MAHRAM
(Untuk memenuhi
tugas mata kuliah Fiqh Munakahah)
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Mahram
Kata Mahram berasal dari bahasa Arab yaitu
Mahram, Mahram memiliki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih istilah mahram
ini digunakan untuk menyebut wanita yang haram dinikahi oleh pria([1]).
Sedangkan mahram dimasyarakat lebih
dikenal dengan istilah khusus yaitu haram dinikahi karena masih termasuk
keluarga dan dalam mazhab Syafi’i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila
disentuh. Dan selanjutnya sebagai penunjang
penjelasan pengertian mahram lebih banyak lagi maka dibawah ini akan dijelaskan
beberapa pendapat para mujtahid sebagai berikut:
1.
Imam
Ibnu Atsir rahimahullah berkata , ”Mahram adalah orang-orang yang haram untuk
dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain” (definisi
diatas adalah mahram dalam pengertian umum).
2.
Menurut
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang yang haram untuk
dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.”
3.
Menurtut
Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahram wanita adalah suaminya dan semua orang yang
haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan
saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara
sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”. [2]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya
seperti bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan.
Masalah tentang Mahram disinggung didalam Al-Qur’an seperti dalam surah an-Nisa ayat 23 :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
mmmm
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang[3].
Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang
yang haram dinikahi.Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian
aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah[4] :
1.
Ibu kandung
2.
Anak-anakmu yang perempuan
3.
Saudara-saudaramu yang perempuan,
4.
Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan
5.
Saudara-saudara ibumu yang perempuan
6.
Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki
7.
Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan
8.
Ibu-ibumu yang menyusui kamu
9.
Saudara perempuan sepersusuan
10.
Ibu-ibu isterimu
11.
Anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
12.
Isteri-isteri anak kandungmu
2.2 Macam-macam Mahram
Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua,
yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang
bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati
dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati ada tiga yaitu:
1.hubungan keturunan atau nasab
2.hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan
3.hubungan persusuan.
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu:
1.Zina
2.Li’an
Imam Syafi’I dan Imam Malik bependapat bahwa zina dengan
seorang wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau
anak wanitanya.Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I berpendapat
bahwa zina menyebabkan keharaman.
Keharaman yang bersifat Sementara yaitu karena bilangan,
mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang
menceraikan, dan halangan peristrian[5]. Di
makalah ini
akan dijelaskan masing-masing macam perbedaan pendapat-pendapat para ijtihad,
sebagai berikut:
a. Tahrim Mu’abbad (Keharaman yang Bersifat Abadi)[6]
a.1 Larangan
menikah karena nasab
Mahram karena nasab adalah mahram yang
berasal dari hubungan darah atau hubungan keluarga. Allah Ta’ala berfirman dalam
surat An-Nur ayat 31
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.[7]
Para
ulama’ tafsir menjelaskan, “Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahram bagi
wanita adalah yang disebutkan dalam ayat diatas, adalah[8]:
1. Ayah Termasuk dalam kategori bapak
yang merupakan mahram bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun
dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tak
termasuk mahram bagi wanita. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT, yang
artinya, “Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.”
(Qs. Al-Ahzab: 4)
- Anak laki-laki termasuk dalam
kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki
maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka dia
tak termasuk mahram berdasarkan pada keterangan di atas.
- Saudara laki-laki, baik saudara
laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja.Saudara
laki-laki tiri yang merupakan anak kandung dari bapak saja atau dari ibu
saja termasuk dalam kategori mahram bagi wanita.
- Keponakan, baik keponakan dari
saudara laki-laki maupun perempuan & anak keturunan mereka.Kedudukan
keponakan dari saudara kandung maupun saudara tiri sama halnya dgn
kedudukan anak dari keturunan sendiri.
- Paman, baik paman dari bapak
ataupun paman dari ibu.Syaikh Abdul Karim Zaidan mengatakan dlm
Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah “Tidak disebutkan bahwa paman termasuk
mahram dalam ayat ini (QS. An-Nur: 31) karena kedudukan paman sama seperti
kedudukan kedua orang tua, bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai
bapak.Allah Ta’ala berfirman didalam surat Al-Baqarah ayat 133 yang
artinya: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut,
ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu & Tuhan
bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail & Ishaq.” Sedangkan Isma’il adalah paman
dari putra-putra Ya’qub. Dan bahwasanya paman termasuk mahram adalah
pendapat jumhur ulama’.
