ANALISIS KASUS
TENTANG
“IBU MENGAJAK
DUA ANAKNYA MEMBUNUH NENEKNYA SENDIRI”
(Untuk Memenuhi
Tugas UAS Mata Kuliah Hukum Pidana)
Dosen Pengampu:
Dr. H.Saifullah,SH., M.H
Oleh:
Moh. Koirul
Anam (12220104)
JURUSAN HUKUM
BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
PEMBAHASAN
A.Kronologi Kasus
INILAH.COM, Kediri-Seorang ibu terbukti membunuh seorang nenek.
Yang mengejutkan, si ibu itu mengajak dua anaknya yang masih di bawah umur
turut serta.
Kasus pembunuhan ini menimpa Sofiatun (70). Nenek renta itu dibunuh
kemudian dimasukkan karung dan dibuang ke sungai. Satuan Reskrim Polres Kediri
berhasil membekuk tiga pelaku yang masih memiliki hubungan keluarga dengan
korban.
Mereka, Rimayah (32), keponakan korban dan dua orang anaknya yang
masih di bawah umur, Baharudin Hariadi (14) dan Agus Harianto (11). Rinayah dan
Sofiatun tinggal beberapa meter di Dusun Bulurejo, Desa/Kecamatan Badas,
Kabupaten Kediri.
Kapolres Kediri AKBP Benyamin MM mengatakan, penangkapan ketiga
pelaku berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan petugas. Ketiganya telah
mengakui perbuatannya, kini tengah menjalani pemeriksaan, ujar AKBP Benyamin,
Sabtu (27/3).
Dalam proses penyelidikan, polisi sempat terkecoh. Pasalnya, alat
bukti berupa sebuah perhiasan emas milik korban ditemukan di balik tempat tidur
milik anaknya, Sopingi. Namun, berkat kejelian petugas dalam melakukan
pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dari kalangan keluarga, akhirnya diketahui
bahwa pelaku utama pembunuhan adalah Rimayah. Rimayah juga dengan sengaja
menyelipkan perhiasan itu ke tempat tidur Sopingi. Tiba giliran Rimayah, kami
terus mengorek keterangan. Dengan segala alibi yang disampaikan tersebut,
akhirnya malah membuatnya terdesak untuk mengakui, terang AKBP Benyamin.
Yang mengejutkan, dua anak Rimayah yang masih di bawah umur
terlibat dalam aksi kejahatan itu. Dengan polos keduanya mengaku telah membunuh
korban secara sadis.
Di hadapan petugas akhirnya mereka berterus terang dengan segala
yang telah diperbuat terhadap korban.
Dari keterangan pelaku, Sabtu (20/3) sekitar 12.00 WIB merupakan
hari terakhir Sofiatun menghirup napasnya. Awalnya, Baharudin Hariadi, anak
Rimayah yang sudah memiliki rencana bersama ibu dan adiknya memanggil korban
dengan cara memberinya sebuah jam dinding.
Tanpa curiga, nenek renta itu tertarik, dan memenuhi panggilan
untuk datang ke rumah pelaku yang hanya berjarak beberapa meter saja. Tiba di
rumah pelaku, korban diajak Baharudin Hariadi masuk ke kamarnya. Saat itu,
Rimayah sudah menunggu bersama Agus Harianto. Korban pun langsung disambut dengan
bekapan tangan ke mulutnya.
Dengan sadis, Rimayah mencekik leher korban dengan jarinya,
kemudian Agus Harianto mengikat leher korban dengan tali rafia yang memang
sudah dipersiapkan. Kondisi tubuhnya yang memang sudah renta, membuat korban
hanya mampu pasrah. Tidak bertahan lama, jantung nenek renta itu berhenti
berdetak.
Rimayah berusaha memastikan targetnya benar-benar sudah mati.
Kemudian Rimayah melucuti pakaian korban, dan memasukkan ke dalam dua buah
karung bekas pupuk merek Daun Buah. Karung itu dijahit olehnya. Rimayah
kemudian mengambil harta korban yang jumlahnya mencapai Rp 5 juta.
Setelah menunggu malam, Rimayah dan anaknya kembali beraksi. Tepat
pukul 22.00 WIB, mereka membawa jenazah korban di dalam karung itu ke sungai
yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya dengan menggunakan sepeda motor
Honda Revo.
Mereka membuang jenazah korban ke sungai, sampai akhirnya ditemukan
esok harinya. Di hadapan petugas, Rimayah mengaku tega membunuh karena tertarik
perhiasan yang dimiliki. Rimayah mengaku telah merencanakan aksi pembunuhan itu
dengan anak-anaknya karena mereka tengah diburu angsuran sepeda motor yang
dibelinya secara kredit. Bulan Maret ini kami belum bisa bayar. Angsuran motor
saya Revo setiap bulannya sebesar Rp 515 ribu. Sementara suami saya bekerja di
Bali tidak juga kirim uang saku.[1]
B. Konsep Hukum Pidana (Kajian Pustaka)
1.Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338
KUHP (barang siapa sengaja merampass nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belass tahun), akan tetapi
dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte
rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya
itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya
dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.
Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau
pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pasal 338 itu dilakukan seketika pada
waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana seperti yang terdapat pada KUHP
pasal 340 yaitu barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merapas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama tujuh tahun.
