Monday, 6 January 2014

PENELITIAN DAN ANALISIS HADITS TENTANG “MEWARNAI RAMBUT DENGAN WARNA HITAM”

 PENELITIAN DAN ANALISIS HADITS TENTANG
“MEWARNAI RAMBUT DENGAN WARNA HITAM”
(Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ulumul Hadits)




  PEMBAHASAN

B.PENELITIAN SANAD

            Didalam bab-sub bab ini peneliti akan membahasn tentang hadits yang membahas tentang larangan menyemir rambut memakai atau menggunakan warna hitam, sekaligus hadits tersebut digunakan sebagai fokus hadits yaitu sebagai berikut:

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ[1]
Artinya: "Pada akhir masa nanti banyak orang yang mencat rambutnya dengan warna hitam, bagaikan kotoran yang dihasilkan dari kamar mandi, dan mereka tidak akan pernah mencium bau surga."

Dari hadis di atas diambil sebuah kata kunci, yaitu:  يَخْضِبُونَ
Kemudian dari kata kunci tersebut dilakukan pencarian dalam mu’jam untuk mengetahui berapa kali kata kunci tersebut muncul dalam kitab-kitab hadis. Dalam penelusuran yang telah dilakukan ditemukan dalam mu’jam juz tiga halaman 369 informasi berikut ini:
       
د ترّ ج 4212, ن ز ينة 5075, حم 2474.[2]

Berarti hadist tersebut ditemukan dalam tiga kitab, yakni dalam Sunan Abu Dawud bab ترّ جد hadis no.4212, imam nasa’i bab ز ينة  no.5075 dan Musnad Ahmad bin Hambal juz 2 no.2474

Adapun redaksi hadist yang ditemukan dalam Sunan Abu Dawud sebagai berikut:

(حديث مرفوع ) حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِيِّ ،  عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ" 

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Abū Taubah, telah menceritakan kepada kami, Ubaidillah dari ‘Abdul Karīm al-Jazari dari Sa’īd bin Jubair dari Ibn ‘Abbās ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak akan mencium bau surga.”

Dan redaksi hadits yang ditemukan dalam kitab imam nasa’i adalah sebagai berikut:

(حديث مرفوع) أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَلَبِيُّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَفَعَهُ ، أَنَّهُ قَالَ :    " قَوْمٌ يَخْضِبُونَ بِهَذَا السَّوَادِ آخِرَ الزَّمَانِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ"
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman bin 'Ubaidullah Al Halabi dari 'Ubaidullah yaitu Ibnu Amr dari Abdul Karim dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas, dan dia memarfu'kannya bahwa dia berkata; "Akan ada suatu kaum yang menyemir dengan warna hitam pada akhir zaman seperti paruh-paruh burung merpati, mereka tidak akan mencium baunya Surga."
Redaksi dalam sebagai Musnad Ahmad bin Hambal adalah sebagai berikut:

 (حديث مرفوع) حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ ، وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ , قَالَا : حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو , عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ ، عَنِ ابْنِ جُبَيْرٍ ، قَالَ أَحْمَدُ : عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " يَكُونُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ يَخْضِبُونَ بِهَذَا السَّوَادِ ، قَالَ حُسَيْنٌ : كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ ، لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ".

Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ubai, telah menceritakan kepada kami Husain dan Ahmad bin ‘Abdul Malik, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah yaitu Ibn ‘Amr dari Abdul Karīm dari Jubair, Ahmad berkata: Dari Sa’īd bin Zubair, dari Ibn ‘Abbās, dari Nabi saw beliau bersabda: Di akhir zaman nanti akan ada sekelompok orang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam, Husain berkata: seperti paruh-paruh burung merpati, mereka tidak akan mencium bau surga.”
Adapun ranji atau pohon sanad adalah sebagai berikut:
No.
Nama Periwayat
Urutan sebagai Periwayat
Urutan Sebagai Sanad
1.
Ibn ‘Abbas
1
5
2.
Sa’id Ibn Jubair
2
4
3.
Abdul Karim Al-Jazari
3
3
4.
Ubaidillah
4
2
5.
Abu Taubah
5
1
6.
Abu Dawud
6
Mukharrij al-Hadits








Sedangkan biografi dan atau nama-nama periwayat, guru-gurunya, murid-muridnya, al-jarh wa al-ta’dil atau komentar ulama’ dan yang akan penulis teliti dari jalur sanad kitab Sunan Abū Dāwud adalah sebagai berikut :

1.Ibn ‘Abbas[3]

Nama aslinya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbas ibn ‘Abdul Muṭallib ibn Hasyim, putra dari paman Nabi. Ibunya bernama Ummu al-Fadlel Lubabah al-Qubra binti al-Haris al-Hilaliyah yang mana tidak lain adalah saudara perempuan dari istri Nabi yang bernama Maimunah. Adapun nama Ibn ‘Abbas merupakan nama kuniyah. Beliau berasal dari suku Bani Quraiys al-Hasimi. Lahir di Mekah pada 5 Tahun sebelum Hijriyah dan wafat di Taif pada tahun 67.
Hadis-hadis yang Ibn ‘Abbas riwayatkan sebanyak 1660 buah. Dari jumlah tersebut yang Muttafaqun ‘alaihi sebanyak 95 buah dan yang infara bihi al-Bukhari sebanyakan 29 buah dan yang infara bihi Muslim sebanyak 49 buah. Dalam meriwayatkan hadis, Ibn ‘Abbās menerima hadis langsung dari Nabi dan ada pula yang bersumber dari para sahabat. Di antaranya adalah :”Aisyah binti Abu Bakr, ‘Ali ibn Abi ṭalib, ‘Abbas ibn ‘Abdul Muṭallib ibn Hasyim ibn Abī manaf, ‘Umar ibn Khatab, Fatimah binti Qais ibn Khalid. Sedangkan beberapa orang murid yang meriwayatkan hadis darinya adalah Sa’īd ibn Jubair ibn Hasyim, ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn ‘Abbas, Ali ibn Dawud dan beberapa lainnya.

