HADIAH DAN RISYWAH
Makalah
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar Hadits Al-Ahkam
PEMBAHASAN
2.1 Hadiah
2.1.1
Hadits Tentang Hadiah
a.Hadits Pertama
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ثم كان رسول الله صلى
الله عليه وسلم إذا أتي بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة فإن قيل صدقة قال لأصحابه
كلوا ولم يأكل وإن قيل هدية ضرب بيده صلى الله عليه وسلم فأكل معهم. (رواه
البخاري)[1]
Artinya:
Hadisditerimadari Abu Hurairahr.a.beliauberkata:
Rasulullah SAW apabiladiberimakananbeliaubertanya: apakahmakananinihadiahatausadaqah.
Jikadijawab: sadaqah, beliaumengatakanpada para sahabatnya: makanlaholeh
kalian, sedangkanbeliautidakmemakannya. Akan tetapibiladijawab: hadiah,
makabeliaumengambildengantangannyalalumakanbersamamereka (HR al-Bukhari)
b.Hadiah Kedua
قال الشافعي رحمه الله قد كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم لا يأكل الصدقة وأكل من صدقة تصدق بها على بريرة وقال هي لنا هدية وعليها
صدقة. (رواه البيهقى)[2]
Artinya:
Imam asy-Syafi’ir.h. berkata: sesungguhnyaRasulullah SAW
tidakmemakansedekah. Dan ketikabeliauikutmemakansadaqah yang
diberikankepadaBarirah, beliaumengatakanbahwasadaqahitubagi kami
adalahhadiahdanbagiBarirahadalahsadaqah (HR. al-Baihaqi). Hadis di
atasjugadiriwayatkanoleh an-Nasa`idariAisyah[3]
2.1.2 Penjelasan
Lafadz Hadits Hadiah
a.
Penjelasan Hadits Pertama
- بطعام :
Makanan (makanan yang hendak dihadiahkan).
- أهدية أم صدقة :
Makanan itu merupakan hadiah atau shadakah (beliau bertanya kepada
sahabat).
- كلوا ولم يأكل : Apabila makanan itu shadaqah,
beliau(Rasulullah) tidak ikut memakannya.
- فأكل معهم :
Apabila makanan itu berupa hadiah, maka beliau ikut makan bersama
sahabatnya.
b.Penjelasan
Hadits Kedua
- لا يأكل الصدقة= Tidak memakan shadaqah, (Rasulullah tidak memakan
shadaqah)
- تصدق بها على بريرة= Shadaqah yang diberikan kepada Barirah
- هدية = Hadiah,
maksudnya: Rasulullah mengatakan bahwa shadaqah yang diberikan kepada
Barirah itu bagi kami adalah hadiah
- صدقة = Shadaqah,
maksudnya: Pemberian itu bagi Barirah adalah Shadaqah
2.1.3 Ayat-Ayat Berkaitan Tentang Hadiah
Ayat-ayat yang
berkaitan tentang hadiah yaitu sabagai berikut:
Yang pertama yaitu
terdapat pada surat Ali-Imran ayat 92 yang artinya,“Kalian sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian
harta yang kalian cintai”. Dan surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya, “Dan
tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa”.[4]
2.1.4 Pengertian Hadiah
Kata hadiah dilihat dari bahasa berasal dari kata, (هدِيَّة) berarti إهداء(pemberian), اللُّهْنَة(oleh-oleh), التَّقدِمَة(hadiah). Sedangkan dilihat dari
istilah hadiah memiliki pengertian yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang
tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa
adanya permintaan dan syarat.
Dalam kitab Raudhatuth Thalibin dijelaskan bahwa Imam
asy-Syafi’i membagi kebajikan (tabarru’) seseorang dengan hartanya kepada dua
bentuk.Pertama kebajikan yang berkaitan dengan kematian, yaitu wasiat.Kedua,
kebajikan ketika masih hidup yang dibedakannya antara kebajikan murni (mahdh) dengan
waqaf.Kebajikan murni ada tiga macam, yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’[5].
Selanjutnya dijelaskan, jika kebajikan harta bertujuan
untuk menghormati dan memuliakan seseorang dan harta itu harta bergerak disebut
dengan hadiah. Dan kalau yang diberikan itu harta tidak bergerak (tetap)
disebut hibah.Akan tetapi kalau kebajikan harta itu bertujuan untuk pendekatan
diri (taqarrub) kepada Allah dan mengharapkan pahala akhirat disebut dengan
shadaqah. Secara umum hadiah dan shadaqah dapat kategorikan sebagai hibah,
namun hibah berbeda dengan hadiah dan shadaqah.
