JUAL
BELI (SALE AND PURCHASE)
Makalah
Ini di susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Ahkam
Dosen
Pengampu:
H.Moh.Thoriquddin.Lc.,M.Hi
Oleh.
Abdur
Rokhim (12220190 )
Marzuki (12220002
)
Nanda (12220090 )
Jurusan
Hukum Bisnis Syari’ah
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012
حدثنا عبد
الله حدثني أبي ثنا يزيد ثنا المسعودي عن وائل أبي بكر عن عباية بن رفاعة بن رافع
بن خديج عن جده رافع بن خديج قال قيل : يا رسول الله أي
الكسب اطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور )رواه البزار وصححه الحا كم )
Dari
Rifa’ah bin Rofi’ R.A : bahwa Nabi Saw pernah ditanya, pekerjaan apa yang paling baik ?” Rosululloh
SAW menjawab, “pekerjaan seseorang yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan
setiap jual beli yang baik. “ (HR. Al Bazzar ) dan dinilai shohih oleh Hakim [1]
عن عبد الله بن الحارث عن حكيم بن حزام
رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه و
سلم قال ( البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو قال حتى يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك
لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما ) رواه البخاري
“Dari
Abdullah bin Harits,dari Hakim bin
Hizam, dia berkata, Rasullullah Shalllalahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Dua
orang yang jual beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah’, atau
beliau bersabda, ‘Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur
dan menjelaskan, maka keduanya diberkahi dalam jual-beli itu, namun jika
keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual-beli itu akan
dihapuskan’.” (HR.. Bukhori)[2]
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع
حبل الحبلة وكان بيعا يتبايعه أهل الجاهلية وكان الرجل يبتاع الجزور إلى أن تنتج
الناقة ثم تنتج التي في بطنها )رواه
البخاري)
Dari abdullah bin umar radhiyallahu anhuma, bahwa rosulullah
SAW melarang jual beli anak-anak hewan ternak yang masih dalam kandungan. Itu
merupakan jual beli yang biasa di lakukan orang orang jahiliyah. Seseorang
biasanya membeli onta yang masih dalam kandungan, hingga induk onta melahirkan,
kemudian anak onta melahirkan lagi.)HR. BUKHORI)[3]
a. Penjelasan lafadz
1. (البيوع )
Al buyu’ adalah jamak dari kata bai’ ia dijamakkan karena banyaknya macam jual
beli tersebut, sedang kata al bai’ adalah perpindahan kepemilikan dari
seseorang kepada orang lain dengan pembayaran hartanya
2. (رفاعة بن رافع ) Rifa’ah bin Rofi’ adalah Rifa’ah Bin Malik bin al-Ajlan bin Amr
bin Amir bin Zuraiq az-Zuraqi al-Anshari. Ayahnya adalah Rofi’ bin malik, salah
satu tokoh dari dua belas wakil-wakil delegasi, dia menghadiri bai’at Aqobah
bersama tujuh puluh orang Anshar, namun ia tidak mengikuti perang badar, kedua
anaknya rifa’ah dan khallad mengikuti perang tersebut sebagaimana rifa’ah
mengikuti perang Uhud, Khondaq dan seluruh
perang bersama Rosululloh SAW,
Dia meninggal pada awal awal kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
3. (رفاعة بن رافع بن خديج ) Rifa’ah bin Rofi’ bin khadij adalah termasuk diantara ulama periode kedua
dari kalangan tabi’in golongan Anshar. Dia meninggal di Madinah pada
kekhalifahan al-Walid bin Abdul Malik atau kekhalifhan Umar Bin Abdul Aziz.[4]
4. (الكسب )
Al kasb adalah : mata pencaharian, maksudnya
harta benda yang didapatkan dan dikumpulkan oleh seorang untuk dirinya sendiri,
yaitu dengan bertani, berdagang, berkerajinan, atau dengan suatu keahlian
tertentu yang lain.
5. ( اطيب)
athyab artinya yang paling baik
maksudnya perbuatan yang paling utama, halal, berkah dan mulia.