Jadi pelaksanan itu ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk
mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu
antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih
demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu
diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencanakan dengan cara bagaimana ia
melakukan pembunuhan itu. Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi
didalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang
(kondisi pelaku). Untuk pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan
berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam pembunuhan biasa, pengambilan
putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu
kesatuan, sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dulu kedua hal itu
terpisah oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang
tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan
pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam
suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang
ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga
dipersiapkan pelaksanaannya.
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya
mengandung tiga unsur atau syarat yaitu :
a.
Memutuskan
kehendak dalam suasana tenang.
b.
Ada
tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.
c.
Pelaksanaan
kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Selanjutnya mengenai pembunuhan berencana mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :
a). Unsur Subyektif
a.
Dengan
sengaja
b.
Dengan
rencana terlebih dahulu
b). Unsur Obyektif
a.
Perbuatan : menghilangkan nyawa.
b.
Obyeknya : nyawa orang lain
Terkait sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana Berdasarkan
kitab undang-undang hukum pidana, Pasal 340 disebutkan bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord),
dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun”.[2]
2. Percobaan Pembunuhan
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat
atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Dari apa yang diterangkan diatas,
kiranya ada dua arti percobaan. Pertama, tentang apa maksud dengan usaha hendak
berbuat, ialah orang yang telah mulai membuat (untuk mencapai tujuan) yang mana
perbuatan itu tidak menjadi selesai, misalnya hendak menebang pohon, namun
orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai
pohon tumbang. Misalnya lagi baru tiga atau empat kali mengapak, kapaknya
patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan
terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat
kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.[3]
Pengertian pertama ini tampak apa yang dikatakan oleh Wirjono
Prodjodinoro, bahwa pada umumnya kata perbuatan atau poging berarti suatu
tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai, seperti pada contoh diatas
dalam hal perbuatan menebang pohon, wujud usaha itu adalah telah berupa
mengapak tiga atau empat kali terhadap pohon yang menjadi obyek dari perbuatan
menebang tersebut, yang kemudian terhenti dan tujuannya tidak tercapai.
Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam
keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan
perbuatan atau rangkaian. Perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian
tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan
suatu jenis udang laut di air tawar, atau perobaan obat tertentu pada kera dan
sebagainya. Pengertian ini lebih jelas misalnya pada kata kebun percobaan,
kolam percobaan atau kelinci percobaan.
Di dalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian
tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging). Pasal 53 ayat (1)
KUHP tidaklah merumuskan perihal pengertian mengenai percobaan, melainkan
merumuskan tentang syarat-syarat (3 syarat) untuk dapat dipidanakannya bagi orang
yang melakukan percobaan kejahatan. Pengertian menurut tata bahasa tersebut
diatas tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari percobaan (melakukan
kejahatan) sebagaimana dalam hukum pidana. Menurut hukum pidana untuk
terjadinya percobaan (kejahatan) sehingga dapat dipidanakan mempunyai ukuran
yang khusus dan lain dari ukuran percobaan menurut arti tata bahasa.
Tentang syarat untuk dapat dipidananya pembuat percobaan kejahatan
dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) yakni, “Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri”. Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi, ialah:
1.
Adanya
niat
2.
Adanya
permulaan dan pelaksanan
3.
Pelaksanaan
tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri.[4]
Mengenai sebab mengapa undang-undang merumuskan tersendiri tentang
syarat-syarat untuk dapatnya dipidana pada percobaan kejahatan, ialah karena
menurut bunyi rumusan semua tindak pidana itu telah selesai diwujudkan, artinya
dari perbuatan yang dilakukan si pembuat semua unsur tindak pidana telah
terpenuhi. Pembentuk undang-undang merasa perlu pula membebani tanggung jawab
pidana dengan mengancam pidana pada si pembuat yang belum sepenuhnya mewujudkan
tindak pidana secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan undang-undang.
Adapun alasannya, dapat
dilihat dari 2 (dua) sudut, ialah bahwa walaupun kejahatannya itu tidak
terselesaikan secara sempurna, (1) pada orang yang mempunyai niat (voornemen)
jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut
subyektif), dan atau (2) pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa
permulaan pelaksanaan (sudut obyektif) dari suatu kejahatan, dipandang telah
membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi Undang-undang. Agar niat
jahat orang itu tidak berkembang lebih jauh dengan diwujudkan sedemikian rupa
ke dalam pelaksanaan sehingga pelaksanaan menjadi selesai sempurna, Maka dari
itu untuk pencegahannya kepada orang seperti itu telah patut diancam pidana.
Mengancam pidana pada percobaan, menurut Jonkers adalah bertujuan untuk
pemberantasan kehendak yang jahat yang ternyata dalam perbuatan-perbuatan dan
perlindungan terhadap hukum, yang diancam dengan bahaya.[5]
Untuk itu perlulah orang yang telah memenuhi syarat-syarat
percobaan kejahatan sebagaimana ditentukan undang-undang dibebani tanggung
jawab dengan memberikan ancaman pidana terhadap si pembuatnya, walaupun ancaman
pidana lebih ringan dari pada jika kejahatan itu telah diselesaikannya secara
sempurna. Andai kata tidak dirumuskan tersendiri (yang bersifat umum) seperti
pada pasal 53, sudah barang tentu si pembuat yang tidak menyelesaikan tindak
pidana (kejahatan) tidaklah dipidana.