2.Sa’id ibn Jubair[4]

Nama lengkapnya adalah Sa’id ibn Jubair ibn Hasyim. Kuniyah-nya adalah Abu Muhammad. Wafatnya tahun 94 dan menurut Abu Nuaim pada tahun 95 H. sepanjang karirnya sebagai periwayat hadis, Sa’id ibn Jubair tercatat memiliki beberapa orang guru, di antara nama-nama gurunya adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbas ibn ‘Abdul Muṭallib ibn Hasyim (Ibn ‘Abbas), Ibn ‘Umar, Ibn Mas’ud al-Ansari, Ibn Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, ‘Anas, Maimun dan lain-lainnya sedangkan beberapa nama-nama muridnya antara lain Ṭalhah ibn Musrif ibn ‘Umar ibn Ka’ab, putranya sendiri ‘Abdul Malik, Yu’la ibn Hakim, Ata ibn as-Saib dan lain-lainnya.
Nama Ibn Jubair di kalangan kritikus hadist termasuk periwayat hadist yang memiliki popularitas dan integritas yang cukup baik, atau dengan kata lain tingkat keadilan dan keḍhabitannya dinilai oleh kalangan ulama hadist tidak perlu diragukan lagi. Di antara sejumlah perawi hadist yang mengkategorikannya sebagai perawi yang adil dan ḍhabit, misalnya Abu Qasim at-Tabari. Menurutnya ibnu Jubair dinilai sebagai periwayat hadist yang ṡiqah, dikarenakan ia (Ibn Jubair) dikenal memiliki ketaqwaan, kejujuran, kebersihannya dari hal-hal yang menjatuhkan martabat dirinya serta kecerdasan untuk mentransformasikan hadist yang pernah ia dapatkan dari gurunya, terutama dari Ibn ‘Abbas. Selain Abu Qasim al-Tabari, ulama hadis yang lain yang memberi apresiasi positif adalah Yahya ibn Mu’in yang juga menilai ṡiqah, ‘Abu Zar’ah al-Razi Abu al-Qasim al-Lika’i dengan predikat ṡiqah imam hujjah, serta Ibn Hibban yang juga menilainya sebagai ṡiqah.

3.Abdul Karim al-Jazari[5]

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Malik al-Jazari atau disebut juga Abu Sa’id al-Harani. Dia berasal dari desa Yamamah dan wafat pada tahun 124. Dia meriwayatkan hadist dari Atha’, Ikrimah, Sa’id bin Musayyab, Sa’id bin Zubair, Mujahid, Abu Ubaidah bin Malik bin Mas’ud. Ṭawus, Abdurrahman bin Abi Laila, Nafi’ dan juga yang lainnya.
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadist dari Abdul Karim al-Jazari diantaranya ialah Ayub as-Sakhtayani, Ibn Juraih, Malik, Ma’mar, Juhair bin Muawiyah, Hujaj bin Arṭah, Israil bin Yunus, Ubaidillah bin Umar, Ar Raqi  Muhammad bin Abdullah bin Ulasah, Abu al-Ahwash, Sufyan dan lain sebagainya.
Ahmad berpendapat bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡubut, dia juga merupakan ṣahibu sunnah, Muawiyah bin Ṣalih yang diriwayatlan dari Yahya bin Muayyin berkomentar serupa bahwa Abdul Karim al-Jazari adalah orang yang ṡiqah lagi ṡubut, Ibn Sa’ad juga berkomentar bahwa Abdul Karīm al-Jazari merupakan orang yang ṡiqah lagi banyak meriwayatkan hadis.
At-Tirmiżi, Abu Bakr al-Bazzari, Ibn al-Baraki, dan ad-Daruqutnī berkomentar bahwa dia (Abdul Karim al-Jazari) adalah orang yang ṡiqah. Sufyan as-Ṡauri berkata, Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dibanding dia (Abdul Karim al-Jazari) ketika menyampaikan suatu hal. Ibn Abdil Bar berkata dia adalah orang yang ṡiqah karena dia banyak meriwayatkan hadist.

4.Ubaidillah[6]

Namanya adalah Ubaidillah bin ‘Amr bin Abī Walid al–Asadi, ia meriwayatkan hadis dari Abdul Malik bin Umair, Abdullah bin Muhammad bin Aqil, Yahya bin Sa’id al-Anṣari, al-A’mas, Ayub, Lais bin Abi Salim, Ma’mar, Aṡauri, Ibn Abi Unaisah, Ishak bin Rasyid dan lain sebagainya.
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadist darinya di antaranya ialah Baqiyyah, Abdullah bin Ja’far ar-Raqi, Zakaria bin Adi, Ahmad bin Abdul Malik al-Harani, Ala’ bin Hilal al-Bahili, Hisyam bin Jamil al-Inṭaki, Yusuf bin Adi, Walid bin Ṣalih an-Nakhasi, Yahya bin Yusuf al-Jami, Uṡman bin Sa’id al-Kufi, ‘Amr bin Qasit ar-Raqi dan lain sebagainya.
Ibn Mu’in dan an-Nasa’i berkomentar bahwa Ubaidillah merupakan orang yang ṡiqah, Abu Hatim juga berkomentar bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq, dan aku tidak mengetahui satupun hadist munkar darinya. Ibnu Saad berkomentar bahwa dia adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq dan juga banyak meriwayatkan hadist, dan dia merupakan orang yang paling kuat hafalannya di antara orang-orang yang meriwayatkan hadist dari Abdul Karim al-Jazari. Dia meninggal di Ruqqah pada tahun 180, ada yang mengatakan bahwa dia lahir pada tahun 101. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Ali al-Harāni dalam sejarah kota Ruqqah yang diriwayatkan dari Hilal bin Ala’. Ibn Hibban menggolongkannya sebagai orang yang ṡiqah, ia berkata bahwa Ubaidillah Merupakan rawinya Zaid bin Abi Unaisah.

