Saturday, 31 January 2015

ANALISIS KASUS TENTANG “IBU MENGAJAK DUA ANAKNYA MEMBUNUH NENEKNYA SENDIRI”



ANALISIS KASUS TENTANG
“IBU MENGAJAK DUA ANAKNYA MEMBUNUH NENEKNYA SENDIRI”
(Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Hukum Pidana)
Dosen Pengampu:
Dr. H.Saifullah,SH., M.H

Oleh:
Moh. Koirul Anam     (12220104)



JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014






PEMBAHASAN


A.Kronologi Kasus
INILAH.COM, Kediri-Seorang ibu terbukti membunuh seorang nenek. Yang mengejutkan, si ibu itu mengajak dua anaknya yang masih di bawah umur turut serta.
Kasus pembunuhan ini menimpa Sofiatun (70). Nenek renta itu dibunuh kemudian dimasukkan karung dan dibuang ke sungai. Satuan Reskrim Polres Kediri berhasil membekuk tiga pelaku yang masih memiliki hubungan keluarga dengan korban.
Mereka, Rimayah (32), keponakan korban dan dua orang anaknya yang masih di bawah umur, Baharudin Hariadi (14) dan Agus Harianto (11). Rinayah dan Sofiatun tinggal beberapa meter di Dusun Bulurejo, Desa/Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri.
Kapolres Kediri AKBP Benyamin MM mengatakan, penangkapan ketiga pelaku berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan petugas. Ketiganya telah mengakui perbuatannya, kini tengah menjalani pemeriksaan, ujar AKBP Benyamin, Sabtu (27/3).
Dalam proses penyelidikan, polisi sempat terkecoh. Pasalnya, alat bukti berupa sebuah perhiasan emas milik korban ditemukan di balik tempat tidur milik anaknya, Sopingi. Namun, berkat kejelian petugas dalam melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dari kalangan keluarga, akhirnya diketahui bahwa pelaku utama pembunuhan adalah Rimayah. Rimayah juga dengan sengaja menyelipkan perhiasan itu ke tempat tidur Sopingi. Tiba giliran Rimayah, kami terus mengorek keterangan. Dengan segala alibi yang disampaikan tersebut, akhirnya malah membuatnya terdesak untuk mengakui, terang AKBP Benyamin.
Yang mengejutkan, dua anak Rimayah yang masih di bawah umur terlibat dalam aksi kejahatan itu. Dengan polos keduanya mengaku telah membunuh korban secara sadis.
Di hadapan petugas akhirnya mereka berterus terang dengan segala yang telah diperbuat terhadap korban.
Dari keterangan pelaku, Sabtu (20/3) sekitar 12.00 WIB merupakan hari terakhir Sofiatun menghirup napasnya. Awalnya, Baharudin Hariadi, anak Rimayah yang sudah memiliki rencana bersama ibu dan adiknya memanggil korban dengan cara memberinya sebuah jam dinding.
Tanpa curiga, nenek renta itu tertarik, dan memenuhi panggilan untuk datang ke rumah pelaku yang hanya berjarak beberapa meter saja. Tiba di rumah pelaku, korban diajak Baharudin Hariadi masuk ke kamarnya. Saat itu, Rimayah sudah menunggu bersama Agus Harianto. Korban pun langsung disambut dengan bekapan tangan ke mulutnya.
Dengan sadis, Rimayah mencekik leher korban dengan jarinya, kemudian Agus Harianto mengikat leher korban dengan tali rafia yang memang sudah dipersiapkan. Kondisi tubuhnya yang memang sudah renta, membuat korban hanya mampu pasrah. Tidak bertahan lama, jantung nenek renta itu berhenti berdetak.
Rimayah berusaha memastikan targetnya benar-benar sudah mati. Kemudian Rimayah melucuti pakaian korban, dan memasukkan ke dalam dua buah karung bekas pupuk merek Daun Buah. Karung itu dijahit olehnya. Rimayah kemudian mengambil harta korban yang jumlahnya mencapai Rp 5 juta.
Setelah menunggu malam, Rimayah dan anaknya kembali beraksi. Tepat pukul 22.00 WIB, mereka membawa jenazah korban di dalam karung itu ke sungai yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya dengan menggunakan sepeda motor Honda Revo.
Mereka membuang jenazah korban ke sungai, sampai akhirnya ditemukan esok harinya. Di hadapan petugas, Rimayah mengaku tega membunuh karena tertarik perhiasan yang dimiliki. Rimayah mengaku telah merencanakan aksi pembunuhan itu dengan anak-anaknya karena mereka tengah diburu angsuran sepeda motor yang dibelinya secara kredit. Bulan Maret ini kami belum bisa bayar. Angsuran motor saya Revo setiap bulannya sebesar Rp 515 ribu. Sementara suami saya bekerja di Bali tidak juga kirim uang saku.[1]

