Studi Kasus
Hukum Perikatan
(Untuk Memenuhi
Tugas Matakuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia)
Dosen Pengampu:
Teguh
Setyobudi, M.H
Oleh:
Moh. Koirul Anam (12220104)
JURUSAN HUKUM
BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah SWT yang member kita rahmat, taufik, serta inayahnya
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini.
Shalawat serta salam yang selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun dan membimbing kita selama di dunia ini, maka kami dapat menyelesaikan studi kasus Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Dalam penulisan tugas studi kasus
ini kami menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan penulisan tugas studi kasus ini, khususnya
kepada:
1.
Secara Khusus kami menyampaikan terima kasih kepada keluarga
tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar
kepada kami, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan studi
studi kasus ini.
2.
Bapak Rektor “UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG”.
3.
Semua dosen-dosen di UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG yang
selama ini telah membantu dan mendampingi kami dalam proses perkuliahan,
khususnya kepada bapak Teguh Setyobudi ,M.H yang telah meluangkan waktu,
tenaga, pikiran, pengarahan, dan dorongan dalam rangka pembelajaran dalam
bentuk penyusunan studi kasus ini.
4.
Semua teman-teman di H.B.S. C yang telah membantu kami dalam
penulisan studi kasus ini.
5.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah memberikan bantuan dalam penulisan studi kasus ini.
Kami berharap semoga Allah SWT
memberikan ganjaran yang setimpal bagi pembacanya, sehingga bagi kedua
orangtuanya, dan menjadi amal sholeh bagi penulis, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam penulisan makalah ini kami
merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Agar
dalam pembuatan studi kasus dilain waktu dapat lebih bias menyempurnakan dari
studi kasus yang kami buat saat ini.
Malang,17 Desember 2013
Malang,17 Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………….i
Kata Pengantar…………………………………………..….………………….ii
Daftar Isi………………………………………………..…….………………..iv
Daftar Isi………………………………………………..…….………………..iv
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar belakang……………………………………………………....v
1.1 Latar belakang……………………………………………………....v
1.2 Rumusan
masalah……………………………………………….…..v
1.2 Tujuan
penulisan……………………………………………………vi
Bab 2 Pembahasan
2.1 Kronologi
kasus…………………………………………………….1
2.2 Landasan
teori atau konsep undang-undang hukum perdata (BW)
2.2.1
Pengertian Perikatan………………………………....……2
2.2.2
Asas-Asas Hukum Perserikatan……………………..……3
2.2.3
Macam-Macam Perikatan………………………………...5
2.2.4
Hapusnya Perikatan……………………………………....7
2.2.5
Wanprestasi……………………………………………….8
2.3 Analisis
Kasus………………………………………………….…...9
Bab 3 Penutup
3.1Kesimpulan…………………………………………………….…...16
Daftar Pustaka…………………………………………………………….…...17
Daftar Pustaka…………………………………………………………….…...17
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum
antara dua pihak dimana satu pihak itu ada hak dan dipihak lain ada kewajiban.
Dengan berpegang pada perumusan seperti itu, maka di dalamnya termasuk semua
hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan,
dimana disatu pihak ada hak dan yang lain ada kewajiban.
Perikatan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III “tentang
Perikatan”. Dalam Buku III ini, membahas berbagai macam hal tentang perikatan
yang terdiri dari 18 Bab, dan 631 Pasal. Pasal tentang perikatan dimulai dari
pasal 1233 KHU Perdata sampai pasal 1864 KUH Perdata.
1.2
Rumusan Masalah
1. Permasalahan apa yang terjadi antara
PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)?
2. Apa dasar hukum atau teori yang
digunakah untuk menyelesaikan masalah atau kasus tersebut?
3. Bagaimana penyelesaian kasus
tersebut?
4. Bagaimana akhir dari permasalahan
atau kasus tersebut?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui dasar atau permasalahan
antara PT. GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy).
2. Mengetahui dasar hukum atau teori
tentang masalah atau kasus tersebut
3. Mengetahui penyelesaian dan akhir
permasalahan atau kasus tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kronologi Kasus
Kasus antara PT.GPU (Gorby Putra
Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)
PT.GPU salah satu
perusahaan peralatan yang menyediakan peralatan kebutuhan perkebunan tersandung
masalah dengan PT.KSE. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada bulab
maret 2012. Kala itu, PT.KSE memesan peralatan mesin traktor dan peralatan
kebun lainnya dari PT.GPU, kemudian pada bulan mei tahun 2012 peralatan mesin
perkebunan itu datang secara bertahap dan pada bulan juni 2012 pemesan
peralatan mesin perkebunan itu usai atau telah tuntas.