Berdasarkan ayat diatas wanita
yang haram dinikahi karena nasab adalah:
- Ibu
dan garis keturunannya keatas
- Anak
dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita dari
hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya, namun
hukumnya makruh.
- Saudara
Perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
- Bibi
(saudara perempuan ayah)
- Bibi
(saudara perempuan ibu)
- Keponakan
dari saudara perempuan
- Keponakan
dari saudara laki-laki.
Mereka adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki yang memiliki hubungan dengannya secara abadi.
a.2
Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan[9]
Ar-radha’ah
atau sepersusuan adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan
syarat-syarat tertentu. Larangan menikah karena hubungan sepersusuan
berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa: 23
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan….”
Sedangkan
sepersusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah sebanyak lima kali
persusuan, berdasar pada hadits dari `Aisyah radhiyallahu `anha, beliau
berkata, “Termasuk yang di turunkan dlm Al Qur’an bahwa sepuluh kali persusuan
dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan.”
(HR. Muslim)
Hubungan
mahram yang berasal dari persusuan telah disebutkan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yang artinya, “Juga
ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari persusuan.” (Qs.
An-Nisa’: 23)
Dari
penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa mahram bagi wanita dari sebab
persusuan adalah seperti mahram dari nasab, yaitu:
1. Bapak persusuan (suami ibu susu), termasuk
mahram juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga
bapak-bapak mereka ke atas. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata,
“Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin utk menemuiku
setelah turun ayat hijab, maka saya berkata, “Demi Allah, saya tak akan memberi
izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku
bukan saudara Abi Qu’ais, akan tetapi yang menyusuiku adalah istri Abi Qu’ais.
Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya
lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah
saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya, karena dia adalah
pamanmu.” (HR. Bukhari)
- Anak laki-laki dari ibu susu, termasuk
anak susu adalah cucu dari anak susu baik laki-laki maupun perempuan. Juga
anak keturunan mereka.
- Saudara laki-laki sepersusuan,
baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
- Keponakan persusuan (anak
saudara persusuan), baik anak saudara persusuan laki-laki maupun
perempuan, juga keturunan mereka.
- Paman
persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu)
Beberapa macam pokok
masalah tentang mahram sepersusuan.[10]
1.Mengenai kadar air
susu yang menyebabkan keharaman.
Imam Hanafi dan Imam Malik
berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai kadarnya, berapapun kadarnya
menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat yang menyebabkan
keharaman adalah lima kali susuan.
2.Keadaan orang yang menyusui
Ada beda pendapat dalam hal ini, apabila seorang anak tidak
membutuhkan lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu disapih, kemudian disusui
lagi oleh wanita lain.
Imam
Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan.Sedangkan Imam
Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan
keharaman.
3.Kesaksian atas susuan.
Imam Malik berpendapat, bahwa persaksian tersebut hanya bisa
diterima dengan kesaksian dua orang wanita.Imam Syafi’i berpendapat, persaksian
tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian empat orang wanita.Imam Hanafi
berpendapat bahwa boleh kesaksian satu orang wanita.
4.Sifat wanita yang menyusui
Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita itu
menyebabkan keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik
mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak.
a.3
Larangan Menikahi Wanita Yang Diharamkan karena Hubungan Pernikahan
(Mushaharah)[11]
Mushaharah
berasal dari kata ash-Shihr.Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, “Shihr adalah
mahram karena pernikahan”. Contohnya, mahram yang disebabkan oleh mushaharah
bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istri yang lain (anak tirinya) &
mahram mushaharah bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua),
sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu
laki-laki).
Hubungan
mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah SWT dalam tiga
ayat firman-Nya,yaitu:
1.Qs.
An-Nur: 31
Artinya,
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami
mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka.
2.Qs.
An-Nisa’: 22
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu
tiri).”
3.Qs.
An-Nisa’: 23
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri)
yang dlm pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dgn istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tak berdosa kamu
mengawininya, & istri-istri anak kandungmu (menantu).”
Berdasarkan
penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi
selama-lamanya karena sebab mushaharah adalah:
1. Ayah mertua (ayah suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah & ibu suami
juga bapak-bapak mereka keatas
- Anak tiri (anak suami dari
istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri
laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka
- Ayah tiri (suami ibu tapi bukan
bapak kandungnya)
Haramnya pernikahan dengan ayah tiri ini berlaku ketika
ibunya telah jima’ dengan ayah tirinya sebelum bercerai. Namun, jika belum
terjadi jima’, maka diperbolehkan.Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka
dia haram bagimu.”