5.Abu Taubah[7]

Abu Taubah al-Halabi nama aslinya adalah Rabi’ bin Nafi’, ia tinggal di Ṭarsus. Ia meriwayatkan hadist dari Abu Ishak al-Fajari, Abu Mulaih al-Hasan bin ‘Amr ar-Raqi, Muawiyah bin Salam, Hasyim bin Humaid, Ubaidillah bin ‘Amr ar-Raqi, Sa’id bin Abdirahman al-Jamahi, Isya bin Yunus, Muhammad bin Muhajir, Ibn Uyainah dan lain-lain.
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadist darinya ialah Abu Dawud, kemudian al-Bukhari juga meriwayatkan hadis dari Abu Taubah melalui perantara Hasan bin Ṣabah al-Bajjari. Abu Dāwud meriwayatkan hadist dari Abu Taubah di dalam kitab al-Marasil melalui perantara Ismail bin Musa’adah, Muslim meriwayatkan hadist dari Abu Taubah melalui perantara Hasan bin Ali al-Halawani, an-Nasa’i meriwayatkan hadist dari Abu Taubah melaui perantara Ibrahim bin Ya’kub dan Muhammad bin Abi Yahya bin Kaṡir al-Harani, Abu Hatim dan Ibn Majah meriwayatkan hadis dari Abu Taubah melalui perantara Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, Abu al-Ahwas al-Akbari, Ahmad bin Hanbal, Abu Bakr al-Aṡrami, Abdullah ad-Darimi, Ya’kub bin Sufyan, Musa bin Sa’id ad-Dandani, Abdul Karim bin Hisyam dan lain-lain.
An-Nasa’i berkata, telah memberitakan kepada kami Sulaiman bin al-Asy’asy, ia pernah mendengar Ahmad berkata, aku tidak pernah memiliki masalah apapun dengan Abu Taubah dan al-Asram juga berkata, aku mendengar Abu Abdillah menyebut nama Abu Taubah dan memujinya, kemudian ia berkata, aku tidak pernah mengetahui apa-apa tentangnya (Abu Taubah) kecuali kebaikan saja. Abu Hatim berkomentar, Abu Taubah adalah orang yang ṡiqah, ṡuduq dan dapat dijadikan hujjah. Ya’kub bin Syaibah berkomentar, Abū Taubah adalah orang yang ṡiqah lagi ṡuduq. Al-Azary berkomentar Abu Taubah adalah orang yang terjaga dari kecongkakan, pengelihatannya penuh dengan penghormatan dan dalam dirinya terdapat sifat sabar. Abu Taubah wafat atau meninggal dunia pada tahun 241.

6.Abu Dawud[8]

Nama lengkap Abu Dawud adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin ‘Amar al-Azdi as-Sijistani. Beliau dilahirkan dilahirkan tahun 202 H di Sijistan dan wafat di Basrah tanggal 16 Syawal 275 H.
         Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu, dia belajar hadist dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan yang lainnya. Pengembaraanya kebeberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadist sebanyak-banyaknya. Kemudian hadist tersebut disaring, lalu ditulis pada kitab sunan. Abu Daud sudah beberapa kali mengunjungi Bagdad, di kota itu dia mengajar hadist dengan menggunakan kitab sunan sebagai pegangan. Kitab sunan itu ditunjukan kepada ulama-ulama hadist terkemuka, seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak, di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal,  Abu Hurairah, al-Qan’abi, Abu ‘Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru dari Imam Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Uṡman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadistnya antara lain adalah Abu Isya at-Tirmiżi, Abu Abdurrahman an-Nasa’i, putranya sendiri yaitu Abu Bakr bin Abu Daud, Abu Awana, Abu Sa’id al-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakr bin Dassah, Abu Salim, Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani. Sebagian ulama berkata, perilaku Abu Daud, sifat dan kepribadiannya menyerupai Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai waki’, waki’ seperti Sufyan as-Ṣauri, sufyan seperti mansur, mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibarahim menyerupai Alqamah. Alqamah seperti Ibn Mas’ud dan Ibn mas’ud seperti Nabi SAW. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Abu Dawud.
Komentar para ulama hadist mengenai Abu dawud juga dapat disimak dari perkataan Musa bin Harun bahwa ia tidak pernah tahu tentang orang yang lebih utama dari Abu Dawud sehingga ia menyuruh kepada Muhammad bin Yahya bin Abi Saminah untuk menulis hadis yang diperoleh dari Abu Dawud. Berbeda dengan penilaian Maslamah bin Qasim, menurutnya Abū Dāwud adalah orang yang ṡiqah, zuhud, faham hadist serta menjadi imam pada masanya.
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadist yang menghafal dan memahami hadist beserta illatnya, dia mendapatkan kehormatan dari para gurunya terutama Imam Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan penelitian terhadap kualitas para perawi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sanad hadis tersebut saling bersambung mulai dari mukharrij-nya yaitu Abu Dawud sampai kepada Ibn ‘Abbas. Persambungan sanad terlihat dengan adanya pertemuan guru dan murid, antara periwayat yang satu dengan periwayat sesudahnya serta seluruh rawi hadist termasuk dalam kategori ṡiqah.
Beberapa komentar ulama mengenai kualitas hadist ini, di antaranya Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani (1333 H - 1420 H) berkomentar dalam kitab Shahih wa Ḍaif al-Jami’ as-Ṣagir pada hadist nomer 14113 hadis Ibn ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang menyemir rambut ini merupakan hadis yang ṣahih.
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi (321 H/933 M - 405 H/1014 M) berkomentar dalam kitab Ṣahih Targīb wa Tarhīb pada nomer hadis 2097 hadist Ibn ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang menyemir rambut ini merupakan hadist yang ṣahih sanadnya.
Jadi kesimpulannya adalah hadist yang berbicara tentang menyemir rambut dengan warna hitam yang menjadi objek material penelitian ini merupakan hadist yang sampai ketingkatan Nabi. Dengan demikian hadist ini bersifat marfu’. bila ditilik dari segi ketersambungan sanadnya, maka hadist ini dapat disimpulkan sebagai hadist yang bersambung sanadnya. Demikian juga dengan kualitas dan integritas periwayatnya, mayoritas kritikus hadist tidak mempersoalkannya, atau dengan kata lain seluruh periwayat yang meriwayatkan hadist ini semuanya masuk dalam kategori ṡiqah. Sehingga hadist ini bisa diakui ke-hujjah-annya.


C.PENELTIAN MATAN

1.Membandingkan hadits dengan Al-qur’an

            Dalam bab atau sub-bab ini penulis akan membandingkan matan hadits dengan ayat Al-qur’an, tetapi didalam perbandingan ayat dan hadits ini tidak terdapat secara jelas atau sharih ayat al-qur’an yang membahas tentang menyemir rambut, tetapi penulis akan mengkaitkan hadits tersebut dengan ayat yang pada intinya, apa yang diberikan kepadamu dari Rasulmu maka terimalah dan apa yang dilarang oleh Rasulmu  maka tingggalkanlah, seperti dalam surat al-hasyr ayat 7 yang berbunyi:

4…….. !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßƒÏx© É>$s)Ïèø9$# . 

