Thursday, 7 November 2013

JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)
Makalah Ini di susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Ahkam

Dosen Pengampu:

H.Moh.Thoriquddin.Lc.,M.Hi

Oleh.
Abdur Rokhim               (12220190 )
Marzuki                          (12220002 )
Nanda                            (12220090 )

Jurusan Hukum Bisnis Syariah
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012






حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد ثنا المسعودي عن وائل أبي بكر عن عباية بن رفاعة بن رافع بن خديج عن جده رافع بن خديج قال قيل : يا رسول الله أي الكسب اطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور  )رواه البزار وصححه الحا كم )

Dari Rifa’ah bin Rofi’ R.A : bahwa Nabi Saw pernah ditanya,  pekerjaan apa yang paling baik ?” Rosululloh SAW menjawab, “pekerjaan seseorang yang dilakukan dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik. “ (HR. Al Bazzar ) dan dinilai shohih oleh Hakim [1]


عن عبد الله بن الحارث عن حكيم بن حزام رضي الله عنه  : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو قال حتى يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما )  رواه البخاري


“Dari Abdullah bin Harits,dari  Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasullullah Shalllalahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Dua orang yang jual beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah’, atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya diberkahi dalam jual-beli itu, namun jika keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual-beli itu akan dihapuskan’.” (HR.. Bukhori)[2]
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما  : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع حبل الحبلة وكان بيعا يتبايعه أهل الجاهلية وكان الرجل يبتاع الجزور إلى أن تنتج الناقة ثم تنتج التي في بطنها )رواه البخاري)

Dari abdullah bin umar radhiyallahu anhuma, bahwa rosulullah SAW melarang jual beli anak-anak hewan ternak yang masih dalam kandungan. Itu merupakan jual beli yang biasa di lakukan orang orang jahiliyah. Seseorang biasanya membeli onta yang masih dalam kandungan, hingga induk onta melahirkan, kemudian anak onta melahirkan lagi.)HR. BUKHORI)[3]


a.       Penjelasan lafadz
1.      (البيوع ) Al buyu’ adalah jamak dari kata bai’  ia dijamakkan karena banyaknya macam jual beli tersebut, sedang kata al bai’ adalah perpindahan kepemilikan dari seseorang kepada orang lain dengan pembayaran hartanya 
2.      (رفاعة بن رافع ) Rifa’ah bin Rofi’   adalah Rifa’ah Bin Malik bin al-Ajlan bin Amr bin Amir bin Zuraiq az-Zuraqi al-Anshari. Ayahnya adalah Rofi’ bin malik, salah satu tokoh dari dua belas wakil-wakil delegasi, dia menghadiri bai’at Aqobah bersama tujuh puluh orang Anshar, namun ia tidak mengikuti perang badar, kedua anaknya rifa’ah dan khallad mengikuti perang tersebut sebagaimana rifa’ah mengikuti perang Uhud, Khondaq dan seluruh  perang bersama Rosululloh SAW,  Dia meninggal pada awal awal kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
3.      (رفاعة بن رافع بن خديج  ) Rifa’ah bin Rofi’ bin khadij  adalah termasuk diantara ulama periode kedua dari kalangan tabi’in golongan Anshar. Dia meninggal di Madinah pada kekhalifahan al-Walid bin Abdul Malik atau kekhalifhan Umar Bin  Abdul Aziz.[4]
4.      (الكسب ) Al kasb adalah : mata pencaharian, maksudnya harta benda yang didapatkan dan dikumpulkan oleh seorang untuk dirinya sendiri, yaitu dengan bertani, berdagang, berkerajinan, atau dengan suatu keahlian tertentu yang lain.
5.      ( اطيب) athyab artinya  yang paling baik maksudnya perbuatan yang paling utama, halal, berkah dan mulia.
6.      ( عمل الرجل بيده) maksudnya usaha seseorang dengan tangannya sendiri, disini tidak di maksudkan hanya bagi para laki-laki namun termasuk juga bagi para wanita, disebutkan dengan kata laki-laki karena secara umum , dialah yang bertanggung jawab dalam pekerjaan . oleh karena itu, para sahabat Nabi adlah para pekerja yang mandiri sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dari Hadits Aisyah.
7.      (وكل بيع مبرور ) artinya : dan setiap jual beli yang mabrur, maksudnya setiap perdagangan yang bersih dari penipuan dan sumpah palsu. Sedangkan menurut syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam وكل بيع مبرور : jual beli yang tidak dicampur dengan perbuatan dosa, seperti berbohong, menipu dan sumpah palsu serta lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “Al Birr adalah kalimat yang mencakup seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang manusia. Lawan katanya al  itsmu yang mencakup segala jenis keburukan dan kecacatan.”[5]
b.      Peringkat hadits
Hadits diatas adalah hadits shahih dengan berbagai sanad yang ada.
syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam berkata, “ hadits diatas diriwayatkan oleh Al Al Bazzar dan dinilai shahihb oleh Al Hakim.”
Didalam masalah masalah ini ada hadits yang di riwayatkan dari Ali dan Ibnu umar yang dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim. At-Thabrani meriwayatkan hadits dari ibnu umar di dalam Al-Ausath dan para perowi haditsnya tidak bermasalah.
Al Haitsami berkata didalam majma’ Az-Zawa”id setelah mengemukakan beberapa sanad hadits, maka ia berkata melalui sanad dari At-Thabrani  : para perawi hadits terpercaya dan ia berkata melalui sanad  imam Ahmad bahwa para perowinya terpercaya.[6]
c.       Isi Kandungan Hadits