Dari apa yang diterangkan diatas, maka tidak dapat lain bahwa
percobaan kejahatan ini bukan suatu tindak pidana (yang berdiri sendiri)
seperti pada istilah delik percobaan, akan tetapi adalah ketentuan khusus dalam
hal memperluas pembebanan pertanggung jawaban pidana, bukan saja terhadap si
pembuat tetapi dipertanggung jawaban pula dengan dipidananya bagi si pembuat yang
karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak pidana secara sempurna.
Demikian juga, percobaan bukan unsur tindak pidana, tetapi tindak pidana yang
tidak sempurna, yang pada dasarnya tidak dipidana. Tindak pidana yang tidak
sempurna tidaklah disebut sebagai tindak pidana, walaupun juga diancam pidana
sebagaimana juga tindak pidana sempurna. Dengan demikian juga percobaan bukan
perluasan arti dari tindak pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa mengenai pembebanan pertanggung jawaban
pidana (bersifat pribadi) hanyalah terhadap si pembuat yang telah
menyelesaiakan suatu tindak pidana secara sempurna sebagaimana dirumuskan
undang-undang. Prinsip ini mengandung konsekuensi ialah bahwa terhadap si
pembuat yang belum menyelesaikan tindak pidana secara sempurna sebagaimana yang
dirumuskan dalam undang-undang, tidak dibebani tanggung jawab pidana dan
karenanya tidak boleh dipidana. Misalnya dengan maksud membunuh orang yang
dibenci karena berselingkuh dengan istrinya, telah melakukan perbuatan menabrak
dengan mobil ketika musuhnya itu berjalan dijalan raya, tetapi tingkah laku itu
hanya mengakibatkan luka-luka berat saja, tanpa akibat kematian. Kejahatan yang
diinginkan si pembuat tidak selesai secara sempurna, oleh sebab akibat yang
dikehendaki dan dirumuskan oleh undang-undang yang kematian tidak timbul.
Tentulah si pembuat yang tidak selesai melakukan pembunuhan ini tidak dapat
dipidana menurut ketentuan semata-mata pasal 338, tanpa mendasarkannya pula (juncto)
pada pasal 53 (1) KUHP. Dengan merumuskan pasal 53 (1) ini maka pembebanan
pertanggungan jawab menjadi diperluas, dan dengan demikian diperluas pula
tentang dapat dipidananya si pembuat. Hal ini adalah kebaikan dari pembatasan
dapat dipidanya perbuatan, seperti pada alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden)
baik menurut rumusan undang-undang maupun diluar undang-undang (contoh
kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan secara materiil).[6]
Terkait dengan
syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan, dimuat dalam buku I bab IV
terdiri dua pasal, 53 dan 53, dalam hal ini berbeda dengan pengulangan yang
tidak mengenal ketentuan umum yang memuat dalam buku I, pasal 53 merumuskan:
(1)
Mencoba
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendak sendiri.
(2)
Maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3)
Jika
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4)
Pidana
tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.[7]
Pasal 54 merumuskan:
“mencoba melakukan
pelanggaran tindak pidana”.
Telah diterangkan
di atas bahwa apa yang dirumuskan pada pasal 53 (1) bukanlah definisi atau arti
yuridis dari percobaan kejahatan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang
syarat-syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana,
syarat-syarat itu ialah:
1.
Adanya
niat
2.
Adanya
permulaan pelaksanaan
3.
Pelaksanaan
tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Undang-undang sendiri tidak menjelaskan secara sempurna perihal
tiga syarat tersebut. Pembentuk undang-undang menyerahkannya pada praktik
hukum. Oleh sebab itu tidak heran kemudian tentang tiga syarat itu telah
menimbulkan banyak pendapat, sebagaimana nanti terlihat seperti yang akan
diutarakan dibelakang.[8]
Dari pemuatan syarat-syarat dipidanakannya percobaan kejahatan
dalam pasal 53 (1) tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Ada
percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi syarat-syarat tersebut
pasal 53 (1), dan secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang
tidak dapat dipidana, yakni jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, misalnya
pada syarat ketiga: percobaan kejahatan yang pelaksanaannya tidak selesai
disebabkan karena kehendaknya sendiri atau yang biasa disebut dengan
pengunduran diri sukarela.
2.
Disamping
itu juga ada percobaan kejahatan yang secara tegas oleh undang-undang
ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada percobaan penganiayaan
hewan (pasal 302 ayat 4), percobaan perang tanding (pasal 184 ayat 5).
3.
Percobaan
melakukan pelanggaran tindak dipidana (bahkan ditegaskan dalam pasal 54).
4.
Percobaan
kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus, dan tidak mungkin
pada tindak pidana culpa. Karena istilah niat disini adalah kesengajaan,
yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki. Sedangkan culpa
adalah sikap batin yang ceroboh atau tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan
menggunakan pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya,
sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa.
5.
Percobaan
tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab
tindak pidana omisionis unsur perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang
dengan tidak berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumannya. Sedangkan pada
percobaan kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus
berbuat.
6.