Artinya: dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

                Dalam ayat diatas dijelaskan bahwasannya apa yang diberikan kepada Rasulullah SAW kepada kita, maka kita harus menerimanya dan apa yang dilarang Rasulullah SAW maka ditinggalkan. Dari pejelasan ayat diatas maka penulis akan mengkaitkan ayat tersebut dengan hadits tentang menyemir rambut. Memang didalam al-qur’an tidak ada yang membahas tentang menyemir rambut, tetapi keterangan ayat al-qur’an diatas sudah jelas bahwasannya apa yang diberikan Rasulullah SAW kepada kita maka terimalah. Jadi didalam hadits yang saya analisis diatas Rasulullah SAW melarang kita untuk meyemir rambut dengan warna hitam, tetapi Rasulullah membolehkan semua warna selain hitam. Maka dari itu kita sebagai kaum Rasulullah SAW harus menaatinya sebagaimana dijelaskan pada ayat al-qur’qn diatas. Selanjutnya perbandingan hadits dengan ayat al-qur’an yang kedua yaitu:

……. öNåk¨XzßDUyur žcçŽÉitóãŠn=sù šYù=yz «!$# 4 `tBur ÉÏ­Ftƒ z`»sÜø¤±9$# $wŠÏ9ur `ÏiB Âcrߊ «!$# ôs)sù tÅ¡yz $ZR#tó¡äz $YYÎ6B  

Artinya: “dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
Berdasarkan ayat-ayat diatas, maka mengecat atau menyemir rambut, dan lain sebagainya. Semuanya masuk dalam kategori kepada kegiatan campur tangan yang tidak perlu, merubah dan merusak ciptaan Allah SWT. Untuk itu, bagi seorang muslim yang taat dan sadar dengan agamanya tidak perlu berpikir untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.

2. Membandingkan Hadits Yang Shahih Atau Yang Lebih Shahih

            Dalam sub-bab ini pemateri akan membandingkan fokus hadits yang penulis teliti dengan hadits yang lebih shahih yaitu hadits yang diriwayatkan oleh  Muslim adalah sebagai berikut:

أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Artinya:“Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan rambut dan jenggotnya yang memutih seperti pohon tsaghamah (pohon yang daun dan buahnya putih). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rubahlah warna (uban) ini dengan sesuatu, tapi jauhilah yang berwarna hitam.” (HR. Muslim nomer 3925)[9]

            Dari keterangan hadits riwayat Muslim diatas mempunyai kesimpulan dan keterangan sangat jelas bahwasannya didalam hadits tersebut mengubah warna uban dengan sesuatu warna apapun itu dibolehkan, kecuali warna hitam

3.Membandingkan Dengan Fakta Sejarah

Referensi tentang digunakannya hinna, bahan menyemir yang paling lazim di Arab, terdapat sangat banyak dalam syair pra-islam. Hinna atau Lawsonia inermis, terdapat di mana-mana yaitu di tempat tumbuhan ini masih tumbuh. Abu Hanifah ad-Dinawari (w. 282) menyebutnya sebagai lazim di ‘negeri Arab’, bahan pengecat lain yang kurang terkenal adalah katam (Isatis tinctoria), diduga agak jarang terdapat di semenanjung Arabia, yang seandainya ada dipakai sebagai bahan campuran agar memperkeras dan mempergelap warna hinna yang biasanya kuning atau orange. Istilah teknis untuk bahan campuran itu ialah syibab. syibab- syibab lain untuk hinna itu ialah wasmah,  yaitu tumbuhan penghasil indigo yang disebut pastel, khitr, yang dipandang sama seperti katam atau wasmah, sana, sabib, dan lain-lain. Biasanya cat itu diperoleh dengan cara mengeringkan daun tumbuhan tersebut, kemudian menumbuknya, dan dengan dicampur sedikti air diaduk sehingga menjadi semacam tapal atau pasta. Penggunaan syibab sebagai campuran hinna bisa diduga telah menjadi kebiasaan yang lazim, apabila kita membaca bagaimana sebuah sumber dari zaman pertengahan akhir menguraikan tentang hinna itu. Bisa kita baca dalam Ibn al-Baitar (w. 646 ) bahwa hinna itu menghitamkan rambut dan mencegahnya dari kerontokan.
Apabila kita membaca syair-syair yang dikumpulkan oleh Abu Hanifah ad-Dinawari, sebagian besar dari referensi di dalam syair-syair kuno itu, bahan-bahan semir seperti  hinna lebih sering digunakan untuk mengecat kuku jari tangan dan kaki, demikian juga bagian-bagian pada tangan dan kaki. Adat kebiasaan ini masih berlaku, dan dengan indahnya dilukiskan di dalam tulisan Lane Mesir abad ke-19. Tetapi di tempat lain kita bisa dapati  referensi tentang hinna sebagai bahan yang digunakan untuk menyemir rambut. Hinna juga digunakan untuk hal lain seperti untuk membuat semacam minyak wangi, karena konon katanya bunga dari hinnā itu sangat harum. Bunga ini bernama fagiyah, nama ini digunakan secara khusus untuk menyebut bunga hinna. Dari bunga inilah dibuat semacam minyak wangi.
Uraian tersebut di atas menjelaskan kepada kita bahwa membicarakan kebiasaan mengecat di dalam Islam masa purba mengharuskan kita untuk juga membedakan adanya bermacam-macam bahan pewarna itu; dari tumbuhan apa diperoleh, warna apa yang diperoleh dan bahan-bahan pewarna apa lagi lainnya yang digunakan, baik untuk rias maupun mewarnai pakaian.
Dalam konteks masyarakat Kristen Siria, belum ditemukan petunjuk jelas satu pun, apakah mereka menentang atau justru menyetujui adat kebiasaan tersebut. Seorang penyair Kristen, al-Akhtal berpendapat bahwa tidak ada perlunya menyemir rambut atau janggut yang putih. Orang-orang Yahudi terkadang menyrmir rambut mereka, meskipun ayat “… orang laki-laki janganlah mengenakan pakaian orang perempuan” dengan jelas mencegah orang laki-laki menyemir rambut seperti halnya orang perempuan. Beda halnya dengan orang Persia dari kerajaan Sasan yang agaknya mereka menyukai kebiasaan menyemir rambut itu. Warna putih dipandang sama dengan ‘tak berwarna’ berarti ‘umur tua yang memuakkan’. Walaupun didalam kitab-kitab Avesta atau Zoroaster umumnya referensi tentang menyemir rambut itu tidak bisa dilacak, namun bangsa Persia baik yang kuno maupun yang modern pada umumnya dilukiskan sebagai orang-orang yang suka menyemir rambut. Di Romawi kuno para penyair biasa menyemir rambut mereka pirang, apabila kekasih mereka berambut demikian, akhirnya di Mesir koptik rambut putih atau ubanan bisa juga disebut rambut yang harus dibuat hitam.
Berdasarkan adanya keterangan-keterangan tentang kebiasaan ini di dalam syair-syair pra-Islam seperti tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa menyemir rambut merupakan kebiasaan yang cukup dikenal di Arabia pra-Islam. Tetapi oleh karena sedikitnya alat-alat pewarna yang seringkali harus diimpor dari luar negeri, menyebabkan kebiasaan itu dipraktikan secara terbatas saja. Selanjutnya, bahwa kebiasaan itu memang sudah dikenal di Semenanjung, hal ini bisa disimpulkan dari praktik yang mungkin telah dikenal di mana-mana oleh masyarakat-masyarakat di sekitar semenanjung itu. Namun demikian, meskipun hinna mungkin merupakan tumbuhan semak biasa, tetapi syibab-syibab-nya, seperti katam pada umunya tidak demikian.
Sebuah laporan awa’il (nilai sejarah dari berita-berita) melukiskan diperkenalkannya kebiasaan menyemir rambut putih pada masa awal Islam. Tak lama sesudah Mekah ditaklukkan, ayah Abu Bakr, Abu Quhafah, lelaki dengan rambut dan janggut seputih bunga sagamah dihadapkan kepada Muhammad. Diberitakan bahwa Muhammad berkata ketika itu, Ubahlah (uban) ini, asalkan jangan menggunakan semir hitam. Lalu orang pun menyemir rambut dan janggut Abu Quhafah dengan warna merah.
Hadist tersebut memberikan penjelasan bahwa Nabi menuntut supaya semir hitam tidak dipergunakan, namun Nabi cenderung memilih kepada sesuatu yang dibuat dari hinna, meskipun tanpa menyebutkannya secara langsung. Sedangkan adanya perintah Nabi kepada Abu Quhafah agar dia bersedia menyemir rambutnya dengan anjuran untuk memilih bahan cat berwarna orange dari pada warna hitam dapat diartikan sebagai tindakan tegas Nabi untuk menegur dan menunjukan kekuasaanya terhadap seseorang yang beberapa saat lalu merupakan salah seorang di antara musuh-musuhnya di Mekah.[10]
4.Membandingkan Dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Rasio[11]