1.      Hadits diatas merupakan dalil bahwa ajarann islam menganjurkan untuk bergerak dan bekerja serta mencari pekerjaan-pekerjaan yang baik. Islam adalah agama dan negara. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan kepada hambanya untuk mencari rizki dan dan berusaha di muka bumi untuk memekmurkan dan mengembangkannya. Allah SWT berfirman , “ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu , maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya. (Qs.Al Mulk(67) : 15)
2.      Hadits diatas menunjukkan bahwa pekerjaan yang paling utama adalah pekerjaan seseorang dengan tangnnya.
3.      Hadits diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya berdagang adalah pekerjaan yang paling baik, yaitu apabila ia terlepas dari dari transaksi yang haram, seperti riba, penipuan, tipu daya dan pemalsuan serta hal-hal lainnya, berupa memakan harta manusia dengan bathil.
4.      Kebaikan sebagaimana ada didalam ibadah, maka juga adaa didalam mu’amalah.
Apabila seorang muslim bersih dalam penjualan, pembelian, pembuatan, pekerjaan dan kemahirannya, maka perbuatannya  ini termasuk kebaikan dimana ia mendapatkan pahala dunia dan akhirat.
5.      Hadits diatas menunjukkan Jual beli yang baik adalah jual beli yang terjadi sesuai dengan tuntutan syari’at, yaitu dengan terkumpulnya syarat, rukun dan hal-hal  yang menyempurnakan jual beli, tidak adanya hal yang mencegah dan hal-hal yang merusak syarat-syarat jual beli. Kemudian didalamnya telah terkumpul syarat-syarat yang telah disebutkan terlebih dahulu dan hal-hal yang mencegah juga tidak ada seperti penipuan, ketidak tahuan, perjudian, hal-hal yang berbahaya, akad riba, penipuan, pemalsuan dan cacat yang disembunyikan.[7]
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan.Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang di kembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’almurabahah, bai’as-salam, dan bai’ al-istisna [8]
1.      Bai’al- murobbahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
2.      Bai’ as-salam adalah  pemberian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka.[9]
3.      Bai’al-istisna’adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Adapun penjelasan masalah jual beli secara detail dan luas, diterangkan dalam kitab-kitab fiqih.


d.      Ayat yang berkaitan dengan hadis pertama

1.    الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
               Melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah   disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS: Al Baqoroh, 275)

Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang keadaan orang yang memakan harta riba ketika hari kebangkitan.Mereka dibangkitkan seperti orang yang kerasukan setan atau orang gila. Menurut imam Ibnu Abbas di dalam kitab Ibnu Katsir: [10]
آكل الربا يبعث يوم القيامة مجنونا يُخْنَق. )رواه ابن أبي حاتم(
Artinya: Orang yang memakan riba pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam
keadaan gila dan…
Dalam riwayat lain, yang dimaksud ayat ini tidak hanya orang yang memakan harta riba, melainkan semua orang yang terlibat dalam transaksi riba. Sesuai sabda Nabi:
فقد ثبت أنه صلى الله عليه وسلم : " لعن آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه والمحلل له "
Di dalam ayat ini secara jelas Allah mengharamkan  transaksi riba,sebagai perbandingannya Allah menghalalkan transaksi jual beli. وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
-          ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Orang musyrik menyamakan jual beli seperti riba.Hal ini terjadi karena mereka menentang hukum yang disyariatkan Allah.Mereka menginginkan menyamakan hukum riba dengan jual beli. Kemudian firman Allah yang berbunyi وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا, menurut Imam Ibnu Katsir berkata bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum.[11]
Dalam tafsir Ar Rozi: ayat وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا terdapat beberapa permasalahan, diantaranya adalah: Kalam ini masih memungkinkan kelanjutan ucapan orang musyrik yaitu إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا. Dan ini tidak masuk akal. Seandainya jual beli dan riba ini sama maka ini tidak sesuai dengan ayat setelahnya yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Mayoritas ulama’ ahli tafsir sepakat bahwa ucapan orang kafir berhenti pada ucapan إِنَّمَا البيع مِثْلُ الربا dan ayat setelahnya adalah kalam Allah untuk menolak ucapan orang musyrik. Beberapa hujjah yang menguatkan:
§  Orang islam menjadikan ayat ini sebagai hujjah dalam permasalahan jual beli. Seandainya ayat ini ucapan orang kafir pastinya mereka tidak berdalil dengan ayat ini.
§  Allah menyebut kalimat فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مّنْ رَّبّهِ فانتهى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى الله وَمَنْ عَادَ فأولئك أصحاب النار هُمْ فِيهَا. Dzohirnya ayat ini ketika mereka berpengangan pada ayat إنما الربا مثل البيع maka Allah menerngkan tentang kesalahan ucapan ini dengan ayat setelahnya. Jika ayat ini bukan kalam Allah maka sudah pasti ayat فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مّنْ رَّبّهِ فانتهى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى الله وَمَنْ عَادَ فأولئك أصحاب النار هُمْ فِيهَا tidak sesuai dengan pembahasan dalam ayat ini.

2.             يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.(Q.S: An Nisa’, 29)
Ibnu Katsir  berkata, ayat di menerangkan atas bahwa Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang beriman memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil.  Yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuhan.[12]
 إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ yakni janganlah menjalankan usaha yang diharamkan tetapi berniagalah atau berjual belilah menurut syariat dan harus dilakuakan dengan saling ridho diantara penjual dan pembeli. Sehingga mendapatkan untung yang sesuai dengan syariat dan berkah.

a.       Identifikasi teks.
1.      Bil-Khiyar merupakan mashdar dari ikhtara, dari al-ikhtiar, berarti meminta yang terbaik dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
2.      Al-Bayyi’ani, artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan keppada keduanya, yang termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing masing dari dua lafazh inni dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
3.      Muhiqat merupakan mabni lil-majhul, yang artinya, tambahan mata pencaharian dan laba keduanya dihilangkan.
4.      Yukhayyiru ahaduma al-alkhara. Seperti ucapan, “Pilihlah pengesahan jual-beli”.