Dari penjelasan di atas dan beberapa litaratur lain
dapat didefinisikan bahwa hadiah adalah pemberian harta bergerak kepada orang
lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi
(tawaddud) dan mencintainya (tahabbub). Dalamhalinibisasajapemberianituditujukanuntukhal-hal
yang dilarangsyara’ (haram), inilah yang kemudiandisebutrisywah.
Menurut istilah fikih, hadiah
didefinisikan sebagai berikut:
1. Zakariyya Al-Ansari
( اَلْهَدِيَّةُ وَهِيَ ) تَمْلِيْكُ ( مَا يُحْمَلُ ) أَيْ
يُبْعَثُ ( غَالِبًا ) بِلاَ عِوَضٍ إِلَى الْمُهْدَى إِلَيْهِ ( إكراما )
Hadiah adalah penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang
umumnya dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.”[6]
2. Sayyid Sabiq
اَلْهَدِيَّةُ كَالْهِبَّةِ حُكْمًا وَمَعْنًى
Hadiah itu seperti hibah dalam segi hukum dan maknanya.”[7]
Dalam pengertian ini, Sayyid Sabiq
tidak membedakan antara hadiah dengan hibah dalam segi hukum dan segi makna.
Hibah dan hadiah adalah dua istilah dengan satu hukum dan satu makna. Sehingga
ketentuan yang berlaku bagi hibah berlaku juga bagi hadiah.
3. Muhammad
Qal‘aji
اَلْهَدِيَّةُ هِىَ
إِعْطَاءُ شَيْئٍ بِغَيْرِ عِوَضٍ صِلَةَ وَتَقَرُّبًا وَإِكْرَامًا
Hadiah adalah pemberian sesuatu tanpa imbalan untuk menyambung tali
silaturrah}im, mendekatkan hubungan, dan memuliakan.”[8]
Dalam pengertian ini, Muhammad
Qal‘aji menegaskan bahwa dalam hadiah tidak murni memberikan tanpa imbalan,
namun ada tujuan tertentu yakni adakalanya untuk menyambung tali silaturrahim,
mendekatkan hubungan, dan memuliakan.
Kalau dipahami, ada titik temu
antara ketiga definisi di atas, yakni hadiah adalah pemberian tanpa imbalan,
sama seperti hibah. Sayyid Sabiq menganggap hibah dan hadiah adalah sama
persis, sedangkan Zakariyya Al-Ansari dan Muhammad Qal‘aji membedakannya. Hibah
murni pemberian tanpa imbalan, sedangkan hadiah bertujuan untuk memuliakan.
Mayoritas fuqaha cenderung membedakan antara hibah dan hadiah.
Hadiah dibolehkan oleh agama. Rasulullah saw
sendiri pernah menerima hadiah semasa hidupnya, sebagai tanda rasa hormat dan
bersahabat dari pihak lain. Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah mengakatakan
bahwa: “Rasulullah SAW mengatakan: saling memberilah kamu. Niscaya kamu akan
saling mengasihi.[9]
2.1.5 Syarat-syarat Hadiah
Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:
- Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang ia
tanya tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
- Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan
berkata: “Aku terima apa yang engkau berikan kepadaku”, atau ia
menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang muslim memberi
sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum diterima oleh
penerimaannya, kemudian pemberi meninggal dunia, maka sesuatu tersebut
menjadi hak ahli warisanya dan penerima tidak mempunyai hak terhadapnya.
2.1.6Rukun-rukun
Hadiah
Rukun-rukun hadiah adalah sebagai berikut:
- Ada yang memberi
- Ada yang diberi
- Ada ijab dan qabul
- Ada barang yang diberikan[10]
2.1.7
Hukum Hadiah
Hukum memberi hadiah adalah sunnah, karena hal ini merupakan perbuatan baik
yang dianjurkan untuk dikerjakan, yang melandasi hal itu adalah sebuah hadits
dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulallah saw bersabda:"Sekiranya aku di
undang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.
Begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahkan kepadaku, pasti aku akan
menerimanya."(HR. Al-Bukhori). Serta sabda Nabi yg di riwayatkan oleh
Khalid bin Adiy yang berbunyi:"Barang siapa diberi saudaranya kebaikan
dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak dia minta, maka hendaklah diterimanya
dan jangan menolaknya. Sesungguhnya yang demikian itu rezeki yang diberikan
Allah kepadanya."(HR. Ahmad), dan dari Aisyah dia menceritakan bahwa:"Nabi
saw senantiasa menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya."(HR.
Al-Bukhari).[11]
Dari hadits yang tertulis di atas sudah jelas menerangkan tentang hukum
hadiah tersebut. Dan Rasulullah sendiri tidak menyukai orang yang telah menolak
pemberian atau hadiah, karena hal itu sama saja telah menolak rezeki dari
Allah.
2.1.8
Hikmah Hadiah
Hikmah-hikmah hadiah sebagai berikut:
1.
Dapat membantu si penerima hadiah dari berbagai kesulitan
hidup
2.
Untuk mengakrabkan silaturrahim dan menjinakkan hati
3.
Meneguhkan kecintaan di antara sesamanya
4. Mendapatkan
perlindungan dari Allah SWT
5.
Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
6. Menghilangkan
tipu daya dan sifat kedengkian.[12]
2.2
RISYWAH
2.2.1Hadits
tentang risywah
a. Hadits pertama
وَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرضياللهعنهقَالَ:
( لَعَنَرَسُولُاَللَّهِصلىاللهعليهوسلماَلرَّاشِيَوَالْمُرْتَشِيَفِياَلْحُكْمِ )
رَوَاهُاَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُاِبْنُحِبَّانَ
Artinya :
“Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam
masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan
shahih menurut Ibnu Hibban.
b. Hadits kedua
وَعَنْعَبْدِاَللَّهِبْنِعَمْرِوٍ
-رَضِيَاَللَّهُعَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَرَسُولُاَللَّهِصلىاللهعليهوسلماَلرَّاشِيوَالْمُرْتَشِيَ
) رَوَاهُأَبُودَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّوَصَحَّحَهُ[13]
Artinya :
“ Dari Abdullah
Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu
Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
2.2.2 Penjelasan
Lafadz Hadits risywah
a.Hadits pertama dan Kedua
a.hadits pertama dan kedua
1. الرَّاشِيْ = kata ini berasal dari kata الرَّاثا , yaitu apa yang dijadikan sebagai alat untuk sampai
ke air . الرَّاشِيْ(penyuap) adalah orang yang
memberi kepada orang yang bisa membantunya untuk hal yang batil.
2. المُرْتَشِيْ = adalah yang menerima. Sedangkan orang yang mengupayakan
diantara keduanya disebut الرَّاءِشُ, tugasnya adalah ia meminta
tambahan untuk yang satu dan meminta kurang untuk yang lain.
3. الحُكْمِ = kata ini berasal dari khakama yang artinya hukum
maksudnya Allah SWT melaknat orang-orang yang melakukan suap dalam hukum.
2.2.3 Ayat-ayat Berkaitan Tentang Risywah
Hadis-hadis di
atas adalah hadis-hadis yang menunjukkan tentang haramnya menerima hadiah.Semua
ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan
perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah
SWT dalam al-Quran yang artinya sebagai berikut :
”Mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram” (QS. Al Maidah: 42).
Dan ayat selanjutnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 188
yang artinya
”Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Jadi, diharamkan
mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap
dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan
untuk memperoleh hak dan mencegah ke-zhalim-an seseorang. Namun orang yang
menerima suap tetap berdosa.
2.2.4 Pengertian Risywah
Secara
etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab ” رشا - يرشو “ yang masdarnya
bisa dibaca “ رشوة‘’ ,’’ رشوة ‘’ atau “ "رشوة
yang berati “ الجعلو “ yaitu suap. Adapun secara
terminology, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang bathil
(salah) atau menyalahkan yang benar. Dalam Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip
dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai Sesuatu yang diberikan
seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan
perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.
Adapun beberapa pendapat dari para ijtihad ulama’ tentang beberapa
pengertian tentang risywah atau suap adalah sebagai berikut:
- Pengertian suap menurut Ibnu al-Qoyyim adalah
sebuah perantara untuk dapat memudahkan urusan dengan pemberian sesuatu
atau pemberian untuk membatalkan
yang benar atau untuk membenarkan yang batil.
- Menurut Az zamakhsyari risywah ialah wasilah untuk menuju suatu
keperluan/hajat dengan cara menyuap/tipuan.