B. Konsep Hukum Pidana (Kajian Pustaka)

1.Pembunuhan Berencana
Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338 KUHP (barang siapa sengaja merampass nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belass tahun), akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.
Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pasal 338 itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana seperti yang terdapat pada KUHP pasal 340 yaitu barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merapas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama tujuh tahun.
Jadi pelaksanan itu ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencanakan dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu. Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi didalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya.
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung tiga unsur atau syarat yaitu :
a.       Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.
b.      Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.
c.       Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Selanjutnya mengenai pembunuhan berencana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a). Unsur Subyektif
a.       Dengan sengaja
b.      Dengan rencana terlebih dahulu
b).  Unsur Obyektif
a.       Perbuatan        : menghilangkan nyawa.
b.      Obyeknya        : nyawa orang lain

Terkait sanksi pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana Berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana, Pasal 340 disebutkan  bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.[2]

2. Percobaan Pembunuhan
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Dari apa yang diterangkan diatas, kiranya ada dua arti percobaan. Pertama, tentang apa maksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai membuat (untuk mencapai tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang. Misalnya lagi baru tiga atau empat kali mengapak, kapaknya patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.[3]
Pengertian pertama ini tampak apa yang dikatakan oleh Wirjono Prodjodinoro, bahwa pada umumnya kata perbuatan atau poging berarti suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai, seperti pada contoh diatas dalam hal perbuatan menebang pohon, wujud usaha itu adalah telah berupa mengapak tiga atau empat kali terhadap pohon yang menjadi obyek dari perbuatan menebang tersebut, yang kemudian terhenti dan tujuannya tidak tercapai.
Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian. Perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau perobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya. Pengertian ini lebih jelas misalnya pada kata kebun percobaan, kolam percobaan atau kelinci percobaan.
Di dalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging). Pasal 53 ayat (1) KUHP tidaklah merumuskan perihal pengertian mengenai percobaan, melainkan merumuskan tentang syarat-syarat (3 syarat) untuk dapat dipidanakannya bagi orang yang melakukan percobaan kejahatan. Pengertian menurut tata bahasa tersebut diatas tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari percobaan (melakukan kejahatan) sebagaimana dalam hukum pidana. Menurut hukum pidana untuk terjadinya percobaan (kejahatan) sehingga dapat dipidanakan mempunyai ukuran yang khusus dan lain dari ukuran percobaan menurut arti tata bahasa.
Tentang syarat untuk dapat dipidananya pembuat percobaan kejahatan dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) yakni, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi, ialah:
1.      Adanya niat
2.      Adanya permulaan dan pelaksanan
3.      Pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri.[4]
Mengenai sebab mengapa undang-undang merumuskan tersendiri tentang syarat-syarat untuk dapatnya dipidana pada percobaan kejahatan, ialah karena menurut bunyi rumusan semua tindak pidana itu telah selesai diwujudkan, artinya dari perbuatan yang dilakukan si pembuat semua unsur tindak pidana telah terpenuhi. Pembentuk undang-undang merasa perlu pula membebani tanggung jawab pidana dengan mengancam pidana pada si pembuat yang belum sepenuhnya mewujudkan tindak pidana secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan undang-undang.
 Adapun alasannya, dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, ialah bahwa walaupun kejahatannya itu tidak terselesaikan secara sempurna, (1) pada orang yang mempunyai niat (voornemen) jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut subyektif), dan atau (2) pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa permulaan pelaksanaan (sudut obyektif) dari suatu kejahatan, dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi Undang-undang. Agar niat jahat orang itu tidak berkembang lebih jauh dengan diwujudkan sedemikian rupa ke dalam pelaksanaan sehingga pelaksanaan menjadi selesai sempurna, Maka dari itu untuk pencegahannya kepada orang seperti itu telah patut diancam pidana. Mengancam pidana pada percobaan, menurut Jonkers adalah bertujuan untuk pemberantasan kehendak yang jahat yang ternyata dalam perbuatan-perbuatan dan perlindungan terhadap hukum, yang diancam dengan bahaya.[5]
Untuk itu perlulah orang yang telah memenuhi syarat-syarat percobaan kejahatan sebagaimana ditentukan undang-undang dibebani tanggung jawab dengan memberikan ancaman pidana terhadap si pembuatnya, walaupun ancaman pidana lebih ringan dari pada jika kejahatan itu telah diselesaikannya secara sempurna. Andai kata tidak dirumuskan tersendiri (yang bersifat umum) seperti pada pasal 53, sudah barang tentu si pembuat yang tidak menyelesaikan tindak pidana (kejahatan) tidaklah dipidana.
Dari apa yang diterangkan diatas, maka tidak dapat lain bahwa percobaan kejahatan ini bukan suatu tindak pidana (yang berdiri sendiri) seperti pada istilah delik percobaan, akan tetapi adalah ketentuan khusus dalam hal memperluas pembebanan pertanggung jawaban pidana, bukan saja terhadap si pembuat tetapi dipertanggung jawaban pula dengan dipidananya bagi si pembuat yang karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak pidana secara sempurna. Demikian juga, percobaan bukan unsur tindak pidana, tetapi tindak pidana yang tidak sempurna, yang pada dasarnya tidak dipidana. Tindak pidana yang tidak sempurna tidaklah disebut sebagai tindak pidana, walaupun juga diancam pidana sebagaimana juga tindak pidana sempurna. Dengan demikian juga percobaan bukan perluasan arti dari tindak pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa mengenai pembebanan pertanggung jawaban pidana (bersifat pribadi) hanyalah terhadap si pembuat yang telah menyelesaiakan suatu tindak pidana secara sempurna sebagaimana dirumuskan undang-undang. Prinsip ini mengandung konsekuensi ialah bahwa terhadap si pembuat yang belum menyelesaikan tindak pidana secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang, tidak dibebani tanggung jawab pidana dan karenanya tidak boleh dipidana. Misalnya dengan maksud membunuh orang yang dibenci karena berselingkuh dengan istrinya, telah melakukan perbuatan menabrak dengan mobil ketika musuhnya itu berjalan dijalan raya, tetapi tingkah laku itu hanya mengakibatkan luka-luka berat saja, tanpa akibat kematian. Kejahatan yang diinginkan si pembuat tidak selesai secara sempurna, oleh sebab akibat yang dikehendaki dan dirumuskan oleh undang-undang yang kematian tidak timbul. Tentulah si pembuat yang tidak selesai melakukan pembunuhan ini tidak dapat dipidana menurut ketentuan semata-mata pasal 338, tanpa mendasarkannya pula (juncto) pada pasal 53 (1) KUHP. Dengan merumuskan pasal 53 (1) ini maka pembebanan pertanggungan jawab menjadi diperluas, dan dengan demikian diperluas pula tentang dapat dipidananya si pembuat. Hal ini adalah kebaikan dari pembatasan dapat dipidanya perbuatan, seperti pada alasan-alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgronden) baik menurut rumusan undang-undang maupun diluar undang-undang (contoh kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan secara materiil).[6]
            Terkait dengan syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan, dimuat dalam buku I bab IV terdiri dua pasal, 53 dan 53, dalam hal ini berbeda dengan pengulangan yang tidak mengenal ketentuan umum yang memuat dalam buku I, pasal 53 merumuskan:
(1)   Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri.
(2)   Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3)   Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4)   Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.[7]

