Saturday, 31 January 2015

ANALISIS UU. NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL PASAL 27 DAN 28

ANALISIS UU. NO. 25 TAHUN 2007 
TENTANG PENANAMAN MODAL PASAL 27 DAN 28




BAB  XII
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

Pasal  27
(1)   Pemerintah  mengoordinasi  kebijakan  penanaman  modal, baik koordinasi antar instansi  Pemerintah,  antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi  Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah.
(2)   Koordinasi  pelaksanaan  kebijakan  penanaman  modal  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(3)   Badan  Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin  oleh  seorang  kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(4)   Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 28
(1)   Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal,Badan           Koordinasi Penanaman  Modal  mempunyai  tugas  dan  fungsi  sebagai berikut :
a.      melaksanakan tugas  dan  koordinasi  pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal
b.      mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;
c.       menetapkan norma, standar, dan prosedur  pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;
d.      mengembangkan  peluang  dan  potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;
e.       membuat peta penanaman modal Indonesia;
f.        mempromosikan penanaman modal;
g.      mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman   modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan  usaha yang sehat, dan menyebarkan  informasi  yang seluas-luasnya  dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
h.      membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
i.        mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya  di  luar wilayah Indonesia; dan
j.        mengoordinasi  dan  melaksanakan  pelayanan  terpadu satu pintu.