6. ( عمل الرجل بيده) maksudnya
usaha seseorang dengan tangannya sendiri, disini tidak di maksudkan hanya
bagi para laki-laki namun termasuk juga bagi para wanita, disebutkan dengan
kata laki-laki karena secara umum , dialah yang bertanggung jawab dalam pekerjaan
. oleh karena itu, para sahabat Nabi adlah para pekerja yang mandiri
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dari Hadits Aisyah.
7. (وكل بيع مبرور )
artinya : dan setiap jual beli yang mabrur, maksudnya setiap perdagangan yang
bersih dari penipuan dan sumpah palsu. Sedangkan menurut syekh Abdulloh bin
Abdurrahman Al Bassam وكل بيع مبرور : jual beli yang tidak dicampur dengan
perbuatan dosa, seperti berbohong, menipu dan sumpah palsu serta lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “Al Birr adalah kalimat yang mencakup
seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang manusia.
Lawan katanya al itsmu yang mencakup segala
jenis keburukan dan kecacatan.”[5]
b. Peringkat hadits
Hadits diatas adalah hadits shahih dengan
berbagai sanad yang ada.
syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam berkata, “ hadits diatas diriwayatkan
oleh Al Al Bazzar dan dinilai shahihb oleh Al Hakim.”
Didalam masalah masalah ini ada hadits yang di riwayatkan dari Ali
dan Ibnu umar yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim. At-Thabrani meriwayatkan
hadits dari ibnu umar di dalam Al-Ausath dan para perowi haditsnya tidak
bermasalah.
Al Haitsami berkata didalam majma’ Az-Zawa”id setelah mengemukakan
beberapa sanad hadits, maka ia berkata melalui sanad dari At-Thabrani : para perawi hadits terpercaya dan ia
berkata melalui sanad imam Ahmad bahwa
para perowinya terpercaya.[6]
c. Isi Kandungan Hadits
1.
Hadits diatas merupakan dalil bahwa ajarann islam
menganjurkan untuk bergerak dan bekerja serta mencari pekerjaan-pekerjaan yang
baik. Islam adalah agama dan negara. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan kepada
hambanya untuk mencari rizki dan dan berusaha di muka bumi untuk memekmurkan
dan mengembangkannya. Allah SWT berfirman , “ Dialah yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu , maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezekinya. (Qs.Al Mulk(67) : 15)
2.
Hadits diatas menunjukkan bahwa pekerjaan yang paling
utama adalah pekerjaan seseorang dengan tangnnya.
3.
Hadits diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya berdagang
adalah pekerjaan yang paling baik, yaitu apabila ia terlepas dari dari
transaksi yang haram, seperti riba, penipuan, tipu daya dan pemalsuan serta
hal-hal lainnya, berupa memakan harta manusia dengan bathil.
4.
Kebaikan sebagaimana ada didalam ibadah, maka juga adaa didalam
mu’amalah.
Apabila seorang muslim bersih dalam
penjualan, pembelian, pembuatan, pekerjaan dan kemahirannya, maka
perbuatannya ini termasuk kebaikan
dimana ia mendapatkan pahala dunia dan akhirat.
5.
Hadits diatas menunjukkan Jual beli yang baik adalah jual
beli yang terjadi sesuai dengan tuntutan syari’at, yaitu dengan terkumpulnya
syarat, rukun dan hal-hal yang
menyempurnakan jual beli, tidak adanya hal yang mencegah dan hal-hal yang
merusak syarat-syarat jual beli. Kemudian didalamnya telah terkumpul
syarat-syarat yang telah disebutkan terlebih dahulu dan hal-hal yang mencegah
juga tidak ada seperti penipuan, ketidak tahuan, perjudian, hal-hal yang
berbahaya, akad riba, penipuan, pemalsuan dan cacat yang disembunyikan.[7]
Bentuk-bentuk akad
jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiyah
terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak
puluhan.Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli
yang di kembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’almurabahah, bai’as-salam, dan
bai’ al-istisna [8]
1.
Bai’al- murobbahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati.
2.
Bai’ as-salam adalah pemberian barang yang
diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka.[9]
3.
Bai’al-istisna’adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Adapun penjelasan masalah jual beli
secara detail dan luas, diterangkan dalam kitab-kitab fiqih.
d.