Pasal 54 merumuskan:
            “mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana”.
            Telah diterangkan di atas bahwa apa yang dirumuskan pada pasal 53 (1) bukanlah definisi atau arti yuridis dari percobaan kejahatan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang syarat-syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu ialah:
1.      Adanya niat
2.      Adanya permulaan pelaksanaan
3.      Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Undang-undang sendiri tidak menjelaskan secara sempurna perihal tiga syarat tersebut. Pembentuk undang-undang menyerahkannya pada praktik hukum. Oleh sebab itu tidak heran kemudian tentang tiga syarat itu telah menimbulkan banyak pendapat, sebagaimana nanti terlihat seperti yang akan diutarakan dibelakang.[8]
Dari pemuatan syarat-syarat dipidanakannya percobaan kejahatan dalam pasal 53 (1) tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi syarat-syarat tersebut pasal 53 (1), dan secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat dipidana, yakni jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, misalnya pada syarat ketiga: percobaan kejahatan yang pelaksanaannya tidak selesai disebabkan karena kehendaknya sendiri atau yang biasa disebut dengan pengunduran diri sukarela.
2.      Disamping itu juga ada percobaan kejahatan yang secara tegas oleh undang-undang ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada percobaan penganiayaan hewan (pasal 302 ayat 4), percobaan perang tanding (pasal 184 ayat 5).
3.      Percobaan melakukan pelanggaran tindak dipidana (bahkan ditegaskan dalam pasal 54).
4.      Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus, dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa. Karena istilah niat disini adalah kesengajaan, yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki. Sedangkan culpa adalah sikap batin yang ceroboh atau tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya, sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa.
5.      Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab tindak pidana omisionis unsur perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumannya. Sedangkan pada percobaan kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus berbuat.
6.      Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaannya, ialah:
a.       Karena percobaannya (yang in casu melakukan suatu perbuatan dimana niat telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 53) dirumuskan sebagai atau merupakan kejahatan selesai, yakni kejahatan-kejahatan maker (104,106,107 juncto 87), yaitu:
1.      104: makar untuk maksud membubuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau wakilnya memerintah.
2.      106: makar agar maksud agar seluruh atau sebagai wilayah Indonesia jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara.
3.      107: makar dengan maksud menggulingkan pemerintah.
b.      Karena unsur perbuatan yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya adalah berupa percobaan, misalnya pasal 163 bis ayat 1, pasal 391.[9]

3. Kesalahan dan Penyertaan
A. Kesalahan

            Dalam  pengertian tentang kesalahan dalam hukum pidana disini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Kaine Strafe ohne Schuld atau Geen Straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa, “culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan). Dalam arti kesalahan adalah Perilaku yang tidak patut yang objektif yang dapat dicelakan kepada pelakunya.[10]
            Oleh karena itu asas kesalahan disini diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya. Asas kesalahan adalah asas fundamental dalam hukum pidana. Demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran dan penting dalam hukum pidana.
            Terkait dengan asas kesalahan bahwasannya, asas kesalahan tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang kekuasaan kehakiman (UU.No.14/1970) berbunyi : “Tiada seorang juapun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut uu, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertangung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.[11]
            Untuk adanya pemidanaan kesalahan harus ada pada si pembuat. Asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam ilmu hukum pidana dapat di lihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya (tatstrafrecht atau erfolgftrafrech) kearah hukum pidana yang berpijak terhadap orang yang melakukan tindak pidana. Selanjutnya berkaitan dengan unsur-unsur dari kesalahan, terdiri atas beberapa unsur yaitu:

a.       Adanya kemapuan bertangung jawab pada si pembuat
b.      Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya
c.       Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan

           Dan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan, terdakwa harus :

a.       Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b.      Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
c.       Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
d.      Tidak adanya alasan pemaaf.[12]


B. Penyertaan
Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana  terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana.
Menurut Van Hamel dalam Lamintang mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggung jawaban dan pembagian pertanggung jawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material.
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat (Dader)
Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan. Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
  1. Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum.[13]
  2. Yang menyuruh lakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus, dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor intellectualis. Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu.[14] Menurut Simons, syarat-syarat tersebut antara lain :
1.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
3.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.
5.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
7.      Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.[15]
2. Pembantu (medeplichtige)
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
1.      Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :

a.       Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
b.      Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
c.       Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d.      Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga , sedangkan turut serta dipidana sama.

2.      Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggung jawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
  1. Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
  2. Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
  3. Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
a.       Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
b.      Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).[16]

