Wednesday 6 April 2016

Hukum Perburuhan dan Perjanjian Perburuhan

Hukum Perburuhan dan Perjanjian Perburuhan






PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perburuhan dan Perjanjian Perburuhan
2.1.1 pengertian Hukum Perburuhan
              Secara umum hukum perburuhan merupakan hukum tertulis yang sebagiannya telah dikodifikasikan dalam KUH Sipil dan bagian terbesar belum dikodifikasikan dan tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, di samping masih banyak ketentuan yang tak tertulis[1].
            Sedangkan menurut beberapa ahli atau pakar ilmu hukum pengertian hukum perburuhan adalah sebagai berikut:
1.  Menurut Mr.M.G.Levenbach
Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
2. Menurut Mr.N.E.H.Van Esveld
Hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
3. Menurut Prof.Iman Soepomo
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah
            Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum perburuhan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Serangkaian peraturan yang tertulis dan tidak tertulis
b.      Peraturan itu mengenai suatu kejadian
c.       Adanya orang yang bekerja pada orang lain
d.      Adanya tegareprestasi (balas jasa) yang berupa upah[2]
Adapula pekerjaan yang di lakukan dibawah pimpinan orang lain, tetapi tidak termasuk perburuhan karena tidak menerima upah misalnya pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain secara suka rela atau secara gotong royong, pekerjaan orang hukuman yang di lakukan atas perintah Negara.
Adapun perkataan perburuhan itu adalah suatu kejadian dimana seseorang, bisanya disebut buruh bekerja pada orang lain dan ada terdapat juga yang disebut majikan. Dengan menerima upah, dengan sekaligus menyampingkan persoalan antara pekerjaan bebas dan perkerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan (bekerja pada) orang lain, dan menyampingkan pula persoalan antara pekerjaan dan pekerja.
Menurut pasal 1601 huruf (a) pengertian dari perjanjian perburuhan atau biasa disebut perjanjian pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah[3]

2.1.2 Perjanjian perburuhan

Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi, Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Disisi lain ada pula yang menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian tersebut maka dapat diterangkan lebih lanjut bahwa, perjanjian adalah sebuah kesepakatan antara 2 (dua) orang atau lebih dalam lapangan hukum kebendaan untuk saling memberi dan menerima sesuatu.[4]
Dalam setiap perjanjian terdapat dua macam subyek perjanjian, yaitu :
1.seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu;
2.seorang manusia atau badan hukum yang mendapatkan hak atas pelaksanaan kewajiban itu.
Dari pengertian diatas maka subyek perjanjian dapat disimpulkan menjadi 2 (dua) macam yaitu manusia pribadi dan badan hukum. Pengertian perjanjian kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1601a KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya dibawah perintah orang lain (majikan) untuk sesuatu waktu tertentu, melainkan pekerjaan dengan menerima upah.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, menyatakan :
1.Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
2.Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian kerja sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata Pasal 1320 (menurut pasal 1338 (1) yang menyatakan sahnya perjanjian antara lain[5] :
  1. Mereka sepakat untuk mengakibatkan diri;
  2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.
Dalam perjanjian kerja terdapat pula unsur-unsur dari syarat perjanjian kerja, antara lain :
  1. Adanya unsur work (pekerjaan), karena dalam suatu perjanjian kerja haruslah ada pekerjaan yang jelas yang dilakukan oleh pekerja dan sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dengan ketentuan–ketentuan yang tercantum dalam UU nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
  2. Adanya unsur service (pelayanan)
  3. Adanya unsur time (waktu )
  4. Adanya unsur pay (upah )
Dan dalam prakteknya perjanjian kerja terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian, antara lain :
  1. Perjanjian Tertulis, hal ini di peruntukan bagi perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya kesepakatan para pihak, bahwa perjanjian yang dibuatnya itu menginginkan dibuat secara tertulis agar terdapat kepastian hukum.
  2. Perjanjian Tidak tertulis, bahwa perjanjian yang oleh undang-undang tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis.

Akan tetapi suatu perjanjian pekerjaan baik yang tertulis maupun tidak tertulis dapat juga diakhiri atau berakhir bilamana[6]:
  1. pekerja meninggal dunia;
  2. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
  3. adanya putusan pengadilan dan putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
  4. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Berakhirnya perjanjian kerja sebagaimana tersebut di atas diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut
“Perjanjian kerja tidak berakhir dikarenakan meninggalnya pengusaha atau   beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah”
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak pekerja atau buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja atau buruh. Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja atau buruh, sedangkan dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja atau buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja atau buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Hal ini merupakan asas fairness (keadilan) yang berlaku baik pengusaha maupun pekerja agar kedua saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian kerja yang telah dibuat dan ditandatangani.

2.2 Hubungan Kerja

Pengertian hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah[7]. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.
           