Ayat yang berkaitan dengan hadis pertama
1. الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Artinya: Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri
Melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS:
Al Baqoroh, 275)
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang
keadaan orang yang memakan harta riba ketika hari kebangkitan.Mereka
dibangkitkan seperti orang yang kerasukan setan atau orang gila. Menurut imam
Ibnu Abbas di dalam kitab Ibnu Katsir: [10]
آكل الربا
يبعث يوم القيامة مجنونا يُخْنَق. )رواه
ابن أبي حاتم(
Artinya: Orang
yang memakan riba pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam
keadaan gila dan…
Dalam riwayat lain, yang dimaksud ayat ini tidak hanya orang yang
memakan harta riba, melainkan semua orang yang terlibat dalam transaksi riba.
Sesuai sabda Nabi:
فقد ثبت أنه
صلى الله عليه وسلم : " لعن آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه والمحلل له
"
Di dalam ayat ini secara jelas Allah mengharamkan transaksi riba,sebagai perbandingannya Allah
menghalalkan transaksi jual beli. وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
-
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Orang musyrik menyamakan jual beli seperti riba.Hal ini terjadi
karena mereka menentang hukum yang disyariatkan Allah.Mereka menginginkan
menyamakan hukum riba dengan jual beli. Kemudian firman Allah yang berbunyi وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا,
menurut Imam Ibnu Katsir berkata bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang
mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual
beli dan riba secara hukum.[11]
Dalam tafsir Ar Rozi: ayat وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
terdapat beberapa permasalahan, diantaranya adalah: Kalam ini masih
memungkinkan kelanjutan ucapan orang musyrik yaitu إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا. Dan ini tidak masuk akal. Seandainya jual
beli dan riba ini sama maka ini tidak sesuai dengan ayat setelahnya yang
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Mayoritas ulama’ ahli tafsir
sepakat bahwa ucapan orang kafir berhenti pada ucapan إِنَّمَا البيع مِثْلُ الربا dan
ayat setelahnya adalah kalam Allah untuk menolak ucapan orang musyrik. Beberapa
hujjah yang menguatkan:
§ Orang islam menjadikan ayat
ini sebagai hujjah dalam permasalahan jual beli. Seandainya ayat ini ucapan
orang kafir pastinya mereka tidak berdalil dengan ayat ini.
§ Allah menyebut kalimat فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مّنْ رَّبّهِ فانتهى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى الله وَمَنْ عَادَ فأولئك أصحاب النار هُمْ فِيهَا. Dzohirnya ayat ini ketika mereka
berpengangan pada ayat إنما الربا مثل البيع maka Allah menerngkan tentang kesalahan
ucapan ini dengan ayat setelahnya. Jika ayat ini bukan kalam Allah maka sudah
pasti ayat فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مّنْ رَّبّهِ
فانتهى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى الله وَمَنْ عَادَ فأولئك أصحاب النار
هُمْ فِيهَا tidak sesuai
dengan pembahasan dalam ayat ini.
2.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا (29)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. Dan
janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang
kepadamu.(Q.S: An Nisa’, 29)
Ibnu
Katsir berkata, ayat di menerangkan atas
bahwa Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang beriman memakan harta sebagian
yang lain dengan cara yang batil. Yakni
melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta
cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuhan.[12]
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ yakni janganlah
menjalankan usaha yang diharamkan tetapi berniagalah atau berjual belilah
menurut syariat dan harus dilakuakan dengan saling ridho diantara penjual dan
pembeli. Sehingga mendapatkan untung yang sesuai dengan syariat dan berkah.
a. Identifikasi teks.
1. Bil-Khiyar merupakan
mashdar dari ikhtara, dari al-ikhtiar, berarti meminta yang terbaik dari dua
hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
2. Al-Bayyi’ani,
artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan keppada keduanya, yang
termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing masing dari
dua lafazh inni dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
3. Muhiqat merupakan
mabni lil-majhul,
yang artinya, tambahan mata pencaharian dan laba keduanya
dihilangkan.
