Thursday, 7 November 2013


HADIAH DAN RISYWAH
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar Hadits Al-Ahkam 


PEMBAHASAN

2.1 Hadiah
2.1.1        Hadits Tentang Hadiah
a.Hadits Pertama
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ثم كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتي بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة فإن قيل صدقة قال لأصحابه كلوا ولم يأكل وإن قيل هدية ضرب بيده صلى الله عليه وسلم فأكل معهم. (رواه البخاري)[1]
Artinya:
Hadisditerimadari Abu Hurairahr.a.beliauberkata: Rasulullah SAW apabiladiberimakananbeliaubertanya: apakahmakananinihadiahatausadaqah. Jikadijawab: sadaqah, beliaumengatakanpada para sahabatnya: makanlaholeh kalian, sedangkanbeliautidakmemakannya. Akan tetapibiladijawab: hadiah, makabeliaumengambildengantangannyalalumakanbersamamereka (HR al-Bukhari)
b.Hadiah Kedua
قال الشافعي رحمه الله قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يأكل الصدقة وأكل من صدقة تصدق بها على بريرة وقال هي لنا هدية وعليها صدقة. (رواه البيهقى)[2]

Artinya:
Imam asy-Syafi’ir.h. berkata: sesungguhnyaRasulullah SAW tidakmemakansedekah. Dan ketikabeliauikutmemakansadaqah yang diberikankepadaBarirah, beliaumengatakanbahwasadaqahitubagi kami adalahhadiahdanbagiBarirahadalahsadaqah (HR. al-Baihaqi). Hadis di atasjugadiriwayatkanoleh an-Nasa`idariAisyah[3]

2.1.2 Penjelasan Lafadz Hadits Hadiah
a. Penjelasan Hadits Pertama
  1. بطعام     : Makanan (makanan yang hendak dihadiahkan).
  2. أهدية أم صدقة     : Makanan itu merupakan hadiah atau shadakah (beliau bertanya kepada sahabat).
  3. كلوا ولم يأكل       : Apabila makanan itu shadaqah, beliau(Rasulullah) tidak ikut memakannya.
  4. فأكل معهم           : Apabila makanan itu berupa hadiah, maka beliau ikut makan bersama sahabatnya.

b.Penjelasan Hadits Kedua

  1. لا يأكل الصدقة= Tidak memakan shadaqah, (Rasulullah tidak memakan shadaqah)
  2. تصدق بها على بريرة= Shadaqah yang diberikan kepada Barirah
  3. هدية      = Hadiah, maksudnya: Rasulullah mengatakan bahwa shadaqah yang diberikan kepada Barirah itu bagi kami adalah hadiah
  4. صدقة     = Shadaqah, maksudnya: Pemberian itu bagi Barirah adalah Shadaqah


2.1.3 Ayat-Ayat Berkaitan Tentang Hadiah
Ayat-ayat yang berkaitan tentang hadiah yaitu sabagai berikut:
Yang pertama yaitu terdapat pada surat Ali-Imran ayat 92 yang artinya,“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai”. Dan surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya, “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa”.[4]