Juga
ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak
mungkin dapat terjadi percobaannya, ialah:
a.
Karena
percobaannya (yang in casu melakukan suatu perbuatan dimana niat telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 53)
dirumuskan sebagai atau merupakan kejahatan selesai, yakni kejahatan-kejahatan
maker (104,106,107 juncto 87), yaitu:
1.
104:
makar untuk maksud membubuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan
Presiden atau wakilnya memerintah.
2.
106:
makar agar maksud agar seluruh atau sebagai wilayah Indonesia jatuh ketangan
musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara.
3.
107:
makar dengan maksud menggulingkan pemerintah.
b.
Karena
unsur perbuatan yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya adalah berupa
percobaan, misalnya pasal 163 bis ayat 1, pasal 391.[9]
3. Kesalahan dan Penyertaan
A. Kesalahan
Dalam pengertian
tentang kesalahan dalam hukum pidana disini berlaku apa yang disebut asas
“Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Kaine Strafe ohne Schuld atau Geen Straf
zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa, “culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan). Dalam arti kesalahan adalah Perilaku yang tidak patut yang objektif yang
dapat dicelakan kepada pelakunya.[10]
Oleh karena itu asas kesalahan disini
diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang
dapat dicelakan kepada pelakunya. Asas kesalahan adalah asas fundamental dalam
hukum pidana. Demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam
hampir semua ajaran dan penting dalam hukum pidana.
Terkait
dengan asas kesalahan bahwasannya, asas kesalahan tidak tercantum dalam KUHP
Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang
tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang
dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat 2
Undang-undang kekuasaan kehakiman (UU.No.14/1970) berbunyi : “Tiada seorang
juapun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian
yang sah menurut uu, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat
bertangung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.[11]
Untuk adanya pemidanaan kesalahan harus ada
pada si pembuat. Asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam ilmu hukum pidana
dapat di lihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada
perbuatan orang berserta akibatnya (tatstrafrecht atau erfolgftrafrech)
kearah hukum pidana yang berpijak terhadap orang yang melakukan tindak pidana.
Selanjutnya berkaitan dengan unsur-unsur dari kesalahan, terdiri atas beberapa
unsur yaitu:
a.
Adanya kemapuan bertangung jawab pada si
pembuat
b.
Hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannya
c.
Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
Dan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan, terdakwa harus :
a.
Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan
hukum)
b.
Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
c.
Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa
kesengajaan atau kealpaan
d.
Tidak adanya alasan pemaaf.[12]
B. Penyertaan
Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan
tindak pidana terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari
ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh
maupun yang membantu suatu perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai
pembuat tindak pidana.
Menurut Van Hamel dalam Lamintang mengemukakan
ajaran mengenai penyertaan itu adalah Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum,
pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggung jawaban dan pembagian
pertanggung jawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan
undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan
tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam
suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara
material.
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan
dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat (Dader)
Pembuat atau dader diatur dalam Pasal
55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari kata daad yang
di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan. Dalam
ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu
telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat
suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa
seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
- Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum.[13]
- Yang menyuruh lakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus, dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor intellectualis. Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu.[14] Menurut Simons, syarat-syarat tersebut antara lain :
1.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti
yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari
tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
3.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun
apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang
telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur
tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak
pidana.
5.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu keadaan yang
memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu
perlawanan.
6.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan
padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak
berwenang memberikan perintah semacam itu.
7.
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu
tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau
suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang yaitu
sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.[15]
2. Pembantu (medeplichtige)
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP,
pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
1.
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara
bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat
kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen),
namun perbedaannya terletak pada :
a.
Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat
membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan
pelaksanaan.
b.
Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi
bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta
sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan
sendiri.
c.
Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana
(Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d.
Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana
yang bersangkutan dikurangi sepertiga , sedangkan turut serta dipidana sama.
2.
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang
dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan
dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya
pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah
ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan
oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggung jawaban pembuat yang
semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada
pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang
dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun
ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,
yaitu pada kasus tindak pidana :
- Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
- Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
- Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada
pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
a.
Membantu menyembunyikan barang titipan hakim
(Pasal 231 ayat (3) KUHP).
b.
Dokter yang membantu menggugurkan kandungan
(Pasal 349 KUHP).[16]
4. Kemampuan Bertanggung Jawab
1.Kemampuan Bertanggung Jawab
Dalam perumusan pengertian tindak pidana, sebagaimana juga dimuka
telah dibicarakan, ada beberapa ahli hukum memasukkan perihal kemamuan tanggung
jawab (teorekeningsvatbaarheid) ini ke dalam unsur tindak pidana. Dalam
KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab
pidana. Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana
seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan
perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan
bilamana seorang dianggap mampu bertanggung jawab dapat diartikan kebalikannya,
adalah apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang
diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Apakah dengan rumusan tentang kebalikan
dari jiwa yang mampu bertanggung jawab itu dapat dianggap bahwa setiap tindak
pidana ini harus ada unsur mampu bertanggung jawab, sebab jika tidak tentulah
terhadap orangnya karena perbuatannya tidak dapat dijatuhi pidana.
Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai mampu
bertanggung jwab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam
hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak
pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan apakah
terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab.
Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti dengan pidana kepada
pentindaknya. Tetapi ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk
menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah
diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, dan
pula haruslah dibuktikan untuk tidak dipidanakan terhadap pembuatnya.[17]
Dari sikap yang demikian itu membawa konsekuensi hukum ialah bahwa
setelah ternyata terbuktinya wujud tindak pidana, kemudian terbuktinya
petindaknya tidak mampu bertanggung jawab pidana, maka amar putusan hakim
adalah berisi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum, dan bukan pembebasan
karena tindak pidana terbukti telah diwujudkan, namun adanya alasan pemaaf
(tidak mampu bertanggung jawab). Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung
jawab sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 (1) KUHP, yakni (1) karena
jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau (2) jiwanya terganggu karena penyakit.
Orang dalam keadaan jiwa demikian. Bila melakukan tindak pidana tidak boleh
dipidana.
Adapun mengapa pembentuk UU merumuskan dengan cara demikian,
artinya menyebutkan keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan
merumuskan tentang bagaimana keadaan jiwa yang mampu bertanggung jawab? Mengenai hal ini dapat diketahui dari
sejarah pembentukan WvS Belanda mengenai rumusan pasal 44 tersebut, dimana
pembentuk UU mengambil sikap sebagai prinsip ialah “bahwa setiap orang itu
harus dianggap mampu bertanggung jawab”. Dengan berpegang pada prinsip itu,
maka setelah terjadinya tindak pidana, apabila ada keraguan tentang keadaan
jiwa petindaknya artinya keraguan tentang kemampuan bertanggung jawab ini
justru yang harus dibuktikan, agar orangnya tidak dipidana. Jadi dalam hal ini
yang harus dibuktikan adalah tentang ketidakmampuan bertanggung jawab pidana
dan bukan sebaliknya tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Hal ini
dimaksudkan agar putusan hakim benar-benar mencapai derajat keadilan yang
setinggi-tingginya.
D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh
orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki
oleh orang yang sehat rohaninya, yang mempunyai pandangan normal, yang dapat
menerima secara normal pandangan-pandangan dengan yang dihadapkan yang dibawah
pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang
normal pula. Untuk menjelaskan hal bilamana terdapatnya kemampuan bertanggung
jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu:[18]
a.
Cara
pertama, yakni dengan berdasarkan dan atau mengikut dari rumusan pasal 44 (1)
tadi. Dari pasal 44 (1) KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya
berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan
tentang dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab. Dengan berpikir
sebaliknya, maka orang yang mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya
(berwujud tindak pidana) adalah apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa
sebagaimana yang dinyatakan oleh pasal 44 (1), artinya bila jiwannya tidak
cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwaanya tidak terganggu karena penyakit,
demikian itulah orang yang mampu bertanggung jawab.
b.
Kedua
dengan tidak menghubungkannya dengan normal pasal 44 (1), dengan mengikuti
pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggung jawab itu ada 3
syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.
Keadaan
jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai
kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang akan ia (akan)
lakukan.
2.
Keadaan
jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk
dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya.
3.
Keadaan
jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, mengisyafi
bahwa perbuatan yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yag tercela,
kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata
susila.[19]
C. Analisis
Kronologi Kasus
Berdasarkan
kronologi kasus diatas bahwasannya pembunuhan tersebut dilakukan oleh ibu (anak
korban pembunuhan) dan dua cucu korban. pembunuhan tersebut dilakukannya dengan
alasan bahwasannya mereka (ibu dan kedua anaknya) tertarik memiliki perhiasan
yang dimiliki oleh si korban yaitu Sofiatun
dan hasil dari
penjualan perhiasan tersebut ia gunakan untuk mengangsur kredit motor yang
belum ia bayar, dan dikarenakan suaminya yang bekerja di Bali tidak juga
mengirim uang saku kepadanya.
Dan berdasarkan
kronologi kasus diatas bahwasannya pembunuhan tersebut bukan rimayah seorang
saja, melainkan pembunuhan tersebut dilakukannya dengan mengajak kedua anaknya
yang masih dibawah umur, mereka adalah Baharudin Hariadi (14) dan Agus Harianto
(11). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan kronologi kasus diatas yaitu,
“Seorang ibu terbukti membunuh seorang nenek, dan yang mengejutkan, si ibu itu
mengajak dua anaknya yang masih di bawah umur turut serta”. Dan pembunuhan yang
dilakukan rimayah beserta kedua anaknya tersebut ternyata dilakukannya dengan
rencana terkebih dahulu, atau bisa dikatakan pembunuhan tersebut bisa dikatakan
sebagai pembunuhan berencana, hal tersebut sesuai dengan pernyataan didalam
kronologi kasus diatas yaitu, “ Awalnya, Baharudin, anak Rimayah yang sudah
memiliki rencana bersama ibu dan adiknya memanggil korban dengan cara
memberinya sebuah jam dinding. Tanpa curiga, nenek renta itu tertarik, dan
memenuhi panggilan untuk datang ke rumah pelaku yang hanya berjarak beberapa
meter saja. Tiba di rumah pelaku, korban diajak Baharudin masuk ke kamarnya.