(2)   Selain tugas koordinasi sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  27  ayat (2), Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]
Terkait dengan pernyataan pasal diatas yaitu pasal 27 dan pasal 28, bahwasannya yang dimaksud dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen Indonesia yang bertugas untuk merumuskan kebijakan pemerintah di bidang penanaman modal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Badan ini didirikan sejak tahun 1973, menggantikan fungsi yang dijalankan oleh Panitia Teknis Penanaman Modal yang dibentuk sebelumnya pada tahun 1968. Dengan ditetapkannya Undang-undang tentang Penanaman Modal pada tahun 2007, BKPM menjadi sebuah lembaga Pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal, baik koordinas antar instansi pemerintah, pemerintah dengan Bank Indonesia, serta pemerintah dengan dengan pemerintah daerah.[2] Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga diamanatkan sebagai badan advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi. Dan sebagaimana dengan kebijakan pemerintah dalam mengoordinasi kebijakan penanaman modal, diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 pasal 3 (5) yang berbunyi:
“Kepala BKPM berkoordinasi dengan menteri/pimpinan Instansi terkait menginventarisasi perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 5”.[3]
Selanjutnya terkait dengan posisi Badan Koordinasi Penanaman Modal bahwasannya didalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2007 yang berakhir, melihat materi yang diaturnya begitu luas, maka tampak sekali bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal takut kehilangan pamornya dalam menangani perizinan, menunjukkan bahwa dirinya masih kuasa (sebetulya tidak perlu demikian, Badan Koordinasi Penanaman Modal masih tetap mempunyai peran penting dan cukup luas). Peraturan Presiden ini (yang bersumber dari Pasal 30 ayat (7) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007) materi yang diatur adalah perihal bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) itu adalah jenis industri yang khusus, bukan yang umum. Apa yang khusus ini diumumkan?
            Sebenarnya yang pertama harus diterbitkan setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007, adalah Peraturan Presiden tentang Eksistensi Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan tugas dan fungsi yang baru. Disusul oleh Peraturan Presiden tentang Tata cara Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Setelah ini baru Peraturan Presiden tentang bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan syarat.
            Kemudian urutannya adalah Peraturan Presiden tentang Pelimpahan Kewenangan Presiden kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam melaksanakan pasal 30 ayat (7). Mengapa diusulkan demikiam, sebab dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 sebenarnya semua kewenangan kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal yang lama, yuridis formal sudah tidak ada. Undang-undang hanya menunjuk Badan Koordinasi Penanaman Modal yang mempunyai tugas dan fungsi sesuai Pasal 28 jo, Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007.[4]
            Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah pusat dan daerah serta penghubungnya (seperti pada pasal 27 ayat 1 ) menurut Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013, yang dimaksud dengan:
a.       Pemerintah adalah presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD tahun 1945
b.      Pemerintah daerah adalah gubenur, bupati, walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
c.       Perangkat daerah provinsi bidang penanaman modal, yang selanjutnya disebut PDPPM, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi dibidang penanaman modal di pemerintah provinsi.
d.      Perangkat daerah kabupaten atau kota bidang penanaman modal, yang selanjutnya disebut PDKPM, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten atau kota, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah kabupaten atau kota, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi dibidang penanaman modal di pemerintah kabupaten atau kota.[5]
Selanjutnya terkait dengan pasal 27 (2) diatas terkait dengan BKPM diatur dalam  pasal Undang-undang Nomor 12 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut BKPM, adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dan terkait dengan tugas kepala dan wakil BKPM diatur dalam Perpres No.90 Tahun 2007 Pasal 5, tugas Kepala BKPM yaitu BKPM dalam melaksanakan tugas dan fungsi BKPM. Dan didalam pasal 6 disebutkan bahwasannya Wakil Kepala mempunyai tugas membantu pelaksanaan tugas Kepala BKPM. Sedangkan tugas dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri diatur dalam Perpres No.90 Tahun 2007 , bahwasannya tugas dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diatur dalam pasal 2 dan 3 yaitu:
Pasal 2:    BKPM mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BKPM menyelenggarakan fungsi :
a.       pengkajian dan pengusulan perencanaan penanaman modal nasional;
b.      koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang penanaman modal;
c.       pengkajian dan pengusulan kebijakan pelayanan penanaman modal;
d.      penetapan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;
e.       pengembangan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;
f.       pembuatan peta penanaman modal di Indonesia;
g.      koordinasi pelaksanaan promosi serta kerjasama penanaman modal;
h.      pengembangan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
i.        pembinaan pelaksanaan penanaman modal, dan pemberian bantuan penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
j.        koordinasi dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu;
k.      koordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia;
l.        pemberian pelayanan perizinan dan fasilitas penana man modal;
m.    pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidan
n.      perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum, kearsipan, pengolahan data dan informasi, perlengkapan dan rumah tangga; dan
o.      pelaksanaan fungsi lain di bidang penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]
Dan dalam pasal 28 ayat 1 huruf  f, dalam hal mempromosikan penanaman modal, dapat dilaksanakan atau dilakukan oleh deputi bidang promosi penanaman modal yang diatur dalam:
Pasal 16 : (1) Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi BKPM di bidang promosi penanaman modal yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BKPM. (2) Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal dipimpin oleh Deputi.
Pasal 17 :Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang promosi penanaman modal.
Pasal 18 :Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal menyelenggarakan fungsi :
a.       koordinasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang promosi penanaman modal;
b.      pengkajian dan pengusulan kebijakan di bidang promosi penanaman modal;
c.       penetapan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dibidang promosi penanaman modal;
d.      koordinasi perencanaan dan pelaksanaan promosi penanaman modal;
e.       pelaksanaan tugas sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala BKPM.[7]
Terkait dengan pasal 28 ayat 1 huruf j, yang dimaksud dengan pelayanan terpadu satu pintu dijelaskan pada UU. No.12 Tahun  2009  pasal 1 yaitu Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP, adalah kegiatan penyelenggaraan suatu Perizinan dan Non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.[8]
Selanjutnya terkait dengan kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di tingkat nasional bahwasannya berdasarkan Undang-undang diatas, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Dalam Undang-undang tersebut, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) diartikan sebagai kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Pengertian ini berbeda dengan pengertian ”pelayanan terpadu satu atap”.[9] Dalam Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pengertian ”pelayanan terpadu satu atap” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan ”pelayanan satu pintu” adalah pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. PTSP di tingkat pusat dilakukan oleh lembaga yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian dari lembaga yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat, propinsi atau kabupaten/kota. Lembaga yang dimaksud disini adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, maupun antar Pemerintah Daerah.[10]
Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan oleh BKPM. Dalam melaksanakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), BKPM harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan. Dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 di atas, pada tingkat nasional telah terdapat “payung” bagi pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu. Hal yang berkaitan dengan apa itu pelayanan terpadu satu pintu, tujuan pembentukannya, kelembagaannya, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah diatur lebih tegas. Ketegasan ini dapat menciptakan kepastian bagi aparat pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan tugasnya, kepastian bagi penanam modal, dan kepastian bagi masyarakat umum. Meskipun demikian, pengaturan ”payung” tersebut tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara pelayanan terpadu satu pintu. Undang-undang hanya mengatur pelayanan terpadu satu pintu secara umum dan memerintahkan penyusunan Peraturan Presiden untuk mengatur tata cara dan pelaksanaannya. Sampai saat ini Peraturan Presiden dimaksud belum diterbitkan. Penyusunan Peraturaran Presiden tersebut penting karena selain akan berlaku secara nasional, juga digunakan oleh daerah dalam membuat peraturan daerah bidang penanaman modal.[11] Sementara itu praktek pelayanan terpadu satu pintu saat ini menggunakan dasar hukum:
1.      Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
2.      Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
3.      Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
4.      Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang.
5.      Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Dalam praktek, penyusunan peraturan pelaksanaan dari peraturan “payung” tidak selalu lebih mudah dari pada membuat “payung”nya. Penyusun peraturan harus memperhatikan berbagai kepentingan sektor-sektor dan peraturan perundang-undangan terkait. Penyusun harus memahami peraturan perundang-undangan antara lain: 1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 4. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 5. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.[12]
Akan tetapi dalam pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) terdapat sebuah kendala. Dalam mengatur tata kerja, penyusun Peraturan Presiden mungkin akan dihadapkan pada benturan kepentingan berbagai pihak sebagaimana terjadi ketika mulai diberlakukan Keppres 29 Tahun 2004. Ketika itu beberapa instansi terkait enggan untuk melimpahkan atau berkoordinasi dengan BKPM dalam melayani perizinan kepada penanam modal. Seringkali di Indonesia kewenangan perizinan dianggap sebagai “profit center” yang mesti dipertahankan oleh suatu instansi. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan keengganan tersebut. Bentuk organisasi juga dapat menjadi ganjalan terlaksananya PTSP. Sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mengeluarkan izin bagi penanaman modal masih berkaitan dengan bentuk organisasi adalah masalah keanggotaan, Keanggotaan wakil dari instansi terkait di Pelayanan Terpadu Satu Pintu bisa sebagai “liason officer” atau “officer on call”. Tetapi apabila institusi terkait harus memberikan pelimpahan wewenang kepada lembaga PTSP. Pelaksanaan kebijakan pelayanan terpadu satu pintu di daerah masih berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pemerintah daerah hendaknya juga mengetahui pengaturan pelayanan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Meskipun keempat peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikatakan sejalan, dengan menggunakan dasar Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, maka pembuatan kebijakan dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu menjadi lebih kuat. Namun demikian, berkaitan dengan bentuk kelembagaan pelayanan penanaman modal, muncul kebingungan pemerintah daerah terhadap berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah ini pembentukan organisasi pelayanan satu pintu bukan merupakan keharusan. Dalam Pasal 47 diatur bahwa untuk membentuk unit pelayanan terpadu digunakan kata ”dapat” yang artinya dapat dibentuk, tetapi boleh juga tidak dibentuk. Personal atau pegawainya merupakan gabungan unsur-unsur perangkat daerah berbagai sektor. Pasal tersebut berbunyi: ”Pasal 47 (1) Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu. 2) Unit pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan. 3) Unit pelayanan terpadu didukung oleh sebuah sekretariat sebagai bagian dari perangkat daerah.” Terhadap keberadaan PTSP terdapat dua kelompok tanggapan. Kelompok pertama adalah yang mendukung keberadaan pelayanan ini. Kelompok ini melihat pada respon yang baik dari masyarakat maupun aparat pemerintah di beberapa kabupaten/kota terhadap keberadaan pelayanan terpadu.[13]
Contoh keberhasilan itu adalah Kabupaten Sragen yang mendapatkan penghargaan untuk mutu pelayanan terpadunya dan menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain. Dan contoh lainnya yaitu Ibukota Jakarta yang menjadi contoh paket kebijakan investasi (Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau PTSP). Dalam isi berita tersebut bahwasannya, di Indonesia sudah lebih 85 persen propinsi yang membentuk PTSP dan DKI juga di dorong memiliki PTSP, karena DKI belum memiliki PTSP,  narasumber diberita tersebut yaitu Gamawan kemudian menguraikan, dari 524 pemerintahan daerah, ada 474 yang sudah memiliki PTSP. Dari 474 tadi sebanyak 190 daerah sudah melimpahkan perijinannya ke PTSP, dan 160 sudah menentukan SOP-nya.[14]
Berdasarkan pernyataan kasus realita diatas bahwasannya kebijakan pelayanan terpadu dapat mendukung terciptanya aspek-aspek dalam good governance dan memperkecil kemungkinan terjadinya kolusi dan korupsi. Kelompok kedua adalah kelompok yang menentang keberadaan PTSP ini. Keberadaan pelayanan terpadu tidak akan berjalan efektif karena instansi hanya memindahkan orang dan tempat. Bahkan di beberapa aspek menimbulkan kerugian bagi masyarakat, misalnya yang semula letak pengurusan dekat, dengan adanya kebijakan pelayanan terpadu satu pintu pengurusannya menjadi lebih jauh. Karena tidak ada altenatif pengurusan, maka iklim kompetisi dalam memberikan pelayanan menjadi tidak ada.[15]
        Dan dalam dalam UU.12 tahun 2009 pasal 1 tentang pelayanan terpadu satu pintu terdapat kewenangan perizinan dan non perizinan. Ini dapat diperinci kembali tentang maksud dari perizinan dan nonperizinan dalam peraturan presiden No.27 tahun 2009. Pengertian sendiri dari perizinan dan nonperizinan yaitu ,perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan bentuk pelayanan terpadu ini bisa berbentuk kantor, dinas, ataupun badan. Dalam penyelenggaraannya, bupati/wali kota wajib melakukan penyederhanaan layanan meliputi :[16]
1.      pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh PPTSP;
2.      percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
3.      kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
4.      kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;
5.      mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau Lebih permohonan perizinan;
6.      pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
7.      pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan Lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan atas semua hentuk pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota.
Selain itu PPTSP mengelola administrasi perizinan dan non perizinan dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan kearnanan berkas. Dalam pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat berarti sebagai satu instansi pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi pelbagai perizinan (licenses, permits, approvals dan clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut instansi pemerintah tidak dapat mengatur pelbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab itu, dalam hal ini instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perizinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus bergantung pada otoritas lain.[17] Selanjutnya terkait dengan Pasal 28 ayat 1 huruf e yang dimaksud dengan peta penanaman modal adalah Peta Panduan (Roadmap) Implementasi Rencana Umum Penanaman Modal, yang terdiri dari:    
1)      Fase Pengembangan Penanaman Modal yang Relatif Mudah dan Cepat Menghasilkan;
2)      Fase Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Energi;
3)      Fase Pengembangan Industri Skala Besar;dan
4)      Fase Pengembangan Ekonomi Berbasis Pengetahuan.[18]