b.      Makna Umum Hadits
            Biasanya jual-beli terjadi tanpa berpikir lebih jauh, maka seringkali menimbulkan penyesalan bagi penjual maupun pembeli, karena sebagian yang dimaksudkan tidak tercapai. Karena itulah pembuat syariat yang bijaksana memberi tempo, yang memungkinkan terjadinya pembatalan akad selama tempo itu. Tempo ini ialah selama masih berada di tempat pelaksanaan akad.[13]
            Jika kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jual-beli, maka masing masing mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan jual beli. Jika keduannya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal manusia, atau jual-beli desepakati tanpa ketetapan terpilih dari kedua belah pihak, maka akad jual-beli dianggap sah, sehingga salah seorang di antara keduanya tidak boleh membatalkannya secara sepihak, kecuali dengan cara pembatalan perjanjianyang disepakati.
            Kemudian Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan sebagian dari sebab sebab keberkahan dan pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab kerugian dan kerusakan. Sebab sebab barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam muamalah, menjelaskan aib, cacat dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang djual. Adapun sebab sebab kerugian dan ketiadaan barakah ialah menyembunyikan cacat, dusta dan memalsukan barang dagangan.[14]
            Yang demikian itu merupakan sebab sebab yang hakiki tentang keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan ketenaran bagi dirinya, karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan di akhirat dian mendapatkan pahala dan balasan yang baik. Sementara sifat kedua , merupakan hakikat hilangnya mata penncaharian , karena pelakunya bermuamalah dengan cara yang buruk, sehingga orang lain menghindar darinya  dan mencari orang yang lebih data dipercaya, sedangkan di akhirat dia mendapatkan  kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu manusia. Rasullalllah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami."
Khiyar merupakan perubahan kata “ikhtiyar” atau “takhyir”, yang berarti hak untuk memilih antara melangsungkan jual-beli atau nmembatalkannya.
Khiyar ini ada dua macam, yaitu khiyar majelis dan khiyar syarat. Sebagian ulama menambah  satu jenis lagi, yaitu khiyar naqishah. Akam tetapi , sebenarnya ia masuk kepada khiyar syarat. Sehingga tidak perlu ada penambahan tersebut.
Para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i menjadikan riwayat ini menjadi hujjah bahwa jangka waktu khiyar adalah 3 hari, akan tetapi para ulama  madzhab maliki mengingkari penetapan waktu 3 hari padaa khiyar syarat tanpa ada tambahan.[15]
Khiyar majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiyar majelis boleh dilakukan dalam berbagi jual beli.bila keduanya telah berpisah dari tempat akad maka tidak berlaku lagi,batal.
Khiyar syarat, yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seseorang berkata, “ saya jual rumah ini dengan harga rp. 100.000.000 dengan syarat khiyar-selama tiga hari”.[16]
                                                                                      
c.       Isi kandungan  hadist:
1.      Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahan jual-beli atau pembatalannya.
2.      Temponya ialah semenjak jual-beli dilaksankan hingga keduanya saling berpisah dari tempat itu.
3.      Jual-beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanaknnya jual-beli.
4.      Jika penjual dan pembeli seakat utuk membatlkan akad setelah akad diseakatai dan sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu mennjadi milik merka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
5.      Perbedaan antara hak Allah dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa yang menjadi hak Allah, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam, seperti akad riba. Sedangkan yang menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut keridhaannya yang diungkapkan, karena hal itu tidak melanggarnya.
6.      Pembuat syareiat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi. Apa yang dikenal manusia sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual-beli. Keluar dari rumah kecil, naik ke bagian atas, menyingkir ke tempat lain atau semisalnya, bias dianggap perpisahan tentang tempo untuk menetapkan hak pilih dan akad.[17]
7.      Para ulama megharamkan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad ditetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi permbatalan. Ahlus-sunan meriwayatkan bahwa Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersadba, “Dan tidak dihalalkan baginya (penjual atau pembeli) meninggalkan yang lain, karena dikhawatirkanhal itu merupakan permintaan untuk membatalkan jual-beli”. Hal itu menggambarkan pengguguran terhadap hak orang lain.
8.      Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan di akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah. Hal ini dapat dirasakan secara nyata di dunia. Orang orang yang sukses dalam bisnisnya dan yang laku barang dagangannya ialah mereka yang jujur dalam muamalah yang baik.[18]