4. Kemampuan Bertanggung Jawab

1.Kemampuan Bertanggung Jawab
Dalam perumusan pengertian tindak pidana, sebagaimana juga dimuka telah dibicarakan, ada beberapa ahli hukum memasukkan perihal kemamuan tanggung jawab (teorekeningsvatbaarheid) ini ke dalam unsur tindak pidana. Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan bilamana seorang dianggap mampu bertanggung jawab dapat diartikan kebalikannya, adalah apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Apakah dengan rumusan tentang kebalikan dari jiwa yang mampu bertanggung jawab itu dapat dianggap bahwa setiap tindak pidana ini harus ada unsur mampu bertanggung jawab, sebab jika tidak tentulah terhadap orangnya karena perbuatannya tidak dapat dijatuhi pidana.
Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai mampu bertanggung jwab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti dengan pidana kepada pentindaknya. Tetapi ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab, dan pula haruslah dibuktikan untuk tidak dipidanakan terhadap pembuatnya.[17]
Dari sikap yang demikian itu membawa konsekuensi hukum ialah bahwa setelah ternyata terbuktinya wujud tindak pidana, kemudian terbuktinya petindaknya tidak mampu bertanggung jawab pidana, maka amar putusan hakim adalah berisi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum, dan bukan pembebasan karena tindak pidana terbukti telah diwujudkan, namun adanya alasan pemaaf (tidak mampu bertanggung jawab). Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 (1) KUHP, yakni (1) karena jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau (2) jiwanya terganggu karena penyakit. Orang dalam keadaan jiwa demikian. Bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.
Adapun mengapa pembentuk UU merumuskan dengan cara demikian, artinya menyebutkan keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan merumuskan tentang bagaimana keadaan jiwa yang mampu bertanggung jawab?     Mengenai hal ini dapat diketahui dari sejarah pembentukan WvS Belanda mengenai rumusan pasal 44 tersebut, dimana pembentuk UU mengambil sikap sebagai prinsip ialah “bahwa setiap orang itu harus dianggap mampu bertanggung jawab”. Dengan berpegang pada prinsip itu, maka setelah terjadinya tindak pidana, apabila ada keraguan tentang keadaan jiwa petindaknya artinya keraguan tentang kemampuan bertanggung jawab ini justru yang harus dibuktikan, agar orangnya tidak dipidana. Jadi dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah tentang ketidakmampuan bertanggung jawab pidana dan bukan sebaliknya tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim benar-benar mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya.
D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, yang mempunyai pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan dengan yang dihadapkan yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula. Untuk menjelaskan hal bilamana terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu:[18]
a.       Cara pertama, yakni dengan berdasarkan dan atau mengikut dari rumusan pasal 44 (1) tadi. Dari pasal 44 (1) KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan tentang dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab. Dengan berpikir sebaliknya, maka orang yang mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya (berwujud tindak pidana) adalah apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dinyatakan oleh pasal 44 (1), artinya bila jiwannya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwaanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang yang mampu bertanggung jawab.
b.      Kedua dengan tidak menghubungkannya dengan normal pasal 44 (1), dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggung jawab itu ada 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.      Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang akan ia (akan) lakukan.
2.      Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya.
3.      Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, mengisyafi bahwa perbuatan yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yag tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.[19]