2.1.4 Pengertian Hadiah                                  
Kata hadiah dilihat dari bahasa berasal dari kata, (هدِيَّة) berarti إهداء(pemberian), اللُّهْنَة(oleh-oleh), التَّقدِمَة(hadiah). Sedangkan dilihat dari istilah hadiah memiliki pengertian yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.
Dalam kitab Raudhatuth Thalibin dijelaskan bahwa Imam asy-Syafi’i membagi kebajikan (tabarru’) seseorang dengan hartanya kepada dua bentuk.Pertama kebajikan yang berkaitan dengan kematian, yaitu wasiat.Kedua, kebajikan ketika masih hidup yang dibedakannya antara kebajikan murni (mahdh) dengan waqaf.Kebajikan murni ada tiga macam, yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’[5].
Selanjutnya dijelaskan, jika kebajikan harta bertujuan untuk menghormati dan memuliakan seseorang dan harta itu harta bergerak disebut dengan hadiah. Dan kalau yang diberikan itu harta tidak bergerak (tetap) disebut hibah.Akan tetapi kalau kebajikan harta itu bertujuan untuk pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah dan mengharapkan pahala akhirat disebut dengan shadaqah. Secara umum hadiah dan shadaqah dapat kategorikan sebagai hibah, namun hibah berbeda dengan hadiah dan shadaqah.
Dari penjelasan di atas dan beberapa litaratur lain dapat didefinisikan bahwa hadiah adalah pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub). Dalamhalinibisasajapemberianituditujukanuntukhal-hal yang dilarangsyara’ (haram), inilah yang kemudiandisebutrisywah.
Menurut istilah fikih, hadiah didefinisikan sebagai berikut:
1.      Zakariyya Al-Ansari
( اَلْهَدِيَّةُ وَهِيَ ) تَمْلِيْكُ ( مَا يُحْمَلُ ) أَيْ يُبْعَثُ ( غَالِبًا ) بِلاَ عِوَضٍ إِلَى الْمُهْدَى إِلَيْهِ ( إكراما )
Hadiah adalah penyerahan hak milik harta benda  tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.”[6]




2.      Sayyid Sabiq
اَلْهَدِيَّةُ كَالْهِبَّةِ حُكْمًا وَمَعْنًى
Hadiah itu seperti hibah dalam segi hukum dan maknanya.”[7]

Dalam pengertian ini, Sayyid Sabiq tidak membedakan antara hadiah dengan hibah dalam segi hukum dan segi makna. Hibah dan hadiah adalah dua istilah dengan satu hukum dan satu makna. Sehingga ketentuan yang berlaku bagi hibah berlaku juga bagi hadiah.

3.      Muhammad Qal‘aji
اَلْهَدِيَّةُ هِىَ إِعْطَاءُ شَيْئٍ بِغَيْرِ عِوَضٍ صِلَةَ وَتَقَرُّبًا وَإِكْرَامًا
Hadiah adalah pemberian sesuatu tanpa imbalan untuk menyambung tali silaturrah}im, mendekatkan hubungan, dan memuliakan.”[8]

Dalam pengertian ini, Muhammad Qal‘aji menegaskan bahwa dalam hadiah tidak murni memberikan tanpa imbalan, namun ada tujuan tertentu yakni adakalanya untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan hubungan, dan memuliakan.
Kalau dipahami, ada titik temu antara ketiga definisi di atas, yakni hadiah adalah pemberian tanpa imbalan, sama seperti hibah. Sayyid Sabiq menganggap hibah dan hadiah adalah sama persis, sedangkan Zakariyya Al-Ansari dan Muhammad Qal‘aji membedakannya. Hibah murni pemberian tanpa imbalan, sedangkan hadiah bertujuan untuk memuliakan. Mayoritas fuqaha cenderung membedakan antara hibah dan hadiah.
Hadiah dibolehkan oleh agama. Rasulullah saw sendiri pernah menerima hadiah semasa hidupnya, sebagai tanda rasa hormat dan bersahabat dari pihak lain. Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah mengakatakan bahwa: “Rasulullah SAW mengatakan: saling memberilah kamu. Niscaya kamu akan saling mengasihi.[9]
2.1.5 Syarat-syarat Hadiah
Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:
  1. Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang ia tanya tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
  2. Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan berkata: “Aku terima apa yang engkau berikan kepadaku”, atau ia menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang muslim memberi sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum diterima oleh penerimaannya, kemudian pemberi meninggal dunia, maka sesuatu tersebut menjadi hak ahli warisanya dan penerima tidak mempunyai hak terhadapnya.