            Dalam bab atau sub-bab ini penulis akan menjelaskan atau memaparkan tentang perkembangan ilmu tentang menyemir rambut dan rasionya yang lebih mengarah ke pada akibat dan manfaat dari menyemir rambut tersebut. Yaitu sebagai berikut:
Pada dasarnya semua warna yang digunakan untuk menyemir rambut itu mengakibatkan dampak negative bagi kesehatan tubuh, yang menjadi pertanyaan mengapa Rasulullah SAW melarangnya? alasannya yaitu karena agar yang tadinya beruban, tidak terlihat seperti lebih muda. Karena jika terlihat seperti lebih muda karena rambutnya yang dihitamkan, otomatis itu mengandung unsur penipuan. Dan unsur penipuan ini yang menjadi dasar bagi tidak dibolehkannya memakai semir rambut warna hitam. Tetapi ada titik temu dalam perbedaan ini, dalam sarah bukhori muslim menyebutkan bila wajah-wajah kami masih kencang maka boleh menyemir rambut, akan tetapi bila wajah telah keriput dan gigi kami telah tanggal maka menyemir rambut tidak di sunahkan. Dan terkait dengan perkembangan soal menyemir rambut pada dasarnya sama dari zaman adhulu sampai zaman sekarang, yang membedakannya hhanya cara atau teknik dan bahan dari menyemir rambut itu sendiri.
Mengenai dampak atau akibatnya yaitu bahwasannya pada dasarnya proses mewarnai rambut ada zat-zat kimia yang diberikan untuk menutupi atau menghilangkan pigmen alami yang sudah ada dalam rambut seseorang. Karenanya jika seseorang mewarnai rambut secara terus menerus akan menimbulkan dampak bagi kesehatan. Untuk itu ketahui apa saja dampak negatif bagi kesehatan yang bisa ditimbulkan dari proses mewarnai rambut, yaitu:

a.Iritasi kulit dan alergi

Beberapa orang yang rentan mengalami alergi sebaiknya melakukan tes terlebih dahulu sebelum menggunakan pewarna rambut apapun. Jika dalam waktu 48 jam tidak menimbulkan reaksi apapun, maka pewarna tersebut aman.
Tapi bagi orang yang rentan, ia akan mengalami alergi kulit saat menggunakan pewarna rambut. Gejala yang muncul adalah kemerahan, gatal mendadak, sensasi terbakar di kulit dan rasa tidaknyaman. Jika timbul keluhan tersebut sebaiknya hentikan proses pewarnaan segera.

b.Kerusakan rambut

Rambut yang sering menerima berbagai prose kimia termasuk pewarnaan bisa memicu terjadinya kerusakan. Kondisi ini biasanya ditandai dengan rambut kusam, rapuh, kasar dan rusak. Ujung rambut yang bercabang juga menunjukkan bahwa rambut tidak sehat.

c.Perubahan warna kulit

Bahan kimia dalam rambut akan mempengaruhi protein dalam rambut, kulit dan kuku. Karenanya sangat penting menggunakan sarung tangan untuk perlindungan dan menggunakan krim di sekitar garis rambut.

d.Masalah kesehatan serius

Penelitian terbaru menunjukkan keracunan timah bisa terjadi ketika seseorang melakukan pewarnaan rambut, meski masih ada yang memperdebatkan masalah ini. Hal ini karena bahan utama dalam pewarna rambut warna gelap adalah timbal asetat yang sangat beracun, sehingga berbahaya bagi kesehatan tubuh dan memicu masalah kesehatan serius.
           
5.Kesimpulan

            Dari penjelasan dan keterangan matan diatas sudah jelas bahwasannya hadits tentang menyemir rambut dengan warna hitam itu merupakan hadist yang sampai ketingkatan Nabi. Dengan demikian hadist ini bersifat marfu’. bila ditilik dari segi ketersambungan sanadnya, maka hadist ini dapat disimpulkan sebagai hadist yang bersambung sanadnya. Demikian juga dengan kualitas dan integritas periwayatnya, mayoritas kritikus hadist tidak mempersoalkannya, atau dengan kata lain seluruh periwayat yang meriwayatkan hadist ini semuanya masuk dalam kategori ṡiqah. Dan hadits dari riwayat shahih muslim dan ayat al-qur’an diatas telah menambah kehujjahan dan keshahihan itu, Sehingga hadist ini bisa diakui ke-hujjah-annya.