Tak berselang lama dari
itu, tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan mesin perkebunan itu telah
rusak setelah dipakai beberapa bulan. PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini
mengingkari kontrak perbaikan mesin perkebunan mereka yang menurut perjanjian
memiliki garansi perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin
tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan tetapi
PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam
kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang
membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan desember 2012 PT.KSE pun menggugat ke
PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp 76 miliar ke
Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui
jalan buntu.
Dengan dasar itu, pada
maret 2013 PT.KSE mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan.
Padahal di sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan mesin perkebunan milik
PT.KSE sejak Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian
tersebut PT.GPU memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan
dan pembelian peralatan perkebunan, padahal peralatatan perkebunan itu sudah
siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak PT.KSE mencapai ratusan juta
rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas
ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi
tak kunjung dilunasi oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.
Pada mulanya pihak
PT.KSE tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara
PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara
kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara mendatangi pihak PT.GPU di kantor
PT.KSE, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari PT.GPU. Padahal jika
dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh PT.KSE dengan membawa perkara peralatan
mesin perkebunan itu ke pengadilan bisa berbanding terbalik dengan perlakuan
PT.GPU yang ingin menyelesaikan perkara hutang PT.KSE dengan cara kekeluargaan
tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak PT.KSE bertenggang rasa selama tiga
bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono
S.H.
Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai
salah satu perusahaan yang menyediakan peralatan perkebunan, telah melakukan
transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah
memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi
yang telah dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi
balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum
PT.KSE akan menggugat PT.GPU ke pengadilan, begitulah, PT.GPU benar-benar dalam
keadaan siaga satu[1].
2.2 Landasan Teori atau Konsep Didalam Hukum
Undang-undang Hukum Perdata (BW)
2.2.1 Pengertian Perikatan
Perikatan adalah
terjemahan dari bahasa Belanda verbintenis. Perikatan menurut Abdul Qadir
adalah hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang lain. Hal yang mengikat
itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli,
hutang-piutang, dapat pula berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dan
dapat pula berupa seperti keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah
bersusun[2].
Subekti mengatakan yang
dimaksud perikatan oleh Buku III B. W itu adalah “Suatu hukum (mengenai
kekayaan benda harta) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan memenuhi tuntutan itu[3].
Ia menambahkan bahwa dalam
Buku III B.W itu isinya bersifat selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi Buku
III juga dinamakan “Hukum Perutangan”. Pihak yang menuntut dinamakan pihak yang
berpiutang, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak
yang berhutang. Adapun yang dapat dituntut dinamakan prestasi.
Prestasi yang
dimaksudkan menurut Buku III Bab ke satu bagian ke satu pasal (1234) KUH
Perdata dapat berupa:
1.
Menyerahkan suatu barang
2.
Melakukan suatu perbuatan
3. Tidak
melakukan suatu perbuatan[4].
2.2.2 Asas-Asas Hukum Perserikatan[5]
Di dalam hukum
perikatan, dikenal dengan tiga asas penting yaitu:
1.Asas Konsensualisme
Perkataan konsekualisme
berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas
konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Sedangkan asas
konsensualisme sebagaimana yang telah di simpulkan dalam pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata yang berbunyi: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat:
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu
hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal
Dalam angka satu pasal
tersebut, “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” mengandung makna bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan dua belah pihak.
2.Asas Pacta Sunt Servanda
Ini berhubungan dengan
akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”. Dalam perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda diberi arti
Pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan Nudus Pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
3.Asas Kebebasan Berkontrak
Dapat dianalisis dari
ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka”. Asas kebebasan
Berkontrak adalah suatu asas yang memberikan suatu kebebasan kepada para pihak
untuk:
1. Membuat
atau tidak membuat perjanjian.