Saat itu, Rimayah sudah menunggu bersama Harianto. Korban pun langsung disambut
dengan bekapan tangan ke mulutnya. Dengan sadis, Rimayah mencekik leher korban
dengan jarinya, kemudian Harianto mengikat leher korban dengan tali rafia yang
memang sudah dipersiapkan. Kondisi tubuhnya yang memang sudah renta, membuat
korban hanya mampu pasrah. Tidak bertahan lama, jantung nenek renta itu
berhenti berdetak.”
Jadi dapat
disimpulkan bahwasannya pembunuhan yang dilakukan oleh rimayah tersebut
dilakukan bersama anaknya yang masih dibawah umur yang berarti hal ini masuk
dalam hal atau bab penyertaan dalam hukum pidana dan pembunuhan yang dilakukan
bersama kedua anaknya tersebut masuk dalam hal pembunuhan berencana.
Terkait pernyataan
diatas bahwasannya menurut Van Hamel dalam Lamintang, penyertaan itu adalah
Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran
mengenai pertanggung jawaban dan pembagian pertanggung jawaban, yakni dalam hal
dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat
dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya
telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu
baik secara psikis (intelektual) maupun secara material. Pengaturan mengenai
penyertaan dalam melakukan tindak pidana
terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam
KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu
suatu perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana dan
berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian
besar, yaitu pembuat dan pembantu. Terkait dengan pembuat (dader) diatur
dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu sendiri yaitu sebagai hal
melakukan atau sebagai tindakan. Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa
seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat
itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang
adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat
atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari
:
a. Pelaku
(pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap
orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti
yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa
adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang
tersebut tetap dapat dihukum.
b. Yang
menyuruh lakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang
middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku
tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak
secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan
perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung
atau manus ministra/auctor physicus, dan pembuat tidak langsung atau manus
domina/auctor intellectualis. Untuk adanya suatu doenplagen seperti
yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh
melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu.
Kembali kepada
kronologi kasus bahwasannya perbuatan pembunuhan yang dilakukan rimayah
tersebut masuk pada pasal 55 KUHP yaitu:
(1) Dipidana
sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
Ke-1 : Mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan.
Ke-2 : Mereka
dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
(2) Terhadap
penganjur hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Dapat
disimpulkan bahwasannya rimayah (pelaku) disini termasuk sebagai dader
atau pembuat suatu tindakan pidana baik itu sebagai pelaku (pleger) dan
sebagai yang menyuruh lakukan (doenpleger), dikarenakan rimayah telah
mengajak atau menyuruh kedua anaknya yang masih dibawah umur untuk membantu
membunuh si korban, dan pelaku (rimayah) saat melakukan tindakannya tersebut
dilakukannya dengan sengaja dan mengetahui apa yang dilakukannya dengan dalih
untuk mendapatkan perhiasan milik korban dan digunakan untuk membayar kredit
motor. Dan oleh karena itu terkait dengan unsur kesengajaan yang dilakukan oleh
pelaku (rimayah) tersebut, bahwasannya didalam kesengajaan dalam hukum pidana
merupakan bagian dari kesalahan dan petunjuk untuk dapat mengetahui arti
kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu pidana
pada umumnya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang
dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Dalam pengertian ini disebutkan
bahwa kesengajaan diartikan sebagai, “menghendaki dan mengetahui” (willens
en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan
sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan atau
akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan
mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja
menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang
apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul dari padanya.
Dan perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku (rimayah) tersebut dilakukannya dengan unsur
kesengajaan (menghendaki dan mengetahui atau willens en wetens), dengan
dalih untuk mendapatkan perhiasan milik korban dan digunakan untuk membayar
kredit motor tersebut, maka perbuatan yang dilakukan oleh rimayah beserta
anaknya tersebut masuk dalam pasal 338 KUHP yang berbunyi,”barang siapa sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”.
Dan sesuai
dengan pernyataan diatas bahwasannya perbuatan yang dilakukan oleh rimayah
beserta anaknya tersebut juga masuk kedalam pasal tentang pembunuhan berencana,
yaitu pasal 340 KUHP yang berbunyi “barang siapa sengaja dan dengan rencana
lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan
rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Selanjutnya
terkait dengan penyertaan atau pembantuan yang dilakukan oleh kedua anak
rimayah tersebut telah diatur dalam pasal 56 KUHP, bahwasannya pembantuan ada 2
(dua) jenis, yaitu :
1. Pembantuan
pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan
dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut
serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
a.
Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat
membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
b.
Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi
bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta
sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan
sendiri.
c.
Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana
(Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d.
Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana
yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
2. Pembantuan
sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan,
sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat
materiil sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan
dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materil
ditimbulkan oleh si penganjur.