DAFTAR PUSTAKA

Budi Untung, Hendrik.2010.Hukum Investasi.Jakarta: Sinar Grafika.
Widjaya, Rai.2005.Penanaman Modal.Jakarta: Pradnya Paramita.
Tambunan, Tulus.2006.Iklim Investasi Di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi.Jakarta: KADIN Indonesia.
Sihombing, Jonker.2009.Hukum penanaman Modal di Indonesia.Bandung: PT Alumni
Ilmar, Aminuddin.2004.Hukum Pananaman Modal Di Indonesia.Jakarta: Prenada Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor  25  Tahun  2007 Tentang Penanaman  Modal
Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009
http://yasminelisasih.com/2011/07/26/oss/. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
http://yasminelisasih.com/2011/07/26/oss/. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/10/25/2/190471/Jakarta-Jadi-Contoh-Paket-Kebijakan-Investasi. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014



[1] Undang-undang Republik Indonesia Nomor  25  Tahun  2007 Tentang Penanaman  Modal
[2] www.BKPM.go.id. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
[3] Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009
[4] Hendrik Budi Untung,Hukum Investasi,(Jakarta: Sinar Grafika,2010), h.108
[5] Hendrik Budi Untung,Hukum Investasi,(Jakarta: Sinar Grafika,2010), h.108
[6] Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007
[7] Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007
[8] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.27
[9] Rai Widjaya, Penanaman Modal,(Jakarta: Pradnya Paramita,2005), h.14
[10] Jonker, Sihombing,Hukum penanaman Modal di Indonesia,(Bandung: PT Alumni,2009), h. 55
[11] Jonker, Sihombing,Hukum penanaman Modal di Indonesia,(Bandung: PT Alumni,2009), h. 56
[12] Tulus Tambunana,Iklim Investasi Di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi,(Jakarta: KADIN Indonesia,2006), h. 29
[13] http://yasminelisasih.com/2011/07/26/oss/. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
[14] http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/10/25/2/190471/Jakarta-Jadi-Contoh-Paket-Kebijakan-Investasi. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
[15] http://yasminelisasih.com/2011/07/26/oss/. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
[16] Tulus Tambunana,Iklim Investasi Di Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi,(Jakarta: KADIN Indonesia,2006), h. 31
[17] Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.29
[18] http://dydo.wordpress.com/kebijakan-pelayanan-terpadu-satu-pintu-ptsp-melalui-pendekatan-sistem/. Diakses Pada Tanggal 9 Desember 2014
 



No comments:

Post a Comment