2.1.6Rukun-rukun Hadiah

Rukun-rukun hadiah adalah sebagai berikut:
  1. Ada yang memberi
  2. Ada yang diberi
  3. Ada ijab dan qabul
  4. Ada barang yang diberikan[10]

2.1.7        Hukum Hadiah
Hukum memberi hadiah adalah sunnah, karena hal ini merupakan perbuatan baik yang dianjurkan untuk dikerjakan, yang melandasi hal itu adalah sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulallah saw bersabda:"Sekiranya aku di undang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut. Begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahkan kepadaku, pasti aku akan menerimanya."(HR. Al-Bukhori). Serta sabda Nabi yg di riwayatkan oleh Khalid bin Adiy yang berbunyi:"Barang siapa diberi saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak dia minta, maka hendaklah diterimanya dan jangan menolaknya. Sesungguhnya yang demikian itu rezeki yang diberikan Allah kepadanya."(HR. Ahmad), dan dari Aisyah dia menceritakan bahwa:"Nabi saw senantiasa menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya."(HR. Al-Bukhari).[11]
Dari hadits yang tertulis di atas sudah jelas menerangkan tentang hukum hadiah tersebut. Dan Rasulullah sendiri tidak menyukai orang yang telah menolak pemberian atau hadiah, karena hal itu sama saja telah menolak rezeki dari Allah.
2.1.8        Hikmah Hadiah
Hikmah-hikmah hadiah sebagai berikut:
1.      Dapat membantu si penerima hadiah dari berbagai kesulitan hidup
2.      Untuk mengakrabkan silaturrahim dan menjinakkan hati
3.      Meneguhkan kecintaan di antara sesamanya
4.      Mendapatkan perlindungan dari Allah SWT
5.      Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
6.      Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.[12]

2.2      RISYWAH

2.2.1Hadits tentang risywah
a. Hadits pertama


وَعَنْأَبِيهُرَيْرَةَرضياللهعنهقَالَ: ( لَعَنَرَسُولُاَللَّهِصلىاللهعليهوسلماَلرَّاشِيَوَالْمُرْتَشِيَفِياَلْحُكْمِ ) رَوَاهُاَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُاِبْنُحِبَّانَ






Artinya :

Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah      Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban.


b. Hadits kedua

وَعَنْعَبْدِاَللَّهِبْنِعَمْرِوٍ -رَضِيَاَللَّهُعَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَرَسُولُاَللَّهِصلىاللهعليهوسلماَلرَّاشِيوَالْمُرْتَشِيَ ) رَوَاهُأَبُودَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّوَصَحَّحَهُ[13]



Artinya :

 “ Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

2.2.2 Penjelasan Lafadz Hadits risywah
a.Hadits pertama dan Kedua
a.hadits pertama dan kedua
1. الرَّاشِيْ = kata ini berasal dari kata الرَّاثا , yaitu apa yang dijadikan sebagai alat untuk sampai ke air . الرَّاشِيْ(penyuap) adalah orang yang memberi kepada orang yang bisa membantunya untuk hal yang batil.
2. المُرْتَشِيْ = adalah yang menerima. Sedangkan orang yang mengupayakan diantara keduanya disebut الرَّاءِشُ, tugasnya adalah ia meminta tambahan untuk yang satu dan meminta kurang untuk yang lain.
3. الحُكْمِ = kata ini berasal dari khakama yang artinya hukum maksudnya Allah SWT melaknat orang-orang yang melakukan suap dalam hukum.

2.2.3 Ayat-ayat Berkaitan Tentang Risywah
Hadis-hadis di atas adalah hadis-hadis yang menunjukkan tentang haramnya menerima hadiah.Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran yang artinya sebagai berikut :
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. Al Maidah: 42).
Dan ayat selanjutnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Jadi, diharamkan mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah ke-zhalim-an seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa.
2.2.4 Pengertian Risywah
     
Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab ” رشا - يرشو “ yang masdarnya  bisa dibaca “ رشوة‘’ ,’’  رشوة ‘’ atau “  "رشوة yang berati “ الجعلو “ yaitu suap. Adapun secara terminology, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang bathil (salah) atau menyalahkan yang benar. Dalam Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.
Adapun beberapa pendapat dari para ijtihad ulama’ tentang beberapa pengertian tentang risywah atau suap adalah sebagai berikut:
  1. Pengertian suap menurut Ibnu al-Qoyyim adalah sebuah perantara untuk dapat memudahkan urusan dengan pemberian sesuatu atau pemberian  untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batil.
  2. Menurut Az zamakhsyari risywah ialah  wasilah untuk menuju suatu keperluan/hajat dengan cara menyuap/tipuan.
  3. Al Baidhowi berpendapat, disebut risywah karena merupakan sebuah cara untuk menuju suatu maksud dengan perbuatan yang bermacam-macam.[14]

