Thursday, 7 November 2013

MUDHARABAH (BAGI HASIL)


PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mudharabah
            Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak,  sedangkan Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah dan qiradl.[1] Sehingga dalam perkembangan lebih lanjut istilah mudharabah dan qirad ljuga mengacu pada makna yang sama.
Adapun istilah qiradl berasal dari isim masdar al-qardl yang  semakna dengan al-qath’[2], yang mempunyai arti sepotong, karena pemilik modal memotong atau menyisahkan sepotong (sebagaian) hartanya untuk dijadikan  modal berdagang, dengan memperoleh sebagian keuntungan. Istilah lain untuk menyebut mudharabah dan qiradl adalah muamalah.
Sedangkan pengertian menurut definisi para ulama sebagai berikut :
1.      Definisi menurut Sayyid Sabiq,  ialah:
”Akad antara dua pihak dimana salah satunya menyerahkan modalnya kepada yang lain untuk di perdagangkan dengan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.”
2.      Definisi menurut Taqiyuddin, ialah:
“ Pejanjian atas keuangan untuk dikelola oleh seorang pekerja di  dalam perdagangan.”[3]
3.      Definisi menurut Wahab az-Zuhail, ialah:
“Pemberian modal oleh pemilik modal kepada pengelola (pekerja) untuk dikelola dalam bentuk usaha, dengan pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan.”[4]


2.2 Dasar Hukum Mudharabah
1.    Dasar Hukum Mudharabah dalam Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. (QS. al-Nisa’ ayat 29(
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
 “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”. (QS. al-Ma’idah ayat: 1)
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
 “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. al-Baqarah ayat: 283)

2.  Dasar Hukum Mudharabah Dalam Hadis Nabi.
Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
 “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah :
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
3.    Dasar Hukum Mudharabah Dalam Ijma.
pada zaman sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain,[5] seperti Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.
4.    Dasar Hukum Mudharabah Dalam Qiyas.
Bahwa mudharabah di qiyaskan kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan sehari-hari, ada yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki harta, tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan dipihak lain ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi iatidak memiliki harta (modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut, maka kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan keuntungan.

5.    Dasar Hukum Mudharabah Dalam Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
            Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa mudharabah dibolehkan dalam islam, dimana system ini adalah solusi yang lebi baik dalam mencari harta, sekaligus membuang adat jahiliyah yaitupraktek Riba’.
Selain itu hukum mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak selaras dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, Hanabilah mudharib tidah berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu melainkan ia hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa mudharib dalam semua hukum mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa dihitung dan ia berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang sepadan), yaitu:
1.      Qiradh dengan modal barang bukan uang.
2.      Keadaan keuntungan yang tidak jelas.
3.      Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti 1 tahun.
4.      Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang.
5.      Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.


b.      Mudharabah Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu akad mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah yang shahih ini meliputi beberapa hal, yaitu:
1.      Kekuasaan mudharib.
2.      Pekerjaan dan kegiatan mudharib.
3.      Hak mudharib.
4.      Hak pemilik modal.
2.3 Jenis-jenis akad Mudlarabah
Akad mudlarabah dapat dibedakan menjadi dua jenis :
1.      Mudlarabah Mutlaqah : penyerahan modal secara mutlak tanpa syarat. Pekerja bebas mengelola modal untuk usaha apapun yang mendatangkan keuntungan dari daerah manapun yang mereka inginkan.
2.      Mudharabah Muqayadah : penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Dalam pengelolaannya Mudharib dibatasi dengan spesifikasi jenis usaha, waktu, tempat usaha tertentu, sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan bersama-sama.
Menurut imam Abu Hanifah, akad mudlarabah yang dibatasi dengan waktu tertentu, jika waktu yang diberikan kepada mudharib telah habis, maka dia tidak boleh melakukan transaksi lagi.[6]
2.4  Rukun dan Syarat Mudharabah.
  1. Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun mudhorobah adalah ijab qabul, yakni lafazh yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunkan mudhorobah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah :
1.      A’qidain (dua orang yang berakad), yaitu (pengelola modal) dan shahib al-mal (orang yang mempunyai modal).
2.      Al-mal (modal), sejumlah dana yang dikelola.
3.      Ar-Ribh (Keuntungan), laba yang didapatkan untuk dibagi bersama sesuai kesepakatan.
4.      Al-A’mal (usaha) dari mudharib.
  1. Syarat Mudharabah
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.       Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.      Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.       Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.       Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.      Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.       Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.      Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.       Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
2.5  Batalnya Akad Mudharabah
Mudharabah dianggapa batal pada hal berikut :
1.      Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan (tasharruf), dan pemecatan.
2.      Salah seorang aqid meninggal dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha. Karena mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan.
Ulama Malikiya berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang aqid, tetapi diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
3.      Salah seorang aqid gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
4.      Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotnya.
5.      Modal rusak di tangan pengusaha
Jika harta itu rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
Begitu pula, mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk di usahakan.

2.6 Hikmah Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini:
·  Agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal.
·       Mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
·      Terhindar dari segala bentuk monopoli.





[1]RachmatSyafe’i, FiqihMuamalah, h. 233. LihatjugaHendiSuhendi, FiqihMu’amalah, h.135, Helmi Karim, FiqihMuamalah  (Jakarta:PT. Raja GrafindoPersada, 2006), h. 11.
[2]SayyidSabiq, Fiqih as-Sunnah, Juz 3, h. 212.
[3]TaqiyuddinAbiBakr bin Muhammad al-Husani, KifayatulAkhyar, Juz 1, h. 186
[4]Wahbahaz-Zuhaili, al-Fiqh al-IslamiwaAdillatuh, Juz 5, h. 3924.
[5] Alauddin Al-Kasani, Bada’I Ash-Shana fi Tartib Asy-Syara’I, Juz VI, hlm. 79
[6] Muhammad Ibnu Abdurrahman al-Usmani, Rahmat al-ummah fi ikhtilaf al-Aimmah, (Beirut : Dar al-Fikr,tt.), hlm. 181







No comments:

Post a Comment