Dan terkait
dengan pernyataan diatas bahwasannya pembantuan yang dilakukan oleh anak
rimayah (pelaku) tersebut termasuk dalam pembantuan poin pertama yaitu
pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Terkait dengan cara bagaimana
pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan
ini mirip dengan turut serta (medeplegen) dan perbuatan atau kejadian
seperti ini dalam KUHP telah diatur dalam pasal 56 yang berbunyi:
“Dipidana
sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan:
Ke-1 : mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka
yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Dan terkait
dengan hukuman yang diterima atas pembantuannya (penyertaannya) dalam
pembunuhan tersebut, telah diatur dalam pasal 57 yang berbunyi:
(1) Dalam hal
pembantuan, maksimum pidana pokok
terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana
tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam
menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Terlepas dari
beberapa peraturan pasal KUHP yang telah disebutkan diatas tadi, bahwasannya
pembantu pembunuhan yang dilakukan oleh rimayah tersebut masih belum cakap
hukum atau dalam istilah KUHP disebut belum cukup umur (minderjarig),
pelaku penyertaan atau pembantuan tersebut dilakukan oleh Baharudin Hariadi berumur 14 tahun dan Agus Harianto berumur 11 tahun, yang tentunya
pembantuan yang dilakukan oleh anak rimayah tersebut tidak bisa dihukum seperti
orang biasa (tidak gila) dan atau seperti orang dewasa pada umumnya karena umur
mereka masih dibawah enam belas tahun. Oleh karena itu dalam KUHP telah
mengatur bahwasannaya apabila suatu tindakan pidana tersebut dilakukan oleh
anak yang belum cukup umur maka terdapat hal-hal peringan bahkan dihapuskannya hukuman
tersebut, hal tersebut telah diatur dalam KUHP pasal 45 yang berbunyi:
“Dalam menuntut
orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan
sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat dapat menentukan:
Memerintahkan
supaya yang bersalah di kembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharaannya, tanpa pidana apa pun atau memerintahkan supaya yang bersalah
diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu jika perbuatan
merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492,
496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat
dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidana.
Dan diatur juga
dalam pasal 46 (1) yang berbunyi:
“Jika hakim
menjatuhkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka dimasukkan
dalam rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau
di kemudian hari dengan cara lain atau diserahkan kepada seorang tertentu atau
kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal untuk menyelenggarakan
pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara
lain dalam kedua hal di atas paling lama sampai umur delapan belas tahun.”
Dari beberapa
penjelasan atau pemaparan undang-undang diatas dapat disimpulkan bahwasannya si
pembantu pembunuhan atau penyertaan yang dilakukan oleh kedua anak rimayah
tersebut masuk dalam kategori di bawah umur (belum cukup umur) dimana keduanya
tidak dapat dijatuhi hukuman secara penuh, akan tetapi pelaku penyertaan ini
dapat dihukum sesuai dengan pasal diatas yaitu dengan hukuman:
1.Dikembalikan
kepada orangtuanya tanpa pidana apapun.
2.Diserahkan
kepada pemerintah sampai batas anak berumur 18 tahun.
3.Dipidana
dengan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga.
4. Mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah
atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat
pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan (undang-undang nomor 11 tahun
2012 tentang sistem peradilan pidana anak).
5.Menurut undang-undang
nomor 3 tahun 1997 terdapat pembagian pidana untuk anak yaitu:
a.Usia 8-12
tahun diadakan pengawasan kepada sang anak.
b.Usia 12-18
tahun dapat dipidana namun dikurangi setengah.
Dan kedua
pelaku penyertaan pembunuhan tersebut yaitu Baharudin Hariadi berumur 14 tahun
dan adiknya Agus Herianto berumur 11 tahun, masuk dalam kategori di bawah umur
yang mana keduanya tidak dapat dijatuhi hukuman secara penuh seperti orang
dewasa dan atau orang cakap hukum pada umumnya, akan tetapi bisa menggunakan
beberapa opsi atau pilihan sesuai dengan peraturan KUHP yaitu pasal 45 dan 46
salah satunya yaitu dikembalikan kepada orang tuanya atau dibina di panti
sosial (pansos), didalam panti asuan tersebut pelaku dibina, diberi arahan
serta di didik sesuai etika dan norma yang berlaku di masyarakat.
Dan dalam
peraturan tentang peradilan anak yang terbaru yaitu undang-undang nomor 11
tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, bahwasannya hukuman yang
dijatuhkan kepada kedua anak yang membunuh neneknya tersebut tidak jauh berbeda
dengan KUHP maupun undang-undang nomor 3 tahun 1997. Dengan berpedoman dengan
undang-undang nomor 11 tahun 2012 tersebut maka pelaku penyertaan pembunuhan
yang dilakukan oleh dua anak tersebut berbeda dalam perlakuannya walaupun tidak
jauh berbeda. Seperti Agus Herianto yang berumur 11 tahun, dikarenakan umur
Agus Herianto masih 11 tahun maka masuk dalam pasal 21 yang berisi:
(1) Dalam hal
Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
mengambil keputusan untuk:
a.menyerahkannya
kembali kepada orang tua/Wali; atau
b.mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah
atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(3) Bapas wajib
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal
hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan,
dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Instansi
pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap
bulan.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan
Baharudin Hariadi yang berumur berumur 14 tahun, berarti masuk dalam pasal
Pasal 20, karena Baharudin Hariadi tersebut memiliki umur diatas 12 tahun
(pasal 21 seperti diatas tidak berlaku lagi) dan dibawah 18 tahun. Pasal 20
tersebut berbunyi, “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap
berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak
yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak”.