2.2.5 Macam-macam Risywah
Menurut Ibn ’Âbidin, ada empat macam bentuk risywah, yang dikutipnya dari kitab al-Fath, yaitu sebagai berikut:
1.      Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2.      Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3.      Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak ke-mudharat-an dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah ke-zhalim-an. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan ke-zhalim-an dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa. Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
4.      Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak ke-mudharat-an dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.[15]

 Sedangkan menurut menurut ulama mazhab Hanafi mereka membagi risywah (suap) menjadi empat kategori yaitu :
1.      suap supaya diangkat sebagai hakim dan pejabat (demikian pula supaya bisa menjadi PNS). Suap ini hukumnya haram bagi yang menerima dan yang menyerahkan.

2.      permintaan suap dari seorang hakim sebelum dia mengambil sebuah keputusan. Suap ini juga haram bagi yang menyerahkan dan yang menerima meski hukum yang dijatuhkan adalah hukum yang benar dan adil karena menjatuhkan hukuman yang adil adalah kewajiban seorang hakim.

3.      menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang dalam rangka mencegah bahaya (ke-zhalim-an) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat (yaitu menerima yang menjadi haknya). Suap ini hukumnya haram untuk yang menerima saja.

4.      memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Menyerahkan dan menerima harta semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.[16]



BAB 3 KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Hadiah memiliki pengertian yaitu menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.
Syarat-syarat hadiah adalah sebagai berikut:
1.Ijab, yaitu pertanyaan pemberi kepada orang yang ia tanya tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
2.Qabul, yaitu penerimaan oleh penerimaan dengan berkata:
Rukun-rukun hadiah adalah sebagai berikut:
  1. Ada yang memberi
  2. Ada yang diberi
  3. Ada ijab dan qabul
  4. Ada barang yang diberikan

      Sedangkan risywah menurut Hasyiyah Ibn Abidin yang dikutip dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Ansari, Zakariya.2008. Asnal Matalib. dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2. juz 13.
Sabiq, Sayyid.2008. Fiqhus Sunnah. dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.juz 2.
Qal’aji, Muhammad. Mu‘jam lugatil fuqaha. dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2. juz 1.
Al-Bukhari.1987. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Ktsir al-Yamamah.
Al-Baihaqi.1994. Sunan al-Baihaqi al-Kubra. Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz.
An-Nasa’i.1991. Sunan Kubra Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Rasjid Sulaiman,1998,Fiqih Islam,Bandung:Sinar Algensindo

Helmi, 2002.Fiqih Muamalah,Jakarta: Raja Grafindo Persada
Umari Barmawi,1985,Ilmu Fiqih,Pelambang:Ramdhani


[1]Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,(Dar IbnKtsir al-Yamamah,Beiru,1987),hlm.910
[2]Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra,(Maktabah Dar al-Baz,Makkah al-Mukarramah,1994),hlm.328
[3]An-Nasa’i, Sunan Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991/1411, 2:59

[4]Tafsir Ibn Katisir,hlm.164
[5]RaudhatuthThalibin, (Maktabah al-Islamiyah),hlm.36
[6]Zakariyya Al-Ansari, Asnal Matalib, (al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.2008.), juz 13, hlm. 35.
[7]Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.2008). juz 2, hlm. 33.
[8]Muhammad Qal‘aji, Mu‘jam lugatil fuqaha, (al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani.2008). juz 1, hlm. 493.
[9]Ibid.hlm 35
[10]Helmi,Fiqih Muamalah,( Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002)hlm.58
[11]Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam,(Bandung:Sinar Algensindo,1998)hlm.32
[12]Helmi,Fiqih Muamalah,( Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002)hlm.58
[13]At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi,(Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Beirut),hlm.622
[14]Helmi,Fiqih Muamalah,( Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002)hlm.65
[15]Umari Barmawi, Ilmu Fiqih,(Pelambang,Ramdhani,1985),hlm.35

[16]Ibid.36


No comments:

Post a Comment