d.      Perbedaan pendapat di kalangan ulama
Para ulama saling berbeda pendapat tentang penetapan hak pilih di tempat. Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak pilih di tempat. Sedangkan Abu hanifah, malik serta mayoritas rekan mereka berdua tidak menetapkan hak pilih di tempat. Mereka beralasan dengan hujjah yang bertentangan dengan pengamalan hadits-hadits ini, namun hujjah-hujjah itu lemah, yang kemudian disanggah jumhur , diantara hujjah-hujjah yang lemah itu sebagai berikut :
1.      Yang di maksudkan al-mutabayi’any dalam hadits adalah dua orang (penjual dan pembeli) yang saling tawar menawar. Yang dimaksudkan al-khiyar adalah penerimaan atau penolakan pembeli. Pendapat ini di tolak, bahwa penamaan “orang yang menawar “ untuk penjual merupakan kiasan . disamping itu, tidak memungkinkan penerapan hadits yang didalamnya disebutkan perpisahan untuk keadaan dua orang yang terlibat dalam tawar menawar.
2.      Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan perkataan antara penjual dan pembeli ketika dilakukan serah terima. Pendapat ini ditolak karena hal itu bertentangan dengan zhohir hadits bahkan juga bertentangan dengan nash sebagian hadits lain. Di samping itu, ijab qobul dianggap tidak terjadi jika keduanya berpisah, ijab qobul terjadi karena ada kesepakatan dan bertemu muka.  [19]




a.       Penjelasan lafazh
1.      Hablul-habalah, artinya kandungan hewan ternak betina.
2.      Al, jazur, artinya unta, baik jantan maupun betina, jama,nya juzur dan jaza,ir.
3.      Tuntaju, artinya melahirkan. Bentuknya merupakan fi,il majhul yang dinisbatkan kepada an najah
4.      Jahilyah, sebutan untuk masa sebelum islam dan orang – orangnya, yang di ambilkan dari kata al-jahl, kebodohan, karena itulah yang menguasai kaadaan mereka.
5.      Tantaju al,lati fi bathniha, artinya menjual anak dari anak unta. Caranya ialah menunggu unta hingga melahirakan, lalu menunggu anak itu hingga menjadi besar, lalu ia di kawainkan dengan unta jantan hingga melahirkan anak lagi, dan inilah yang bisa di miliki.

b.      Kandungan Makna Secara Umum
Penafsiran yang paling masyhur tentang jual beli ini ada dua versi:
1.      Maknanya bisa berarti penangguhan, bahwa seseorang menjual sesuatu dengan harga yang di tangguhkan pembayarannya hingga kelahiran anak unta, kemudian anak onta ini melahirkan lagi. Hal ini dilarang. Karena ketidaktahuan terhadap masanya, yang bisa pendek dan bisa panjang.
2.      Maknanya bisa berarti menjual sesuatu yang belum jelas keberadaanya. Yaitu dengan menjual anak dalam  kandungan unta. Hal ini di larang karena terdapat pengecohan dan kerugian. Tidak di ketahui anak unta yang ada dalam kandungan itu jantan atau betina, apakah anak dalam kandungan itu satu atau dua, apakah ia mati atau hidup. Semua ini tidak jelas bagaimana kesudahannya. Ini meruapakan jual beli barang yang tidak di ketahui secara pasti, yang unsur pengecohan dan penipuannya lebih dominan, dan bisa menjurus kepada perselisihan dan percekcokan.[20]