4. Yukhayyiru ahaduma al-alkhara.
Seperti ucapan, “Pilihlah pengesahan jual-beli”.
b. Makna Umum Hadits
Biasanya jual-beli terjadi tanpa
berpikir lebih jauh, maka seringkali menimbulkan penyesalan bagi penjual maupun
pembeli, karena sebagian yang dimaksudkan tidak tercapai. Karena itulah pembuat
syariat yang bijaksana memberi tempo, yang memungkinkan terjadinya pembatalan
akad selama tempo itu. Tempo ini ialah selama masih berada di tempat
pelaksanaan akad.[13]
Jika kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jual-beli, maka masing masing
mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan jual beli. Jika
keduannya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal manusia, atau
jual-beli desepakati tanpa ketetapan terpilih dari kedua belah pihak, maka akad
jual-beli dianggap sah, sehingga salah seorang di antara keduanya tidak boleh
membatalkannya secara sepihak, kecuali dengan cara pembatalan perjanjianyang
disepakati.
Kemudian Rasullullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam menyebutkan sebagian dari sebab sebab keberkahan dan
pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab kerugian dan kerusakan. Sebab sebab
barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam muamalah,
menjelaskan aib, cacat dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang djual.
Adapun sebab sebab kerugian dan ketiadaan barakah ialah menyembunyikan cacat, dusta
dan memalsukan barang dagangan.[14]
Yang demikian itu merupakan sebab
sebab yang hakiki tentang keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan
ketenaran bagi dirinya, karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan
di akhirat dian mendapatkan pahala dan balasan yang baik. Sementara sifat kedua
, merupakan hakikat hilangnya mata penncaharian , karena pelakunya bermuamalah
dengan cara yang buruk, sehingga orang lain menghindar darinya dan mencari orang yang lebih data dipercaya,
sedangkan di akhirat dia mendapatkan
kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu manusia. Rasullalllah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan
termasuk golongan kami."
Khiyar
merupakan perubahan kata “ikhtiyar” atau “takhyir”, yang berarti hak untuk
memilih antara melangsungkan jual-beli atau nmembatalkannya.
Khiyar
ini ada dua macam, yaitu khiyar majelis dan khiyar syarat.
Sebagian ulama menambah satu jenis lagi,
yaitu khiyar naqishah. Akam tetapi , sebenarnya ia masuk kepada khiyar syarat.
Sehingga tidak perlu ada penambahan tersebut.
Para
ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i menjadikan riwayat ini menjadi hujjah bahwa
jangka waktu khiyar adalah 3 hari, akan tetapi para ulama madzhab maliki mengingkari penetapan waktu 3
hari padaa khiyar syarat tanpa ada tambahan.[15]
Khiyar majelis, artinya
antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau
membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiyar
majelis boleh dilakukan dalam berbagi jual beli.bila keduanya telah berpisah
dari tempat akad maka tidak berlaku lagi,batal.
Khiyar
syarat, yaitu penjualan yang didalamnya
disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seseorang
berkata, “ saya jual rumah ini dengan harga rp. 100.000.000 dengan syarat
khiyar-selama tiga hari”.[16]
c. Isi kandungan hadist:
1. Penetapan hak pilih di tempat bagi
penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahan jual-beli atau pembatalannya.
2. Temponya ialah semenjak jual-beli
dilaksankan hingga keduanya saling berpisah dari tempat itu.
3. Jual-beli mengharuskan pisah badan dari
tempat dilaksanaknnya jual-beli.
4. Jika penjual dan pembeli seakat utuk
membatlkan akad setelah akad diseakatai dan sebelum berpisah, atau keduanya
saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad
itu dianggap sah, karena hak itu mennjadi milik merka berdua, bagaimana
keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
5. Perbedaan antara hak Allah dan yang
semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa yang menjadi hak Allah, pembolehannya
tidak cukup dengan keridhaan anak Adam, seperti akad riba. Sedangkan yang
menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut keridhaannya yang diungkapkan,
karena hal itu tidak melanggarnya.