- Menantu laki-Laki (suami putri
kandung)
kemahraman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada
suaminya.
b.Tahrim Muaqqat (keharaman yang
bersifat sementara) dan Jenis-jenisnya[12]
Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu,
laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya.
Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara
sementara waktu saja adalah :
1. Istri orang
lain, tidak boleh dinikahi tapi bila
sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi.
2. Saudara
ipar, atau saudara wanita dari istri.
Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian
auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan
suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal
atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh
dinikahi.Demikian juga dengan bibi dari istri.
3. Wanita
yang masih dalam masa Iddah,
yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai
masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
4. Istri yang
telah ditalak tiga,
untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah
dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya
itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi
suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
5. Menikah
dalam keadaan Ihram,
seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang
menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh
dinikahi.
6. Menikahi
wanita budak padahal
mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita
merdeka, boleh menikahi budak.
7. Menikahi
wanita pezina,Dalam hal
ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina.Sebaliknya, ketika wanita itu
sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya.
8. Menikahi
istri yang telah dili`an,
yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
9. Menikahi
wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk
Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk
menikahinya.
Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan
pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat
dan bepergian bersama.Yaitu mahram yang bersifat muaqqat atau sementara.Yang
membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
2.3
Dalil Tentang Mahram Didalam Al-Qur’an dan Hadits[13]
Terkait dengan dalil mahram baik itu dalam Al-Qur’an atau
hadits sebetulnya sudah disinggung dalam penjelasan-penjelasan diatas tadi tapi
pemateri akan memaparkannya lagi yaitu sebagai berikut:
2.3.1
Dalam Alqur’an
1.Dalam
surat An-Nur ayat 31 yaitu:
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya
: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak
yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.
2. Dalam Surah An-Nisa’ ayat 23 yaitu:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا
جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ
يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
3.Dalam
surah Al-Ahzab ayat 4 yaitu:
Yang
artinya“Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.”
4.Dalam
Surah An-Nur ayat 31 yaitu:
Yang
artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada
suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka,
atau putra-putra suami mereka
5.Dalam
Surah An-Nisa’ ayat 22 yaitu:
Yang
artinya“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu (ibu tiri).”
2.3.2
Dalam Hadits
1.
Tentang Sepersusuan
Maka
tatkala Rasulullah datang, saya berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki
tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah saudara
istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya, karena dia adalah
pamanmu.” (HR. Bukhari)
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mahram adalah orang-orang
yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman
(sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan.
Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua,
yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang
bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Keharaman yang bersifat Abadi ada yang disepakati dan ada
juga yang masih diperselisikan, yang disepakati ada tiga yaitu:
1.hubungan keturunan atau nasab
2.hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan
3.hubungan persusuan.
Keharaman yang bersifat Sementara
yaitu karena bilangan, mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian
tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan halangan peristrian. Sedangkan yang
diperselisikan ialah zina dan li’an.Imam Syafi’I dan Imam Malik bependapat
bahwa zina dengan seorang wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita
tersebut atau anak wanitanya.Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I
berpendapat bahwa zina menyebabkan keharaman.
Wanita yang haram dinikahi selamanya
yaitu: Ibu, Anak perempuan, Saudara perempuan, Bibi dari pihak ayah
(saudara perempuan ayah), Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu) , Anak
perempuan saudara laki-laki (keponakan), Anak perempuan saudara perempuan, Ibu
istri (ibu mertua), Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul),
menantu perempuan,ibu tiri,saudara sepersusuan.
Wanita yang haram dinikahi sementara
yaitu: Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara , Mengumpulkan seorang isteri
dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya. Isteri orang lain dan
wanita yang menjalani masa iddah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghazali, Abdurrahman.Fiqh
Munakahat. Bogor: Prenada Media,2003
Ahmad, Beni Saebani. 2001. Fiqh
Munakahat. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2009. Fikih Munakahat.
Jakarta: Raja Wali Pers.
Gazalba, Sidi.1995. Menghadapi
Soal-soal Perkawinan,Jakarta: Pustaka Antara
Abidin, Slamet.1999.Fiqih
Munakahat.Bandung: CV.Pustaka Setia
Al-Qur’an dan Hadits
Digital:Hadits&Qur’anWeb3
No comments:
Post a Comment