c.       Isi Kandungan  hadits:
1.      Larangan jual beli semacam ini, apapun penafsirannya, karena menurut penafsiran yang pertama, maka di dalamnya terkandung unsr ketidak jelasan masanya. Menurut penafsiran yang kedua, karena di dalamnya terkandung ketiadaan barang yang di jual dan ketidakjelasannya.
2.      Yang di tetapkan dalam nash adalah jual beli ini, karena itu merupakan salah satu jual beli pada masa jahiliyah. Jika tidak, maka ia bersifat umum, berlaku untuk semua jual beli yang di dalamnya berlaku unsur ketidaktahuan dan tipuan.[21]
3.      Hikmah larangan ini, bahwa yang demikian itu merupakan jual beli dengan unsur tipuan dan untung untungan serta memakan harta dengan cara yang batil, disamping bisa menimbulkan perselisihan, permusuhan dan kebencian.
Ada satu kaidah dalam muamalah yang diharamkan yang terangkum dalam perkataan Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah berikut ini :
Hukum dasar dalam masalah ini, bahwa allah telah mengharamkann dalam kitabnya memakan harta dengan cara yang bathil diantara kita. Ada dua macam cara mengambil harta manusia dengan cara yang bathil daalam berbagai transaksi yaitu : riba dan maisir. Allah mengharamkan riba kebalikan dari shaodaqoh, dalam surat Al baqoroh, Ali Imran, Ar Rum,  Al muddatstsir dan An Nisa’, menyebutkan pengharaman maisir dalam surat Al Maidah.
Tentang jual beli dengan unsur tipuan pendapat yang paling keras dinyatakan Abu Hanifah dan Asy-syafi’i. Yang termasuk dalam sebutan  jual beli ini, seperti jual beli biji-bijian dan buah-buahan di pohonnya.[22]

E.     Definisi  Jual Beli dalam Prespektif  Ilmu Fiqih
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara terminologi, terdapat beberapa difinisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing difinisi adalah sama. Diantaranaya yaitu:
1. Ulama Hanfiyah mendifinisikan jual beli yaitu :
مبادلة مال بمال على وجه مخصوص
Artinya:” Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasar cara khusus (yang diperbolehkan). Cara khusus disini adalah melalui ijab dan qobul.”
2. Menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yaitu:
مبادلة المال بالمال تمليكا وتملّكا
Artinya:” saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
 Ketiga ulam tersebut melakukan penekanan pada kata “milik”dan “penukaran”, dikarenakan karena ada penukaran harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (jaroh).
3. Menurut M.Anwar, jual beli adalah perikatan yang mengandung pengertian harta benda (jasa) dengan harta benda untuk dimiliki selama-lamanya, menurut aturan-aturan yang telah ditentukan.[23]
          Jadi berdasarkan difinisi para ulama tesebut dapat kita simpulkan jual beli adalah pertukaran suatu barang atas dasar suka sama suka (rela) yang dibenarkan oleh syara’, sehingga harta barang yang ditukarkan menjadi miliknya untuk selama-lamanya jadi pertukaran ini dilakukan atas dasar suka sama suka diantara kedua belah pihak bukan atas dasar paksaan. Karena jka dalam jual beli itu mengandung unsur paksaan, maka hal ini di dalam Islam tidak dibenarkan dan hal ini akan mengandung suatu kerusakan atau sudah nyata dilarang Islam.[24]
Para ulama sepakat memperbolehkan jual beli, karena sebagian besar kebutuhan seseorang itu ada pada kepemilikan orang lain, sementara orang itu tidak memberikan kepadanya. Maka, adanya syariat jual beli merupakan sarana untuk mencapai apa yang dimaksudkan tanpa ada unsur keterpaksaan. [25]
Yang menjadi dasar di perbolehkan jual beli adalah Al Qur’an surat Al Baqoroh (2):275, Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dan disohihkan oleh Al hakim dari Rifa’ah bin Rofi’ R.A., serta Ijma’.
Asal hukum semua jual beli menurut imam As-Syafi’i adalah boleh (mubah) asal diantara penjual dan pembeli saling rela atau suka (ridho).[26]






Hadits pertama
1.      Menjelaskan tentang sebaik-baiknya usaha yaitu usaha yang dilakukan oleh tangan sendiri dan jual beli yang baik
2.      Di perbolehkan nya jual beli, yakni jual beli yan g terjadi sesuai dengan syari’at .