Sedangkan menurut beberapa ahli hukum definisi hubungan kerja adalah sebagai berikut:
1.Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro
Hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga atau jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha atau majikan),sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.
2.Tjepi F. Aloewir
Hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.

Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:
  1. Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)
  2. Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)
  3. Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)
  4. Berakhirnya Hubungan Kerja
Poin-poin terkait dengan hubungan kerja akan dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1.Pengertian[8]
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja dengan pihak lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan dan disetujui bersama.
Pengaturan tentang pembuatan perjanjian kerja berpedoman kepada :
a.Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) khususnya buku III titel 7A.
b.Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) buku II.
c.Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993.

2.Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha Dalam Perjanjian Kerja[9]

a.Hak pekerja
  1. Pekerja berhak atas upah setelah melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian.
  2. Hak atas fasilitas-fasilitas lain berupa tunjangan dan dana bantuan.
  3. Hak perlakuan yang baik dari pengusaha atas dirinya seperti perlindungan kesehatan kerja.
  4. Jaminan kehidupan yang wajar dan layak dari pengusaha serta kejelasan status waktu.
b.Kewajiban pekerja
  1. Melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan perjanjian dan kemampuannya.
  2. Melaksanakan tugas dan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain kecuali diizinkan oleh pengusaha.
  3. Mentaati segala peraturan kerja dan peraturan tat tertib yang berlaku di perusahaan.
  4. Patuh dan taat atas segala perintah pengusaha dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian.
c.Hak Pengusaha
  1. Pengusaha berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.
  2. Pengusaha berhak atas ditaatinya aturan kerja yang diberikan kepada pekerja.
  3. Pengusaha berhak atas perlakuan yang hormat, sopan dan wajar serta sikap tingkah laku yang layak dari pekerja.
  4. Pengusaha berhak untuk melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha.
d.Kewajiban pengusaha
  1. Pengusaha berkewajiban membayar imbalan kepada pekerja.
  2. Pengusaha berkewajiban menyediakan dan mengatur fasilitas kerja, tempat kerja.
  3. Pengusaha berkewajiban mengatur segala hal yang berada dibawah tanggung jawab dalam hubungan kerja.
  4. Pengusaha berkewajiban memberikan jaminan sosial kepada pekerja.

3.Berakhirnya hubungan kerja[10]
            Berakhirnya hubungan kerja didalam suatu masyarakat biasa disebut dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan atau majikan, hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
  1. pekerja meninggal dunia
  2. jangka waktu kontak kerja telah berakhir
  3. adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
  4. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Dan akan tetapi apabila pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja atau buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.           
Hal-hal isi atau yang diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja Perjanjian kerja akan memuat hal-hal sebagai berikut :
  1. Macam pekerjaan, cara pelaksanaannya, jam kerja dan tempat kerja.
  2. Besarnya upah, tempat dan waktu pembayarannya dan fasilitas yang disediakan pengusaha bagi pekerja.
  3. Pengobatan berupa biaya dokter, poliklinik.
  4. Jaminan sosial seperti kecelakaan, sakit, pensiun.
  5. Cuti, izin meninggalkan pekerjaan, hari libur, uang pesangon.

2.3 Perselisihan Perburuhan[11]

Secara umum pengertian perselisihan perburuhan merupakan setiap pertentangan atau ketidaksesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat atau keadaan perburuhan. Dengan demikian perselisihan perburuhan dapat terjadi antara buruh dengan majikan, antara sekelompok buruh dengan majikan, antara serikat buruh dengan majikan atau perkumpulan majikan
Berdasarkan Pasal 2 UU PHI tahun 2004, jenis-jenis perselisihan  industrial meliputi:
1. Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Contohnya; (i) dalam Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan perjanjian kerja; (ii) ada kesepakatan yang tidak dilaksanakan; dan (iii) ada ketentuan normatif tidak dilaksanakan.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. Contohnya: kenaikan upah, transpor, uang makan, premi dana lain-lain.

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Contohnya; ketidaksepakatan alasan PHK dan perbedaan hitungan pesangon.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan Antar Serikat Pekerja atau Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh dengan serikat pekerja atau serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
            Dari kasus perselisihan antara simajikan dengan siburuh maka didalam hukum perburuhan juga terdapat cara bagaimana cara menyelesaikannya perselisihannya tersebut. Penjelasan tentang bagaimana cara menyelesaikan perselisihan antara siburuh dengan simajikan akan dijelaskan pada bab selanjutmya

2.4 Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

            Seperti yang telah disinggung diatas didalam suatu hubungan antara siburuh dan simajikan pastilah terdapat suatu perselisihan, maka dari itu didalam hukum perburuhan juga terdapat media atau cara penyelesaian perselisihan. Didalam perselisihan perburuhan terdapat dua cara, yang pertama yaitu penyelesaian diluar pengadilan dan yang kedua didalam pengadilan.