2. Mengadakan
perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
4. Menentukan
bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Disamping ketiga asas
itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17-19 November 1985 telah berhasil
dirumuskan delapan asas hukum perikatan Nasional, yaitu:
1. Asas
Kepercayaan,
2. Asas
Persamaan Hukum,
3. Asas
Keseimbangan,
4. Asas
Kepastian Hukum,
5. Asas
Moral,
6. Asas
Kepatuhan,
7. Asas
Kebiasaan, dan
8. Asas
Perlindungan[6].
2.2.3 Macam-Macam Perikatan
1.Perikatan Bersyarat (voorwaardelijk)
Adalah suatu perikatan
yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang belum tentu akan
terjadi. Perikatan bersyarat ini dapat dilihat dalam bagian ke lima tentang
perikatan-perikatan bersyarat, pasal 1253 yang berbunyi: “Suatu perikatan
adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut
terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut[7].
2.Perikatan dengan Ketetapan Waktu (tijdsbepaling)
Suatu waktu ketetapan
tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.
Maksud syarat “ketetapan waktu” adalah pelaksanaan perikatan itu digantungkan
pada “waktu yang ditetapkan”. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang
masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal
yang sudah ditetapkan[8].
3.Perikatan Manasuka (alternatief)
Objek prestasi ada dua
macam benda. Dikatakan manasuka karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan
memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi
debitur tidak boleh memaksa debitur untuk menerima sebagian benda yang satu dan
sebagian benda yang lain. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda
yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak
memilih prestasi ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas pada
kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata)[9].
4.Perikatan Tanggung-Menanggung (hoofdelijk)
Adalah perikatan dimana
beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan pada satu
pihak yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak
menagih suatu piutang dari satu orang. Perikatan ini diatur dalam pasal 1278
sampai pasal 1296 KUH Perdata.
5.Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Tergantung pada
kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari
kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan
tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka
apabila salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh orang lain.
6.Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah jangan
sampai si berhutang dengan mudahnya melupakan kewajibannya, dalam praktek
banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila
ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu
jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang
sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian
itu.[10]
2.2.4 Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata
menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1. Pembayaran
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan
utang
4. Perjumpaan
utang atau kompensasi
5. Percampuran
utang
6. Pembebasan
utang
7. Musnahnya
barang yang terutang
8. Batal
atau pembatalan
9. Berlakunya
suatu syarat batal, dan
10. Lewatnya
waktu.
Sepuluh cara tersebut
di atas belumlah lengkap, karena masih ada cara-cara yang tidak disebutkan
berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya
salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang
pesero dalam suatu perjanjian firma dari pada umumnya dalam
perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh debitur
sendiri dan tidak boleh oleh orang lain[11]
2.2.5 Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau
lalai dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian
yang dibuat antara kreditur dan debitur.seorang debitur baru dikatakan
wanprestasi apabila ia telah diberi somasi oleh kreditur sebanyak tiga kali.
Apabila itu tidak diindahkan, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke
pengadilan, dan pengadilanlah yang akan memutuskan apakah debitur wanprestasi
atau tidak.
Tidak dipenuhinya
kewajiban oleh debitur karena disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yang
pertama adalah karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi
kewajiban maupun kareana kelalaian. Yang kedua karena keadaan memaksa
(overmacht), jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah melakukan
wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja
atau lalai tidak memenuhi prestasi.
Ada tiga keadaan, yaitu:
1. Debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
3. Debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat
Adapun beberapa akibat
hukum bagi Debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi
hukum sebaimana berikut:
1. Debitur
diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH
Perdata)
2. Apabila
perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan
perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUH Perdata)
3. Dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada Debitur sejak terjadi
wanprestasi (pasal 1273 ayat 2 KUH Perdata)
4. Debitur
diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
disertai pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata)
5. Debitur
wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka pengadilan negeri dan
Debitur dinyatakan bersalah[12].
2.3 Analisis Kasus
Perseteruan yang
terjadi antara PT.GPU milik perusahaan ternama di bidang peralatan perkebunan dengan
PT.KSE tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
1. Kerjasama
yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi
bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak
PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU sebagai
debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3. Pihak
PT.GPU telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan peralatan mesin
perkebunan, padahal peralatan perkebunan sudah selesai dikerjakan dan siap
untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga)
oleh PT.KSE.
4. Pembayaran
hutang perawatan oleh pihak PT.GPU yang melampaui tempo yang diperjanjikan.