Hadits ke dua
1.      Menjelaskan tentang masalah khiyar
2.      Penetapan khiyar majlis bagi kedua belah pihak, penjual dan pembeli.
3.      Ulama mengharamkan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad ditetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.
Hadits ke tiga
1.      Jual beli yang di larang Allah, yakni menjual seekor anak unta yang masih dalam kandungan induknya , illatnya adalah karena menjual sesuatu yang belum jelas keberadaannya.
2.      Hukum dasar dalam jual beli ini adalah haram karena mengandung unsur tipuan, dan alloh mengharamkan didalam kitabnya memakan harta dengan cara yang bathil.








                                                         DAFTAR PUSTAKA

Al Hamd , Syaibah , Abdul Qodir, 2005. Fiqhul Islam, Darul Haq, Jakarta.
Al Bassam,  Abdulloh bin Abdurrahman , 2006. Taudhihul Ahkam,  Pustaka Azzam, jakarta
syafi’i antonio, [1]Muhammad . 2001.  Bank Syari’ah , Gema Insani, Jakarta
Ibnu Rusyd, 1988, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid , Darul Qolam, vol.II,Beirut
Al Asqalani, Ibnu Hajar, 2005. Fathul baari. Pustaka azzam, jakarta.
Nawawi Ismail, 2012.Fiqih Muamalah., Ghalia Indonesia, Bogor
Al Bassam, Abdulloh bin Abdurrahman, 2002. Syarah Hadis Pilihan Bukhori-Muslim,                                                  Darul falah, jakarta
Musnad Ibnu Hambal juz 4, hal. 141 dan ALBazzar (2/83) dan Al hakim (2/10)
Suhendi, Hendi,2011.Fiqih Muamalah ,Grafindo Perkasa, Jakarta
Az-Zuhaili, Wahbah.2010.Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta

















[1] Musnad ibnu hambal juz 4, hal. 141 dan ALBazzar (2/83) dan Al hakim (2/10)
[2] Shohih bukhori, juz 2 hal.743
[3] Shohih bukhori, juz 2 hal.753
[4] Abdul Qodir Syaibah Al Hamd, Fiqhul Islam (Jakarta Darul Haq, 2005), hal.2
[5] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam,  Taudhihul Ahkam (jakarta : pustaka Azzam, 2006) hal.224
[6] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam,  Taudhihul Ahkam (jakarta : pustaka Azzam, 2006) hal.223-224
[7] Ibid.hal 226
[8]Muhammad syafi’i antonio, bank syari’ah (jakarta : gema insani, 2001)hal.101
[9] Muhammmad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid ( Beirut :Darul Qolam, 1988)vol.II, hlm.216.

[10]Tafsir Ibnu Katsir
[11]Tafsir Ibnu Katsir
[12]Tafsir Ibnu Katsir
[13] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis pilihan  bukhori-muslim  (jakarta : Darul falah, 2002) hal.582
[14] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis pilihan  bukhori-muslim  (jakarta : Darul falah, 2002) hal.582
[15] Ibnu hajar ‘al asqalani, Fathul Baari (jakarta : pustaka Azam 2005), hlm. 123
[16] Hendi suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta ; Grafindo Persada, 2011), hal.83
[17] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam,  Taudhihul Ahkam (jakarta : pustaka Azzam, 2006) hal.583
[18] Syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam,  Taudhihul Ahkam (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006) hal.583
[19] Ibid hal.584
[20] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis pilihan  bukhori-muslim  (jakarta : Darul falah, 2002) hal.597
[21] Ibid hal.597
[22] syekh Abdulloh bin Abdurrahman Al Bassam, syarah hadis pilihan  bukhori-muslim  (jakarta : Darul falah, 2002) hal.597


[25] Ibnu hajar ‘al asqalani, Fathul Baari (jakarta : pustaka Azam 2005), hlm. 3
[26] Wahbah Az zuhaili, Fiqhul islam Waadillatuhu juz 4 hal. 347           






No comments:

Post a Comment