1.Penyelesaian diluar pengadilan[12]
Penyelesaian perselisihan tersebut terdapat pada undang-undang No.2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh atau tenaga Kerja diluar pengadilan.
1.Penyelesaian Melalui Bipartie
Merupakan perundingan antara pekerja/serikat pekerja(SP/SB) dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan jika dalam kurun waktu itu belum mencapai kesepakatan atau kemufakatan maka bipartie dianggap gagal.
Apabila perundingan mendapat kesepakatan maka dibuat perjajian bersama yang dutandatangani kedua belah pihak, kemudian untuk kepastian hukumnya wajib didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri dimana wilayah Domisili perjanjian bersama disepakati (wilayah perselisihan).
Dan pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan.
Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian. Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit dilakukan melaui :


1.Mediasi
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004 dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

2.Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut.

3.Penyelesaian Melalui Arbitrase
Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi :
a.Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.Cakap melakukan tindakan hukum
c.Warga negara Indonesia
d.Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun
e.Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1)
f.Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter
g.Menguasai peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase
h.Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Selanjutnya pengangkatan arbiter tersebut berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya.
Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial. Terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase Salah satu atau kedua belah 1.pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase dalam hal:
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
2.Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
3.Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
4.Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

2.Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan[13]
Sebelum keluarnya Undang-Undang hubungan Industrial, penyelesaian sengketa perburuhan diatur di dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan diundangkan Undang-undang No. 2 Tahun 2004 sebagai wadah Peradilan Hubungan Industrial disamping Peradilan Umum.
Di dalam Pasal 56 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :

  1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
  2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
  3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
  4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan.

Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari[14]:
  1. Hakim
  2. Hakim ad Hoc
  3. Panitera Muda, dan
  4. Panitera Pengganti

Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
  1. Hakim Agung
  2. Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
  3. Panitera

Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Warga negara Indonesia
  2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  3. Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  4. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
  5. Berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
  6. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
  7. Berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum serta berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.

Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pada Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan Surat Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang No.2 Tahun 2004.
Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Pengadilan Umum, kecuali diatur secara khusus oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2004 serta menunggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Perburuhan.
Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif di dalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
  1. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
  2. Tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
  3. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
  4. Tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;
  5. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Ketentuan Beracara dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata; Kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 81 Pasal 115). Putusan PHI mengenai Perselisihan Hak dan PHK dapat diajukan ke MA melalui Upaya Hukum Permohonan Kasasi paling lama 14 hari setelah putusan dibacakan, atau menerima pemberitahuan putusan.[15]


BAB 3 PENUTUP

3.1Penutupan

Pada dasarnya pembahasan hukum perburuhan sangatlah komplek dan hukum perburuhan ini sangatlah dibutuhkan masyarakat khususnya yang bekerja disektor industri atau yang lainnya. Dan didalam hukum perburuhan ini baik seorang pekerja atau buruh dan seorang majikan dalam aplikasinya akan diatur dalam hukum perburuhan baik cara perekrutannya, perjanjian kerja, hubungan kerja, bahkan sampai perselisihan kerja.
            Misalnya seperti dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menjelas atau yang menyatakan bahwa:
1.Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
2.Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
            Apabila didalam perjanjian atau hubungan kerja tersebut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti melanggar hak dan kewajiban baik yang melanggar itu buruh atau majikan, maka akan terjadi suatu perselisihan perburuhan. pengertian perselisihan perburuhan merupakan setiap pertentangan atau ketidaksesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat atau keadaan perburuhan. Dengan demikian perselisihan perburuhan dapat terjadi antara buruh dengan majikan, antara sekelompok buruh dengan majikan, antara serikat buruh dengan majikan atau perkumpulan majikan.






DAFTAR PUSTAKA


Djumadi.2004.Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja.Jakarta: Rajawali Pers

Rahayu, Dewi.2011.Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus.Yogyakarta: Elmatera Publisher

Sutedi, Adrian.2009.Hukum Perburuhan.Jakarta: Sinar Grafika

Kansil.1983.Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka

Hartono, Judiantoro.1992.Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Jakarta: Rajawali Pers







[1]Kansil,Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1983),
hlm.311


[2]Kansil,Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1983),
hlm.312
[3]Djumadi,Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.29
[4] Djumadi,Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.13

[5] Djumadi,Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.35
[6] Djumadi,Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.91

[7] Adrian Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.23
[8] Djumadi,Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,(Jakarta:RajaWali Pers,2004),hlm.101
[9] Dewi Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta: Elmatera Publisher,2011),hlm.89

[10] Dewi Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta: Elmatera Publisher,2011),hlm.220

[11] Adrian Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.95
[12] Adrian Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.108

[13] Adrian Sutedi,Hukum Perburuhan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009),hlm.128
[14] Dewi Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta: Elmatera Publisher,2011),hlm.229
[15] Dewi Rahayu, Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus,(Yogyakarta: Elmatera Publisher,2011),hlm.232

No comments:

Post a Comment