Sebelum menganalisis
poin-poin di atas yang akan dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, akan dipaparkan mengenai pengertian perjanjian
yang sesuai dengan Pasal 1313 B.W, yang berbunyi, ”Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.
Dalam Pasal 1313 B.W
dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pasal ini menurut pakar hukum perdata
(pada umumnya) bahwa definisi perjanjian terdapat di dalam ketentuan di atas
tidak lengkap karena hanya bersifat sepihak saja, kata perbuatan mencakup juga
tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan tanpa menyebut tujuan,
akan tetapi berdasarkan alasan tersebut perjanjian dapat dirumuskan, yaitu
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Pada poin pertama di
atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE
dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya,
sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas
perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang akan
terjadi diantara kedua belah pihak.
Asas-asas tersebut antara lain:
1. Asas
Kebebasan Berkontrak
2. Asas
Pacta Sunt Servanda
3. Asas
Konsesualisme
Asas ketiga diatas
merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena asas ini merupakan syarat
mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan bagi terciptanya kepastian hukum.
Ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang adalah ucapannya, adalah suatu
tuntutan kesusilaan dan memanglah benar bahwa kalau orang ingin dihormati sebagai
manusia, ia harus dapat dipegang perkataannya namun hukum yang harus
menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat,
memerlukan asas konsesualisme itu demi tercapainya Kepastian Hukum. Asas
konsesulaisme tersebut dapat dikatakan sudak merupakan asas universil, dalam
B.W disimpulkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1338 (1): Semua perjajian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan
istilah “semua” maka pembuat undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang
dimaksudkan bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga
perjanjian yang tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentuk
undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut. Semua
persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat,
maksudnya secara sah disini ialah bahwa pembuatan perjanjian (pasal 1320) KUH
Perdata harus diikuti, perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai
kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai undang-undang, disini juga akan
tersimpulkan bahwa asas yang tercantum adalah asas kepastian hukum. Disebutkan
dalam Pasal 1320 B.W untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu
hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal
Kedua syarat yang
pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai
subjek pejanjian, sedangkan kedua syarat yang terakhir disebutkan syarat objektif,
karena mengenai objek dari perjanjian akan tetapi dalam analisis ini terfokus
pada subjek perjanjian. Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE, Sugeng
Riyono S.H, “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan peralatan perkebunan telah
melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk,
tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama,
bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun
masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE. I’tikad baik diwaktu
membuat perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh
kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak
menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan
kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran,
maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan,
yaitu suatu penilaian baik terhadap tindakan suatu pihak dalam hal melaksanakan
apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 1338 B.W yang
berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Maka,
sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan
dengan i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau
sewenang-wenang dalam hal pelaksanaan tersebut.
PT.GPU tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU sebagai debitur
dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan PT.GPU merupakan
sesuatu yang disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat,
sebagaimana menurut Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitur,
dalam hal:
1. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan
apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian PT.GPU
terhadap PT.KSE menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan dibuat
oleh PT.KSE. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi,”Penggantian biaya,
rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan,
apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti dalam Pasal 1243
B.W yaitu:
1. Memberikan
sesuatu
2. Berbuat
sesuatu
3. Tidak
berbuat sesuatu
Tindakan wanprestasi
membawa konsekwensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut pihak
yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga, sehingga oleh
hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena
wanprestasi tersebut. Tindakan-tindakan tersebut terjadi karena:
1. Kesengajaan
2. Kelalaian
3. Tanpa
kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Untuk adanya kewajiban
ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus
terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai. pernyataan lalai ini adalah
merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan
“ingkar janji” wanprestasi. Jadi maksudnya adalah peringatan atau pernyataan
dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memebuhi prestasi.
Dalam Pasal 1238 B.W disebutkan bahwa,“Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ia
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan g telah ditentukan.
Bahwasanya peryataan lalai diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau
meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini
digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan agar debitur tidak merugikan
kreditur.
Disebutkan dalam poin
ketiga adalah pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan
dan pembelian peralatan perkebunan sehari setelah peralatan tersebut selesai
dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh PT.KSE menjadi
terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari PT.GPU. Disebutkan
dalam Pasal 1338 (2) B.W bahwa,Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal ini menjelaskan bahwa
perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara
keduanya, dan apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan
dalam kontrak, maka pada umunya (dengan beberapa pengecualian) tidak dapat
dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. debitur dinyatakan lalai oleh
kreditor yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” (somasi) oleh pihak kreditor
(pasal 1238 B.W). dikeluarkannya akta ini berdasarkan mekanisme yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ketentuan di atas maka PT.GPU
dikenakan beberapa pasal, antara lain:
1. Pasal
1243 B.W : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.
2. Pasal
1246 B.W : Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan
untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut.