6. Pembuat syareiat tidak menetapkan
batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi. Apa yang dikenal manusia
sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual-beli. Keluar dari rumah kecil,
naik ke bagian atas, menyingkir ke tempat lain atau semisalnya, bias dianggap
perpisahan tentang tempo untuk menetapkan hak pilih dan akad.[17]
7. Para ulama megharamkan penjual atau
pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad ditetapkan), karena dikhawatirkan
akan terjadi permbatalan. Ahlus-sunan meriwayatkan bahwa Rasullullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersadba, “Dan tidak dihalalkan baginya (penjual
atau pembeli) meninggalkan yang lain, karena dikhawatirkanhal itu merupakan
permintaan untuk membatalkan jual-beli”. Hal itu menggambarkan pengguguran
terhadap hak orang lain.
8. Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan
barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan di akhirat, sebagaimana
dusta, bohong dan menutup nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah. Hal
ini dapat dirasakan secara nyata di dunia. Orang orang yang sukses dalam
bisnisnya dan yang laku barang dagangannya ialah mereka yang jujur dalam
muamalah yang baik.[18]
d. Perbedaan pendapat
di kalangan ulama
Para ulama saling
berbeda pendapat tentang penetapan hak pilih di tempat. Jumhur ulama dari
kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak pilih di tempat.
Sedangkan Abu hanifah, malik serta mayoritas rekan mereka berdua tidak
menetapkan hak pilih di tempat. Mereka beralasan dengan hujjah yang
bertentangan dengan pengamalan hadits-hadits ini, namun hujjah-hujjah itu
lemah, yang kemudian disanggah jumhur , diantara hujjah-hujjah yang lemah itu
sebagai berikut :
1. Yang di maksudkan al-mutabayi’any dalam
hadits adalah dua orang (penjual dan pembeli) yang saling tawar menawar. Yang
dimaksudkan al-khiyar adalah penerimaan atau penolakan pembeli. Pendapat ini di
tolak, bahwa penamaan “orang yang menawar “ untuk penjual merupakan kiasan .
disamping itu, tidak memungkinkan penerapan hadits yang didalamnya disebutkan
perpisahan untuk keadaan dua orang yang terlibat dalam tawar menawar.
2.
Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan
perkataan antara penjual dan pembeli ketika dilakukan serah terima. Pendapat
ini ditolak karena hal itu bertentangan dengan zhohir hadits bahkan juga
bertentangan dengan nash sebagian hadits lain. Di samping itu, ijab qobul
dianggap tidak terjadi jika keduanya berpisah, ijab qobul terjadi karena ada
kesepakatan dan bertemu muka. [19]
a. Penjelasan lafazh
1.
Hablul-habalah, artinya kandungan hewan ternak betina.
2.
Al, jazur, artinya unta, baik jantan maupun betina, jama,nya juzur
dan jaza,ir.
3. Tuntaju, artinya melahirkan. Bentuknya merupakan fi,il majhul yang dinisbatkan kepada an najah
4.
Jahilyah, sebutan untuk masa sebelum islam dan orang – orangnya,
yang di ambilkan dari kata al-jahl,
kebodohan, karena itulah yang menguasai kaadaan mereka.
5.
Tantaju al,lati fi bathniha, artinya menjual anak dari anak unta.
Caranya ialah menunggu unta hingga melahirakan, lalu menunggu anak itu hingga
menjadi besar, lalu ia di kawainkan dengan unta jantan hingga melahirkan anak
lagi, dan inilah yang bisa di miliki.
b.
Kandungan
Makna
Secara Umum
Penafsiran yang paling
masyhur tentang jual beli ini ada dua versi:
1.
Maknanya bisa berarti
penangguhan, bahwa seseorang menjual sesuatu dengan harga yang di tangguhkan
pembayarannya hingga kelahiran anak unta, kemudian anak onta ini melahirkan
lagi. Hal ini dilarang. Karena ketidaktahuan terhadap masanya, yang bisa pendek
dan bisa panjang.
2.
Maknanya bisa berarti
menjual sesuatu yang belum jelas keberadaanya. Yaitu dengan menjual anak dalam kandungan unta. Hal ini di larang karena
terdapat pengecohan dan kerugian. Tidak di ketahui anak unta yang ada dalam
kandungan itu jantan atau betina, apakah anak dalam kandungan itu satu atau
dua, apakah ia mati atau hidup. Semua ini tidak jelas bagaimana kesudahannya.
