastian hukum. Ketentuan yang mengharuskan orang
dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu tuntutan kesusilaan dan memanglah
benar bahwa kalau orang ingi dihormati sebagai manusia, ia harus dapat dipegang
perkataannyam namun hukum yang harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan
keadilan dalam masyarakat, memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya
Kepastian Hukum. Asas konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan
asas universil, dalam B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1): Semua
perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan
bahwa perjanjian yang dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian
bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah”
pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut.
Semua persetujuan yang dibuta menurut hukum atau secara sah adalah mengikat,
maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH
Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai
kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juag akan
tersimpul bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan
dalam Pasal 1320 B.W :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal
tertentu
4.
Suatu
sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjectif,
karena kedua syarat tersebut mengenai subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat
yang terakhir disebutkan syarat objectif, karena mengenai objek dari perjanjian
akan tetapi dalam analisis ini terfokus pada subjek perjanjian.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum GMF, Sugeng Riyono
S.H, “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi
hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah
memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga
somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak
ada konfirmasi balik kepada pihak GMF.” I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian
berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan
sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.
I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik
ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu
penilaian baik terhadap tidak-tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa
yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai Pasal 1338 B.W yang berbunyi :
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan i;tikad baik. Maka, sesuai dengan
isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad
baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam
hal pelaksanaan tersebut.
Batavia tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam
hal ini Batavia sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi).
Wanprestasi yang dilakukan Batavia merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa
yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana Subekti, Wanprestasi berarti
kelalaian seorang debitor, dalam hal:
a.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
b.
Melaksanakan
apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c.
Melakukan
apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
d.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian Batavia terhadap GMF menjadikan terhambatnya
kinerja produksi lain yang akan dibuat oleh GMF. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W
yang berbunyi: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya
perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya. Adapun yang merupakan model-model dari
prestasi adalah seperti dalam Pasal 1243 B.W yaitu:
1.
Memberikan
sesuatu
2.
Berbuat
sesuatu
3.
Tidak
berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi dan bunga, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak
pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut
terjadi karena:
a.
Kesengajaan
b.
Kelalaian
c.
Tanpa
kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka
undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam
keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah
merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan
“ingkar janji” wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan
dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi.
Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa : Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ai
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan gtelah ditentukan.
Bahwasanya peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau
meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini
digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan
kreditur.
Disebutkan dalam poin ketiga adala pihak Batavia telah
mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian pesawat sehari
setelah pesawat selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat
oleh GMF menjadi terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari
Batavia. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W :Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini
menjelaskan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali
dengan sepakat antara keduanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak
melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam kontrak, maka pada umunya
(dengan beberapa pengecualian) tidak dapat dengan sendirinya dia telah
melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau
undang-undang maka wanprestasinya si debitor dinyatakan lalai oleh kreditor
(ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh
pihak kreditor (pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme
yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Dalam hal ketentuan di atas maka Batavia dikenakan beberapa pasal,
antara lain:
1.
Pasal 1243
B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya.
2.
Pasal 1246
B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan
untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah
ini.
3.
Pasal 1247
B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata
telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dialahirkannya,
kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya
yang dialakukan olehnya.
4.
Pasal 1249
B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya,
sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlh uang tertentu, maka kepada pihak
yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada
jumlah itu.
5.
Pasal 1250
B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga pembayaran
sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar disebabkan
terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan
undang-undang, denga tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus.
Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak usah
dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.[15]
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materiil yakni
berupa penyitaan tujuh pesawat milik Batavia sendiri, bukan lea asing, yang
bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang
akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak
mungkin dapat ditebus, sebagaimana Batavia yang tidak merespon baik ketika
pihak GMF datang menemui Batavia di kantornya untuk menagih utang Batavia yang
tersendat menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik
Batavia-GMF mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang
dilakukannya mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah
merupakan “obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak
datang atau diberikan oleh pihak lawan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian analisis diatas, tampaklah hubungan antara
perjanjian dan perikatan yang dilakukan oleh PT. Metro Batavia dan PT Garuda
Maintenance Facility (GMF) Aero Asia yang mana hubungan diantara keduanya
berawal dari Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air
Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar
nasional. Seterusnya Batavia memiliki hutang perawatan dan pembelian pesawat
yang kala itu penyerahannya sudah siap seratus persen sehari sebelumnya, akan tetapi
ada batas berakhir menjadi suatu permasalahan hukum, dikarenakan Batavia melakukan
wanprestasi terhadap GMF.
Di sini debitor melakukan kesalahan dengan tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan maka dikatakan wanprestasi ”ingkar janji”.
Dan kreditur dapat menunutut debitor yang telah melakukan ini (wanprestasi)
melalui mekanisme, yakni somasi dengan bertujuan mendorong debitor untuk segera
memenuhi prestasinya, tanpa melalaikannya atau meninggalkannya.
DAFTAR ISI
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya. 2000
Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis
(BW). Jakarta: Sinar Grafika. 2003
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata.
Jakarta: PT Intermasa. 1995
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta:
Sinar Grafika. 1990
Subekti dan Tjiptrosudibio. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 2001
http://claustrophobiasonarsolaris.wordpress.com/2013/04/27/kasus-perikatan-pt-metro-batavia-dengan-pt-garuda-maintenance-facility
di unduh tanggal 10 Juni 2013
[1] http://claustrophobiasonarsolaris.wordpress.com/2013/04/27/kasus-perikatan-pt-metro-batavia-dengan-pt-garuda-maintenance-facility/
[2] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:
PT Citra Aditya, 2000), hal.198
[3] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Intermasa, 1995), hal.122-123
[4] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.232
[5] Prof. Subekti, SH, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1990), hal.15
[6] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.339
[7] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), hal.158
[8] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Intermasa, 1995), hal.128
[9] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.4
[10] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:
PT Citra Aditya, 2000), hal.210
[11] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:
PT Citra Aditya, 2000), hal.211
[12] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Intermasa, 1995), hal.131
[13] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Intermasa, 1995), hal.64
[14] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Intermasa, 1995), hal.106
[15] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal.325
No comments:
Post a Comment