MUDHARABAH (BAGI
HASIL)
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mudharabah
Istilah mudharabah
adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah
mudharabah dan qiradl.[1]
Sehingga dalam perkembangan lebih lanjut istilah mudharabah dan qirad
ljuga mengacu pada makna yang sama.
Adapun istilah qiradl berasal dari isim masdar al-qardl
yang semakna dengan al-qath’[2],
yang mempunyai arti sepotong, karena pemilik modal memotong atau menyisahkan
sepotong (sebagaian) hartanya untuk dijadikan modal berdagang, dengan memperoleh sebagian keuntungan.
Istilah lain untuk menyebut mudharabah dan qiradl adalah muamalah.
Sedangkan pengertian menurut definisi para ulama sebagai berikut
:
1.
Definisi
menurut Sayyid Sabiq, ialah:
”Akad antara dua pihak dimana salah satunya menyerahkan modalnya
kepada yang lain untuk di perdagangkan dengan pembagian keuntungan sesuai dengan
kesepakatan.”
2.
Definisi
menurut Taqiyuddin, ialah:
“ Pejanjian atas keuangan untuk dikelola oleh seorang pekerja di
dalam perdagangan.”[3]
3.
Definisi
menurut Wahab az-Zuhail, ialah:
“Pemberian modal oleh pemilik modal kepada pengelola (pekerja)
untuk dikelola dalam bentuk usaha, dengan pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan.”[4]
2.2 Dasar Hukum Mudharabah
1. Dasar Hukum Mudharabah dalam Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan
(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. (QS. al-Nisa’ ayat 29(
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang yang beriman!
Penuhilah akad-akad itu…”. (QS. al-Ma’idah ayat:
1)
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ
“…Maka, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. al-Baqarah ayat: 283)
2. Dasar Hukum Mudharabah Dalam Hadis Nabi.
Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan
dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan
itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli
tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah :
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id
al-Khudri).
3. Dasar Hukum Mudharabah Dalam Ijma.
pada zaman sahabat sendiri banyak para
sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak yatim
sebagai modal kepada pihak lain,[5] seperti Umar, Utsman, Ali,
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah. Dan
tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain mengingkarinya.
Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.
4. Dasar Hukum Mudharabah Dalam Qiyas.
Bahwa mudharabah
di qiyaskan kepada akad musaqah, karena sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan
sehari-hari, ada yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya
yang memiliki harta, tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang,
sedangkan dipihak lain ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi
iatidak memiliki harta (modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah
pihak tersebut, maka kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga
menghasilkan keuntungan.
5. Dasar Hukum Mudharabah Dalam Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
Dari
dalil-dalil diatas jelaslah bahwa mudharabah dibolehkan dalam islam, dimana
system ini adalah solusi yang lebi baik dalam mencari harta, sekaligus membuang
adat jahiliyah yaitupraktek Riba’.
Selain itu hukum mudharabah dibagi
menjadi dua, yaitu:
a.
Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak selaras
dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, Hanabilah mudharib
tidah berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu
melainkan ia hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik
kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa mudharib
dalam semua hukum mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan
dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa dihitung dan
ia berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan
dikembalikannya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang
sepadan), yaitu:
1.
Qiradh dengan modal barang bukan uang.
2.
Keadaan keuntungan yang tidak jelas.
3.
Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti 1
tahun.
4.
Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan
datang.
5.
Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal
apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.
b.
Mudharabah Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu akad
mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah
yang shahih ini meliputi beberapa hal, yaitu:
1.
Kekuasaan mudharib.
2.
Pekerjaan dan kegiatan mudharib.
3.
Hak mudharib.
4.
Hak pemilik modal.
2.3 Jenis-jenis akad Mudlarabah
Akad mudlarabah dapat dibedakan menjadi dua jenis :
1.
Mudlarabah
Mutlaqah : penyerahan modal secara mutlak
tanpa syarat. Pekerja bebas mengelola modal untuk usaha apapun yang
mendatangkan keuntungan dari daerah manapun yang mereka inginkan.
2.
Mudharabah
Muqayadah : penyerahan modal dengan
syarat-syarat tertentu. Dalam pengelolaannya Mudharib dibatasi dengan
spesifikasi jenis usaha, waktu, tempat usaha tertentu, sesuai dengan
syarat-syarat yang ditetapkan bersama-sama.
Menurut imam Abu Hanifah, akad mudlarabah yang dibatasi dengan
waktu tertentu, jika waktu yang diberikan kepada mudharib telah habis,
maka dia tidak boleh melakukan transaksi lagi.[6]
2.4 Rukun dan Syarat Mudharabah.
- Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang
rukun mudharabah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun mudhorobah adalah
ijab qabul, yakni lafazh yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunkan mudhorobah,
muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah
adalah :
1.
A’qidain
(dua orang yang berakad), yaitu (pengelola modal) dan shahib al-mal (orang
yang mempunyai modal).
2.
Al-mal
(modal), sejumlah dana yang dikelola.
3.
Ar-Ribh
(Keuntungan), laba yang didapatkan untuk dibagi bersama sesuai kesepakatan.
4.
Al-A’mal
(usaha) dari mudharib.
- Syarat Mudharabah
1. Penyedia dana (sahibul
maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.
Penerimaan
dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.
Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah
uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola
(mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.
Modal
harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.
Modal
dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.
Modal
tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola
modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
4. Keuntungan mudharabah
adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan
berikut ini harus dipenuhi:
a.
Harus
diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu
pihak.
b.
Bagian
keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.
Penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh
pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia
dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Kegiatan
usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.
Penyedia
dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.
Pengelola
tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas
itu.
2.5 Batalnya Akad Mudharabah
Mudharabah dianggapa batal pada hal berikut :
1.
Pembatalan,
Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah menjadi
batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan (tasharruf),
dan pemecatan.
2.
Salah
seorang aqid meninggal dunia
Jumhur ulama
berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia,
baik pemilik modal maupun pengusaha. Karena mudharabah berhubungan
dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang
mewakilkan.
Ulama Malikiya
berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang
aqid, tetapi diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
3.
Salah
seorang aqid gila
Jumhur ulama
berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau
sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
4.
Pemilik
modal murtad
Apabila pemilik modal
murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung
dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotnya.
5.
Modal
rusak di tangan pengusaha
Jika harta itu rusak
sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena modal
harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
Begitu pula,
mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada orang lain atau
dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk di usahakan.
2.6 Hikmah Mudharabah
Islam
mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada
juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola
dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini:
· Agar
mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal
memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan
dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal.
· Mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan.
· Terhindar dari segala bentuk monopoli.
[1]RachmatSyafe’i, FiqihMuamalah, h. 233.
LihatjugaHendiSuhendi, FiqihMu’amalah, h.135, Helmi Karim, FiqihMuamalah (Jakarta:PT. Raja GrafindoPersada, 2006), h.
11.
[2]SayyidSabiq, Fiqih as-Sunnah, Juz 3, h. 212.
[3]TaqiyuddinAbiBakr bin Muhammad al-Husani, KifayatulAkhyar,
Juz 1, h. 186
[4]Wahbahaz-Zuhaili, al-Fiqh al-IslamiwaAdillatuh, Juz
5, h. 3924.
[5] Alauddin Al-Kasani, Bada’I Ash-Shana fi Tartib
Asy-Syara’I, Juz VI, hlm. 79
[6] Muhammad Ibnu Abdurrahman al-Usmani, Rahmat al-ummah
fi ikhtilaf al-Aimmah, (Beirut : Dar al-Fikr,tt.), hlm. 181
No comments:
Post a Comment