D.PEMAHAMAN HADITS

            Pada bab atau sub-bab ini penulis akan menjelaskan atau memaparkan tentang syarah hadits, yaitu sebagai berikut:

وَمَنْ تَابَعَهُمَا مِنْ أَنَّ الْحِنَّاءَ وَالْكَتَمَ إِذَا خُلِطَا جَاءَ اللَّوْنُ أَسْوَدَ لِأَنَّ الرَّجُلَ قَدْ خَضَبَ الْحِنَّاءَ وَالْكَتَمَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثْنَى عَلَيْهِ فَعُلِمَ أَنَّ لَوْنَهُ لَمْ يَكُنْ بِالْأَسْوَدِ الْخَالِصِ لِأَنَّ اللَّوْنَ الْأَسْوَدَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْخَضْبَ بِالصُّفْرَةِ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَحْسَنُ فِي عَيْنِهِ مِنَ الْحِنَّاءِ عَلَى انْفِرَادِهِ وَمَعَ الْكَتَمِ
قَالَ الْمُنْذِرِيُّ وأخرجه بن ماجه وفي حديث بن ماجه قال وكان طاؤس يُصَفِّرُ فِي إِسْنَادِهِ حُمَيْدُ بْنُ وَهْبٍ الْقُرَشِيُّ الْكُوفِيُّ
قَالَ الْبُخَارِيُّ حُمَيْدُ بْنُ وَهْبٍ الْقُرَشِيُّ الكوفي عن بن طاؤس فِي الْخِضَابِ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ رَوَى عَنْهُ مُحَمَّدُ بن طلحة الكوفي كان ممن يخطىء حَتَّى خَرَجَ عَنْ حَدِّ التَّعْدِيلِ وَلَمْ يَغْلِبْ خَطَؤُهُ صَوَابَهُ حَتِّي اسْتَحَقَّ التَّرْكَ وَهُوَ مِمَّنْ يُحْتَجُّ بِهِ إِلَّا بِمَا انْفَرَدَ
  (بَاب مَا جَاءَ فِي خِضَابِ السَّوَادِ)
 (يَخْضِبُونَ) بِكَسْرِ الضَّادِ الْمُعْجَمَةِ أَيْ يُغَيِّرُونَ الشَّعْرَ الْأَبْيَضَ مِنَ الشَّيْبِ الْوَاقِعِ فِي الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ (بِالسَّوَادِ) أَيْ بِاللَّوْنِ الْأَسْوَدِ (كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ) أَيْ كَصُدُورِهَا فَإِنَّهَا سُودٌ غالباوأصل الْحَوْصَلَةِ الْمَعِدَةُ وَالْمُرَادُ هُنَا صَدْرُهُ الْأَسْوَدُ قَالَ الطِّيبِيُّ مَعْنَاهُ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ فِي الْغَالِبِ لِأَنَّ حَوَاصِلَ بَعْضِ الْحَمَامَاتِ لَيْسَتْ بِسُودٍ (لَا يَرِيحُونَ) أَيْ لَا يَشُمُّونَ وَلَا يَجِدُونَ (رَائِحَةَ الْجَنَّةِ) يَعْنِي وَرِيحُهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ كَمَا فِي حَدِيثٍ فَالْمُرَادُ بِهِ التَّهْدِيدُ أَوْ مَحْمُولٌ عَلَى الْمُسْتَحِلِّ أَوْ مُقَيَّدٌ بِمَا قَبْلَ دُخُولِ الْجَنَّةِ مِنَ الْقَبْرِ أَوِ الْمَوْقِفِ أَوِ النَّارِ
قَالَ مَيْرَكُ ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى كَرَاهَةِ الْخِضَابِ بِالسَّوَادِ وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ وَأَنَّ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ فِي الْجِهَادِ وَلَمْ يُرَخِّصْ فِي غَيْرِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ فَرَّقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فَأَجَازَهُ لَهَا دُونَ الرَّجُلِ وَاخْتَارَهُ الْحَلِيمِيُّ
وَأَمَّا خَضْبُ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ فَيُسْتَحَبُّ فِي حَقِّ النِّسَاءِ وَيَحْرُمُ فِي حَقِّ الرِّجَالِ إِلَّا لِلتَّدَاوِي كَذَا فِي الْمِرْقَاةِ وَقَالَ الْحَافِظُ فِي الْفَتْحِ تَحْتَ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ هَكَذَا أَطْلَقَ
وَلِأَحْمَدَ بِسَنَدٍ حَسَنٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَشْيَخَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ بِيضٌ لِحَاهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ

الْأَنْصَارِ حَمِّرُوا وَصَفِّرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ نَحْوَهُ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ
وَفِي الْكَبِيرِ مِنْ حَدِيثِ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَغْيِيرِ الشَّعْرِ مُخَالَفَةً لِلْأَعَاجِمِ وَقَدْ تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ أَجَازَ الْخِضَابَ بِالسَّوَادِ وَقَدْ تَقَدَّمَتْ فِي بَابِ ذِكْرِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ أَحَادِيثِ الْأَنْبِيَاءِ مَسْأَلَةُ اسْتِثْنَاءِ الْخَضْبِ بِالسَّوَادِ لِحَدِيثَيْ جَابِرٍ وبن عَبَّاسٍ وَأَنَّ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ فِي الْجِهَادِ وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ مُطْلَقًا وَأَنَّ الْأَوْلَى كَرَاهَتُهُ وَجَنَحَ النَّوَوِيُّ إِلَى أَنَّهُ كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ
وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ طَائِفَةٌ مِنَ السَّلَفِ مِنْهُمْ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَاصٍ وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ وَجَرِيرٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ واختاره بن أَبِي عَاصِمٍ فِي كِتَابِ الْخِضَابِ لَهُ وَأَجَابَ عن حديث بن عَبَّاسٍ رَفَعَهُ يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ بِالسَّوَادِ لَا يجدون ريح الجنة بأنه لادلالة فِيهِ عَلَى كَرَاهَةِ الْخِضَابِ بِالسَّوَادِ بَلْ فِيهِ الْإِخْبَارُ عَنْ قَوْمٍ هَذِهِ صِفَتُهُمْ وَعَنْ حَدِيثِ جَابِرٍ جَنِّبُوهُ السَّوَادَ بِأَنَّهُ فِي حَقِّ مَنْ صار شيب رأسه مستبشعاولا يَطَّرِدُ ذَلِكَ فِي حَقِّ كُلِّ أَحَدٍ انْتَهَى
وَمَا قَالَهُ خِلَافُ مَا يَتَبَادَرُ مِنْ سِيَاقِ الْحَدِيثَيْنِ
نَعَمْ يَشْهَدُ لَهُ مَا أَخْرَجَهُ هُوَ عن بن شِهَابٍ قَالَ كُنَّا نَخْضِبُ بِالسَّوَادِ إِذَا كَانَ الْوَجْهُ جَدِيدًا فَلَمَّا نَغَضَ الْوَجْهُ وَالْأَسْنَانُ تَرَكْنَاهُ وقد أخرج الطبراني وبن أَبِي عَاصِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَفَعَهُ مَنْ خَضَبَ بِالسَّوَادِ سَوَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَسَنَدُهُ لَيِّنٌ انْتَهَى كَلَامُ الْحَافِظِ قَالَ الْمُنْذِرِيُّ وَأَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ فِي إِسْنَادِهِ عَبْدُ الْكَرِيمِ وَلَمْ يَنْسُبْهُ أَبُو دَاوُدَ وَلَا النَّسَائِيُّ وَذَكَرَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ أَبِي الْمُخَارِقِ أَبُو أُمَيَّةَ وَلَا يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ وَضَعْفُ الْحَدِيثِ بِسَبَبِهِ وَذَكَرَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ مَالِكٍ الْجَزَرِيُّ أَبُو سَعِيدٍ وَهُوَ مِنَ الثِّقَاتِ اتَّفَقَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ عَلَى الِاحْتِجَاجِ بِحَدِيثِهِ وَقَوَّى مَنْ قَالَ إِنَّهُ عَبْدُ الْكَرِيمِ الْجَزَرِيُّ وَعَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ أَبِي الْمُخَارِقِ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ نزل مكة
وأيضافإن الَّذِي رَوَى عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ هَذَا الْحَدِيثَ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو الرَّقِّيُّ وَهُوَ مَشْهُورٌ بِالرِّوَايَةِ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الْجَزَرِيِّ وَهُوَ أيضامن أَهْلِ الْجَزِيرَةِ وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَعْلَمُ
وَفِي التَّقْرِيبِ بِنُونٍ ثُمَّ مُوَحَّدَةٍ مَكْسُورَةٍ (كَانَ آخِرُ عَهْدِهِ) أَيْ آخِرُ أَمْرِهِ بِالْوَدَاعِ وَالْكَلَامِ وَالْوَصِيَّةِ وَفَاطِمَةُ خَبَرُ كَانَ بِحَذْفِ الْمُضَافِ أَيْ عهد فاطمة
وقال القارىء وَصِيَّتُهُ وَأَمْرُهُ وَحَدِيثُهُ وَمُوَادَعَتُهُ (بِإِنْسَانٍ مِنْ أَهْلِهِ) أَيْ مِنْ بَيْنِ بَنَاتِهِ وَنِسَائِهِ (فَاطِمَةَ) أَيْ عَهْدُهَا لِيَصِحَّ الْحَمْلُ وَهِيَ خَبَرُ كَانَ (فَقَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ) أَصْلُهَا غَزْوَةٌ نُقِلَتْ حَرَكَةُ الْوَاوِ إِلَى مَا قَبْلَهَا وقُلِبَتْ أَلِفًا (وَقَدْ عَلَّقَتْ مِسْحًا) بِالْكَسْرِ هُوَ الْبَلَاسُ وَهُوَ كِسَاءٌ مَعْرُوفٌ (أوسترا) بالكسروأو لِلشَّكِّ (عَلَى بَابِهَا) أَيْ لِلزِّينَةِ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ لِلسُّتْرَةِ لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهَا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ فِيهَا تَمَاثِيلٌ فَالْإِنْكَارُ بِسَبَبِهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ (وَحَلَّتْ) بِتَشْدِيدِ اللَّامِ وَأَصْلُهُ حَلَّيَتْ مِنَ التَّحْلِيَةِ فَقُلِبَتِ الْيَاءُ أَلِفًا لِتَحَرُّكِهَا وَانْفِتَاحِ مَا قَبْلَهَا ثُمَّ حُذِفَتْ لِالْتِقَاءِ السَّاكِنَيْنِ أَيْ زَيَّنَتْ (الْحَسَنَ والحسين قلبين) يضم الْقَافِ أَيْ سِوَارَيْنِ أَيْ زَيَّنَتِ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ بِإِلْبَاسِهِمَا (وَلَمْ يَدْخُلْ) أَيْ بَيْتَ فَاطِمَةَ (إِنَّمَا مَنَعَهُ أَنْ يَدْخُلَ مَا رَأَى) يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ مَا فِي أَنَّهُمَا مَوْصُولُهُ وَمَنَعَهُ صِلَتُهُ وَمَا رَأَى خَبَرُ أَنَّ وَأَنْ يَكُونَ مَا كَافَّةً وَمَا رَأَى فَاعِلٌ مِنْهُ وَحَقُّهَا عَلَى الْأَوَّلِ أَنْ تُكْتَبَ مَفْصُولَةً وَعَلَى الثَّانِي مَوْصُولةً (فَهَتَكَتِ السِّتْرَ) أَيْ شَقَّتْهُ (وَفَكَّتِ الْقُلْبَيْنِ) بِتَشْدِيدِ الْكَافِ أَيْ تَقْلِيبُهُمَا وَتَطْوِيقُهُمَا
وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ فَكَّكَتْ (وَقَطَعَتْهُ) أَيْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْقُلْبَيْنِ (بَيْنَهُمَا) أَيْ بَيْنَ الْحَسَنَيْنِ (فَأَخَذَهُ) أَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا فِي أَيْدِي الْحَسَنَيْنِ أَوْ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْقُلْبَيْنِ (مِنْهُمَا) أَيْ مِنَ الْحَسَنَيْنِ (اذْهَبْ بِهَذَا) أَيْ بِكُلٍّ مِنَ الْقُلْبَيْنِ (أَهْلُ بَيْتٍ) بَدَلٌ مِنْ آلِ فلان (إن هؤلاء) أي الحسنان ووالداهما (أَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلُوا طَيِّبَاتِهِمْ فِي حَيَاتِهِمُ الدُّنْيَا) أَيْ يَتَلَذَّذُوا بِطِيبِ طَعَامٍ وَلُبْسِ نَفِيسٍ وَنَحْوِهِمَا بَلِ اخْتَارَ لَهُمُ الْفَقْرَ وَالرِّيَاضَةَ فِي حَيَاتِهِمِ ليكون دَرَجَاتُهُمْ فِي الْجَنَّةِ أَعْلَى (قِلَادَةٌ) بِكَسْرِ الْقَافِ مَا يُعَلَّقُ فِي الْعُنُقِ (مِنْ عَصَبٍ) بِفَتْحِ الْعَيْنِ وَسُكُونِ الصَّادِ الْمُهْمَلَتَيْنِ وَبِفَتْحٍ
قَالَ الْخَطَابِيُّ فِي الْمَعَالِمِ الْعَصَبُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِنْ لَمْ يَكُنْ هَذِهِ الثِّيَابَ الْيَمَانِيَةَ فَلَسْتُ أَدْرِي مَا هُوَ وَمَا أَدْرِي أَنَّ الْقِلَادَةَ تَكُونُ منه انتهى