3. Pasal
1247 B.W : Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang
nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan
dialahirkannya, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan
sesuatu tipu daya yang dialakukan olehnya.
4. Pasal
1249 B.W : Jika dalam perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya,
sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu, maka kepada pihak
yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang dari pada
jumlah itu.
5. Pasal
1250 B.W : Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan denga
pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar disebabkan
terlambatnya pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan
undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan undang-undang khusus.
Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar dengan tidak usah
dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang[13].
Ganti rugi yang
diterima dari hitungan materil yakni berupa penyitaan peralatan mesin
perkebunan milik PT.GPU yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai
kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh
si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana PT.GPU
yang tidak merespon baik ketika pihak PT.KSE datang menemui PT.GPU di kantornya
untuk menagih utang PT.GPU yang tersendat menimbulkan dampak pada produksi
lain, mengingat hubungan baik PT.GPU dengan PT.KSE mengundang rasa kecewa
dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya mengalami permasalahan
hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan “obat” atas derita yang
dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh pihak
lawan.
BAB
3
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Dari uraian dan analisis
kasus diatas, tampaklah hubungan antara perjanjian dan perikatan yang dilakukan
oleh PT.GPU dan PT.KSE yang mana hubungan diantara keduanya berawal dari PT.KSE
membeli peralatan mesin perkebunan dari PT.GPU. Selanjutnya PT.GPU memiliki
hutang perawatan dan pembelian peralatan mesin perkebunan yang kala itu
penyerahannya sudah siap seratus persen sehari sebelumnya, akan tetapi ada
batas berakhir menjadi suatu permasalahan hukum, dikarenakan PT.GPU melakukan
wanprestasi terhadap PT.KSE.
Di sisi lain debitor
melakukan kesalahan dengan tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan maka
dikatakan wanprestasi ”ingkar janji”. Dan kreditur dapat menunutut debitor yang
telah melakukan ini (wanprestasi) melalui mekanisme, yakni somasi dengan
bertujuan mendorong debitor untuk segera memenuhi prestasinya, tanpa
melalaikannya atau meninggalkannya.
DAFTAR
ISI
Muhammad,Abdulkadir.2000.Hukum Perdata Indonesia.Bandung:PT
CitraAditya
Salim.2003.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).
Jakarta: Sinar Grafika.
Saufullah.2011.Wawasan Huku Perdata Di Indonesia.Malang:
UIN Malang
Subekti.1995.Pokok-Pokok Hukum Perdata.
Jakarta: PT Intermasa.
Subekti.1990.Hukum Perjanjian.Jakarta: Sinar
Grafika.
Subekti dan Tjiptrosudibio.2001.Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.Jakarta:: Pradnya Paramita.
http://clausttrophobiiasonarsolaris.wordpress.com/2013/04/27/berita-tentang-perikatan-pt-gorby-putra-utama-dengan-pt-sentosa-kurnia-energy
diakses tanggal 12 desember 2013
[1]http://clausttrophobiiasonarsolaris.wordpress.com/2013/04/27/berita-tentang-perikatan-pt-gorby-putra-utama-dengan-pt-sentosa-kurnia-energy
diakses tanggal 12 desember 2013
[2]Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum
Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hlm.198
[3]Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hlm.122-123
[4]Prof. Subekti, SH, R.
Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2001), hlm.232
[5]Dr.H.Saifullah, SH. M.Hum.,Wawasan
Hukum Perdata Di Indonesia.(Malang:UIN Malang,2011),hlm.72
[6] Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.158
[7] Prof. Subekti, SH, R.
Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2001), hlm.4
[8] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH,
Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hlm.210
[9] Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum
Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), hlm.211
[10]Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hal.131
[11]Dr.H.Saifullah, SH.
M.Hum..Wawasan Hukum Perdata Di Indonesia.(Malang:UIN Malang,2011),hlm.79
[12] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1995), hlm.106
[13] Prof. Subekti, SH, R. Tjiptrosudibio,Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm.325
No comments:
Post a Comment