Terkait dengan putusan atau vonis yang dijatuhkan hakim, bahwasannya hal
tersebut tetap berpedoman bahwa yang divonis tersebut masih belum cukup umur
atau masih anak-anak maka dari itu hukumannya dalam realita biasanya tidak jauh
berbeda dengan pasal 45 dan 46 atau pasal 21 undang-undang nomor 11 tahun 2012
tentang sistem peradilan pidana anak, atau tergantung keputusannya, akan tetapi
majelis hakim dalam mengeluarkan putusannya tersebut harus tetap melihat
bahwasannya putusan yang dikeluarkannya tersebut ditujukan terhadap terdakwa
dibawah umur atau dalam istilah KUHP belum cukup umur.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa
penjelasan di atas baik itu dari kronologi kasus, konsep hukum pidana (kajian
pustaka) maupun dari analisis kronologi kasus bahwasannya kasus tersebut
menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu yang mengajak
kedua anaknya untuk menghabisi atau membunuh neneknya sendiri. pembunuhan
tersebut dilakukannya dengan alasan bahwa mereka tertarik memiliki perhiasan
yang dimiliki oleh si korban (sofiatun) dan hasil dari penjualan perhiasan
tersebut ia gunakan untuk mengangsur kredit motor yang belum ia bayar, dan
dikarenakan suaminya yang bekerja di Bali tidak juga mengirim uang saku
kepadanya. Oleh karena itu mereka melakukan perbuatan yang keji tersebut kepada
anggota keluarganya. Dari beberapa analisis yang saya lakukan diatas bahwasanya
hukuman atau pasal-pasal dan atau kemampuan bertanggung jawab baik itu antara
ibu dan kedua anaknya berbeda, karena seorang anak kecil hukumannya berbeda
dengan orang dewasa (tidak gila). Terkait dengan hukuman yang di terima oleh
rimayah bahwasannya rimayah di sini dikategorikan sebagai pembuat (dader),
perbuatan pembunuhan yang dilakukan rimayah tersebut masuk pada pasal 55
KUHP ayat 1 yaitu dipidana sebagai
pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana. Dan perbuatan yang dilakukan
rimayah tersebut juga masuk kedalam pasal tentang pembunuhan berencana, yaitu
pasal 340 KUHP yang berbunyi “barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”.
Terkait dengan
penyertaan yang dilakukan oleh kedua anak rimayah tersebut, bahwasannya kedua
anak rimayah tersebut yaitu Baharudin Hariadi
berumur 14 tahun dan Agus Harianto berumur 11 tahun tidak dapat
dihukum sesuai dengan pasal KUHP tentang penyertaan diatas, dikarenakan mereka
belum cukup umur, oleh karena itu mereka (anak rimayah) sesuai peraturan KUHP
yaitu pasal 45, 46, dan undang-undang nomor 3 tahun 1997 serta undang-undang
nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, bahwasannya anak
rimayah tersebut dapat dijerat atas tindakannnya tersebut dengan beberapa opsi
yaitu:
1.Dikembalikan
kepada orangtuanya tanpa pidana apapun.
2.Diserahkan
kepada pemerintah sampai batas anak berumur 18 tahun.
3.Dipidana
dengan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga.
4.Mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah
atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan (undang-undang nomor 11
tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak).
5.Menurut
Undang-undang nomor 3 tahun 1997 terdapat pembagian pidana untuk anak yaitu:
a.Usia 8-12
tahun diadakan pengawasan kepada sang anak.
b.Usia 12-18
tahun dapat dipidana namun dikurangi setengah.
Itulah beberapa
pertanggungjawaban hukum yang ditanggung pelaku atas perbuatannya, baik itu si
pembuat (dader) yaitu rimayah dan si pembantu (penyertaan) yaitu Baharudin Hariadi berumur 14 tahun dan Agus Harianto berumur 11 tahun, mereka di
jerat hukuman sesuai degan perbuatan yang ia lakukan dan sesuai dengan
kemampuan tanggungjawab hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Sahetapy,
J.E.2009.Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Malang:
Setara Press.
Chazawi,
Adami.2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana,
Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana).Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Chazawi,
Adami.2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan).Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah,
Andi.1994.Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta.
Zaenal Abidin,
Andi.1983.Hukum Pidana I.Jakarta: Sinar Grafika.
http://nasional.inilah.com/read/detail/424252/ibu-ajak-dua-bocahnya-bunuh-nenek.
Di akses Tanggal 4 Desember 2014.
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/.html. Diakses Tanggal 4 Desember 2014.
[1] http://nasional.inilah.com/read/detail/424252/ibu-ajak-dua-bocahnya-bunuh-nenek.
Di akses Tanggal 4 Desember 2014.
[2] J.E.Sahetapy,Ancaman
Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Malang: Setara Press,2009),
h.14
[3] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.1
[4] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.3
[5] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.4
[6] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.6
[8] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.7
[9] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.9
[10] Andi Zaenal Abidin,Hukum Pidana I,(Jakarta:
Sinar Grafika,1983), h.49
[11] Hamzah, Andi Hamzah,Hukum Pidana,(Jakarta: Rineka
Cipta,1994), h.11
[12] Hamzah, Andi Hamzah,Hukum Pidana,(Jakarta: Rineka
Cipta,1994), h.12
[13] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.82
[14] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.85
[15] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2002), h.92
[16] http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/.
Diakses Tanggal 4 Desember 2014.
[17] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.143
[18] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.145
[19] Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.145
No comments:
Post a Comment