وَقَالَ فِي النِّهَايَةِ قَالَ أَبُو مُوسَى يَحْتَمِلُ عِنْدِي أَنَّ الرِّوَايَةَ إِنَّمَا هِيَ الْعَصَبُ بِفَتْحِ الصَّادِ وَهُوَ إِطْنَابُ مَفَاصِلِ الْحَيَوَانَاتِ وَهُوَ شَيْءٌ مدور فيحتمل أنهم كانو يَأْخُذُونَ عَصَبَ بَعْضِ الْحَيَوَانَاتِ الطَّاهِرَةِ فَيَقْطَعُونَهُ وَيَجْعَلُونَهُ شِبْهَ الْخَرَزِ فَإِذَا يَبِسَ يَتَّخِذُونَ مِنْهُ الْقَلَائِدَ وَإِذَا أَمْكَنَ وَجَازَ أَنْ يَتَّخِذَ الْأَسْوِرَةَ مِنْ عِظَامِ السُّلَحْفَاةِ جَازَ مِنْ عَصَبِ أَشْبَاهِهَا اتِّخَاذُ خَرَزِ الْقَلَائِدِ وَذُكِرَ أَنَّ الْعَصَبَ سِنُّ دَابَّةٍ بَحْرِيَّةٍ تُسَمَّى فَرَسُ فِرْعَوْنَ يُتَّخَذُ مِنْهُ الْخَرَزُ وَنِصَابُ السِّكِّينِ وَيَكُونُ أَبْيَضَ انْتَهَى[12]

E.KESIMPULAN

            Dari penelitian hadits yang telah kami lakukan baik dengan cara menggunakan kitab klasik dan komputer bisa diambil kesimpulan bahwasannya dari penelitian ketersambungan sanad yang telah kami lakukan, bahwasanya hadits yang membahas tentang larangan menyemir rambut berwarna hitam dari penjelasan dan keterangan matan diatas sudah jelas bahwasannya hadits tentang menyemir rambut dengan warna hitam itu merupakan hadist yang sampai ketingkatan Nabi. Dan hadits tentang larangan menyemir rambut ini bersifat marfu’, dan hadist ini dapat disimpulkan sebagai hadist yang bersambung sanadnya. Demikian juga dengan kualitas dan integritas periwayatnya hadits-hadits tersebut,dan tentang al-jarh wa al-ta’dil mayoritas kritikus hadits hadist tidak mempersoalkannya, atau dengan kata lain seluruh periwayat yang meriwayatkan hadist ini semuanya masuk dalam kategori ṡiqah. Dan hadits dari riwayat shahih muslim dan ayat al-qur’an diatas telah menambah kehujjahan dan keshahihan itu, Sehingga hadist ini bisa diakui ke-hujjah-annya.


































F.DAFTAR PUSTAKA

1.      Ma’ruf, Abdul Jalil. Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi. (Surabaya :2008).
2.      Al-Mazzi, Tahdzibul Kamal fi asma ar-rijal.
3.      al-mu’jam al-mufahras li alfadzi al-hadits al-nabawi,.
4.      Maktabah Syamilah
5.      Juynboll G.H.A.,1993.Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadis, Jakarta: INIS
6.      Komputerisasi, Kumpulan Syuruhul hadits
7.      Sunan Abu Dawud. Darul Fiqr
8.      Al-Qur’an
9.      لقسم : شروح الحديث,الكتاب: عون المعبود شرح سنن أبي داود، ومعه حاشية ابن القيم: تهذيب سنن أبي داود وإيضاح علله ومشكلاته,المؤلف: محمد أشرف بن أمير بن علي بن حيدر، أبو عبد الرحمن، شرف الحق، الصديقي، العظيم آبادي (المتوفى: 1329هـ)ووو الناشر: دار الكتب العلمية – بيروتو الطبعة: الثانية، 1415 هـ عدد الأجزاء:



[1] Sunan abu dawud, darul fiqr,Juz 2 bab rambut,hlm.672
[2] al-mu’jam al-mufahras li alfadzi al-hadits al-nabawi. juz III hlm.369
[3] Tadzhib al-Kamal fi asma ar-rijal juz 26. hlm 37-39
[4] Ibid. juz12. hlm 227-229
[5] Tadzhib al-Kamal fi asma ar-rijal juz5. hlm 275-278
[6]   Tadzhib al-Kamal fi asma ar-rijal. hlm 366
[7] Ibid. juz 26. hlm 197-198
[8] Ibid. juz18. hlm 195-197
[9] Abdul Jalil, Ma’ruf. Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi. (Surabaya :2008). hlm 546
[10]  Dr. G.H.A.Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadits.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 25
[11]  Dr. G.H.A. Juynboll, Mengecat Rambut dan Janggut Dalam Islam Masa Awal: Studi Analisis Hadits.(Jakarta:INIS, 1993), hlm. 30
[12] الكتاب: عون المعبود شرح سنن أبي داود، ومعه حاشية ابن القيم: تهذيب لقسم : شروح الحديث,

No comments:

Post a Comment