C. Analisis Kronologi Kasus
Berdasarkan kronologi kasus diatas bahwasannya pembunuhan tersebut dilakukan oleh ibu (anak korban pembunuhan) dan dua cucu korban. pembunuhan tersebut dilakukannya dengan alasan bahwasannya mereka (ibu dan kedua anaknya) tertarik memiliki perhiasan yang dimiliki oleh si korban yaitu Sofiatun dan hasil dari penjualan perhiasan tersebut ia gunakan untuk mengangsur kredit motor yang belum ia bayar, dan dikarenakan suaminya yang bekerja di Bali tidak juga mengirim uang saku kepadanya.
Dan berdasarkan kronologi kasus diatas bahwasannya pembunuhan tersebut bukan rimayah seorang saja, melainkan pembunuhan tersebut dilakukannya dengan mengajak kedua anaknya yang masih dibawah umur, mereka adalah Baharudin Hariadi (14) dan Agus Harianto (11). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan kronologi kasus diatas yaitu, “Seorang ibu terbukti membunuh seorang nenek, dan yang mengejutkan, si ibu itu mengajak dua anaknya yang masih di bawah umur turut serta”. Dan pembunuhan yang dilakukan rimayah beserta kedua anaknya tersebut ternyata dilakukannya dengan rencana terkebih dahulu, atau bisa dikatakan pembunuhan tersebut bisa dikatakan sebagai pembunuhan berencana, hal tersebut sesuai dengan pernyataan didalam kronologi kasus diatas yaitu, “ Awalnya, Baharudin, anak Rimayah yang sudah memiliki rencana bersama ibu dan adiknya memanggil korban dengan cara memberinya sebuah jam dinding. Tanpa curiga, nenek renta itu tertarik, dan memenuhi panggilan untuk datang ke rumah pelaku yang hanya berjarak beberapa meter saja. Tiba di rumah pelaku, korban diajak Baharudin masuk ke kamarnya. Saat itu, Rimayah sudah menunggu bersama Harianto. Korban pun langsung disambut dengan bekapan tangan ke mulutnya. Dengan sadis, Rimayah mencekik leher korban dengan jarinya, kemudian Harianto mengikat leher korban dengan tali rafia yang memang sudah dipersiapkan. Kondisi tubuhnya yang memang sudah renta, membuat korban hanya mampu pasrah. Tidak bertahan lama, jantung nenek renta itu berhenti berdetak.”
Jadi dapat disimpulkan bahwasannya pembunuhan yang dilakukan oleh rimayah tersebut dilakukan bersama anaknya yang masih dibawah umur yang berarti hal ini masuk dalam hal atau bab penyertaan dalam hukum pidana dan pembunuhan yang dilakukan bersama kedua anaknya tersebut masuk dalam hal pembunuhan berencana.
Terkait pernyataan diatas bahwasannya menurut Van Hamel dalam Lamintang, penyertaan itu adalah Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggung jawaban dan pembagian pertanggung jawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material. Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana  terdapat dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana dan berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar, yaitu pembuat dan pembantu. Terkait dengan pembuat (dader) diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu sendiri yaitu sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan. Dalam ilmu hukum  pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
a. Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum.
b. Yang menyuruh lakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus, dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor intellectualis. Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu.
Kembali kepada kronologi kasus bahwasannya perbuatan pembunuhan yang dilakukan rimayah tersebut masuk pada pasal 55 KUHP yaitu:
(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
Ke-1 : Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Ke-2 : Mereka dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Dapat disimpulkan bahwasannya rimayah (pelaku) disini termasuk sebagai dader atau pembuat suatu tindakan pidana baik itu sebagai pelaku (pleger) dan sebagai yang menyuruh lakukan (doenpleger), dikarenakan rimayah telah mengajak atau menyuruh kedua anaknya yang masih dibawah umur untuk membantu membunuh si korban, dan pelaku (rimayah) saat melakukan tindakannya tersebut dilakukannya dengan sengaja dan mengetahui apa yang dilakukannya dengan dalih untuk mendapatkan perhiasan milik korban dan digunakan untuk membayar kredit motor. Dan oleh karena itu terkait dengan unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku (rimayah) tersebut, bahwasannya didalam kesengajaan dalam hukum pidana merupakan bagian dari kesalahan dan petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu pidana pada umumnya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai, “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul dari padanya.
Dan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku (rimayah) tersebut dilakukannya dengan unsur kesengajaan (menghendaki dan mengetahui atau willens en wetens), dengan dalih untuk mendapatkan perhiasan milik korban dan digunakan untuk membayar kredit motor tersebut, maka perbuatan yang dilakukan oleh rimayah beserta anaknya tersebut masuk dalam pasal 338 KUHP yang berbunyi,”barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Dan sesuai dengan pernyataan diatas bahwasannya perbuatan yang dilakukan oleh rimayah beserta anaknya tersebut juga masuk kedalam pasal tentang pembunuhan berencana, yaitu pasal 340 KUHP yang berbunyi “barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Selanjutnya terkait dengan penyertaan atau pembantuan yang dilakukan oleh kedua anak rimayah tersebut telah diatur dalam pasal 56 KUHP, bahwasannya pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
1. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
a.       Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
b.      Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
c.       Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d.      Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
2. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiil sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materil ditimbulkan oleh si penganjur.
Dan terkait dengan pernyataan diatas bahwasannya pembantuan yang dilakukan oleh anak rimayah (pelaku) tersebut termasuk dalam pembantuan poin pertama yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Terkait dengan cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen) dan perbuatan atau kejadian seperti ini dalam KUHP telah diatur dalam pasal 56 yang berbunyi:
“Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan:
Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dan terkait dengan hukuman yang diterima atas pembantuannya (penyertaannya) dalam pembunuhan tersebut, telah diatur dalam pasal 57 yang berbunyi:
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum  pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Terlepas dari beberapa peraturan pasal KUHP yang telah disebutkan diatas tadi, bahwasannya pembantu pembunuhan yang dilakukan oleh rimayah tersebut masih belum cakap hukum atau dalam istilah KUHP disebut belum cukup umur (minderjarig), pelaku penyertaan atau pembantuan tersebut dilakukan oleh Baharudin Hariadi berumur 14 tahun dan Agus Harianto berumur 11 tahun, yang tentunya pembantuan yang dilakukan oleh anak rimayah tersebut tidak bisa dihukum seperti orang biasa (tidak gila) dan atau seperti orang dewasa pada umumnya karena umur mereka masih dibawah enam belas tahun. Oleh karena itu dalam KUHP telah mengatur bahwasannaya apabila suatu tindakan pidana tersebut dilakukan oleh anak yang belum cukup umur maka terdapat hal-hal peringan bahkan dihapuskannya hukuman tersebut, hal tersebut telah diatur dalam KUHP pasal 45 yang berbunyi:
“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat dapat menentukan:
Memerintahkan supaya yang bersalah di kembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apa pun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidana.
Dan diatur juga dalam pasal 46 (1) yang berbunyi:
“Jika hakim menjatuhkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka dimasukkan dalam rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain atau diserahkan kepada seorang tertentu atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain dalam kedua hal di atas paling lama sampai umur delapan belas tahun.”
Dari beberapa penjelasan atau pemaparan undang-undang diatas dapat disimpulkan bahwasannya si pembantu pembunuhan atau penyertaan yang dilakukan oleh kedua anak rimayah tersebut masuk dalam kategori di bawah umur (belum cukup umur) dimana keduanya tidak dapat dijatuhi hukuman secara penuh, akan tetapi pelaku penyertaan ini dapat dihukum sesuai dengan pasal diatas yaitu dengan hukuman:
1.Dikembalikan kepada orangtuanya tanpa pidana apapun.
2.Diserahkan kepada pemerintah sampai batas anak berumur 18 tahun.
3.Dipidana dengan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga.
4. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan (undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak).
5.Menurut undang-undang nomor 3 tahun 1997 terdapat pembagian pidana untuk anak yaitu:
a.Usia 8-12 tahun diadakan pengawasan kepada sang anak.
b.Usia 12-18 tahun dapat dipidana namun dikurangi setengah.
Dan kedua pelaku penyertaan pembunuhan tersebut yaitu Baharudin Hariadi berumur 14 tahun dan adiknya Agus Herianto berumur 11 tahun, masuk dalam kategori di bawah umur yang mana keduanya tidak dapat dijatuhi hukuman secara penuh seperti orang dewasa dan atau orang cakap hukum pada umumnya, akan tetapi bisa menggunakan beberapa opsi atau pilihan sesuai dengan peraturan KUHP yaitu pasal 45 dan 46 salah satunya yaitu dikembalikan kepada orang tuanya atau dibina di panti sosial (pansos), didalam panti asuan tersebut pelaku dibina, diberi arahan serta di didik sesuai etika dan norma yang berlaku di masyarakat.
Dan dalam peraturan tentang peradilan anak yang terbaru yaitu undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, bahwasannya hukuman yang dijatuhkan kepada kedua anak yang membunuh neneknya tersebut tidak jauh berbeda dengan KUHP maupun undang-undang nomor 3 tahun 1997. Dengan berpedoman dengan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tersebut maka pelaku penyertaan pembunuhan yang dilakukan oleh dua anak tersebut berbeda dalam perlakuannya walaupun tidak jauh berbeda. Seperti Agus Herianto yang berumur 11 tahun, dikarenakan umur Agus Herianto masih 11 tahun maka masuk dalam pasal 21 yang berisi:
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a.menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b.mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.  
(3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap bulan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan  Peraturan Pemerintah.
Sedangkan Baharudin Hariadi yang berumur berumur 14 tahun, berarti masuk dalam pasal Pasal 20, karena Baharudin Hariadi tersebut memiliki umur diatas 12 tahun (pasal 21 seperti diatas tidak berlaku lagi) dan dibawah 18 tahun. Pasal 20 tersebut berbunyi, “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak”. Terkait dengan putusan atau vonis yang dijatuhkan hakim, bahwasannya hal tersebut tetap berpedoman bahwa yang divonis tersebut masih belum cukup umur atau masih anak-anak maka dari itu hukumannya dalam realita biasanya tidak jauh berbeda dengan pasal 45 dan 46 atau pasal 21 undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, atau tergantung keputusannya, akan tetapi majelis hakim dalam mengeluarkan putusannya tersebut harus tetap melihat bahwasannya putusan yang dikeluarkannya tersebut ditujukan terhadap terdakwa dibawah umur atau dalam istilah KUHP belum cukup umur.




PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas baik itu dari kronologi kasus, konsep hukum pidana (kajian pustaka) maupun dari analisis kronologi kasus bahwasannya kasus tersebut menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu yang mengajak kedua anaknya untuk menghabisi atau membunuh neneknya sendiri. pembunuhan tersebut dilakukannya dengan alasan bahwa mereka tertarik memiliki perhiasan yang dimiliki oleh si korban (sofiatun) dan hasil dari penjualan perhiasan tersebut ia gunakan untuk mengangsur kredit motor yang belum ia bayar, dan dikarenakan suaminya yang bekerja di Bali tidak juga mengirim uang saku kepadanya. Oleh karena itu mereka melakukan perbuatan yang keji tersebut kepada anggota keluarganya. Dari beberapa analisis yang saya lakukan diatas bahwasanya hukuman atau pasal-pasal dan atau kemampuan bertanggung jawab baik itu antara ibu dan kedua anaknya berbeda, karena seorang anak kecil hukumannya berbeda dengan orang dewasa (tidak gila). Terkait dengan hukuman yang di terima oleh rimayah bahwasannya rimayah di sini dikategorikan sebagai pembuat (dader), perbuatan pembunuhan yang dilakukan rimayah tersebut masuk pada pasal 55 KUHP  ayat 1 yaitu dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana. Dan perbuatan yang dilakukan rimayah tersebut juga masuk kedalam pasal tentang pembunuhan berencana, yaitu pasal 340 KUHP yang berbunyi “barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Terkait dengan penyertaan yang dilakukan oleh kedua anak rimayah tersebut, bahwasannya kedua anak rimayah tersebut yaitu Baharudin Hariadi berumur 14 tahun dan Agus Harianto berumur 11 tahun tidak dapat dihukum sesuai dengan pasal KUHP tentang penyertaan diatas, dikarenakan mereka belum cukup umur, oleh karena itu mereka (anak rimayah) sesuai peraturan KUHP yaitu pasal 45, 46, dan undang-undang nomor 3 tahun 1997 serta undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, bahwasannya anak rimayah tersebut dapat dijerat atas tindakannnya tersebut dengan beberapa opsi yaitu:
1.Dikembalikan kepada orangtuanya tanpa pidana apapun.
2.Diserahkan kepada pemerintah sampai batas anak berumur 18 tahun.
3.Dipidana dengan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga.
4.Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan (undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak).
5.Menurut Undang-undang nomor 3 tahun 1997 terdapat pembagian pidana untuk anak yaitu:
a.Usia 8-12 tahun diadakan pengawasan kepada sang anak.
b.Usia 12-18 tahun dapat dipidana namun dikurangi setengah.
Itulah beberapa pertanggungjawaban hukum yang ditanggung pelaku atas perbuatannya, baik itu si pembuat (dader) yaitu rimayah dan si pembantu (penyertaan) yaitu Baharudin Hariadi berumur 14 tahun dan Agus Harianto berumur 11 tahun, mereka di jerat hukuman sesuai degan perbuatan yang ia lakukan dan sesuai dengan kemampuan tanggungjawab hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan.