Ini meruapakan jual beli barang yang tidak di ketahui secara pasti, yang unsur
pengecohan dan penipuannya lebih dominan, dan bisa menjurus kepada perselisihan
dan percekcokan.[20]
c.
Isi
Kandungan hadits:
1.
Larangan jual beli semacam
ini, apapun penafsirannya, karena menurut penafsiran yang pertama, maka di
dalamnya terkandung unsr ketidak jelasan masanya. Menurut penafsiran yang
kedua, karena di dalamnya terkandung ketiadaan barang yang di jual dan ketidakjelasannya.
2.
Yang di tetapkan dalam nash
adalah jual beli ini, karena itu merupakan salah satu jual beli pada masa
jahiliyah. Jika tidak, maka ia bersifat umum, berlaku untuk semua jual beli
yang di dalamnya berlaku unsur ketidaktahuan dan tipuan.[21]
3.
Hikmah larangan ini, bahwa
yang demikian itu merupakan jual beli dengan unsur tipuan dan untung untungan
serta memakan harta dengan cara yang batil, disamping bisa menimbulkan
perselisihan, permusuhan dan kebencian.
Ada satu kaidah dalam muamalah yang diharamkan yang
terangkum dalam perkataan Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah berikut ini :
Hukum dasar dalam masalah ini, bahwa allah telah
mengharamkann dalam kitabnya memakan harta dengan cara yang bathil diantara
kita. Ada dua macam cara mengambil harta manusia dengan cara yang bathil daalam
berbagai transaksi yaitu : riba dan maisir. Allah mengharamkan
riba kebalikan dari shaodaqoh, dalam surat Al baqoroh, Ali Imran, Ar Rum, Al muddatstsir dan An Nisa’, menyebutkan
pengharaman maisir dalam surat Al Maidah.
Tentang jual beli dengan unsur tipuan pendapat
yang paling keras dinyatakan Abu Hanifah dan Asy-syafi’i. Yang termasuk dalam
sebutan jual beli ini, seperti jual beli
biji-bijian dan buah-buahan di pohonnya.[22]
Jual
beli dalam istilah fiqh disebut dengan al ba’i yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara terminologi,
terdapat beberapa difinisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh sekalipun
subtansi dan tujuan masing-masing difinisi adalah sama. Diantaranaya yaitu:
1. Ulama Hanfiyah mendifinisikan jual
beli yaitu :
مبادلة
مال بمال على وجه مخصوص
Artinya:”
Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasar cara khusus (yang
diperbolehkan). Cara khusus disini adalah melalui ijab dan qobul.”
2. Menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah,
dan Hanabilah yaitu:
مبادلة المال بالمال تمليكا
وتملّكا
Artinya:”
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
Ketiga ulam tersebut melakukan penekanan pada
kata “milik”dan “penukaran”, dikarenakan karena ada penukaran harta yang
sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (jaroh).
3. Menurut
M.Anwar, jual beli adalah perikatan yang mengandung pengertian harta benda
(jasa) dengan harta benda untuk dimiliki selama-lamanya, menurut aturan-aturan
yang telah ditentukan.[23]
Jadi berdasarkan difinisi para ulama
tesebut dapat kita simpulkan jual beli adalah pertukaran suatu barang atas
dasar suka sama suka (rela) yang dibenarkan oleh syara’, sehingga harta barang
yang ditukarkan menjadi miliknya untuk selama-lamanya jadi pertukaran ini
dilakukan atas dasar suka sama suka diantara kedua belah pihak bukan atas dasar
paksaan. Karena jka dalam jual beli itu mengandung unsur paksaan, maka hal ini
di dalam Islam tidak dibenarkan dan hal ini akan mengandung suatu kerusakan
atau sudah nyata dilarang Islam.[24]
Para
ulama sepakat memperbolehkan jual beli, karena sebagian besar kebutuhan seseorang
itu ada pada kepemilikan orang lain, sementara orang itu tidak memberikan
kepadanya. Maka, adanya syariat jual beli merupakan sarana untuk mencapai apa
yang dimaksudkan tanpa ada unsur keterpaksaan. [25]
Yang
menjadi dasar di perbolehkan jual beli adalah Al Qur’an surat Al Baqoroh
(2):275, Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dan disohihkan oleh Al hakim
dari Rifa’ah bin Rofi’ R.A., serta Ijma’.