- Al Baidhowi berpendapat, disebut risywah karena
merupakan sebuah cara untuk menuju suatu maksud dengan perbuatan yang
bermacam-macam.[14]
2.2.5
Macam-macam Risywah
Menurut Ibn ’Âbidin, ada empat macam bentuk risywah, yang dikutipnya dari
kitab al-Fath, yaitu sebagai berikut:
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang
memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan
pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara,
sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta
penguasa menolak ke-mudharat-an dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi
yang mengambilnya saja. Risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang
berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan
seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah
untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya
adalah ke-zhalim-an. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu
sebagai hadiah untuk menahan ke-zhalim-an dan sebagai upah dalam menyelesaikan
perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang
yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka
menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa. Kalau seseorang melaksanakan tugasnya
tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah
kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn
Mas’ud.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta,
boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh
dilakukan karena menolak ke-mudharat-an dari orang muslim adalah wajib, namun
tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.[15]
Sedangkan menurut menurut ulama
mazhab Hanafi mereka membagi risywah (suap) menjadi empat kategori yaitu :
1. suap supaya diangkat sebagai hakim dan pejabat
(demikian pula supaya bisa menjadi PNS). Suap ini hukumnya haram bagi yang
menerima dan yang menyerahkan.
2. permintaan suap dari seorang hakim sebelum dia
mengambil sebuah keputusan. Suap ini juga haram bagi yang menyerahkan dan yang
menerima meski hukum yang dijatuhkan adalah hukum yang benar dan adil karena
menjatuhkan hukuman yang adil adalah kewajiban seorang hakim.
3. menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang dalam
rangka mencegah bahaya (ke-zhalim-an) orang tersebut atau untuk mendatangkan
manfaat (yaitu menerima yang menjadi haknya). Suap ini hukumnya haram untuk
yang menerima saja.
4. memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa
membantu untuk mendapatkan hak. Menyerahkan dan menerima harta semisal ini hukumnya
boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya
sebagaimana upah.[16]
BAB 3 KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Hadiah memiliki
pengertian yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar
terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya
permintaan dan syarat.
Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:
1.Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang
ia tanya tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
2.Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan berkata:
Rukun-rukun hadiah
adalah sebagai berikut:
- Ada yang memberi
- Ada yang diberi
- Ada ijab dan
qabul
- Ada barang yang
diberikan
Sedangkan
risywah menurut Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah
didefinisikan sebagai Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada
yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau
membawa kepada yang diinginkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ansari, Zakariya.2008. Asnal Matalib. dalam al-maktabah
asy-syamilah, al-isdar as-sani 2. juz 13.
Sabiq,
Sayyid.2008. Fiqhus Sunnah. dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar
as-sani 2.juz 2.
Qal’aji, Muhammad. Mu‘jam lugatil fuqaha. dalam al-maktabah
asy-syamilah, al-isdar as-sani 2. juz 1.
Al-Bukhari.1987. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar
Ibn Ktsir al-Yamamah.
Al-Baihaqi.1994. Sunan al-Baihaqi al-Kubra.
Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz.
An-Nasa’i.1991. Sunan Kubra Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah.
Rasjid Sulaiman,1998,Fiqih
Islam,Bandung:Sinar Algensindo
Helmi, 2002.Fiqih
Muamalah,Jakarta: Raja Grafindo Persada
Umari Barmawi,1985,Ilmu
Fiqih,Pelambang:Ramdhani
[2]Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra,(Maktabah
Dar al-Baz,Makkah al-Mukarramah,1994),hlm.328
[4]Tafsir Ibn
Katisir,hlm.164
[6]Zakariyya Al-Ansari, Asnal Matalib,
(al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.2008.), juz 13, hlm. 35.
[7]Sayyid Sabiq,
Fiqhus Sunnah, (al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.2008). juz 2, hlm.
33.
[8]Muhammad
Qal‘aji, Mu‘jam lugatil fuqaha, (al-maktabah asy-syamilah, al-isdar
as-sani.2008). juz 1, hlm. 493.
[10]Helmi,Fiqih Muamalah,( Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2002)hlm.58
[11]Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam,(Bandung:Sinar
Algensindo,1998)hlm.32
[12]Helmi,Fiqih Muamalah,( Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2002)hlm.58
[13]At-Turmuzi,
Sunan at-Turmuzi,(Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Beirut),hlm.622
[14]Helmi,Fiqih Muamalah,( Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2002)hlm.65
No comments:
Post a Comment