DAFTAR PUSTAKA

Sahetapy, J.E.2009.Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Malang: Setara Press.
Chazawi, Adami.2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chazawi, Adami.2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi.1994.Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta.
Zaenal Abidin, Andi.1983.Hukum Pidana I.Jakarta: Sinar Grafika.
http://nasional.inilah.com/read/detail/424252/ibu-ajak-dua-bocahnya-bunuh-nenek. Di akses Tanggal 4 Desember 2014.
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/.html.  Diakses Tanggal 4 Desember 2014.


[1] http://nasional.inilah.com/read/detail/424252/ibu-ajak-dua-bocahnya-bunuh-nenek. Di akses Tanggal 4 Desember 2014.
[2] J.E.Sahetapy,Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Malang: Setara Press,2009), h.14
[3] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.1
[4] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.3
[5] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.4
[6] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.6

[8] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.7
[9] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.9
[10] Andi Zaenal Abidin,Hukum Pidana I,(Jakarta: Sinar Grafika,1983), h.49
[11] Hamzah, Andi Hamzah,Hukum Pidana,(Jakarta: Rineka Cipta,1994), h.11
[12] Hamzah, Andi Hamzah,Hukum Pidana,(Jakarta: Rineka Cipta,1994), h.12
[13] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.82
[14] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.85
[15] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.92
[16] http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/. Diakses Tanggal 4 Desember 2014.
[17] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.143
[18] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.145
[19] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2002), h.145



No comments:

Post a Comment