Asal
hukum semua jual beli menurut imam As-Syafi’i adalah boleh (mubah) asal
diantara penjual dan pembeli saling rela atau suka (ridho).[26]
Hadits pertama
1.
Menjelaskan tentang sebaik-baiknya usaha yaitu usaha yang
dilakukan oleh tangan sendiri dan jual beli yang baik
2.
Di perbolehkan nya jual beli, yakni jual beli yan g
terjadi sesuai dengan syari’at .
Hadits ke dua
1. Menjelaskan
tentang masalah khiyar
2. Penetapan khiyar
majlis bagi kedua belah pihak, penjual dan pembeli.
3. Ulama mengharamkan
penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad ditetapkan), karena
dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.
Hadits
ke tiga
1. Jual beli yang di
larang Allah, yakni menjual seekor anak unta yang masih dalam kandungan
induknya , illatnya adalah karena menjual sesuatu yang belum jelas
keberadaannya.
2. Hukum dasar dalam
jual beli ini adalah haram karena mengandung unsur tipuan, dan alloh
mengharamkan didalam kitabnya memakan harta dengan cara yang bathil.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Hamd , Syaibah , Abdul Qodir, 2005. Fiqhul
Islam, Darul Haq, Jakarta.
Al Bassam, Abdulloh bin
Abdurrahman , 2006. Taudhihul Ahkam, Pustaka Azzam, jakarta
syafi’i
antonio, [1]Muhammad
. 2001. Bank Syari’ah , Gema
Insani, Jakarta
Ibnu
Rusyd, 1988, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid , Darul Qolam,
vol.II,Beirut
Al
Asqalani, Ibnu Hajar, 2005. Fathul baari. Pustaka azzam, jakarta.
Nawawi
Ismail, 2012.Fiqih Muamalah., Ghalia Indonesia, Bogor
Al Bassam, Abdulloh bin Abdurrahman, 2002.
Syarah Hadis Pilihan Bukhori-Muslim, Darul falah, jakarta
Musnad
Ibnu Hambal juz 4, hal. 141 dan ALBazzar (2/83) dan Al hakim (2/10)
Suhendi,
Hendi,2011.Fiqih Muamalah ,Grafindo Perkasa, Jakarta
Az-Zuhaili,
Wahbah.2010.Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta
[1] Musnad ibnu hambal juz 4, hal. 141 dan ALBazzar (2/83) dan Al hakim
(2/10)
[2] Shohih bukhori, juz 2 hal.743
[3] Shohih bukhori, juz 2 hal.753
[4] Abdul Qodir Syaibah Al Hamd, Fiqhul Islam (Jakarta Darul Haq,
2005), hal.2
[5] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhihul
Ahkam (jakarta : pustaka Azzam, 2006) hal.224
[6] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhihul
Ahkam (jakarta : pustaka Azzam, 2006) hal.223-224
[7] Ibid.hal 226
[8]Muhammad syafi’i antonio, bank syari’ah (jakarta : gema insani,
2001)hal.101
[9] Muhammmad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid ( Beirut :Darul Qolam, 1988)vol.II, hlm.216.
[10]Tafsir Ibnu
Katsir
[12]Tafsir Ibnu
Katsir
[13] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis
pilihan bukhori-muslim (jakarta : Darul falah,
2002) hal.582
[14] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis
pilihan bukhori-muslim (jakarta : Darul falah,
2002) hal.582
[17] syekh
Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhihul
Ahkam (jakarta : pustaka Azzam, 2006) hal.583
[18] Syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhihul Ahkam (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2006) hal.583
[20] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis
pilihan bukhori-muslim (jakarta : Darul falah,
2002) hal.597
[21] Ibid hal.597
[22] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis
pilihan bukhori-muslim (jakarta : Darul falah,
2002) hal.597
[23] http://www.artikel.majlisasmanabawi.net/hukum-jual-beli-menurut-al-quran-dan-hadits/ diakses 20 februari 2013
No comments:
Post a Comment